Kamis, 03 Desember 2009

Sang Petualang

oleh; Dwicipta



Pertama kali aku bertemu dengannya di sebuah sore letih ketika ia mengonggokkan diri pada kursi kayu yang terletak persis di sudut kedai kopi yang ramai, hanya ditemani beberapa bungkus rokok aneka merk dan sebuah botol bir. Sampai sekarang sering aku bertanya penuh ketololan bagaimana ia bisa nyaman menenggak bir di sebuah, kedai kopi sementara pengunjung lain hanya menikmati kopi atau teh. Tak ada lagi menu minuman selain kedua jenis tadi.


“Kau tahu, inilah yang bisa kubanggakan di depan semua orang: hidup menggelinding seperti batu, dua atau tiga botol bir kecil di balik baju, dan doa yang tak pernah disampaikan pada Tuhan.” katanya ketika aku bertanya darimana ia mendapatkan bir itu. Rambutnya dibiarkan memanjang dengan bagian depan diponi seperti anak perempuan. Lehernya dibebat syal warna hitam, melengkapi baju dan warna kulitnya yang juga hitam. Dari ceritanya kemudian aku tahu ia pengagum Rock 'n Roll, pengumpat ayah nomor wahid dan seorang kampiun pengagum mama, tak pernah menyukai persahabatan kental dan abadi.


Sore baru turun ketika itu. Udara panas sejak pukul sembilan pagi berangsur-angsur bersahabat. Namun wajahnya resah luar biasa. Matanya merah karena pengaruh alkohol. Batang demi batang rokok tak pernah luput dari dua bibirnya yang menghitam. Pertama kali aku masuk kedai ia mengangkat botol birnya tinggi-tinggi, memberi isyarat menggelengkan kepala supaya aku mendekat kearahnya..


“Kau minum apa? Aku tak bisa membagi kebahagiaanku dengan orang lain. Itulah sebabnya aku tak akan menawarkan botol birku padamu,” ujarnya mengawali pembicaraan.


“Bagaimana kalau aku benar-benar ingin bir?” aku menggodanya.


Mulutnya menyumpah-nyumpah dengan bahasa Inggris kacau balau.


“Kalau aku tak memberikannya?” ia bertanya dengan wajah tenang.


“Kita tak jadi berbicara.”


Ia kembali menyumpah-nyumpah. Botol birnya menempel lama di bibirnya sementara rokok yang menyala ia letakkan begitu saja diatas meja. Begitu ujung botol ia lepas dari mulutnya ia menyeringai.


“Aku suka gayamu. Kuberikan sebotol birku.”


Tangannya bergerak ke balik bajunya dan mengeluarkan sebotol lagi bir kecil. Aku hampir tertawa melihat di balik baju yang menyembunyikan tubuh tinggi kurusnya itu ada dua atau tiga botol minuman. Begitu ia akan membuka botol itu tanganku bergerak menahan.


“Tidak, aku hanya bercanda. Aku bukan peminum bir.”


Saat itu juga sumpah serapahnya keluar lebih panjang. Wajahnya makin memerah. Kakinya berkali-kali dihentakkan ke lantai. Beberapa pengunjung yang ada di dekat meja kami tertarik oleh gaya bohemiannya, namun segera memalingkan muka kembali melihat wajahnya yang marah karena diperhatikan orang.


“Kau telah membuatku tertipu. Skor sekarang satu kosong,” katanya sembari tersenyum tulus. Ia melambaikan tangan memanggil pelayan. Aku memesan kopi pahit dan dua potong roti serta sebungkus rokok.


“Hidup ini memang tak adil sejak awal. Lihatlah pemilik kedai ini, orang yang duduk di antara tiga orang kulit putih itu,” katanya sambil mengarahkan botol minumannya pada meja di tepi jendela yang diduduki lima orang, tiga diantaranya orang asing berkulit putih. “Ia teman baikku. Tapi nasib kami berbeda hampir seratus delapan puluh derajat. Ia bahagia sejak kecil, memiliki ayah dan mama kaya raya, lalu seorang istri yang baik dan cantik. Otaknya cerdas, bisa masuk di perguruan tinggi bergengsi. Sekarang usahanya berhasil baik, visi usahanya banyak dipuji orang. Dan kabar terakhir yang kuterima tahun depan ia akan menjadi wakil rakyat paling muda. Sedangkan aku, atas nama Iblis laknat yang mengutuk hidupku, mengalami bagian paling kelamnya....,” katanya dengan menyandarkan kepalanya yang berambut panjang ke sandaran kursi. Baru kumaklumi kenapa ia bisa bertingkah seaneh ini dan tidak dilemparkan keluar dari kedai kopi. Pemilik kedai ini rupanya teman baiknya.


“Tapi dari sikapmu di sini kelihatannya kau menikmati hidupmu.

“Oh, astaga! Hidupku telah dikhianati ayahku sejak kecil. Kau tahu, waktu itu aku berusia enam tahun. Enam tahun, Sobat, dan akan merayakan ulang tahunku! Tapi ia keburu mampus, tak mau memberikan ucapan selamat ulang tahun untukku. Menjelang penguburannya, aku justru dikelilingi mama dan saudaraku. Lilin dinyalakan. Dan nyanyian setan itu menggema riang. Aku kehilangan ayahku, aku betanya pada mama, dan ia hanya menangis dan memelukku, meyakinkan aku bahwa ayah sedang pergi ke Jakarta sejak malam sebelumnya untuk membelikan hadiah ulang tahunku. Kau tahu, Sobat, aku baru tahu ia meninggal ketika sudah berusia sepuluh tahun dan duduk di kelas empat sekolah dasar.” ujarnya dengan mata menerawang jauh.


Rasa panas rokokku yang hampir habis membuat aku sadar dari keadaan terbengong mendengarkan kisahnya yang menyedihkan. Barangkali inilah sebabnya kenapa sore ini udara terasa beracun dan tenggerokanku kering meskipun telah kuhabiskan berbotol-botl air putih.


“Aku turut bersedih,” ujarku mencoba bersimpati


Ia menghentakkan kaki.


“Hei, Man,jangan bersikap bodoh seperti itu! Hidup ini seperti batu yang menggelinding. Rock 'n Roll. Kau tahu The Doors? Aku penganut The Doors sampai ke sumsum tulangku. Karena dia Rock 'n Roll. Ingatkah engkau lagunya yang berjudul Moon of Alabama? Ah, akulah si pemabuk yang dinyanyikan The doors,” katanya meracau.


Tanpa diminta ia kemudian menyanyikan Moon of Alabama, seolah-olah memintaku menunjukan Bar Whiskey dan gadis-gadis peneman tidur berikutnya tanpa harus bertanya kenapa ia ingin ke Bar Whiskey. Dengan mimiknya yang aneh ia bagai mengancamku untuk mati bersama jika tak menemukan Bar Whiskey berikutnya. Hampir saja aku yakin ia telah gila oleh segala tingkah laku konyolnya ini. Tanpa mempedulikan pengunjung lain yang sesekali melirik ke meja kami, aku menghisap batang rokokku pelan-pelan, menungguinya selesai menyanyi.


“Dengar, di bait ketika Old Mama pergi, selalu saja airmataku akan tumpah, dan jika memang tumpah, akan kubiarkan memenuhi jalanan diluar sana. Aku sangat mencintai mamaku. Dialah yang berjuang membesarkanku dan tiga kakak perempuanku. Ayolah, kau benar-benar menginginkan bir? Aku akan membuka botol bir yang sudah terlanjur kukeluarkan ini. Untuk mamaku tercinta.”


“Tapi tak semestinya kau iri pada sahabatmu itu. Bukankah dia yang memberikan kebebasan padamu disini?” ujarku mengembalikan percakapan semula.


“Aku tak iri. Aku hanya dendam pada ayahku dan pada orang-orang yang berbuat jahat, atau aku sangat mencintai mamaku yang membesarkan kami berempat tanpa menikah lagi dengan segenap tenaga dan pikirannya. Tak ada perempuan lain yang sehebat mamaku. Aku tak iri pada sahabatku itu. Dendamku pada ayahku sampai kepuncak langit. Ia meninggalkan aku di usia genap enam puluh tahun. Masih cukup muda. Kuharap temanku juga meninggal di usia itu,” katanya sembari tersenyum sinis dan melemparkan isyarat yang tak kuketahui.


“Ya, temanmu itu hebat. Aku bisa merasakan aura kecerdasan dari dalam diriya. Dan istrinya sangat cantik. Apakah kau tak ingin memiliki istri cantik dan sebaik istri temanmu?”


Ia menempelkan ujung botol birnya dan memintaku melihat bagaimana ia mematikan rokok sembari menenggak isi botol itu.


“Perempuan tak pernah kupahami, kecuali mamaku. Setiap kali menjalin hubungan dengan perempuan, ia meminta lebih dari yang bisa kuberikan. Kau tahu, aku akan terus menggelinding mengikuti keadaan sampai sesuatu menghentikanku atau aku akan terus menggelinding dalam kehampaan, lenyap tanpa bekas. Pendeknya aku benar-benar ingin tahu siapa diriku. Dan perempuan, Sobat, mereka tak pernah mau tahu kenapa aku ingin tahu diriku! Aku mencari yang seperti itu, sosok seperti ibuku. Kalau aku mendapatkannya, aku akan memberi lebih dari apa yang telah diberikan ayahku pada mamaku. Aku tak ingin lari dari tanggungjawabku. Tak akan kutinggalkan anak-anakku ketika mereka masih kecil seperti dulu dilakukan ayahku. Temanku beruntung mendapatkan perempuan seperti dia, meskipun belum tentu sebaik mamaku dan belum tentu ia baik pada setiap orang.”


“Dan temanmu adalah calon wakil rakyat palng muda dan paling potensial dari kota ini. Apakah kau mengira hidupmu akan habis karena melihat karir temanmu yang bak meteor dan dirimu yang dipertalikan dengan nasib yang jahat?”


“Aku tak akan pernah habis! Sudah kukatakan, aku tak mengiri pada apapun. Hidupku akan terus menggelinding, tanpa kupedulikan kemana arah yang jelas. Dan meteor? Apakah kau tahu meteor adalah bintang yang menunjukkan kecemerlangannya untuk terakhir kali sebelum lenyap? Untuk itulah kau kuundang kemari. Kita masuk ke kandang harimau. Orang-orang di sini senang menggunakan pepatah “tak ada gading yang tak retak,” ujarnya sembari mengedipkan mata kirinya. Rambut poninya berkibar begitu ia menyebulkan udara dari mulutnya yang berbau alkohol ke arah rambut yang tergerai sampai dahi itu.


Diam-diam harus kuakui kecerdasan di balik segala sikapnya yang ugal-ugalan. Aku tersenyum sarkastis.


“Kau menggunting dalam lipatan?” tanyaku sinis.


“Aku tak tahu apakah sedang mengguntig dalam lipatan atau tidak. Aku tidak iri pada siapapun. Aku hanya memikirkan bagaimana caranya membahagiakan mama dan semua orang. Tapi aku tak suka orang culas dan suka menyengsarakan banyak orang seperti ayahku. Tak perlu rasanya aku diperhatikan oleh siapapun, tapi aku ingin memberi sedikit manfaat pada banyak orang.”


“Berapa harga dari informasi yang akan kau berikan? Aku hanya seorang wartawan, jadi aku sangat menghargai profesionalitas,” ujarku sungguh-sungguh. “Informasimu akan menjadi pintu bagi penyelidikan pemilihan wakil rakyat di kota ini.”


“Setiap kali mendengar kata harga, aku selalu membayangkan neraka, Sobat, Kau tahu ketika orang-orang bertanya padaku tentang Tuhan dan takdir atau nasib, kujawab pertanyaan mereka denga hanya melihat langit, diam termenung tanpa mengingat Tuhan sekalipun. Tuhan selalu menghargai segala hal, baik dan buruk, dengan balas jasa surga atau neraka. Sedangkan aku tidak percaya Tuhan. Bagaimana aku bisa memberi harga?” ujarnya mencoba berfilsafat.


Aku meleletkan lidah oleh kefasihannya menjelaskan segala hal yang ia yakini. Para pengunjung kedai tak habis-habisnya membuat senyum pemilik kedai dan istrinya yang sangat cantik dan anggun itu tak pernah lepas dari bibirnya. Tiga orang asing berkulit putih itu tertawa-tawa entah karena apa. Aku kembali pada lelaki bertampang aneh yang seolah memiliki dunianya sendiri itu.


“Yang Paling kusuka dari The Doors adalah karena sebuah lagunya yang luar biasa, The End. Kau mau mendengarkannya? Aku membawa MP3 Player, silahkan dengarkan kalau mau,” katanya menawarkan MP3 Player yang ada disakunya. Ia mengangsurkannya padaku. Aku menggeleng dan membalas dengan ucapan terima kasih.


“Aku juga suka lagu-lagu The Doors. The end memang salah satu yang terbaik,” kataku.


Ia memintaku tos dengan kedua telapak tangan. Lalu botol birnya terangkat kembali, dan gelasku beradu dengan botolnya, merayakan kesamaan dan hobi kami pada grup musik legendaris itu.


“Kenapa kau tak bilang dari tadi?! Aku tak pernah punya teman abadi, tapi kalau ada pengagum The Doors, aku akan berpikir untuk mengubah pendirianku. Nah, yang sekarang bersama tiga orang asing itu. Tapi jika memang harus berakhir, maka berakhirlah! Tentang rencana-rencana mendalam kami, berakhirlah. Tentang segala sesuatu yang ada, berakhirlah. Tentang yang aman dan penuh kejutan, berakhirlah. tak akan kutatap kedua matanya lagi,” katanya sembari mengutip lirik dalam lagu itu.


“Kenapa sedemikian perih kau menyanyikannya?” tanyaku ingin tahu.


“Karena di balik segala kebahagiaan dari dalam dirinya, keganasannya lebih iblis daripada iblis itu sendiri,” katanya sembari berbisik.


Ia menuliskan sesuatu di kertas, memintaku bertemu untuk mnyerahkan beberapa dokumen penting d sebuah tempat rahasia. Setelah itu aku membaca dan meremas hancur surat itu, dengan segala keagungan sikapnya ia mengusirku dari tempat duduknya dan menikmati kesendiriannya kembali. Aku keluar dari kedai menjelang gelap turun, berjalan seperti kuda congklang, bersiul penuh kemenangan.


Ketika kutulis kisah ini, lelaki itu telah meninggalkan kota ini dan bekas teman baiknya -pemilik kedai dan calon wakil rakyat termuda paling ambisius dari kota ini- telah masuk sel tahanan karena kecurangan-kecurangan yang ia lakukan demi mendapatkan kedudukan itu, termasuk tindakannya menjual aset-aset itu pada orang asing. Tak ada seorangpun yang tahu jika lelaki itulah yang memberikan segala informasinya padaku.


Sering kubayangkan suatu hari aku akan bertemu dengannya di sebuah kota -karena cita-citanya sejak kecil berpetualang dari satu tempat ketempat seperti batu yag menggelinding, sampai lenyap ditelan waktu- dan bercakap tentang hari dimana ia memberikan banyak informasi tentang teman baiknya. Atau aku yang bercerita tentang hari-hari sesudah pertemuan itu, kesibukanku membongkar kejahatan para calon-calon wakil rakyat kota ini dibawah ancaman pembunuhan dan kejaran para kaki tangan orang jahat itu. Sungguh, ia seorang petualang sejati!



Yogyakarta, Juni 2007

untuk Fitri