Minggu, 22 Agustus 2010

Menyilang Tanggal

              Tak terasa kita terpisah oleh waktu dan jarak yang cukup jauh. Kalender yang kusilang disetiap tanggal hampir genap dua bulan dan terpenuhi oleh coretan tangan. Adakalanya benar apa yangdikatakan orang-orang, bahwa menunggu adalah suatu pekerjaan yang menjemukan.Tapi tidak bagiku menantimu sama halnya menunggu datangnya kebahagiaan. Dan bumi masih ajek berotasi. Kini yang kurasa, begitu cepat berlalu melewatkan hari-hari tanpamu.
            Risau yang semula kerap menghantui. Kini hilang seiring kau berkali-kali meyakinkanku untuk tidak lagi berprasangka buruk tentangmu. Aku telah membuktikannya. Waktu pun tidak lagi berjalan lambat. Sekalipun jarum jam terus berdetak memutar, tidak sedikitpun aku tebersit merasa lelah untuk menunggu. Mungkin kau bertanya mengapa aku bis amelewatkan hari begitu cepatnya. Sebenarnya aku selalu menghindar untuk memandang jam, sebab jika kerap kulihat, sepertinya jarum jam enggan untuk terus berdetak di detik berikutnya. Sebagai pengingat waktu hanyalah suara adzan yang sering terdengar sebagai penanda datang dan beralihnya pagi, siang, petang dan malam.
            Itulah trik yang aku terapkan.Jangan menghitung jarum jam yang terus berputar! Biarkan jam itu berdetak dengan sendirinya. Percayalah, tanpa kau menghitungnya pun secara otomatis hari akan terus berganti. Pada saatnya tiba, kita pasti bertemu dan kembali untuk bersama. Kuharap kau pun mau mengikuti cara dan resepku jikalau suatu saat nanti aku pergi entah kemana dengan waktu yang cukup lama.
            Walau kedatanganmu terhitung cukup lama. Aku masih mempunyai kesabaran berlebih. Jika dan sesuai dengan yang kau rencanakan, berarti aku menyilang sampai tanggal 25. Tak masalah menunggu sampai tanggal segitu. Tugas harianku masih tetap sama seperti hari-hari yang lalu. Menjelang pergantian hari yang kulakukan hanyalah menyilang tanggal yang juga melewatkan waktu sehari denganmu.
            Aku tahu kaupun merasakan hal yang sama dengan apa yang kurasa. Terbukti setiap kali kau mengabarkan melalui pesan singkat dan telepon, kau mengatakan arti yang sama dengan apa yang kurasakan. Entah dengan cara apa kau membahasakan, menurutku hanya beda kata namun sama makna dalam mengungkapkan rasa rindu. Dan kita sama-sama saling merindu!
            H-7. Jika kuhitung dengan jam berarti 168 jam lagi aku akan bertemu. Banyak rencana yang telah aku susun. Mulai dari rencana yang pernah kita rencanakan yang hingga kini belum terealisasi sampai rencana-rencana baru yang aku ingin jalankan denganmu. Salah satu diantaranya, aku ingin mengajakmu ditempat terbiasa kita menikmati senja. Selain itu aku ingin mengulang sore dipelataran candi dengan hamparan rumput hijau yang membentang luas bersamamu. Rencanaku kelihatannya sederhana, namun aku begitu menikmati sisa hari denganmu di tempatyang mungkin kau baru mengalaminya bersamaku.
            Yogyakarta.Sisa hari tak lebih dari hitungan jari. Dikota inilah kita akan berjumpa lagi. Dikota ini pula kita berkali-kali bertemu dan berpisah lalu kembali lagi untuk bersama. Momen-momen yang penah kita buat, yang katamu baik-buruknya kita, telah mempersatukan dalam hubungan sebentuk cinta. Dan kita telah melalui semua jalan yang berliku. Dari manis hingga pahit pernah kita rasa.
            Usaha yang kulakukan tak sia-sia.Sebentar lagi akan menuai hasil. Meskipun hanya menyilang tanggal, aku akan berjumpa denganmu. Kau tahu betapa bahagianya diriku. Dan kini kupaham arti sebuah penantian. Benar katamu, sungguh menyesakan dada menunggu orang yang kita sayang.
            Nawon Kemit. Empatpuluhlima hari lamanya tak kupanggil namamu. Selama itu pula tidak kudengar kau memanggilku dengan nama kesayanganmu. Aku rindu memanggil dan mendengar kedua nama itu.
            Impianku akan segara terwujud. Mari berbagi dan melanjutkan cerita tentang hari ini, esok atau kapan tentang kita. Untuk kita! Kikira itu lebih dari cukup untuk menjalani sisa hari yang telah kita buang. Bukankah katamu hidup itu lebih dari sekadar menunggu mati? Lain hal, mari berikhtiar.***

Rewulu, 18 Agutus 2010
(WFY)

NB;
  • Kudedikasikan untuk seorang perempuan yang bertahi lalat didekat hidung dan yang biasa kupanggil Nawon Kemit.
  • Sssssssst... Aku sedang merindu. Berkali-kali jatuh cinta dengan nama dan orang yang sama.
  • Tulisan ini sebelumnya kutulis tangan di sebuah peron stasiun Rewulu. Saat itu aku sedang menikmati senja bersama adikku, Lailla, yang terus bernyayi tatkala datang dan perginya Kereta. "Naik keleta api ... tut ... tut ... tut. Siapa hendak tulut. Ke Bandung ... Sulabaya... Bolehlah naik dengan pelcuma.. Ayo temanku lekas naik... Keletaku tak belhenti lama..." lagu yang terus diulang-ulang dan tak pernah lampung, eh rampung dinyanyikan.
  • Terima kasih kepada Ipang dan Ikang Fawzi, untuk lagu dan inspirasinya.

Tidak ada komentar: