Kamis, 12 Agustus 2010

Seandainya Orangutan Bisa Bicara (part VI)

DEN SUSANTEK (Detasemen Khusus Anti Tekor)


Dini hari. Tepatnya pukul 00.01 Wib. Komandan Bambang masih di kantor. Padahal teman-teman sekerjanya sudah pulang. Di kantor, ia ditemani beberapa bawahannya yang sedang piket dan berjaga. Lembur. Itupun di luar kantor, tepatnya di pos jaga. Komandan Bambang terlihat sibuk memainkan tuts telepon genggamnya. Sepertinya ia hendak mengontak seseorang. Suara nada tunggu yang di loudspeaker terdengar nyaring.


“Halo Min, kau dimana?” Tanya komandang Bambang, memulai percakapan melalui telepon genggamnya.


“Selamat malam, Ndan! Saya di rumah, Ndan!”

“Segera ke kantor! Ada sesuatu yang harus dibicarakan. Penting!”

“Siap, Ndan! Laksanakan. Kurang dari setengah jam saya sudah sampai di kantor.”

“OK, saya tunggu! Gak pake lama!” jawab komandan Bambang menutup percakapan dan memutuskan hubungan telepon genggamnya.


Jarum jam terus berdetak. Komandan Bambang berjalan mondar-mandir di ruangan kerjanya. Alih-alih menungu kedatangan Imin, ia menyulut sebatang rokok untuk mengusir rasa jenuh. Kepulan asap rokok yang tersembur lewat mulutnya beterbang memenuhi ruangan. Semakin banyak asap yang terkepul, semakin pekat, mengabur dan memedihkan mata.


“Uhuk…Uhuk…” terdengar suara batuk dari kotak sebelah. Saya juga hendak terbatuk tapi ditahan. Hal ini saya lakukan agar tidak mengganggu kawan-kawan sesama Orangutan yang sudah tertidur kelelahan. Saya juga merasakan kantuk, tapi saya tidak mau terlena barang satu detik pun. Selagi tubuh masih kuat dan bisa menahan kantuk, saya akan terus berusaha memantau gerak-gerik dan gelagat manusia picik yang berkomplot. Institusi yang menaunginya selalu mencap manusia-manusia itu sebagai ‘oknum’.


“Selamat malam, Ndan. Maaf jika terlalu lama menunggu.” Imin datang tepat waktu dan menyapa komandannya.


“Akhirnya datang juga!” sambut komandan Bambang sumringah, “Silahkan duduk, ada yang harus kita bicarakan terlebih dahulu secara empat mata.” Lanjutnya.


Imin pun menempatkan tubuh dan duduk di kursi menghadap komandannya.


“Jadi gini, Min!” komandan Bambang memulai pembicaraan yang katanya penting. “Mengenai rencana kita, tentang Orangutan itu” lanjutnya sembari menunjuk saya dan kawan sesama Orangutan yang lain.


“Gimana, Ndan?

“Tadi siang. Ada perusahaan eksportir, kebetulan teman saya yang berani membeli ke-5 orangutan itu seharga 12500 dolar.”


“Wah mahal itu, Ndan! Terus?” Imin memotong takjub mendengar jumlah uang yang disebutkan.

“Temanku itu rencananya ingin mengekspor Orangutan ke USA. Nah perusahaannya mau membeli dengan catatan ada dokumen yang sah dari institusi kita dan departemen terkait. Kau sendiri tahulah jika Orangutan itu satwa yang dilindung oleh undang-undang” komandan Bambang menjelaskan.


“Lalu? Gimana baiknya agar usaha kita lancar, Ndan?”

“Ya sesuai skenario awal. Dokumennya kita fiktifkan. Gitu aja kok repot, Gusdur aja jadi presiden ndak pernah repot!”


“Apa perusahaan teman komandan mau?”

“Awalnya tidak. Tapi setelah saya yakinkan serta menjamin keselamatan perusahaannya, akhirnya mau tak mau temanku mau. Ini ada surat perjanjian dan kuitansi jual-belinya” komandan bambang dan memperlihatkan surat-surat dan kuitansi serta segepok uang muka 10.000 dolar amerika yang telah dirupiahkan.


“Lho sudah dibayar, Ndan!” Imin terkejut melihat uang merah bergambar presiden Soekarno yang bertumpuk-tumpuk. “Jika kurs Rp10.000/dolar. Maka jumlah uang itu 100juta” Imin bergumam pelan.


“Emang sudah!” jawab komandan Bambang mengulum senyum. “Lha maksud saya mengundang kamu kekantor selain membicarakan uang juga membicarakan pembagian hasil untukmu, Zulkifli, Yudho dan teman-temannya!.”


“Maksud komandan?”

“Kau itu tolol apa goblok sich, Min” hardik Komandan Bambang.

“Maaf. Saya benar-benar tidak tahu, Ndan.”

“Uang inikan baru kita yang tahu. Kamu tidak ingin uang yang berlebih, Min?”

“Jelas mau!” jawab Imin spontan dan girang.

“Nah berhubung teman-teman yang lain belum mengetahui. Nanti kamu bilang kepada mereka jika Orangutan itu laku terjual separuhnya dari uang ini” jelas komandan Bambang menunjuk tumpukan uang merah bergambar presiden Republik Indonesia I.


“50juta. Lalu 50 jutanya lagi kita bagi 2, Ndan?” jawab Imin dan bertanya. Untuk masalah hitung menghitung uang Imin menampakkan kepandaiannya.


“Sesuai rencana, Min. 50juta dibagi 25% untuk saya, 20% kamu dan Zulkifli. Sisanya 35% untuk Yudho dan teman-temannya. Nah 50jutanya lagi, kamu dapat 40%!”


“Berarti saya mendapat bagian total Tiga Puluh juta rupiah!”

“Ya kira-kira segitu. Kau itu Min, kalau urusan uang pandai, tapi untuk urusan pikir memikir tidak!” sindir komandan Bambang.


“Ah komandan bias saja” jawab Imin malu-malu.

“Ya sudah, deal?”

“Sepakat, Ndan!”

“Sekarang pertemuan kita tutup. Tugasmu adalah menghubungi Zulkifli dan teman-teman yang lain. Kabarkan besok malam pukul 12 untuk datang di kantor!” komandan Bambang memerintah, “Ini uang kamu. 20 juta!”


“Siap, Ndan! Perintah laksanakan. 86!” Imin beraksi cepat dan tanggap.


Pertemuan itu ditutup. Imin yang diberi tugas dari komandannya langsung melaksanakan perintah. Ia terlihat sibuk memencet tuts telepon genggamnya. Ibujarinya begitu cekatan dan lincah menari dan merangkai kata membuat pesan,


“Kabar gembira. Tlh laku jerih payah kita seharga 50jt. Bsk hari sabtu dinihari, tpt jam 12mlm, wajib untuk datang ke kantor. Tlg sebarkan kpd tmn2 yg lain. a/n Komandan Bambang.”


Lalu mengirimkan pesan itu secara berantai.


Setelah tugas terlaksana Imin dan komandan Bambang pergi meninggalkan ruang kerjanya. Lampu semua dimatikan. Dan saya dalam kegelapan menyandarkan tubuh pada dinding kotak yang pengap dan tertidur pulas dan lemas.

***


Malam berikutnya. Minggu pukul 00.00 WIB. Tepat pada waktunya, semua komplotan komandan Bambang memenuhi undangan Imin yang mengatasnamakan komandannya. Komandan Bambang dan Imin yang sudah mendahului datang di kantor tak perlu menunggu lama. Kedatangan Zulkifli dan Yudho dan ke lima teman-temanya hampir bersamaan. Tanpa babibu ataupun berbasa-basi rapat pun langsung dimulai.


“Untuk memulai rapat kali ini terlebih dahulu tanpa mengurangi rasa hormat bagi umat yang beragama non muslim, saya awali dengan ucapan Bismillahirohmanirrohim, Assalamualaiku wr.wb. Salam sejahtera. Semoga Tuhan masih melindungi kita semua” komandan Bambang membuka rapat.


“Walaikum sallam wr.wb,” jawab peserta rapat yang beragama Islam. Sedang yang non muslim hanya mengangguk dan ada juga yang menjawab, “Assalumuat malam menjelang pagi.”


“Terima kasih atas kedatangan teman-teman. Maksud dan tujuan saya mengundang teman-teman di kantor saya adalah untuk membahas hasil dari kinerja yang telah kita lakukan beberapa malam yang lalu. Langsung saja ke pokok persoalan. Kebetulan ada perusahaan eksportir yang mau membeli Orangutan kita dengan harga 50juta. Dan sekarang sudah dibayar lunas. Ini uangnya.” Komandan Bambang mengambil uang yang sebelumnya disunat separuh lebih dari dalam tas dan diperlihatkan ke peserta rapat.


Reaksi Zulkifli, Yudho dan teman-temanya bak baru melihat uang yang bertumpuk membuat matanya kemerah-merahan dan senyum yang tak henti-hentinya mengembang.


“Sebelum uang dibagikan sesuai kesepakatan sebelumnya. Alangkah baiknya kita menghitung dahulu uang yang terpakai sewaktu kita di hutan. Saya persilahkan kepada teman-teman yang merasa telah mengeluarkan uang untuk menghitungnya.” Lanjut komandan Bambang sembari menyerahkan alat tulis kepada peserta rapat.


Komandan Bambang dan komplotannya menyibukkan diri mencorat-coret dan menuliskan angka-angka dalam bentuk rupiah di kertas. Di masing-masing kepala, mereka menggelemubungkan biaya yang dikeluarkan dalam operasi di hutan. Beberapa menit kemudian komandan Bambang kembali melanjutkan dan memimpin rapat.


“Bagaimana sudah selesai?”

“Sudah, Pak” jawab Zulkifli.

“Hampir selesai, Pak” Yudho menimpali.

“Ya sudah kalau begitu Zulkifli dulu! Sebutkan pengeluaran dan perinciannya!”.

“Baik, Pak.” Jawab Zulkifli dan kemudian membacakan dan menjelaskan hasil coret-coretan yang ditulisnya dengan berbohong. “Total semua uang yang saya keluarkan 300ribu dengan rincian 150ribu mengamplopi pak tua yang dititipi orangutan. 150ribu lagi saya belikan logistik dan rokok untuk bekal di hutan, Pak!”


“Ok, kalau Yudho?” ujar komandan Bambang sambil mengambil pecahan uang bergambar Soekarno sebanyak tiga lembar. Uang itu ditaruh dan memisahkannya disamping tumpukan uang 50 juta.


“Saya kurang lebih 500ribu. 300ribu menyarter mobil pikup. 200ribu untuk membeli logistik dan perbekalan selama perburuan” Jawab Yudho.


“Ehm… Ehm.. Mohon di ralat. Bukan perburuan tapi operasi pengamanan hutan. Harap diperhatikan.” Komandan Bambang meluruskan. “Baiklah dilanjut. Kalau saya dan Imin hanya mengeluarkan 3 butir peluru hampa dan 1 peluru tajam seharga 100ribu. Jadi total semuanya jika ditambah 300ribu uang Zulkifli dan Yudho 500ribu itu berjumlah 1juta!” komandan Bambang membagikan uang tersebut kemasing-masing orang yang telah menyebutkan sesuai angka nominalnya. “Dan yang tersisa 49juta. Sesuai kesepakatan, sebelum kita berangkat menggelar operasi, telah disepakati bahwa pembagiannya sebagai berikut; 20% untuk Zulkifli dan Imin. Saya 25%, dan 35% untuk Yudho dibagi rata sama teman-temannya.” Komandan Bambang melanjutkan.


Yudho masih terlihat mencorat-coret dikertas. Menghitung jumlah angka dan rupiah yang didapat setelah dibagi rata dengan teman-temannya. “Pak, jika 35% dari 49juta kemudian dibagi rata dengan ke 5 teman saya. Maka setiap orang Cuma mendapat duajuta delapanratus limapuluh sekian rupiah. Sedang teman-teman yang lain kok mendapat diatas 5 juta.” Protes Yudho.


“Lho bukahkah kita sudah menyepakati pembagian itu?” Imin menyambung, memperingatkan kesepakatan yang telah disepakati sebelumnya.


“Lho iya. Tapi kerja kita sama-sama berat. Kalian enak, Cuma jalan! Sedang kami sudah jalan membawa beban pula. Siapa yang menandu kurungan besar itu?” Yudho membela dan beralibi dengan ketidakpuasan hasil dari pembagian yang menurutnya tidak adil bagi dirinya dan ke lima temannya.

Suasana jadi hening. Jika dipersentasekan memang hasil yang didapat Yudho dan teman-temannya lebih kecil dibanding dengan yang lain. Bagi Yudo itu tidak adil! Selain sama-sama jalan ia juga harus menandu saya dan ke empat kawan sesama Orangutan yang lain, keluar dari meretas belantara melewati semak-semak yang tentunya sangat melelahkan.


“Baiklah 10% milik saya untukmu, Yudho” komandan Bambang menengahi dan memberikan solusi terhadap protes Yudho. Bagi komandan Bambang 10% dari 49juta itu nominal yang sangat kecil, jika dibanding uang yang sudah disunat sebelumnya.


“7% saya ihlaskan untuk bang Yudho!” Imin mencoba berempati.

“Bagaimana Zulkifli?” Tanya komandan Bambang yang melihat Zulkifli masih sibuk menghitung angka dikertasnya. Sepertinya ia juga ingin meendermakan uangnya kepada Yudho. Juga dalam bentuk persentase.


“Baiklah 5% saya ikhlas. Ujar Zulkfli berat hati.

“Yudho belum menjawab. Ia m kembali mencorat-coret dan menghitung angka di kertasnya;

49.000.000 X 57% = 27.930.000

27.930.000 : 6 = 4.655.000

Jadi Rp. 4.655.000/orang


“Baiklah saya mau!” jawab Yudho tersenyum tipis. Dibarengi anggukan kepala ke lima teman-temannya. Sebenarnya Yudho masih kurang puas dengan bagi hasil itu. Tapi jika dibanding dengan pekerjaannya sebagai penebang kayu di hutan, Menandu orangutan uang yang didapat lebih besar. Mau tak mau, ia pun menerima keputusan rapat pembagian hasil jerih payahnya. Walau baginya pembagian itu terasa tidak adil dan tidak rata.


“Masih ada yang keberatan?” kata komandan Bambang. Peserta rapat hanya bergeleng kepala dan diam. “Sepakat?” lanjutnya.


“Sepakat!!!” jawab peserta rapat serentak.


Komandan bambang menghitung berdasar persentase yang disepakati ulang. Dan membagi-bagikannya kepada Zulkifli Rp.7.350.000, Imin Rp. 6.370.000, dan Yudho Rp. 27.930.000 dan dibagikan kepada teman-temannya sebesar 4.655.000. Sedang Komandan Bambang justru malah mendapat bagian yang sama dengan Zulkifli.


“Baiklah rapat akhirnya selesai. Dimohon untuk saling menjaga rahasia. Begitu seluruh dokumen-dokumen telah selesai saya buat. Perusahaan eksportir akan mengambil orangutan itu. Mohon bantuannya dan saya ucapkan terima kasih atas kerjasamanya” komandan Bambang menutup rapat.

***


Hari sudah hampir menuju pagi. Komandan Bambang dan komplotannya masih diruangan kerjanya. Tepat didepan saya dan kawan-kawan sesama orangutan terkotak di dalam kamar yang berjeruji besi. Sebelah kamar kosong tak berpenghuni, hanya ada kaos biru tua bertulis ‘Tahanan’ dengan angka ’45 U’ yang tergantung di kapstok ruangan itu.


Saya yang masih terjaga mengamati gelagat dan tindak-tanduk manusia-manusia picik yang berkomplot. Tak kuat lagi menahan kantuk yang terus menyergap. Mendengar obrolan yang tidak penting dan tidak menyinggung saya dan kawan-kawan sesama orangutan akhirnya saya putuskan untuk beristirahat. Tidur dan membayang aapa yang akan terjadi esok?


Sebelum mata saya benar-benar terpejam. Belum juga pikiran itu terlepas sejenak. Lamat terdengat suara adzan yang menggaung dan menanda fajar akan segera menyingsing. Berbarengan itu, tawa kelakar komandan Bambang beserta komplotannya sudah berangsur sepi. Strategi dan rencana apa lagi yang hendak mereka susun? Dan tanpa daya, tak kuasa saya hanya pasrah menyikapi ulah dan perlakuan manusia berkomplot itu.


Dan tiba-tiba. Pikiran saya melesat jauh ke masa depan. Suatu masa yang belum pernah dilalui. Belantara hutan yang masih alami. Hidup rukun, beranak pinak dan berdampingan. Segala kebutuhan dasar untuk hidup tercukupi dan bahkan melimpah. Tak ada penggangu. Tidak ada makhluk predator yang bernama manusia. Hidup yang begitu tenteram dan kertaraharja.





Di Pinggiran Selokan Mataram 20 Juli 2010

(WFY)

NB

· Ide cerita berawal dari kerapnya saya menonton Film “The Burning Season”, yang diperankan oleh Raul Julia dan disutradarai John Frankenheimer. Dan film “Tarzan” (tanpa huruf X). Dan sering mendengarkan lagu “Isi Rimba Tak Ada Tempat Berpijak Lagi”, pencipta Iwan Fals. “Berita Cuaca”, yang dipopulerkan Gombloh dan "Lautan Tangis& Fabel"nya Sujiwo Tejo.

· Sumpah Tulisan ini tidak ditujukan kepada siapa-siapa, baik itu laki-laki maupun perempuan. Jika ada kesamaan, nama, tempat, lakon, peristiwa dan atau jalannya alur cerita maka itu faktor kebetulan saja. Sekali lagi Sumpah! Tulisan tidak berdasar fakta ataupun realita dan tulisan ini murni fiktif.

· Ide tulisan sudah terekam saat saya sedang melakukan perjalanan panjang antara Baderan-Cikasur-Cisentor-Rawa Embik-Puncak Rengganis-Cisentor-Taman Hidup-Bremi pada tanggal 12-17 Juli 2010.

Tidak ada komentar: