Sabtu, 28 Agustus 2010

Terpenjara Semalam

Gema takbir bergema di segala penjuru arah. Seluruh umat bersuka cita menyambut kemenangan dengan melafadzkan asma-asma Allah. Tak terkecuali aku yang turut serta dalam gempitanya. Sebulan penuh, selama Ramadhan menahan lapar dan dahaga juga berperang melawan nafsu dari berbagai godaan setan. Banyak cara merayakan kemenangan dimalam lebaran itu, diantaranya beritikaf sembari melafadz takbir dan adapula melakukannya dengan oncor berkeliling desa mengumandang takbir,atau lazim yang lebih dikenal dengan Takbir keliling.
Sedang aku dan beberapa teman memilih merayakan kemenangan dihalaman tempatku bersekolah. Saat itu aku masih masih duduk dibangku kelas 4 SD. Di seberang jalan sekolah adalah kantor polsek, sedang di sebelah barat kira-kira 30 meter adalah masjid terbesar di desaku yang konon masjid itu sebagian besar dananya disumbang oleh keluarga Cendana beserta kendaraan politiknya, Golkar. Rumahku disebelah timur sekolahan yang berjarak kurang lebih 20meter. Relatif strategis. Semuanya dapat ditempuh hanya dengan berjalan kaki.
            “Pit, sira kuh nyuled bledogan bae wedhi banget sich![1]kata temanku.
            “Ora wedhi, aku ora kuat ngrungoaken suarane[2]” jawabku beralasan.
            “Alah ngomong bae wedhi![3]
            “Ora yo![4] jawabku dengan dialek Jogja yang masih kentara.
Di desaku, sebenarnya keluargaku adalah pendatang, dalam penggunaan bahasa sehari-hari menggunakan bahasa Jawa. Namun Logat bahasanya agak berbeda dibanding dialek bahasa Jawa lainnya. Penggunaan huruf vokalnya dominan dengan huruf ‘A’ misalnya, kalau di Yogya bilang ‘Ngopo’ di desaku menjadi ‘Ngapa’, ‘Ora ono’ jadi ‘Ora ana’. Perbedaan yang utama yakni akhiran 'A' tetap diucapkan 'A' bukan 'O'. Jadi jika di Yogya ‘Uwong mangan sego (nasi)’, di desaku menjadi ‘Uwong mangan sega'.
Di tempat asalku, Yogyakarta, jika menyebut bahasa didesaku sebagai jawa ngapak, dan kebalikannya didesaku jika menyebut bahasa tempatku berasal menyebutnya sebagai Jowo Kowek. Begitulah jika aku saling sindir antarkebudayaan diantara teman-teman sebayaku.
            “Lamun Ira ora wedhi, nyah iki suleden![5]” tantang temanku sembari menyodorkan petasan berjenis roket dan obat nyamuk bakar sebagai pemantiknya.
            Aku yang merasa tertantang memberanikan diri untuk menyalakan petasan yang disodorkan oleh temanku. Sebenarnya, jujur aku takut untuk menyulut petasan itu. Petasan yang kugenggam urung kunyalakan. Teman-temanku yang lain mengolok-olokku “Cemen” katanya, beramai-ramai menyalakan petasan dan melemparkannya didekat kakiku.
Merasa malu jika tidak melakukan tantangan, akhirnya aku mencari kayu untuk mengikat obatnyamuk bakar yang difungsikan sebagai pemantik agar lebih panjang. Petasan berjenis roket kutancapkan di tanah lantas menyulutnya.        
“Wis ta! Ora usah keakehan bacot![6] hardikku saat teman-teman masih mengolok-olokku.
            “Masa nganggo kayu? Bocah cilik bae bisa![7] ledek temanku bermaksud menguji nyaliku.
            Tak kuhiraukan ledekan itu, segera kusulut petasan sambil menutup telinga. “Soooooooos” suara petasan yang berhasil kusulut terbang dan membumbung tinggi ke angkasa, “DOOOR” letusannya terdengar keras dan memercikkan kilatan laksana kembang api yang menerangi langit-langit.
            “Kuh kan wani![8] kataku membanggakan diri.
            “Kaya kuwe wani?[9] ejek temanku. “Kih deleng kih carane seri nyuled bledogan[10] lanjutnya sembari mencontohkan cara menyulut petasan tanpa alat bantu. Diapitnya petasan disela ujung jempol dan telunjuk jari tangan lalu mengarahkan petasan ke langit dan menyulutnya.
            Petasan yang tersulut meluncur ke angkasa, memercikkan api persis seperti roket. Terbang tinggi, melengkung membentuk sudut 90°. Lalu tiba-tiba berbelok arah. Menukik tajam dan turun tepat di pos jaga kantor Polsek. Petasan itu meledak sangat keras. Keras sekali. Asapnya membumbung menyesaki ruangan. Samar, pekat oleh asap. Terdengar beberapa orang yang sedang berjaga terbatuk-batuk.
            “Hei kalian! Sini!” bentak salah satu polisi bertubuh tambun yang keluar dan mengejar kami, “Sini!”
            “Lariiiiiiiiiiiiii” teriak salah satu temanku yang lain, mengomandoi.
            Kami pun lari tunggang langgang mencari selamat. Loncat pagar adalah salah satu alternatif ketimbang harus melewati pintu gerbang sekolahan yang berhadapan langsung dengan pintu gerbang kantor Polsek. Teman-temanku begitu lincah dan cekatan meloncat pagar yang tingginya sedada orang dewasa. Mereka lolos dari kejaran polisi bertubuh tambun. Sedang aku yang mengenakan sarung tak bisa menaiki pagar.
            “Hey kamu mau kemana?” kata polisi gendut membentak. “Kamu berdua ikut bapak ke kantor” polisi bertubuh tambun mencengkeram kuat-kuat lenganku dan lengan temanku, menggelandangku ke kantor.
            “Dudu kita pak sing nyuled bledogan mah! Yakin pak, dudu kita![11]” kata temanku memelas. “Sing nyuled mah bocahe mlayu, pak![12]” Lanjutnya beralasan
            Yang kulakukan saat itu hanya diam. Pikiranku sangat kacau. Saat itu yang terpikir adalah ruang penjara dengan segala penyiksaannya, yang dihuni para maling, pencoleng dan nara pidana lain. Ah pikiranku sangat tidak menentu. Sulit untuk mengingatnya. Benar-benar takut dan risau kala itu.
            “Udah diam! Ikut Bapak!” kata polisi gendut, menghardik temanku yang terus merengek dengan pembelaannya.
            Setiba di kantor, aku dan temanku langsung di interogasi. Bak maling yang baru tertangkap. Identitas siapa kami? Dimana alamat kami? Sampai nama orang tua dan pekerjaannya ditanyakan. Katanya aku dan temanku melanggar pasal ketertiban umum.
            “Sapa tadi yang menyulut mercon?”
            “Dudu kita pak, mau bocahe mlayu ngulon![13]” jawab temanku sembari memberi kode kepadaku agar aku ikut mengiyakan alasannya.
            “Iya pak, bocahe mlayu ngulon![14] jawabku tergagap sebab berbohong.
            Seusai diproses dan interogasi. Aku dan temanku dimasukkan kedalam satu sel. Disebelah kamar sel, ada seorang lelaki kekar yang sekujur tubuhnya lebam dan membiru. Aku tidak tahu apa musabab lelaki itu menghuni dibalik jeruji besi. Yang membuatku muak dengan lelaki itu, ia terkekeh melihat kami berdua yang mendekam didalam sel.
            Sewaktu aku dan temanku terpenjara, belum marak isu HAM. Saat itu kekuasaan Orde Baru masih berkuasa. Tiran Soeharto yang bergaya militeristik masih kuat mencengkeram kuku-kuku kekuasaannya. Andai saja kejadian yang aku alami terjadi pascalengsernya presiden RI ke II, tentunya mengingat umur kami berdua masih dibawah 16 tahun, mungkin polisi bertubuh tambun itu terjerat pelanggaran HAM, karena memenjarakan anak dibawah umur.
            Tidak lebih dari satu jam, aku dan temanku dikeluarkan dari penjara. Mungkin polisi bertubuh tambun itu tidak tega melihat kami berdua. Bisa jadi pemenjaraan yang dilakukan olehnya semata-mata hanya memberi efek jera dan peringatan kepada teman-temanku yang lolos, agar kami tidak mengulangi perbuatan menyulut petasan.
            Sekeluar dari penjara. Aku dan temanku tidak serta merta bebas dan diperbolehkan untuk meninggalkan kantor polisi. Masih ada beberapa tahapan lagi untuk mengecap kebebasan. Salah satu tahapan itu yang juga paling tidak aku suka adalah memijit polisi gendut yang menangkapku, hingga jari jemari tanganku terasa kram dan kaku.
            Tahapan berikutnya, kami dipaksa membuat surat pernyataan yang tak bermaterai dan membacakannya 3 kali dengan cara bersujud. Demi kebebasan, apalagi hari hampir shubuh. Aku dan temanku, mungkin dengan sangat terpaksa, melakukan pembebasan bersyarat yang kutulis setelah itu bersujud dan membaca;

Ya Allah Ya Tuhan Kami
Atas nama Ibuku, saya berjanji untuk tidak lagi mengulangi perbuatan melanggar ketertiban umum.
Ya Allah Ya Tuhan kami,
Atas nama Ibuku , saya berjanji untuk tidak membeli, membawa dan membunyikan petasan dibulan Ramadhan dan bulan-bulan lainnya.
Ya Allah.. Ya Tuhan kami
Atas nama  ibuku, saya berjanji dengan apa yang saya tulis dan ikrarkan dan saya akan menepati janji.

Kubaca berulang sebanyak tiga kali sembari bersujud menghadap kiblat di saat gema takbir masih berkumandang.
Selepas adzan shubuh. Kami berdua dibebaskan dan pulang kerumah masing-masing. Dirumah, Ibuku tak tahu apa yang terjadi pada anaknya yang pulang di pagi buta. Ibuku hanya menyuruhku segera mandi dan mempersiapkan segala perlengkapan ibadah untukku. Mulutku kukunci rapat-rapat atas kejadian yang menimpaku semalaman. Dan hingga kini, aku masih merahasiakannya.
Seusai mandi aku langsung berangkat menuju masjid. Sengajaku aku memutar jalan dan tidak melewati jalan di depan kantor polsek tempatku semalam terpenjara. Di masjid, teman-temanku yang semalam turut serta merayakan kemenangan di halaman sekolah hanya mesam-mesem melihat kedatanganku.
Eh ana napi bebas[15]” sindir temanku. Aku hanya diam dan menanggung malu,. “Ehm Kasus apa?” masih menyindirku, “Maling pithik ya?[16] mendengar celetukan itu, temanku yang lain tertawa cekikikan.
Kirik Kunuh[17] umpatku.
Eh kiyen masjid omongane aja sembarangan![18]” hardik salah satu temanku yang lain yang masih menahan tawa.
Mumpung lagi lebaran, coy. Salaman dikit![19]” temanku menyodorkan tangan dan tak henti-hentinya menyindir, “maap ya lagi bengi ora bisa baturi ning penjara.[20]
 Aku hanya tersenyum getir dan teman-temanku yang lain masih cekikian pelan. Dan shalat Ied segera dimulai. Seluruh jamaah baik itu pria dan wanita, tak pandang usia, sudah menempati garis shof segera berdiri. Berdiri tegak, Takbiratul Ihram, “Allahuakbar” suara imam memulai shalat, mengangkat kedua tangan sejajar telinga, lalu melipatnya di depan perut.
“Aku menang!” ucapku lirih didalam hati, sebelum berniat untuk memulai gerakan shalat. Tahun itu adalah Ramadhan yang kali pertama menjalankan rukun Islam ke tiga secara penuh. Tahun itu pula disaat aku memulai belajar menjalankan rukun Islam secara berurut. Namun sayangnya ada insiden pemenjaraan semalam. Dan aku bebas! Walau merayakan malam takbiran di kantor polisi.


Muntilan, - Agustus 2005
disunting ulang (penambahan kata di sana-sini) di Sleman, 11 Agustus 2010
(WFY)

NB
  • Tulisan ini ditemukan disebuah CD (Compact Dist) yang tak pernah dibuka.
  • Tulisan ini bermaksud untuk menjawab mengapa saya begitu teramat sangat membenci polisi. Membenci bukan berarti Subversif. Itu saja!


Catatan Kaki

[1] Pit, kamu itu nyalakan petasan kok takut banget sich!
[2] Tidak takut, saya tidak mendengar suaranya!
[3] Halah bilang saja takut!
[4] Tidak ya!
[5] Kalau kamu tidak takut, ini nyalakan!
[6] Sudahlah, tak usah banyak mulut!
[7] Masa pakai kayu? Anak kecil aja bisa!
[8] Tuh kan berani!
[9] Seperti itu berani!
[10] Nih lihat caranya jagoan menyulut petasan.
[11] Bukan saya yang menyalakan petasan pak. Yakin pak, bukan saya.
[12] Yang menyulut anaknya lari, pak.
[13] Bukan saya pak, tadi anaknya berlari kearah barat.
[14] Iya pak, Anaknya berlari kearah barat
[15] Eh ada napi bebas
[16] Mencuri ayam ya?
[17] Anjing kalian
[18] Heh ini masjid omongannya jangan sembarangan
[19] Mumpung ini lebaran, coy. Bermaaf-maafan dulu.
[20] Maaf ya semalam tidak bisa menemanimu di penjara

Tidak ada komentar: