Sabtu, 07 Agustus 2010

Seandainya Orangutan Bisa Bicara (part V)

TERPENJARA; Dari Kandang Ke Kandang (Lanjutan dari Tragedi Kebinatangan)



Saya masih di rumah pak tua yang belum saya ketahui namanya. Pak tua kehidupan kesehariannya hidup dengan kesederhanaan. Menanam palawija berupa jagung di tanah belakang rumahnya yang tak seberapa. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari pak tua menggembala ternak milik tetangga dan menyambi menyabit rumput untuk dijual ke beberapa warga yang memelihara kambing ataupun sapi.


Hidupnya berjalan apa adanya, bersahaja jauh dari hiruk pikuk dan ramainya kota. Pak tua juga memelihara sepasang kambing sebagai tabungan untuk hari depan atau untuk keperluan mendadak yang lain. Di samping itu ia juga menjadi pekerja harian lepas jika ada yang meminta jasa tenaganya. Kuli bangunan, kuli pikul sampai pekerjaan yang menurut orang kota sebagai pekerjaan nista, tukang sampah pun ia lakoni.


Pak tua itu kalau hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari berupa makan lebih dari kecukupan. Untuk kebutuhuan sekunder berupa hiburan, pak tua cukup beranjangsana di rumah-rumah tetangga yang mempunyai televisi. Layar kaca bergambar adalah salah satu sarana salah satu hiburan yang menghibur bagi masyarakat desa pinggiran hutan.

***


“Hey mengapa kalian sedari malam hanya diam?” saya menegur sapa kepada orang-orangutan yang lain sesama penghuni kerangkeng,


“Tidakkah kau merasakan seperti apa yang kurasakan saat ini?” orangutan muda bersungut-sungut, “Saya syok dengan peristiwa semalam! Dan kini saya trauma dan bahkan beranjak gila!” lanjutnya. Sedang ketiga orangutan masih tertunduk lesu tanpa daya.


“Ya! Saya merasakan hal yang sama seperti kalian. Tidakkah kaulihat berapa banyak darah yang bercecer di lantai?”.

“Oleh sebab itu saya trauma melihat kebiadaban manusia terhadap kita!” orangutan muda memotong dan bertanya. “Kita mau diapakan?”.


“Saya tidak tahu persis! Mungkin kita di evakuasi ketempat yang lebih aman” saya menjawabnya dengan berbohong. Evakuasi dalam bahasa manusia yaitu dipindahhunikan ketempat yang tidak hewani, semisal kebun binatang dan taman safari.

“Mengapa?”

“Dengan dalih kebijakan pembangunan dan kesejahteraan umat manusia. Mungkin areal hutan tempat tinggal kita akan diratakan dengan tanah”.


“Kok bisa?”.

“Kenapa tidak? Tidak tahukah kamu di Papua berdasar kabar burung cendrawasih. Gunung yang semula menjulang, hutan yang semula lebat kini sudah menjadi rata dengan tanah. Dan sekarang menjadi kota yang kata manusia sangat indah, penuh dengan artistik dan modern. Semula, berawal dari kekayaan sumber daya alam di tanah Papua yang kaya akan emas dan tembaga. Manusia yang mengorganisir diri dan membentuk perusahaan betnama PT Freeport Indonesia mengekspoitasi habis-habisan sumber daya alam yang ada di tanah Papua. Gunung terpangkas, hutan rata denga tanah setelah habis tak bersisa, mereka PT Freeport Indonesia otomatis tidak bisa mengembalikan hutan dan ekosistemnya. Nah dengan dalih pembangunan itulah mereka membangun kota-kota yang semula itu gunung dan hutan”.


“Biadab! Dasar Muhaimin!”

“Hush, Imin ada di luar! Jangan menghujat dengan nama itu!” saya mengingatkan.



“Muhaimin yang saya maksud bukan manusia yang diluar itu. Tapi manusia yang bernama Imin-imin yang lain. Saya tak habis pikir!?” Orangutan muda menggaruk-garuk kepala. Terlihat satu persatu bulunya rontok. Ia benar-benar stres.


“Jangan heran dengan negeri ini! Lihat di Ibukotanya. Banyak juga rumah-rumah yang tergusur dengan dalih pembangunan dan penataan kota. Andai saja Jakarta punya hutan. Pasti para pemimpinnya pun akan melakukan hal yang sama terhadap hutan-hutan tempat kita dan satwa lain bertempat tinggal!”


“Hmm” orangutan muda menghela nafas panjang dan menghirup udara dalam-dalam.

“Sudahlah di situasi saat ini tidak usah berdiskusi. Lebih baik kita pikirkan bagaimana kita menyelamatkan diri dan lolos dari kerangkeng ini.”


Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki dan sepatu yang terseret. Suara itu semakin lama semakin mendekat. Saya terpaksa menghentikan obrolan dengan orangutan muda disamping saya.



“Sssst ada manusia. Mari pikirkan!” saya menutup obrolan. Orangutan muda itu manggut-manggut. Ia masih menggaruk-garuk kepala yang merontokkan bulu-bulu kemerahannya.

***

Rupanya Komandan Bambang dan komplotannya yang datang. Komplotan itu membawa lima kotak yang berlubang disetiap sisinya. Dengan gerak cepat serta sigap komplotannya memasukan orangutan disetiap masing-masing kotak.


Di dalam kotak berukuran sempit itu hanya pas badan dan sedikit ruang untuk menggerakan tangan dan kaki. Lubang di setiap sisinya digunakan untuk udara yang masuk-keluar untuk pernapasan. Selain itu bisa dipergunakan untuk mengintip gerak-gerik dan menguping suara-suara yang berada diluar kotak tempat saya terkurung. Ruang gelap tersekat rapat yang lumayan pengap inilah tempat hunian baru saya dan empat kawan sesama orangutan.

Saya teringat dengan tokoh Prodem (Pro Demokrasi) Myanmar. Sesosok manusia berjenis kelamin perempuan bernama Aung San Suu Kyi yang dengan gigihnya memperjuangkan hak-hak kaum papa. Berjuang atas nama harkat-martabat dan demokrasi yang direpresi oleh penguasa negara yang militeristik. Dengan kekuasaannya Junta militer begitu leluasa menindas rakyat dan bangsanya sendiri.


Oleh sebab perjuangan yang dilakukan Aung San Suu Kyi, atas nama stabilitas politik dan keamanan dalam negeri, akhirnya junta militer menangkap dan memenjarakan pahlawan prodem rakyat Myanmar.

Begitu pun di negeri ini. Sangat banyak manusia-manusia Prodem bahkan yang mengaku Prodem. Tak perlu disebutkan siapa nama manusia itu? Untuk memudahkannya saya sebut sebagai para aktivis ’98 saja.


Mungkin manusia yang lahir di rentang waktu tahun 1980-1990, sekarang tentunya berusia muda, akan tahu peristiwa demi peristiwa antara tahun 1996-1998 yang menghebohkan, keji dan brutal yang didalangi oleh negara dan tentara.


Tentunya masih ingat dengan slogan-slogan penyemangat disaat penumbangan rezim militeristik kala itu. Seperti; ‘Satu bumi merah jangan patah sampai sang tiran menyerah’ atau ‘Jika demokrasi terancam oleh represif suatu tirani kekuasaan maka perlawanan adalah suatu keharusan atau ‘Adili Koruptor! Keadilan yang seadil-adilnya’ dan masih banyak lagi slogan-slogan yang diteriakan oleh aktivis di parlemen jalanan.


Setelah cita-cita perjuangan tercapai dan rezim tumbang, apa yang terjadi tak beda jauh, malah persis seperti rezim pendahulunya. Oknum aktivis ‘98 yang dulu pernah terpenjara, pernah lantang dan garang menuntut keadilan dan rajin berunjuk rasa di jalanan justru sekarang duduk manis di parlemen sungguhan, di gedung dewan perwakilan rakyat-manusia. Para oknum-oknum aktivis yang menggantikan rezim tua yang sudah tak produktif, terlihat hanya senyum-senyum dan cengengesan saat ditanya dan menyikapi SI KONTOL PANJANG (Situasi, Kondisi, Toleransi, Pandangan dan Jangkauan) terhadap kondisi BU POEKSO (Budaya, Politik, Ekonomi dan Sosial) yang sedang terjadi di negeri ini. Suatu kondisi yang tidak juga berubah dengan rezim lama.


Tidak ada keadilan yang berlaku di negeri ni. Undang-undang yang seyogyanya diperuntukan untuk melindungi kaum dan manusia yang lemah lagi teraniaya, justru malah tidak bisa mengakomodir kepentingan rakyatnya. Jika tidak percaya, turunlah ke lapangan lalu berbaurlah dengan masyarakat yang menjadi korban semburan lumpur Lapindo, Korban limbah Newmont, korban ketimpangan sosial yang dilakukan Freeport di tanah Papua dan masih banyak lagi korban-korban yang dikorbankan oleh penguasa.


Apakah mereka para penguasa yang pernah berkuasa dan punya kuasa terpenjara oleh karena kesalahan dan dosa-dosanya? Tidak bukan! Mereka masih keluyuran bebas dan bahkan masih merusak lingkungan dan bahkan masih mengeksploitasi hasil bumi yang berdampak pada masyarakat luas. Dan lagi demi kepentingan negara dan kesejahteraan rakyatnyalah mereka para penguasa melakukan semua itu. Di negeri ini manusia yang punya kuasa berkuasa menguasai apa yang ingin dikuasai bahkan kuasanya melebihi mahakuasanya Tuhan.

Jika di pikir-pikir dengan kondisi yang saat ini sedang saya alami. Mungkin imbas dari penyeruan lantang saya terhadap kerusakan hutanlah penyebabnya. Apa pennguasa ini mendengar? Padahal saya hampir-hampir belum pernah mengkritik ataupun menghujat secara langsung kepada presiden dan aparatur yang tidak saya pilih di Pemilu 2009 kemarin, yang secara tak kasat mata jelas-jelas turut berpartisipasi menandatangani kerusakan hutan dalam bentuk HPH (Hak Pengusahaan Hutan).


Analisa saya bisa jadi benar. Mungkin suara dan tindakan saya yang frontal menyebabkan saya diculik, disekap dan terpenjara. Setelahnya saya akan dimintakan suaka ke negeri tetangga atau negara lain yang bermodal besar dengan cara dibarter dengan uang.


Hati-hati! Peringatan keras ditujukan bagi para aktivis sosial, politik, budaya, lingkungan dan aktivis lainnya. Jika tidak ingin mengalami nasib serupa yang pernah di alami aktivis ‘98, Aung San Suu Kyi ataupun saya. Jangan sekali-kali menentang kebijakan penguasa di negeri ini. Lebih baik diam, walau diam tak lagi menjadi emas. Atau jika konsisten dengan suara hati nurani teruskanlah tapi perlu di ingat janganlah menciderai rakyatmu yang diatasnamakan.

***


“Ndan, Semua sudah beres” Imin melapor kepada komandannya. “Semua orangutan sudah dimasukkan ke dalam peti”.


“Orangutan yang terluka dikotak nomor berapa, Min?” tanya komandan bambang.

“Nomer 3, Ndan!”

“Oh, sekarang angkat kotak-kotak itu ke mobil. Harap di ingat orangutan yang terluka dikotak berapa? Dan jangan lupa diobati” perintah komandan Bambang.


“Baik, Ndan! Laksanakan” jawab Imin. Ia pun pergi meninggalkan komandannya dan memerintahkan hal yang sama kepada Zulkifli untuk mengangkut dan memindah semua kotak ke mobil pikup.


Setelah kota-kota berpindah tempat di mobil pikup, Zulkifli berpamit kepada si empunya rumah. Sebagai balas jasa ia kembali memberi amplop yang berisi beberapa lembar uang berwarna hijau.

“Pak, Terima kasih atas titipan saya. Tolong dirahasikan apa yang saya titipkan.” Ujar Zulkifli berbasa-basi. Tangan kanan berjabat tangan sedang tangan kiri menyelipkan amplop putih di saku si empunya rumah.


“Iya pak sama-sama” jawab si empunya rumah ramah dan menengembalikan amplop putih itu kepada Zulkifli. “Ndak usah pak, ini dibawa saja. Mungkin bapak atau orang lain yang lebih membutuhkan daripada saya”.


“Ah terima saja, Pak. Anggap ini uang sebagai wujud terima kasih saya dan rekan-rekan.”

“Sudahlah Pak, bawa saja. Uang yang semalam masih utuh kok. Belum saya apa-apakan” ujar si empunya rumah menolak halus.


Zulkifli tengak-tengok kebelakang. Dengan gerakan super cepat ia memasukan amplop yang berisi uang itu dibalik saku jaketnya. “Baiklah pak, kalau begitu saya pamit untuk melanjutkan perjalanan. Sekali lagi atas nama rekan-rekan saya ucapkan banyak-banyak terima kasih.”


“Iya, Pak! Hati-jati dijalan. Semoga Tuhan memberi keselamatan sampai tujuan”


Seusai berpamitan, Zulkifli bergabung dengan komplotannya yang sudah menunggu di mobil pikup. Perjalanan pun dilanjutkan. Saya yang terkurung didalam kotak, kembali berjalan mengikuti komplotan berseragam.


Jalan bergelombang, makadam dan perkebunan dilintasi. Saya mengintip dari balik lubang pernapasan. Banyaknya rumah-rumah dan kerlip lampu terpancar disana-sini. Mungkin sudah memasuki perkampungan manusia. Selain itu, terlihat hanyalah kebun-kebun sayur, buah dan palawija lainnya. Saya yakin sebelum adanya kebun awalnya adalah hutan yang sangat lebat. Indikasinya, masih ada bekas-bekas pohon yang besar yang berubah menjadi arang.


Perjalanan pun berlanjut semakin jauh hingga waktu tak terasa sudah menandakan pagi. Fajar menyinar menyibak kabut-kabut yang masih menyelimut. Pijarnya meyusup di celah-celah kotak. Pagi buta sampailah di sebuah rumah yang berfungsi sebagai kantor. Banyak manusia-manusia berseragam cokelat yang tidak saya ketahui namanya sedang menghormat bendera berwarna merah dan putih di halaman depan rumah.


Mobil pikup yang saya dan ke empat kawan sesama orangutan tumpangi memasuki pelataran rumah dan memarkirkannya tepat didepan pintu masuk.


“Apa tuh, Ndan?” tanya manusia berseragam cokelat berambut cepak.

“Biasa Barbuk!” jawab komandan Bambang.

“Barang bukti apa, Ndan!”

“Barbuk orangutan yang akan diselundupkan!”

“Wah Proyek besar nich!” puji manusia berseragam cokelat berambut cepak.

“Ah kau bisa saja!” jawab komandan Bambang tersenyum ramah.


Komandan Bambang pun memasuki ruang kantornya. Sedang saya dan kawan sesama orangutan didalam kotak yang berventisali minim dipindahtempatkan ke ruang berjeruji besi oleh orang-orang berseragam cokelat dan menguncinya rapat-rapat.


“Oh iya. Itu orangutan tolong dikasih makan!” perintah komandan Bambang kepada manusia berseragam cokelat berambut cepak yang juga menjadi bawahannya.


“Siap, Ndan!” jawabnya tegas dan berhormat lantas pergi meninggalkan ruangan.


Tak lama kemudian, manusia berseragam cokelat berambut cepak itu datang lagi dengan membawa standan pisang kemudian membaginya secara merata disetiap masing-masing kotak. Saya dengan sangat terpaksa, berhubung lapar akhirnya memakan juga. Tak terkecuali kawan-kawan sesama orangutan yang lain.


Suasana rumah yang berfungsi sebagai kantor mulai terasa ramai. Manusia-manusia berganti rupa datang dan pergi. Komandan Bambang beserta komplotannya tak memunculkan batang hidungnya. Mungkin komplotan itu keletihan dari kemarin melakukan operasi Gema Telik Sandi. Saya pastikan operasi yang dilakukan komandan Bambang dan komplotannya berjalan sukses. Sebab saya dan empat kawan sesama orangutan serta dua ekor babi dan seekor belibis berhasil terjaring dalam operasi tersebut. Namun sayangnya, kedua babi dan seekor belibis bernasib sial dan termakan oleh komplotan itu.***



Di sebuah rumah dekat Bantaran Kali Beji, 08 Juli 2010

Sempat mengalami kemandekan penulisan. Namun setelah melakukan perjalanan jauh pada tanggal 11-17 Juli, akhirnya Di Pinggiran Selokan Mataram, 19 Juli 2010 tulisan ini terselesaikan juga.

(WFY)




NB

· Ide cerita berawal dari kerapnya saya menonton Film “The Burning Season”, yang diperankan oleh Raul Julia dan disutradarai John Frankenheimer. Dan film “Tarzan” (tanpa huruf X). Dan sering mendengarkan lagu “Isi Rimba Tak Ada Tempat Berpijak Lagi”, pencipta Iwan Fals. “Berita Cuaca”, yang dipopulerkan Gombloh dan "Lautan Tangis"nya Sujiwo Tejo.

· Sumpah Tulisan ini tidak ditujukan kepada siapa-siapa, baik itu laki-laki maupun perempuan. Jika ada kesamaan, nama, tempat, lakon, peristiwa dan atau jalannya alur cerita maka itu faktor kebetulan saja. Sekali lagi Sumpah! Tulisan ini murni fiktif.

· Beginilah di suatu negeri jika penguasanya tidak mau dikritik. Demi melanggengkan kekuasaan, lawan-lawan politiknya akan ditangkap dan dijebloskan di penjara dengan tuduhan menganggu stabilitas politik negara. Tapi akhir-akhir ini untuk membungkam lawan politik sedang ‘ngetren’ dengan tuduhan pencemaran nama baik. Berhati-hatilah.

Tidak ada komentar: