Waktu hampir maghrib. Malam ini aku ada janji dengan seorang kawan yang
hampir-hampir tak pernah bertemu sekian tahun lamanya. Tepat pukul delapan
bertemu disebuah kedai kopi tengah kota. Segera aku bergegas menuju kamar mandi
untuk mencuci muka. Niatnya mandi, tapi kuurungkan karena air sumur begitu
dingin setelah terguyur hujan sesorean tadi. Lain sebab, konon mandi di malam
hari tidak baik untuk kesehatan. Kaos yang masih melekat di badan tak kuganti.
Begitu pula dengan celana jeans. Sebagai penghilang bau apek, kusemprotkan wewangian
yang lazimnya untuk menghaluslembutkan kain yang diseterika. Aku tak
mempersoalkannya. Terpenting pakaian tercium harum! Bagiku lebih dari sekadar Percaya
Diri.
Kusambar tas hitam bergambar bintang merah. Tanpa basa-basi segera
kupelintir gas si
Tempik di jalanan menuju kota. Sembari
menyetir, dengan
handphone kusempatkan tangan kiri untuk mengetik dan
kirimkan sebuah pesan singkat mengabar jika aku sudah meluncur ke tempat dimana
janji yang telah tersepakati sebelumnya. Butuh ekstra kewaspadaan dan
kehati-hatian tingkat tinggi untuk bisa mengemudi sambil berkirim pesan
. Selang
beberapa saat kawanku membalas, ‘OKE’ katanya.
Tak butuh waktu lama, mungkin
seperempat jam lebih sedikit, aku sudah sampai di kedai kopi. Kulihat kawanku
sudah datang duluan, duduk di bangku paling pojok. Ehm ternyata kawanku pintar
memilih tempat untuk menikmati kopi. Menghadap jalan sekaligus memanjakan mata
dengan suguhan beragam wajah para pejalan atau duduk di trotoar, yang oleh
pemilik kedai dijadikan lesehan.
***
“Hallo, Bung!” sapaku, “sudah lama menunggu?”
“Ah tidak. Aku baru saja datang
beberapa menit yang lalu sebelum kau datang!” jawabnya berbasa-basi, sambil
menjabat tanganku erat-erat. “Saya bersyukur masih bisa lagi bertemu denganmu. Suatu
anugerah yang indah tiada taranya. Oh iya masih suka kopi yang mix atau sudah
beralih ke kopi hitam? Biar saya yang pesan.” Lanjutnya sembari mempersilahkan
untuk duduk.
“Kalau bir tidak mungkin. Ehm apa
sajalah.” Jawabku.
“Serius bung. Pesan yang mana?”
mengulang tawaran yang hendak dipesannya, “Siapa tahu sepulang menjelajah Jawa
Timur kau sudah beralih ke kopi hitam!”
Aku hanya tertawa kecil mendengar
sentilannya. Maklum kami sudah lama tidak bertemu. Aneh bin ajaib kebiasaan
kami saling sindir satu sama lain tak bisa diubah, “Ya aku pesan kopi yang mix
rasa nasibmu yang manis saja!”
“Ah kau bisa saja. Kalau begitu aku
pesan kopi hitam sehitam kulitmu!” kelakar kawanku sembari memanggil pelayan
dan memesan kopi.
“Ehm, masih saja seperti yang dulu.
Sarkastis!” gumamku. “Apa kabar bung?” tanyaku memulai perbincangan.
“Seperti yang kau lihat saat ini!”
“Melihat penampilanmu rupa-rupanya
hidupmu sudah sejahtera. Semakin tambun saja berat badanmu!”
“Persis yang kau lihat. Aku masih
seperti dulu, kawan. Dan tubuhku semakin tambun! Hahaha” kawanku menertawakan
diri, “Bagaimana kabarmu?” lanjutnya balik bertanya.
“Senantiasa sehat dan baik-baik
saja. Dan lihatlah penampilanku tak ada yang berubah. Kaos lusuh, jeans robek
dan topi pet yang selalu melekat ditubuh. Belum ada perubahan yang signifikan.”
Jawabku.
“Yah kau tidak berubah. Masih
seperti dulu. Tetap konsisten dengan keproletaranmu. Ehm atau mungkin sekarang
malah sedang bunuh diri kelas?” sindirnya.
“Sama sekali tidak. Kalau dibilang
hidup layak, mungkin! Andai pun aku sudah kaya, mungkin barangkali aku menjadi
sombong dan enggan menemuimu di kedai kopi ini! Atau motor itu, si Tempik sudah
kuganti dengan Trail yang memang sudah lama kuidam-idamkan.” Tunjukku pada si
Tempik yang terparkir dibaris terdepan tidak jauh dari tempat kami duduk.
Sepeda motor yang kuanggap pacar dan sahabat dan hampir 13 tahun setia
menemaniku bepergian.
“Ehm ternyata kita masih kere ketemu
kere! Sebab kemiskinanlah yang mempersatukan kita! Bersatulah kaum miskin
sedunia
!!”
celetuknya.
“Tapi, melihat tubuhmu yang tambun.
Semua orang tak akan pernah mengira jika kau benar-benar proletar, bung!”
sahutku, “Malah semua orang yang melihatmu sekilas, akan beranggapan bahwa kau
adalah seorang yang kaya raya. Seperti bos-bos para pemilik modal yang pastinya
pola makanmu lebih terjamin dan serba enak. Semoga itu bukan karena obesitas.”
“HAHAHAHA XIXIXIXIXI” Kamipun
tergelak bersama.
Tanpa sekat, obrolan keluar dengan
sendirinya. Seperti bebek-bebek yang berebut makan, nyerocos tiada henti. Tak
jarang pemilik kedai berdehem menyindir kami yang tak kunjung pergi. “Ehm
pelangganku bukan kalian saja ya. Ehem..” katanya. Kami pura-pura tidak
mendengar dan cuek saja. Bagiku dimanapun berada, pembeli adalah raja. Namun
lama-lama risih juga mendengar deheman yang mungkin ke tiga kali atau entah
keberapa. Akhirnya aku memesan gelas kedua dengan menu yang sama, kopi hitam
dan kopi yang mix. Pemilik kedai menyunggingkan
senyum dengan pesananku. “Laris manis tanjung kimpul.” serunya memasang
wajah yang tak lagi cemberut.
Semakin larut malam, kedai kopi semakin ramai oleh pengunjung. Para
penyuka kopi datang silih berganti beragam rupa wajah. Sedang kami, masih
mengonggokan diri dan enggan untuk segera beranjak meninggalkan tongkrongan. Masih
asyik masyuk berbagi cerita. Wacana
apapun. Dari hal yang remeh temeh sampai ke arah yang mendekati serius. Semakin
menenggelamkan diri ke diskusi tentang politik dalam negeri yang saling silang
sengkarut tak berarah pasti. Obrolan yang aktif. Berkesimpulan, bersolusi dan
entah kapan akan mempraksiskannya.
***
“Lihatlah pengamen tua itu.” Tunjuk kawanku pada pengamen tua yang
berdendang dengan alat musik berupa kecrek dari tutup botol limun yang
digepengkan, “Ia adalah salah satu korban pemerintah yang mengadopsi sistem
kapitalisme biadab!” kata kawanku geram.
"Dan lihatlah. Bendera itu,"
tunjukku pada tiang kibar bendera, "kan kusobek putihnya lalu merahnya kan
kuikat dikepalaku."
"Mengapa begitu? Supaya apa?" Tanya
kawanku terheran-heran.
"Masa kau tidak tahu? Terus terang saya
malu menjadi warga negara bangsa ini!" Jawabku sembari cengengesan.
"Oh, kukira kau akan menggambarinya palu
arit! Tunjukan merahmu, Bung!" gurau
kawanku setengah berteriak.
"HAHAHA XIXIXI" kami pun cekikikan.
“Beginilah jadinya jika pemimpin di negeri ini tidak sanggup menyediakan
lapangan pekerjaan bagi rakyatnya!” keluhku mengomentari pengamen tua, “tanah
di negeri ini memang subur, kawan. Coba bayangkan, tanam jagung tumbuhlah jagung,
tanam padi tumbuhlah padi. Bahkan tanaman herbal semacam ganja begitu sangat
mudah tumbuh dengan suburnya. Tapi pada kenyataannya sekarang? Tanam padi
tumbuh pabrik, tanam jagung tumbuh gedung, tanam modal tumbuhlah korupsi
.
Kontradiktif! Dan rakyatlah yang selalu dijadikan korban dari sistem yang di
impor dari barat. Kapitalisme memang jahat! Seperti iblis yang selalu mengganggu
manusia dalam usaha mencapai kebaikan dalam hidup.”
“Yah aku tahu. Negeri ini sebelum berbentuk republik yang berbendera merah-putih,
dari masa sebelum negeri-negeri eropa menjajah, sudah terkenal dengan kekayaan alamnya.
Itu baru diatas permukaan tanah, belum lagi apa yang terpendam didalam tanah
ini. Tanah yang kita injak ini, kawan! Tersimpan aneka tambang dan sumber daya
alam yang juga begitu sangat melimpah. Seharusnya dapat mensejahterakan rakyat
yang mendiami negeri ini. Dan persoalannya, mengingat masih banyaknya
penindasan dan ketidakadilan yang sering kita lihat, lalu apa yang harus kau
lakukan?”
“Sebenarnya bukan aku, Bung. Tapi
kita! Tapi entahlah aku juga tak tahu apa yang seharusnya dilakukan. Untuk
kondisi saat ini, Jika diam tidak lagi menjadi emas, maka bicara pun menjadi bumerang
pada akhirnya.” Jawabku diplomatis.
“Apa kau lupa dengan pedoman-pedoman MLM
yang diajarkan pada kita?
Kuharap kau tidak sedang mengalami demor!" sindir temanku.
“Ehm demor? Kau masih saja menstigma seseorang yang kehilangan kendali
arah perjuangan. Tak beda jauh dengan para aktivis berdasi yang pandai mencuri
peluang. Kamerad
, apakah
orientasimu juga mengikuti jejak pendahulu kita yang sekarang duduk di Senayan?
Jika memang iya, akulah orang yang pertama kali menjadi martir mengebom rumah
dinasmu kelak.” jawabku agak guyon agar pembicaraan tidak menjadi kaku, “Dan
percayalah, kamerad! Kita masih segaris massa. Darah saya masih merah,
Jenderal!
”
"HAHAHA XIXIXI" kami pun cekikikan.
“Kau sedari dulu pandai mencairkan
suasana. Aku suka gayamu, Kamerad! Tak salah jika organisasi kita dulu,
mempercayakanmu menjadi Sekjen
!”
celetuknya, “Jargon-jargon yang kau buat membuatku bersemangat dan semakin
memerahkan otak dan jalan pikiranku! Serasa aku tak sabar lagi untuk melakukan
tugas sejarahku sebagai seorang revolusioner.” puji kawanku seraya beromantisme
akan masa lalu.
“Biasa saja. Mungkin aku adalah buah
dari revolusi ’45 yang tersandera. Bisa jadi
Tuhan memberi kelebihan pada mulutku!” gurauku merendah.
“HAHAHA” kawanku terkial-kial
mendengar apa yang kuucapkan. Sedang aku tak turut tertawa. Apakah aku melucu?
“Kau bicara Tuhan? Apa aku tidak salah dengar? Apa kamu sudah kembali ke jalan
yang lurus?” lanjutnya masih diringi dengan tawa.
“Tidak salahkan jika aku menyusur
jalan yang lurus lalu berbelok ke arah kiri?” jawabku sekenanya.
“Tidak ada yang salah, kamerad!
Hanya saja telingaku tergelitik. Aku tidak bisa menahan tawa dengan apa yang
kau ucapkan barusan. Nampaknya kau sudah bertobat?” kata kawanku mengulur
tangan mengajakku bersalaman, “Aku percaya otakmu masih merah. Aku percaya itu!
Paling tidak rasa kemanusiaanmu masih tertanam dalam-dalam di sanubarimu.”
Lanjutnya sambil menepuk-nepuk dadaku.
“Ah biasa aja tapi terima kasih.
Lalu bagaimana denganmu?”
"Gagagagagagaga, kau kembali membuatku tertawa, Kawan! Kau? atau
siapalah, sekalipun negara tidak berhak untuk tahu kepada siapa aku menyembah?
Hanya aku dan yang diataslah yang tahu!" sahutnya sembari menunjuk jari
telunjuk keatas, masih terkekeh.
“Oh iya aku lupa!” aku berseru,
“bukankah komunis tidak berarti atheis?”
“Yah begitulah! Marx
bilang
‘agama itu candu’ maksud Marx adalah tidak anti agama. Agama adalah urusan
setiap pribadi dan setiap orang bebas untuk menentukan kepercayaannya, termasuk
untuk tidak percaya pada suatu kepercayaan sekalipun.” Jelasnya mengutip Karl Marx.
“Sejak kecil kita sudah diajarkan di sekolah, bahwa agama adalah hubungan
paling personal antara seorang individu dengan Tuhannya, karena itu tidak ada
orang yang dapat mengatur, menentukan, dan mengendalikan hubungan itu.”
“Di negeri ini agama dilembagakan, Bung! Ingat itu. Setiap orang
diwajibkan dan harus mencantumkan nama agamanya di setiap kartu identitas atau
tanda pengenal lain. Dan lihatlah apa mereka yang beragama taat dengan ajaran
agamanya? Dan hebatnya negara, seolah dosa tidaknya Negaralah yang memutuskan
dengan bermacam fatwa. Lalu apa wewenang Tuhan, juga malaikat?” lanjutnya
berapi-api.
“Tidak kau terangkan pun aku sudah
tahu!” aku memotong khutbahnya karena bukanlah tempat yang pas untuk
membicarakan dogma Marx di tempat umum, “Ah masa bodoh. Bagimu agamamu, bagiku
agamaku. Terpenting tahu tidaknya dengan siapa aku percaya, semua orang tak
perlu tahu. Toh, Undang-undang menjamin kebebasan beragama. Bukan begitu,
kamerad?”
“Nah kau sendiri tahu!” sahutnya.
Sedang asyik-asyiknya mengobral
cerita. Tiba-tiba handphoneku berdering nyaring. Aku memohon pada
kawanku untuk meminta waktu menghentikan percakapan guna mengangkat panggilan
masuk di telepon genggamku.
“Hallo
Brother! Apa kabar?” suara perempuan terdengar dari balik
telepon genggamku. “Kabar baik. Maaf anda siapa?” jawabku. “Aku Manda,
Bro!”
suara perempuan itu mengingatkanku. Ia adalah mantan pacarku yang sekarang
sudah bersuami dan beranak satu. “Hei Jeng. Apa kabarmu?” tanyaku sumringah
karena ia masih menganggapku sebagai teman. ”Kabar baik,
Brother. Oh iya
mumpung masih Syawal, mewakili suami dan juga anakku. Aku ucapkan selamat
berlebaran ya. Mohon maaf lahir dan batin.” Jawabnya sekaligus mengucap hari
raya. “Oh ya sama-sama. Maafkan aku juga.” Balasku singkat, deg-degan "Oh
iya
Bro, BTW
sudah punya anak berapa?" tanyanya. "Wah anakku masih dalam bentuk
sperma, Jeng!" jawabku. "Lho sudah diembriokan belum?" tanyanya lagi.
"Nah itu dia!" tukasku. "Maksudmu?!?" ujarnya heran.
"Belum
ada yang mau kutitipkan benih!"
jelasku sambil lalu. "Wong EDAN!!" hardiknya. "HAHAHA XIXIXI."
Serta merta kami kami tertawa bersama. Selesai berbasa-basi dan berucap
selamat. kami pun menyudahi perbincangan.
Sementara kawanku terlihat diam dan asyik memainkan asap rokok yang
dikepulkan lewat mulutnya membentuk lingkaran-lingkaran yang mengudara. Sesekali
menjentikkan abu ke dalam asbak. Selain itu, jemarinya begitu lincah memainkan
serta memutar-mutar batang rokok disela jari-jari tangannya. Sesekali tersenyum
dan kemudian memicingkan mata seolah ada ide cemerlang yang hendak dikatakan.
"Idealisme kita masih sama! Ayolah Bung,
Bergerak!" kawanku membisik lirih menyemangati.
"Apa itu?" aku pura-pura melupa.
"Melawan atau miskin! Tunduk tertindas
atau bangkit melawan sebab mundur adalah pengkhianatan.." jawab kawanku
sembari mengepalkan tangan kiri dan mengangkatnya tinggi-tinggi. Aku tak
menjawab. "Kenapa? Kamu takut Tentara?" oloknya.
"Sama sekali tidak!" jawabku tegas.
"Lalu?!?" kawanku bingung.
“Dari pada dipolitikin. Lebih baik aku 'Berpolitik atau miskin'
saja!" jelasku.
"HAHAHA XIXIXI" spontan kami pun
tertawa.
Tak lama kemudian tiba-tiba kawanku
menyeletuk, agak mengumpat. “Demokrasi tai kucing!”
“Tidak ada demokrasi di negeri ini.” Sergahku
berkeluh, “Di negeri ini siapapun presidennya, demokrasi hanyalah milik
bergelintir orang yang duduk ditampuk kekuasaan. Dan korbannya adalah rakyat
yang memilihnya! Satu lagi, mewujudkan demokasi sama halnya seperti mimpi di
siang bolong. Sama susahnya menegakan buah zakar yang tak bersyahwat! Utopia!
Memang sial hidup di negeri ini.”
***
Tak terasa malam telah terlewati dengan
obrolan yang penuh tawa. Hari mendekati pagi. Kedai kopi sudah sepi dari
pengunjung. Tinggal beberapa gelintir, termasuk aku dan kawanku, seorang
pejuang tambun.
"Mari bergerak, Bung. Revolusi siap
dimulai!" kata kawanku dengan semangat revolusioner seraya beranjak dari
bangku yang lebih dari 5 jam telah diduduki.
"OK, kamerad! Dari dulu Saya sudah
siapkan amunisi. Kelereng dan ketapel! Mari bergerilya." Jawabku tak kalah
militan.
"HAHA XIXIXI..." Kami pun tertawa
bersama untuk terakhir kalinya.
Seusai membayar empat gelas yang kami pesan,
kami bersepakat untuk pergi dan
meninggalkan kedai kopi. Kemudian pulang menuju jalan ke rumah
masing-masing. Aku menyusuri arah selatan sedang kawanku menuju ke utara. Dia
ke kiri, aku ke kanan dan lalu berbelok kearah kiri. Tentunya berlainan arah
dan tidak berlawanan. Kami masih tetap dan akan terus segaris massa. Konon
katanya perbedaan itu indah? Demi perubahan, mari dielaborasikan. Sampai bertemu
di medan laga.
Sleman, 11 September 2010 disunting
di
jalan Simpang Karimata, 30 September, di tahun yang sama
(WFY)
NB
·
Tulisan
ini tidak ditujukan kepada siapa-siapa, baik itu laki-laki maupun perempuan.
Jika ada kesamaan nama tempat, lakon, peristiwa dan atau jalannya alur cerita maka
itu faktor kebetulan saja.
·
Sekali lagi Tulisan ini hanya fantasi. Fiktif!
Boleh dikatakan, mimpi buruk yang kerap mencandui tidur nyenyakku. “Memang sial hidup di negeri ini!!”