Jumat, 05 Desember 2008

ku Beri Judul "PENDAKIAN PATAH HATI"

Ekspedisi cemorokandang, Gunung Argopuro Jawa Timur

2008

(Iswanto”Sumanto”*, Arinata ”nata dCoco” kusuma*, Herling Candra*, W.Fitri.Y**)


H-1

Jumát, 15 Februari 2008

Setelah cek semua perlengkapan dan kesiapan, Tim ekspedisi Hyang Selatan jalur G. Cemoro Kandang bertolak dari sekretariat Mahapena Jl. Jawa 17. Target pencapaian tim adalah kawah Argopuro kemudian turun dari Cikasur dan jalur Baderan. Pemberhentian pertama kami adalah di Lumba-lumba sebelum perjalanan ke pos pendakian Desa Gn. Pasang. Setelah menunggu beberapa lama sambil tawar-menawar harga angkutan, akhirnya kita meluncur ke Desa Gn. Pasang. Pukul 14.55 kami sampai di Kampung Baru, dan perjalanan harus dilanjutkan dengan jalan kaki. Karena angkutan hanya bisa mengantar samapai Kampung Baru saja. Ditengah guyuran hujan rintik-rintik kami menyusuri jalan berbatu yang tidak begitu menanjak, sesekali kami juga berhenti untuk beristirahat makan biskuit dan menghisap beberapa batang cigarrete yang sangat nikmat. Sebenarnya jarak dari Kampung Baru ke Desa Gunung Pasang tidak terlalu jauh.

Setelah 1 jam jalan santai akhirnya kami sampai di pos pendakian pukul 16.15, disana kami beristirahat sejenak dan bertemu dengan beberapa rekan dari Mapala UMJ dan Gemapita. Pemilik rumah sekaligus pos pendakian ini adalah Pak War ( Abdul Bahed), beliau sebenarnya juga merupakan salah satu anggota Mahapena dengan status sebagai anggota kehormatan dengan alasan banyaknya jasa-jasa beliau selama Mahapena berdiri. Setelah beristirahat meregangkan otot sebentar kami mulai memasak untuk makan malam, karena rasa lepar kita sudah tidak dapat di tahan lagi. Menu pertama kita adalah nasi goreng dengan beberapa lauk ikan asin dan mie goreng. Setelah beberapa menit proses memasak, bau harum makanan mulai memikat hidung dan perut. Tanpa berlama-lama basa-basi, kami langsung mengeroyok makanan yang sudah siap saji. Tidak butuh waktu lama untuk menghabiskan makanan jika dengan kondisi perut yang kelaparan. Sekejap saja kondisi meja makan yang tadinya penuh dengan makanan kini tinggal piring-piring kosong yang sesegera mungkin minta untuk dibersihkan dan dibereskan. Setelah semua beres, kami berkumpul di ruang tamu untuk bincang-bincang rencana perjalanan esok hari yang dilanjutkan dengan ngobrol santai dengan beberapa tawa renyah sebagai guyonan. Yang paling sering menjadi bahan guyonan adalah Herling, karena diantara semua anggota tim dia yang paling muda dan sangat pendiam. Jadilah ia sasaran empuk untuk dibantai malam itu. Tak tersa malam semakin larut dan obrolan pun mulai ngelantur. Mata sudah tak kuat lagi untuk tetap terjaga, yang kuingat terakhir adalah panggilan berulang kali dari Fitri untuk menemani begadang. Namun apadaya jika mata ini tak lagi kuat untuk terjaga. Perlahan-lahan kesadaranku memudarkan dan hilanglah sudah...


H-2

Sabtu, 16 Februari 2008

Saya bangun baru pukul 5.30, kesiangan. Tapi anak-anak yang lain juga belum bangun, mungkin kita masih kecapekan atau keenakan tidur. Setelah membersihkan badan dengan air dingin yang segar, saya mulai mengambil perbekalan dan alat masak untuk memulai masak lebih dulu supaya kita tidak kesiangan. Baru setelah itu satu-persatu personil tersadar dari tidurnya, dan yang paling terakhir bangun adalah Fitri karena dia kemarin sepertinya tidur paling larut. Setelah selesai masaka dan mengisi perut untuk tenaga dalam melanjutkan perjalanan, kami langsung packing dan berpamitan kepada Pak War untuk melanjutkan perjalanan, yah perjalanan baru saja dimulai dan masih sangat panjang. Setelah beramah tamah kami memulai pendakian pada pukul 8.10, kami harus melewati perkebunan kopi sebagai permulaan yang jaraknya lumayan jauh. Sebagai awal ini merupakan perjalanan yang sangat melelahkan, sepanjang perjalanan yang terasa adalah pemandangan kebun kopi yang membosankan ditambah lagi dengan cuaca hari ini yang sangat panas. Selama perjalanan badan kami basah bersimpuh keringat yang mengucur dari seluruh bagian tubuh.

Pukul 11.30 akhirnya keadaan yang melelahkan tadi berakhir. Kami beristirahat untuk makan siang di sungai sebelum kami berpindah punggungan di Kerenceng. Disini kami tidak bisa berkomunikasi karena letaknya di lembahan yang dikelilingi dengan punggungan dengan tinggi kira-kira 30-50 meter, sebuah situasi yang sulit untuk berkomunikasi. Setelah memacking alat komunikasi kami mulai mengisi persediaan air, karena ini adalah mata air terakhir sebelum mata air Kukusan. Setelah melakukan orientasi kami mulai menikmati makan siang kami, biskuit dengan minuman suplemen yang segar sungguh nikmat rasanya disini. Kenikmatan ini mungkin tidak bisa kita nikmati waktu berada di rumah. Kemudian asap rokok mulai berterbangan, maklum kebanyakan dari kami bisa dikatakan perokok agak berat kecuali Herling yang memang tidak merokok. Sebenarnya kebiasaan ini tidak baik jika dilakukan pada aktivitas berat seperti mendaki gunung. Untung saja ketinggian kita masih tidak seberapa, sehingga masih banyak oksigen yang bisa kita hirup untuk mengatur pernafasan. Hampir 1 jam istirahat pun kita lewati dengan sangat nikmat.

Perjalanan berikutnya sangat telak, bertolak belakang dengan kondisi yang sudah kita lewati beberapa menit lalu. Perjalan setelah makan siang dilanjutkan dengan jalur yang lumayan menanjak dengan kemiringan sekitar 600, tapi memang jalur ini yang harus kita lewati untuk naik ke punggungan berikutnya. Setelah berada diatas punggungan, perjalanan kami mulai agak ringan. Jalur pendakian lumayan landai dan sesekali saja melewati tanjakan. Kami pun langsung bersemangat untuk melanjutkan perjalanan. Namun, setelah beberapa jam berjalan cuaca pun mulai kurang bersahabat. Dimulai dengan mendung yang agak tebal kemudian disusul dengan naiknya kabut pekat yang lumayan menghalangi pandangan sehingga kondisi ini menyulitkan kami untuk melakukan orientasi medan.

Akhirnya pada 15.10 diputuskan untuk karena cuaca semakin gelap dan diperkirakan di depan sulit untuk mencari tempat camp yang nyaman. Kami mulai membongkar isi dari karier untuk mengeluarkan semua peralatan dan perlengkapan. Sumanto, Herling, dan Fitri berusaha untuk secepatnya mendirikan bivak, dan aku sendiri menyibukkan diri bergelut dengan peralatan masak untuk memasak air hangat sebagai obat di cuaca yang sudah mulai dingin ini. Sebelum semuanya beres, hujan mulai turun. Padahal bivak tempat berlindung kami belum berdiri, jadinya ya cuaca semakin dingin ditambah lagi dengan pakaian yang lumayan basah. Setelah menunggu beberapa jam akhirnya masakan pun siap pada pukul 17.00, nasi hangat dengan lauk tempe, ikan asin, dan telur asin yang dilengkapi dengan krupuk sungguh sangat nikmat rasanya. Setelah makan masih ada minuman kopi panas dan teh hangat untuk melawan hawa yang mulai dingin. Sambil santai melepas lelah kami mulai berencana mengenai perjalanan besok hingga akhirnya obrolan kita ditutup dengan perasaan capek yang membuat tubuh ingin tidur. Pukul 21.00 tak terasa suasana menjadi sunyi, semua sudah mulai tidur, akhirnya saya pun mengikuti mereka untuk menuju negeri mimpi yang indah...


H3

Minggu, 17 Februari 2008

Aktivitas pagi ini dimulai pukul 5.00 setelah beberapa dari kami sudah bangun termasuk aku. Seperti biasa, Fitri memang selalu bangun paling siang setelah semua masakan siap. Aku dan Herling langsung mengambil alat masak untuk mulai sarapan, Sumanto sibuk bergelut dengan api unggun dan Fitri masih mendengkur dibelakangku yang sedang memasak. Setelah sarapan selesai dan packing semua perlengkapan kami melanjutkan pergerakan pukul 9.10 setelah sebelumnya berfoto-foto terlebih dahulu. Medan yang kita lewati hari ini tidak terlalu menanjak dengan vegetasi yang mulai rapat. Suara-suara alam jalur selatan Argopuro yang khas mengiringi perjalanan kami. Namun perjalanan ini juga lumayan melelahkan, istirahat siang pun segera kita nikmati untuk sejenak melepas lelah. Roti tawar dan susu coklat lumayan untuk menambah energi sebelum melanjutkan perjalanan yang masih panjang. Hari ini kami mulai bisa berkomunikasi dengan base camp, keadaan ini lumayan memberikan angin segar karena perjalanan kami bisa terpantau dari bawah.

Perjalanan berikutnya ternyata lebih berat daripada sebelum makan siang kami, jalur terus dan semakin menanjak yang membuat pergerakan kami sedikit melambat. Beruntung vegetasi sudah mulai rapat dengan pohon-pohon besar yang melindungi kami dari terik matahari sehingga perjalanan pun tidak terlalu panas. Kemudian perjalanan terasa semakin berat setelah kami melewati vegetasi semak-semak setinggi + 2 meter yang memaksa kita menggunakan karier untuk membukanya. Setelah melewati semak-semak yang cukup menyusahkan dan menemukan tepat yang nyaman kami memutuskan membuka camp pada pukul 15.30. Masing-masing personel langsung melakukan tugasnya masing-masing seperti biasanya.

Setelah beberapa menit sibuk dengan kegiatan masing-masing akhirnya semua kelengkapan camp pun selesai. Bivak berdiri lumayan kokoh untuk menahan hembusan angin malam yang dingin, tanah tempat kami berpijak pun lumayan datar daripada kemarin sehingga menambah kenyamanan kami khususnya untuk tidur. Semua perlengkapan sudah ditata, peralatan masak dan bahan makanan disendirikan di tepi kiri bivak yang kita jadikan sebagai dapur sementara, barang-barang lainnya kita rapikan di sisi kanan bivak, sedangkan barang-barang penting dan alat elektronik dan komunikasi kita taruh paling dekat yaitu di dekat kepala sehingga mudah untuk diraih jika keadaan darurat di gelapnya malam. Piring-piring yang tadinya kosong kini sudah terisi penuh dengan nasi yang masih mengepulkan uap panasnya apalagi dilengkapi dengan beberapa lauk yang masih renyah, sungguh sangat nikmat makan malam di gunung. Tak lama berselang pemandangan indah tadi pun segera sirna karena perut yang keroncongan, piring-piring kembali kosong seperti semula kecuali gelas-gelas yang masih terisi dengan kopi panas dan teh susu hangat meskipun hanya tinggal setengahnya. Lumayan juga untuk menemani santai malam ini sambil menghisap rokok, briefing untuk besok dan ngobrol santai sudah menjadi kegiatan rutin kita tiap malam. Di malam ketiga ini kami mulai merasa bosan, karena tidak ada hiburan radio atau tape yang melantunkan lagu-lagu, membuat kami saling bersautan bersenandung sendiri dengan lagu favorit masing-masing. Hingga akhirnya semua suara itu lenyap dengan sendirinya ketika jam menunjukkan pukul 21.00 dan hanya meninggalkan suara-suara alam dan hembusan angin gunung...


H4

Senin, 18 Februari 2008

Hari ini semua personel baru bangun puku 5.30, itupun kami tidak bangun dengan sendirinya, karena tempat camp yang sangat nyaman membuat kami betah berlama-lama terlelap dalam mimpi, sumanto lah yang memaksa kami membuka mata untuk segera memulai aktivitas. Setelah terbangun aku langsung menggapai pralatan masak dan melakukan kegiatan pagi seperti biasanya, tak berapa lama kemudian Herling menyusul dengan mulai menyiapkan piring-piring dan merajang bumbu-bumbu nasi goreng dan menyiapkan beberapa butir telur untuk telor ceplok. Tak jauh dari camp, Sumanto sibuk menghidupkan api unggun untuk membakar beberapa sampah plastik. Semua masakan siap dalam hitungan tak sampai satu jam kemudian, sebelum makan Herling masih harus membangunkan Fitri terlebih dahulu, dia memang selalu bangun paling akhir. Ketika semua masakan siap dan teh susu hangat mulai menebar aroma harumnya barulah dia bisa bangun pagi. Pukul 7 lewat 5 menit baru kami memulai untuk sarapan pagi, dan selesai makan baru setengah jam berikutnya. Memang ketika sarapan adalah waktu makan paling lama kami dibandingkan dengan ketika makan malam atau makan siang. Ya mungkin ini efek dari perjalanan yang kita lakukan. Tidak perlu saya jelaskan secara teori dengan mendetail, bisa sangat panjang.

Setelah packing dan mengabadikan beberapa moment, kami memulai melangkahkan kaki ketika jam tangn menunjukkan waktu 9.10 WIB. Cuaca lumayan cerah sehingga membuat kami lebih bersemangat untuk memulai dan meneruskan perjalanan. Sudah empat hari ini kami terus berjalan dan menambah ketinggian, kami mulai meninggalkan vegetasi rapat yang cukup rindang. Beberapa pohon cemara mulai kita jumpai, ini menandakan bahwa kami hampir sampai di Cemorokandang. Perdu dan semak-semak yang biasanya setia bersanding disekitar pepohonan cemara semakin meyakinkan kami. Punggungan jalur yang tadinya lebar kini mulai menyempit dan semakin tipis. Hampir tengah hari, 11.38 WIB. Kabut yang dari tadi sudah mulai turun kini semakin pekat. Jarak pandang kami sangat pendek sekali mungkin hanya sekitar 2m. Medan yang akan kita hadapi adalah turunan yang sangat curam dengan jurang yang curam di samping kanan dan kiri. Terlalu beresiko untuk melanjutkan perjalanan dengan kondisi seperti ini, jika sedikit salah navigasi kita bisa keluar jalur dan masuk ke jurang. Setelah memepertimbangkan kondisi cuaca, akhirnya kami memutuskan untuk menunggu hingga kabut turun.

Setelah menunggu 2 jam, pukul 14.10 cuaca mulai cerah dengan jarak pandang yang mulai lebar. Kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan, berikutnya adalah jalur turunan tajam yang kemudian disambung dengan punggungan tips. Tidak seberapa lama menembus semak-semak dan pohom cemara, akhirnya sampai juga di puncak Cemoro Kandang (xxx mdpl) tepat pukul 14.26 WIB. Karena cuaca kurang mendukung dengan hujan yang kunjung henti dan kabut yang sedikit-sedikit masih ada membuat kami tak bisa berlama-lama menikmati situasi di puncak.

Kami langsung melanjutkan perjalanan, jalur yang kami lewati hampir sama dengan jalur sebelum masuk puncak Cemoro Kandang. Jalur ini sering disebut sebagai “Jembatan Sirotul Mustaqim” oleh teman-teman. Saya baru tahu mengapa mereka menyebut dengan kata-kata seperti itu, pernyataan mereka bukanlah tanpa alasan. Sebuah punggungan tipis dengan jalur yang berkelok-kelok indah menuju ke puncak G. Cemorokandang. Jalur ini hanya memiliki lebar dua telapak kaki saja, dengan konstruksi batu-batuan dan tanah yang agak keras dan mudah longsor. Sebelah kanan dan kiri adalah sebuah jurang dengan kedalaman lebih dari 1 km, dengan badan jurang yang penuh tertutup bunga edelweys dan ilalang yang membentang hijau. Di kejauhan terlihat jelas bentangan punggungan hijau pegunungan Hyang yang seperti menuju kesegala arah, semua keindahan itu bisa terlihat karena cuaca sangat cerah dan kabut belum mulai turun. Ketika melewatinya dan berada ditengah-tengah jalur itu membuat kita merasakan sebuah pengalaman yang sangat menegangkan dan menyenangkan, sungguh sulit untuk dilupakan.

Ditengah kondisi tim yang semakin merasa kelelahan dan hujan yang semakin deras, akhirnya tim memutuskan untuk mendirikan camp di puncak 2122 mdpl, waktu itu jam menunjukkan pukul 17.00 WIB. Ditengah guyuran hujan dan hempasan angin badai kami bahu-membahu mendirikan camp, hasilnya rumah yang kita dirikan pun tidak berdiri sempurna karena baik lokasi, kondisi tim, dan cuaca sangat tidak mendukung. Yang ada di setiap benak masing-masing personil hanyalah cepat membangun tempat berteduh, ganti pakaian hangat, dan membuat minuman hangat. Namun, kondisi cuaca yang buruk ini tidak semuanya merugikan, karena hujan yang cukup deras membuat tampungan air yang sudah disiapkan penuh terisi air. Hal ini sangat menguntungkan kami, karena rencana semula yang tidak ada makan malam karena kondisi logistik air yang menipis urung terjadi. Malam ini kami tetap bisa makan besar dan membuat minuman hangat. Situasi baik ini berlanjut ketika dalam keadaan cuaca badai tim berhasil berkomunikasi dengan base camp, sehingga suasana tak lagi sepi seperti malam sebelumnya.

Tapi, yang namanya hujan badai tetaplah menjadi suatu halangan bagi kebanyakan para pendaki. Memang malam ini kita berhasil makan besar, tapi semua itu harus dibalas dengan tidur kami yang sangat tidak nyenyak. Hujan badai semalam suntuk telah merusak bivak kami, air hujan yang terasa sangat dingin pun masuk kedalam mimpi kami. Bagaimanapun, besok perjalanan harus dilanjutkan. Butuh istirahat untuk mengembalikan kondisi tubuh, dengan kondisi yang kurang nyaman kami pun memaksa mata ini untuk bisa terpejam.


H - 5

Selasa, 19 – 2 – 2008

Pukul 06.00 WIB, matahari yang seharusnya sudah bersinar terang hari ini tidak begitu. Hujan, angin, dan kabut ternyata belum hilang dari kemarin sore. Kondisi ini membuat kami bangun agak kesiangan. Aku bangun duluan, bukannya apa, air rembesan hujan yang langsung menetesi muka membuat aku tidak bisa tidur nyenyak. Kemudian aku mulai membangunkan teman-teman yang lain, tapi kali ini memang rasanya suasana tidak tepat untuk keluar tenda. Kami memang merasa agak malas untuk beranjak, tapi sekali lagi bahwa perjalanan harus terus dilanjutkan. Sambil menunggu anak-anak, aku mengambil air tampungan sejak semalam, hasilnya cukup melimpah.

Tak seberapa lama minuman hangat (kopi, teh, dan susu) sudah siap, kontan baunya yang menggoda membuat anak-anak tergerak untuk segera beranjak dari tidur. Lumayan banyak yang bantu masak, bisa segera makan, pikrku. Cuaca yang dingin memang telah membuat badan ini susah untuk digerakkan, pukul 08.00 WIB kami baru bisa menikmati mie goreng sosis sebagai menu sarapan pagi ini. Angin dan gerimis yang masih turun membuat waktu sarapan kai sangat panjang, bahkan terlalu panjang. Sebenarnya kami malas untuk segera beranjak dan melanjutkan perjalanan, namun suasana ini membuat kami agak malas untuk segera mengemasi barang-barang. Kami memutuskan untuk menunggu dulu bagaimana perkembangan cuacanya.

Karena waktu menunjukkan sudah hampir pukul 9 pagi, kami memutuskan utntuk tetap menerobos gerimis dan angin yang masih cukup kencang. Dengan sangat terpaksa, pelan-pelan kami mulai packing di tengah gerimis air dan gemuruhnya angin. Dingin sekali, tapi lama-kelamaan rasa dingin itu hilang dengan sendirinya karena tubuh yang sudah mulai beraktivitas. Secara ilmiah, karena kita beraktivitas detak jantung akan bertambah cepat, sehingga pompa darah pun semakin cepat pula. Aliran darah semakin deras, hal inilah yang membuat suhu tubuh semakin panas. Dan, tentu saja bisa menetralisir rasa dingin yang menyerang sejak kemarin.

09.30 WIB tim baru bisa melanjutkan perjalanan, target kami selanjutnya adalah mata air kukusan. Karena memang sejak kemarin kami sebenarnya sudah kehabisan air, kalaupun ada hanya air tampungan hujan yang sebenarnya kurang baik untuk konsumsi. Perjalanan kali ini melewati vegetasi yang cukup bahkan terkadang sangat rapat, memang semuanya tumbuhan hijau. Jalur lama sudah banyak yang tertutup, sehingga sesekali kami harus berhenti untuk melakukan navigasi dan melirik peta. Banyaknya pohon tumbang menambah hambatan kelancaran pergerakan kami, namu dengan ketelatenan dan kegigihan teman-teman akhirnya kami bisa makan siang di mata air kukusan. Senang sekali bisa kembali minum air segar, setelah seharian minum air tampungan hujan. Kali ini memang kami sudah mencapai target, namun perjalanan selanjutnya kelihatannya cukup sulit.

Pukul 11.55 kami sudah harus mengakhiri makan siang dan melanjutkan perjalanan. Memang istirahat kali ini cukup singkat, mrutu yang sangat mengganggu membuat suasana makan siang kurang nyaman dan memaksa kami untuk segera meninggalkan mata air. Prediksi perjalanan berikutnya yang lumayan sulit ternyata tidak semuanya salah. Vegetasi semak-semak dan perdu cukup mempersulit pergerakan dan membuat kami bingung. Setelah memelipiri puncak Kukusan dan melewati puncak 2254, pergerakan kami semakin melambat. Karena beberapa kali terpaksa harus berhenti untuk melakukan navigasi dan kembali membuka jalur karena sebagaian jalur sudah tertutup kembali. Beruntung bekas-bekas kebakaran hutan lumayan mempermudah pergerakan kami, sehingga tak perlu lagi untuk membuka jalur. Namun, bagaimanapun manusia ini sungguh sangat kecil sekali. Perasaan itu terasa ketika meskipun sudah dengan bersusah payah kami berusaha, namun tetap saja alam memang diciptakan tidak untuk ditaklukkan. Tapi sebagai teman belajar kita, dengan kita selalu harus menghargainya.

Hari ini kami tak mampu melewati perdu-perdu itu, dan cuaca kembali datang dengan mendungnya. Langit mulai gelap dan titik-titik air mulai turun, jam menunjukkan pukul 16.45. Kami memutuskan untuk camp di tengah-tengah perdu dan hutan pinus yang bekas terbakar, sehingga mudah untuk mencari tempat lapang untuk mendirikan tenda. Setelah melakukan kegiatan rutin mendirikan tenda sekaligus masak-masaknya, akhirnya makan malam bisa dimulai pukul 18.40 WIB dengan menu makanan mie kuah, nasi, sarden, dan ikan asin. Tak lama kemudian kami pun mulai mempersiapkan untuk tidur, memang belum terlalu malam. Tapi pergerakan selama 4 hari ini cukup membuat kami kelelahan, sehingga perlu sedikit tambahan waktu tidur dan istirahat untuk mengembalikan kebugaran tubuh. Pukul 8 malam lebih, tanda-tanda kehidupan yang berasal dari dalam tenda kami pun sudah tidak kelihatan dan terdengar lagi. Satu persatu manusianya telah menutupkan mata dan membiarkan otot-otot dan jantungnya rileks untuk beberapa waktu.


H - 6

Rabu , 20 – 2 – 2008

Pukul 05.00 WIB tim sudah bangun, istirahat semalam yang lebih awal membuat kami merasa segar dan capat bangun pagi. Masak langsung dilakukan untuk segera sarapan pagi. Sambil makan, kami sedikit berbincang mengenai rencana pergerakan selanjutnya. Apakah terus melanjutkan perjalanan ke Cikasur atau kembali untuk mencari target yaitu daerah kawah. Memang lokasi kawah telah terlewati karena pergerakan kemarin cukup terkendala oleh kabut yang lagi-lagi turun. Setelah melakukan meeting darurat, akhirnya tim memutuskan untuk melnjutkan pergerakan ke Cikasur karena pertimbangan logistik yang mulai menips juga pertimbangan waktu yang mendesak kami harus segera turun dan kembali ke base camp.

Hari ini kami memulai pergerakan pukul 09.00 WIB dengan masih harus melewati vegetasi semak perdu dan hutan pinus, sesekali ada juga hutan Edelweis dan padang rumput. Hal ini menjadi petunjuk bagi kami bahwa Cikasur semakin dekat, tapi hari ini kami sungguh kesulitan untuk menembus menuju Cikasur. Semakin dekat dengan padang rumput Cikasur, perdu-perdu semakin rapat ditambah lagi dengan ladang Jingkat yang cukup menyulitkan. Setelah melakukan navigasi dan beberapa kali merubah sudut pergerakan, akhirnya kami sampai juga di padang rumput yang sangat luas. Kami yakin ini sudah mulai masuk di Cikasur, namun kami masih harus melakukan navigasi lagi untuk mencari jala masuk ke jalur umum. Karena jika sedikit saja salah arah, bisa-bisa kami kembali masuk ke hutan perdu lagi.

Wellcome to Cikasur, wajah-wajah riang dan surprise terlihat dari setiap wajah personel setelah dari kejauhan muai terlihat shelter Cikasur, barulah kami yakin bahwa kita sudah sampai di Cikasur. Akhirnya kami bisa juga makan siang di Cikasur. Di tepi Sungai Kalbu yang mengalir dengan airnya yang sangat jernih, kami menikmati beberapa potong roti dengan minuman suplemen yang diramu dengan segarnya air sungai kalbu. Huh......, sungguh sangat nikmat sekali, rasanya kami tak ingin segera beranjak dari tempat ini.

Pukul 12.30 WIB, setelah menikmati menu makan siang dan sedikit mencuci muka untuk menyegarkan badan, kami melanjutkan turun dengan target selanjutnya adalah Desa Baderan, pos pendakian dari Kabupaten Situbondo. Perjalanan selanjutnya adalah jalur umum yang berjarak kurang lebih 12 karvak atau sekitar 10 km lebih. Biasanya jalur ini bisa ditempuh dalam waktu normal kurang lebih 7- 8 jam jika pergerakan turun. Meskipun sudah melewati jalur umum dengan jalur yang terbuka lebar, bukan berarti perjalanan turun ini tanpa halangan. Hujan badai yang sejak awal terjadi masih terus mengikuti kita, bedanya disini angin terasa sangat kencang sekali meskipun hujan tidak turun deras. Keadaan ini membuat kami enggan untuk berhenti beristirahat, karena jika berhenti kondisi pun tidak nyaman ditengah-tengah hujan dan badai. Ditengah-tengah perjalanan turun kami sempt bertemu dengan 2 orang rekan dari SikoPala UNS yang hendak naik ke Puncak Argopuro. Kami sempat berhenti sejenak disini untuk saling bertukar informasi, karena situasi saat ini memang kurang mendukung untuk dilakukan pendakian seiring hujan badai masih tinggi intensitasnya. Setelah cukup bercengkerama kami kembali melanjutkan pergerakan masing-masing. Tim kami melanjutkan pergerakan ke Desa Baderan dan rekan dari SikoPala tetap melanjutkan pergerakan untuk menuju Cikasur.

Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 7 jam, kami sampai di pos pendakian Baderan. Hari ini kami kurang beruntung, kebetulan ketika sampai di pos pendakian ternyata kantor dari BKSDA tutup, entah kemana semua penghuninya. Terpaksa malam ini kami harus tidur di depan pos, padahal kami sudah membayangkan kalau untuk malam ini bisa tidur di dalam pos dengan hangat. Tapi tidak masalah, toh dari kemarin kita tidur di luar. Malah sering ditemani oleh hujan dan angin.


H – 7

Kamis, 21 – 2 – 2008

Hari ini adalah perjalanan pulang, tidak ada lagi pergerakan dengan long march, semuanya bisa ditempuh dengan kendaraan umum. 07.30 WIB, angkutan desa yang kita naiki mulai meninggalkan Desa Baderan untuk menuju terminal Besuki. Sesampainya di terminal Besuki, sambil menunggu kendaraan berangkat kami makan dulu di sebuah warung di terminal. Maklum tadi pagi kami belum sempat sarapan karena harus mengejar angkutan desa yang terbilang sangat jarang. Setelah makan kami langsung naik ke angkutan kota yang kebetulan sudah akan berangkat menuju terminal Bondowoso sebelum melanjutkan perjalanan ke Jember. Dari sini kami naik bus antar kota untuk menuju Jember dengan berhenti di terminal Arjasa, pintu masuk Kota Jember dari arah Bondowoso.

Pukul 11.30 WIB kami tiba di terminal Arjasa, kemudian kami langsung naik angkot lagi untuk menuju kampus dan kembali ke base camp. Wellcome home, tim kembali ke sekretariat Mahapena Jl. Jawa 17 dengan selamat tepat pukul 12.10 WIB.


Ditulis oleh: Arinata ”nata dCoco” kusuma

Jember, ? -Maret-2008


Jika Malam itu telah Sepi dan Tetaplah Gelisah!

Awan putih bergantung pada langit dengan kelip bintang menyala. Kuning langsat bulan menyinar. Purnama. Berhias bulan, menyala terang dari balik bayang-bayang pepohonan. Sesekali terlihat kelebatan bayangan burung hantu. Hinggap di ranting mengeluarkan suara yang membuat bulu kuduk merinding, tapi tidak menakutkan. Malam yang benderang, di sebuah kedai kopi dengan suasana remang dan berbayang. Aku duduk di sudut meja yang tak tertata rapi. Tak seperti biasa masih sepi dan kuhanya sendiri. Memang sengaja tak mengajak teman untuk sejenak melepas letih aktivitas siang hari.

Di kedai kopi, aku lagi (Ingin) sendiri. Menyeruput kopi, di sela jari tanganku terselip sebatang rokok yang menyala. Entah apa yang harus aku lakukan, bingung sendiri! Untuk menghibur diri, selalu kumainkan rokok dengan memutar-mutarkan di tengah jari tengah dan kelingking. Kuhisap-hembuskan dan lagi menyeruput kopi. Terus berulang-ulang.

Larut malam telah menjelang, suasana kian bertambah ramai. Kupandangi meja di sebelahku, kerap kali berganti pengunjung. Di sekelilingku terlihat geliat wajah-wajah penyuka kopi dengan raut muka yang berbeda. Kerumunan manusia berpakaian rapi dengan duduk melingkar dan bermimik serius dengan diskusinya. Segerombol perempuan tertawa dengan kelakarnya, ada juga seorang muda-mudi dengan tampang lusuh (sok kumel) bernyanyi riang dengan gitar bututnya. Di raut wajah Sepintas terlihat tak ada beban. Masing-masing terlalu asyik dengan dunianya! Sedang aku yang masih merasa sendiri, terus memutar-mutar batang rokok dengan jemari lantas menghisapnya. Asbak yang selalu kubawa, dalam sekejap telah sesak berjejal puntung dan abu rokok.

Dari balik pintu masuk, seorang teman menyapaku “Boy berangkat kita!”. Suara itu tak asing lagi bagiku. Dengan nada melengking, selaksa ajakan untuk menantang berkelahi. Pastilah, pemuda tambun itu pikirku. Seorang teman yang belum sempat terlupa, karena ke-tambun-annya. Ia adalah kawan yang takut dengan sindrom mati muda (terlalu nge-Pop) yang sering kali mengajakku berdiskusi tentang apapun itu. Mulai dari diskusi tentang politik hingga cinta, tentang kematian juga masalah cinta, masalah agama dan lagi pada masalah cinta, dan pada akhir perhelatan ide pun berujung pada masalah cinta. “Nggrantes”, predikat yang dinobatkan oleh teman-temannya.

Kata “berangkat” adalah ungkapan pertanda untuk memulai berpindah tempat nongkrong dan berganti menu minuman. Sebuah tempat ku terbiasa menikmati senja, aku menamakannya begitu. Sebuah tempat yang dikelilingi gedung bertingkat dan hamparan tanah lapang membentang. Jika sore tiba, sering kali kududuk ditangga sembari menikmati tenggelamnya matahari. Terkadang dengan teman, bahkan sendiri ditemani dengan berbotol-botol minuman beraroma alkohol. Tempat yang indah, menurutku. Mungkin aku telah terbiasa. Aku selalu beranjang sana di tempat itu dan memandang warna awan Jingga, biru dan gulita.

“Sebentarlah boy, aku masih terlalu asyik disini!” kataku. Sebelum selesai mengakhiri kalimat ia menampiknya “Aku ingin mengimajinasikan perempuan bersamamu” Dia berkelakar, entah apa maksud leluconnya. Mungkin ia terpengaruh dengan salah satu teman akrabnya yang berjenggot tebal, yang juga temanku. “Buatlah aku merasa jenuh disini, setelah itu mari kita berangkat” aku menimpali maksud lelucon yang tak kupahami itu. Nampaknya ia merasa tersinggung dengan kata yang terlontar dari mulutku. Saling diam sembari menyulut rokok, itupun rokok yang tanpa permisi dahulu dipungutnya. Tanpa dosa dan mengawang entah apa yang dikhayalkannya. Suatu waktu aku pernah menanyakan akan tabiat buruknya. Maka ia dengan polosnya akan menjawab “Komunal Ple!”, jika tidak “Atas nama Kolektivitas” lah dasar hukum pembenaran atas perbuatannya. Sepicik itukah mengartikan kata ke-komunal-an? Alasan yang begitu sederhana, gumamku. Ah biarlah, sudah terbiasa! Akupun memaklumi!

Seperti yang telah kuduga sebelumnya. Dia akan memulainya dengan obrolan seputar kampus. Tentang carut-marut kehidupan kampus yang tak terekspose oleh akademia. Mulailah pembicaraan itu mengalir hingga gonjang-ganjing tentang perpolitikan kampus. Tentang pergerakan kiri ke kanan, hingga keapatisan mahasiswa ia ceritakan. Dalam hati aku merasa hanya pengulangan kata-kata saja yang kerap terdengar, terlalu bertele-tele. Aku hanya mendengarkan dengan setia. Tanpa kata ataupun komentar yang terlontar dari mulutku. Aku hanya pura-pura mendengarkan sambil teranggut-anggut seolah serius dengan obrolan ini. Hanya obrolan biasa menurutku. Tak juga lelah membahas hal yang itu-itu saja. Tidak menarik!

Obrolan yang pasif, hanya satu arah -aku merasa tak memulainya- itu mengalir begitu saja. Hanya keluhan yang terdengar keluar masuk di telingaku. Rasa jenuh baru saja hinggap! Berkat perantara temanlah yang membuatku merasa tak betah lagi berdiam diri di satu tempat. Celotehannyalah membuat rasa jenuh itu datang. Mengingat telah menginjak dini hari, apalagi warung kopi sebentar lagi mulai tutup. “Mari kawan, kita berangkat” aku mulai mengajaknya. Spontan ia menjawab “OK”. Tanpa basa-basi, kami segera beranjak dan berpindah tempat untuk sekedar melanjutkan obrolan yang belum selesai ditutup dengan kata sepakat itu.

Ditempat terbiasa ku menikmati senjalah, kembali kami melanjutkan perbincangan (omong kosong) yang belum terselesaikan oleh temanku. Beralih tempat dan berganti menu minum -dari gelas berganti botol-. Semula rasa pekat kopi yang terasa, dilain tempat kini menenggak minuman dingin beraroma alkohol, tentunya memabukkan. Entah apalagi cerita darinya yang ingin diwartakan. Pun aku hanya bisa mendengar. Tidak solutif..

Kupejamkan mata diantara gelapnya malam disertai hiasan cahaya bintang dan suara desis angin. Kantuk mulai menyergap. Mendongak keatas langit-langit, memandang kerlip bintang yang redup. Samar dan sedikit terang. Mengawang, berfantasi dengan kegelisahan dari hiruk pikuknya kehidupan yang tak kunjung aku mengerti. Kembali menggambar tentang proyeksi masa depan, yang entah hingga saat inipun belum terlihat dengan jelas akan dan kapan terrealisasi? Masih dalam imajinasi! Mungkin belum ada waktu untuk mewujudkannya, atau jangan-jangan aku tak sanggup untuk melakukannya. Namun kali ini aku tak mempersalahkan garis yang telah ditentukan Tuhan. Percuma!

Malam telah menggantungku pada suatu persimpangan. Terlalu lama menggantungku dengan kebisingan duniawi yang harus dilakoni. Keterpaksaanlah aku memilih satu diantara sekian banyak pilihan. Lagi pada soal keberpihakan! Apakah aku memilih untuk tidak memilih dari pilihan-pilihan itu atau malah sebaliknya? Gelisahkah aku? Biarlah, setidaknya otakku masih (mampu) sempat untuk memikirkan hal itu. Dari pada Tidak? Biarkan otakku terus berkonflik, bergelut antara realita dan imajinasi. Hingga ku tersadar? Mungkin! Aku percaya pasti pergolakan itu akan cepat teratasi. Kapan itu? Suatu saat! Yakin. Semoga bukan kematian. Ternyata aku masih terlalu asyik bergumul dengan imajinasi yang aku ciptakan.

Tak kuhiraukan ia bercerita. Lagi, dalam kepuraan aku seolah mendengarkan ia bercerita. Terasa sangat sulit untuk menangkap perkata dan kemudian menelaahnya. Mungkin masing-masing dari kita telah mabuk, sehingga beban yang tertumpuk dalam otak menguap dengan sendirinya. Dia mengigau, berceloteh dengan kata-kata yang tersengal, tidak jelas. Tak terkecuali aku; meracau! Kubiarkan ia melakukan apa yang ia ingin lakukan. Luapkanlah, bercelotehlah, tertawalah atau marah! Tampak begitu menikmati. Semoga! Sebab aku tak mau mengganggunya. Bukan bermaksud aku enggan untuk membahas obrolan yang tidak menarik ini, sama sekali tidak. Dalam benakku mengalami hal yang serupa. Pejamkan mata! Biarkan kegelisahan itu bergejolak. Kita masih belum bisa bermimpi, Tidurlah dan kemudian bermimpi! Mari belajar (lagi) memaknai hidup, ketahuilah Tuhan tidak lagi bersama orang-orang teraniaya.

Yogyakarta (?), Oktober 2008

Realita Cinta & Anarki


Pagi yang tak terlalu menyenangkan. Hanya 3 jam aku terlelap dalam tidur, tanpa mimpi. Insomnia yang membuatku demikian. Suatu sebab aku terbangun dari tidur. Ternyata semalam aku telah menyetel alarm jam tepat pada pukul 09.00 pagi. Aku terlupa bahwa hari ini adalah hari Jumat, bagiku hari jumat adalah hari yang membosankan. Banyak orang bilang (mitos?) jumat adalah hari pendek, benarkah? Sepertinya akupun mengamini, hanya sugesti. Ku buka mata, ups kembali pejamkan mata sesaat sambil meraba-raba letak telepon genggam yang biasa aku taruh. Matahari menembus kamar lewat di cela-cela jendela kamar yang sedikit agak bolong. Cukup menyilaukan mata. Jarum jam terus berputar. Terasa sangat cepat berdetak. Ku buka jendela kamar. Matahari tepat menerpa wajah. Panas menyengat hingga terasa di ubun-ubun. Pening! Dan Kantuk yang masih menyergap begitu enggan untuk memulai aktivitas, apalagi panas yang menyengat.

Sengaja kembali, aku hidupkan telepon genggam. Yang memang sedari awal, jika malam kerap aku matikan. Pesan singkat kudapat dari seorang teman, sebuah pesan syarat makna dan penuh pengharapan, ku pikir seperti itu. Maklum ia sampai saat ini (sering) berkeluh kesah tentang perempuan. Suatu keniscayaan baginya jika memang ia berniat akan hal itu. Tapi kali ini aku hanya tersenyum dan tergelitik, bukan seperti biasanya ia berperilaku demikian. Curhat!

Mungkin ilmu tentang merangkai kata-kata tak lagi mempan terhadap perempuan yang didekatinya. Bisa jadi, trik merayunya yang ketinggalan jaman. Image “pendekar pemetik bunga” yang disandang padanya kini telah pudar. Menghilang tergilas atas kesombongannya sendiri.

Bagaimana rencana?

Sebuah usaha menggambar imaji Perempuan?

Begitulah tulisan pesan singkat itu. Senyum simpul yang terulas di pagi hari. Teringat beberapa hari lalu pernah berjanji bertemu dengan temanku. Adalah hal yang paling konyol pertama kali aku lakukan. Tentang janji untuk mengenalkan seorang perempuan padanya. Sebuah janji yang tak biasa aku lakukan pada seorang teman dan baru kali pertama melakukannya. Maklum bukan mak Comblang! Memang sebelumnya ia pernah melihat perempuan yang dimaksudkan, kebetulan sekilas aku sudah mengenalnya. Konon ia belum sempat berjabat tangan sambil berucap nama. Katanya, lagi hanya sebatas lirikan mata sembari melempar seutas senyum untuknya. Ehm salah satu metode klasik untuk menarik perhatian perempuan. Jadul banget bo!!

Seperti apakah perempuan yang di-imajinasi-kannya? Aku mencoba menggambarkan dan mereka-reka tipikal perempuan yang selama ini dia idamkan. Semestinya semua laki-laki pasti setuju dengan tipikal perempuan yang aku gambarkan. Perempuan yang tinggi, cantik, anggun, putih mulus juga sexy. Dengan karakter yang bijak, santun, setia dan berbakti. Tampak sempurna bukan? Niat baiklah yang memaksaku untuk mencoba menggambarkan perempuan ideal yang sesuai dengan watak temanku yang sok Jual Mahal! Hal ini dibuktikan dengan banyak perempuan yang mencoba mendekati dirinya kandas ditengah jalan, atau paling tidak banting setir (mengurungkan niatnya).

Alhasil! Bukan seperti apa yang aku reka dalam khayalan. Perempuan yang selama ini ia idamkan biasa-biasa saja. Tidak cantik juga tidak jelek. Tidak tinggi juga tidak terlalu pendek. Untuk watak dan karakter aku belum mengetahuinya. Tidak sesempurna yang aku bayangkan. Apa yang ia tertarik darinya? Apa ia sudah jenuh dengan kesendiriannya? Apa yang membuatnya ia jatuh hati pada perempuan itu! Apakah sebab ia masih muda? Atau jangan-jangan perempuan itu masih lugu dan polos?! Hingga ia dapat dengan mudah untuk memperdayanya. Oh jangan! Semoga saja ia meninggalkan kebiasaan buruknya terhadap wanita. Ah lupakanlah tentang perempuan itu. Kembali lagi pada laki-laki aneh itu (baca; temanku). Semoga saja perempuan itu apa yang diidealkannya.

Sejenak aku mengingat-ingat akan kebiasaannya. Dari sekian banyak penuturan teman-temannya pun mengakui! Jika ia memicingkan mata dengan seutas senyum maka pertanda ia sedang melirik perempuan. Tak kusadari juga, Sesekali ia tanpa sadar mengigau tentang keanggunan perempuan yang dilihatnya. “Sexy” ujarnya. Aku kerap melihat dan terus mengamati tindak-tanduk seperti itu. Pernah pada suatu hari aku bertanya kebiasaannya itu. Ia hanya mengelak dan takkan pernah mengakuinya. Usaha paling jitu untuk mengelabui, ia mesti akan berkata; Fitnah!. Aku hanya terdiam, tersenyum kecut tak percaya. Pernah pula aku meledek dirinya. Daripada aku memfitnah dirimu, lebih baik aku membunuhmu! Bukankah fitnah lebih kejam dari membunuh? Ia menggerutu: dunia terlalu kejam bagi orang sepolos diriku! ehm alibi tak terbantahkan. Semoga Tuhan (andaikan kau masih percaya) tidak mentakdirkanmu demikian.