Sabtu, 14 Agustus 2010

Mencontreng Hari


Tak tahukah jika aku merindumu? Pertanyaan itu tiba-tiba menelisik di benakku. "Baik-baikkah kamu disana?" Aku mengirim pesan singkat dari telepon genggamku dan menunggu jawaban darimu. Rasa rindu yang tertimbun membuncah begitu hebat di dalam hati. Sampai-sampai pikiranku hanya tertuju pada dirimu yang sekarang berada di pulau seberang. Rasanya, jantung ini berdegup kencang tiada henti, merisaukan sesuatu hal yang tidak kuhendaki. Memang berlebihan menyikapi kerisauan yang kuciptakan sendiri. Tapi siapa tahu kerisauan yang terbentuk dalam bayanganku berubah wujud menjadi nyata. Dan kau memperkenalkan pria lain yang tidak kukenal, yang kau anggap sebagai kekasih barumu. Itu yang tak kumau
Rabana! Mata yang kupejam rapat-rapat merembeskan titik airmata yang tak mampu kubendung lagi. Sempurna! Kau membuat diriku menjadi manusia seutuhnya. Dengan tangisan aku merasa sempurna menjadi seorang laki-laki. Kepergianmu yang mendadak membuatku terkaget dan gusar. Padahal sebelumnya kau berkata padaku jika kau masih ragu dan bimbang mengenai jadi tidaknya berangkat ke pulau seberang. Hingga pada suatu minggu, "Aku besok berangkat. Tidakkah kau ingin berbincang denganku?" katamu mengawali perbincangan dari seberang dibalik telepon genggam. "Apa?!?" jawabku terkejut. "Iya besok malam aku pergi. Siap-siaplah menjadi duda untuk sementara waktu!" katamu sembari bergurau. "Ah kau juga. Persiapkanlah mentalmu untuk menjadi janda dua bulan lamanya" aku balas mencanda yang juga mempersiapkan mentalitas selepas kepegianmu.
Ingatanku mundur kebelakang.Terakhir kali aku berjumpa denganmu pada suatu petang di stasiun kota. Ketika itu kau mengantar kepergianku. Tak ada jabat tangan apalagi kecup mesra. Kereta malam yang akan kutumpangi sudah berulang kali membunyikan klaksonnya. Petugas stasiun melalui pengeras suara sudah berkali-kali pula mengingatkan calon dan para penumpang untuk segera menaiki kereta dan siap diberangkatkan menuju ke stasiun berikutnya. Suasana serba cepat dan tergesa-gesa.
Waktu pun memisahkan kita. Aku terburu, berlari meninggalkanmu begitu saja. Kulakukan agar aku bisa menaiki sebelum kereta berangkat. Aku sesali tak memberimu salam dan berjabat tangan. Hanyalah lambaian tangan yang bisa kulakukan sebagai isyarat aku segera pergi. Maafkanlah aku jika aku egois. Percayalah aku pergi hanyalah untuk sementara, tak lama, dan segera kembali untukmu. Seiring kereta perlahan berdecit melaju. Kulihat kau tersenyum dengan mata berkaca-kaca melepas kepergianku. Usaplah airmatamu, bisikku dalam hati.
Akhir dari sebuah pertemuan adalah perpisahan. Seberapapun intensitas yang pernah kita lakukan. Pastilah berujung pada perpisahan. Sadar atau tidak disadari, kita mesti mengulang-ulang muasal dari temu itu. Tapi untuk kali ini aku benar-benar merasa kehilangan, walau katamu hanya untuk sementara waktu.
Hari-hari pun berlalu. Kau menitipkan surat untukku. Berulang-ulang kali pula aku membacanya. Melalui media tulisan tangan dan fotomulah, seolah aku sedang bercakap dan bertatap muka denganmu. "Semoga kau baik-baik saja" bait pertama dalam pembuka suratmu. Kujawab "Kau juga". Kubaca suratmu hingga paragraf terakhir dan kujawab pula setiap tanya dari kalimat yang kau tulis untukku. Ringkas suratmu, kau dan aku dua bulan lamanya tak bertemu. Jaga diri dan jaga hati.
Yakinlah! Tak perlu ragu. Percayalah seperti aku yang mempercayaimu. Bukankah itu kalimat mujarab yang sering kita ucapkan dikala kita sedang meragu? Ya itulah kunci kita dalam menjalani sebuah hubungan yang harmonis. Walau terkadang katamu, aku tak bisa romantis. Aku selalu berkilah menutup kekuranganku dengan mengatakan, 'adakalanya romantis itu perlu, tapi jika ada momen'. Dan kau telah mengajariku untuk itu.
Ujian yang harus kulalui begitu terasa berat bagiku. Biasanya aku yang bepergian dan meninggalkanmu. Tapi kali ini akulah yang ditinggalkan dengan waktu yang lumayan lama. Kini aku paham apa yang kau rasakan ketika kau sendirian menungguku datang. Jarang yang sebenarnya tak seberapa, ternyata mampu membuat jaring-jaring rindu.
Nun jauh disana kau telah merencanakan sesuatu untukku. Entah apa itu? Semoga kerisauanku mengenai dirimu hanyalah sebuah mimpi. Hanya bunga tidur semata! Dan ketika aku membuka mata, kau sudah disini bersamaku. Aku takkan pernah lelah menunggu, yang pasti aku selalu dan menanti kedatanganmu.
Inginku, semua indah pada akhirnya. Semoga! Tahukah kau jika sepi ini terasa menyakitkan? Aku ingin bernyanyi lagu yang sering kita nyanyikan. Kuharap kau masih ingat dan menghafalnya.
Kuingin kau tahu
Kau tetap dihatiku
Ada yang harus kau mengerti
Kau takkan ada gantinya
Yang aku inginkan hanyalah
Dirimu bersamaku selamanya
Bantu aku pergi dari sepi 
Yang kurasa menyakitkan***

Di sebuah 'replika' Jembatan Ampera, 13 Agustus 2010
(WFY)
NB;
  • Terima kasih kepada Ipang untuk lagu dan inspirasinya.
  • Kudedikasikan untuk seorang perempuan yang biasa kupanggil Nawon Kemit

Tidak ada komentar: