Minggu, 24 Januari 2010

Suka Duka Di Taman Hidup -Kisah pak Tua “ngGacor”- part III

“Ah Antasari Azhar itu cuma dijadikan korban oleh para penguasa” komentarnya Ketika itu kami bertiga sedang menonton berita yang menyiarkan secara langsung sidang pembunuhan Nasrudin di sebuah televisi swasta nasional. Kami hanya mengangguk saja. Memang sudah menjadi kesepakatan bersama, jika ia berkomentar tentang apapun itu, kami hanya mengiyakan atau mengangguk tanpa berbalas komentar.


“Memang untuk menjadi orang bersih dan pembela kebenaran di negeri ini susah!” ia menggerutu sambil terus memantau perkembangan kasus Antasari di televisi. Berita yang selama ini berkembang simpang siur dan semakin runyam tentang kasus pembunuhan yang melibatkan elit politik nasional. “Konspirasi jahat” katanya.


“Kok bisa paman?” sahut temanku dengan entengnya. Aku hanya memberi kode berupa kedipan mata. “wah ngawur, bukankah kita sudah bersepakat dilarang mengomentari paman?” protesku dalam hati.


“Lho iya,Antasari Azhar itu orangnya bersih. Semenjak ia menjadi pimpinan KPK (akronim; Komisi Pemberantasan Korupsi) sudah berapa koruptor yang ia jebloskan ke dalam penjara? Dia itu orang hebat! Besan presiden kita aja ia masukkan ke penjara! Itu Lho siapa namanya? Itu lho yang pernah menjabat Gubernur Bank Indonesia? Haduh saya lupa! Oh iya Aulia Pohan! Dia itu Koruptor!! Lihat saja kasus bank Century ia juga terlibat!” jelasnya secara mendetail.


“Paman, maksudku kok bisa dijadikan korban?” temanku menyela penjelasan yang dipaparkan panjang lebar oleh paman Step. Sedang aku bergeleng kepala tak tahu maksud dari pertanyaan temanku. Apakah dia benar-benar tidak tahu atau dia sebenarnya tahu tapi pura-pura tidak tahu.


“Ya itu tadi Le, kamu lupa ya presiden kita itu siapa? Dia kan besannya si maling bernama Aulia Pohan! Mungkin saja ada motif balas dendam. Bisa jadi ia sakit hati dengan perlakuan Antasari menjebloskan besannya ke dalam bui” paman Step menjelaskan ketidaktahuan temanku penuh dengan semangat, suaranya kalem dan nampak berwibawa. “Seharusnya Antasari dibebaskan! Negeri kita butuh orang-orang seperti Antasari Azhar” ia sudah memvonis bebas sebelum hakim yang bersidang memvonis dan mengetukkan palu.


Aku hanya menjadi pendengar setia bila ia mulai berkomentar. Acuh dan sesekali mengumbar senyum sembari terus menonton televisi yang volume suaranya kalah keras dengan suara paman Step. Aku enggan berkomentar tentang kasus yang sedang disiarkan. Siapa yang bersalah dalam kasus pembunuhan bos PT Putra Rajawali Banjaran? Biarlah pengadilan yang memutuskan dan biarkan semua orang bebas beropini. Tak salah juga berdebat di luar gedung pengadilan.


Pada saat yang sama, aku bersama rekanku sedang mengobrol, membicarakan sebuah proyek. Maklum sudah lama sedang mengalami kevakuman beraktivitas. Jikalau proyek ini berhasil maka bisa dikatakan sebagai proyek iseng-iseng berhadiah. Tapi lihat saja realisasinya. Berhasil syukur, tidak berhasil ya cuma sekedar iseng saja. Lha wong membuatnya juga tidak terkonsep dengan jelas. Hanya sambil bercanda membahasnya. Proyek dagelan.


Tiba-tiba saja paman Step menyela obrolan kami tentang proyek iseng yang sedang kami bicarakan “Gini yo Le, Saya itu lebih berpengalaman. Cara menghitung kalian itu salah! Saya selalu tidak disertai titik koma sebelum semua hasil dijumlahkan. Saya itu kalau menghitung dengan runtut dan sistematik. Sini saya ajarkan?” ia memulai menghitung semua rincian dan segala penjelasannya. Bla..bla..bla.. ditambah bla…bla..bla..dikurangi bla..bla..bla.. di kalikan bla..bla..bla..sama dengan bla..bla..bla.. dipotong bla..bla..bla.. dan seterusnya sampai selesai dan hasilnya bla..bla..bla.. Panjang lebar ia memaparkan jumlah mata uang yang menjadi rencana dalam pembiayaan proyek dagelan itu.


Kami hanya bergeleng kepala saling pandang satu sama lain. Ia nyelonong begitu saja dan menyela apa yang kami sedang perdebatkan. Kami masih berpandang. Aneh dan bingung mendengar mulutnya yang nyerocos tanpa kami mintai pendapatnya.


Wis ta percaya sama saya[1]. Kalau masalah hitung-hitungan rencana anggaran. Saya betul-betul hafal di luar kepala! Sampai mati” kata paman Step, mengulang perkataannya. “Lho iya paman, sik tho iki lho tak jelaske sik kabeh kebutuhane![2]aku mencoba memberikan pengertian disaat mulutnya yang terus meracau. “Gak usah ngeyel[3], percaya sama saya! Saya itu lebih berpengalaman daripada kalian” paman Step meyakinkan hasil hitung-hitungannya. Wah ribet juga berdiskusi apalagi memintai pendapat dengan orang yang lebih tua. Kata-katanya selalu saja dianggapnya benar. Sekarepe dewe![4] bergumam dalam hati.


Wis ta Boy, ogak usah engkel-engkelan karo paman Step. Daripada mengko uyuhmu di ombe karo paman Step?[5]” Bisik temanku. Aku berkerut dahi tak mengerti apa yang dibisikkan. “Lho kok bisa?” aku berbalas bisik. “Lho iyo nek kowe luwih pinter karo dekne, Paman Step bakalan ngombe uyuhmu. Iku sesumbare paman Step dewe lho[6]!” terangnya sembari memberi isyarat untuk menghentikan perdebatan yang tak jelas pangkal ujungnya. Aku hanya bergidik ngeri mendengar penjelasan temanku. “Kalau ada yang lebih pinter dari saya, saya minum kencingnya” lagi berbisik sembari meniru suara paman Step.


Tanpa kesimpulan dari jawaban yang mengambang. Sing waras ngalah! Kami pun mengakhiri perdebatan masalah proyek iseng itu. Memang ia menjelaskan selalu runtut dan sistematik, itu menurut versinya. Tapi bagi kami itu hitung-hitungan yang njlimet dan rumit.


Akhir dari perbincangan kamipun bersepakat, lain waktu jika sedang membicarakan sesuatu hal tentang apapun itu. Jangan sampai terdengar oleh telinga Paman Step. Selalu saja dengan kepintarannya berbicara ia akan ikut nimbrung. Menyela! Bercerita dengan kesoktahuannya! Bahkan cenderung membual! Saya itu lebih tahu dari kamulah, lebih berpengalamanlah, kau itu tahu apalah? Tai kucing!

***


Waktu menjelang maghrib, paman Step sepertinya sudah mulai mengantuk. Biasanya ia akan mengonggokkan diri di pojok kamar kantor yang memang di desain sebagai tempat untuk beristirahat. Menata bantal, dan membersihkan karpet menggunakan sapu lidi lalu menyelimutkan tubuh dengan kain korden berwarna cokelat kesayangannya. Tidur mendengkur, walau ia tak mau mengakui dengkurannya. Katanya ia selalu meditasi ketika hendak tidur, walau tak pernah terlihat ia bermeditasi.


Sebagai penghantar lelap dalam tidurnya, ia tak pernah lupa menonton televisi. Mungkin inilah yang dimaksud dengan meditasi ala paman Step. Selain film, tontonan wajib yang di lihat adalah National Geographic, Discovery Channel, dan tontonan mengenai sejarah peradaban manusia. Ia juga terus memantau perkembangan berita dalam negeri maupun luar negeri baik itu politik, sosial dan budaya.


Baginya satu hari tak menonton televisi, maka ia akan tertinggal jauh mengikuti ilmu yang semakin terus berkembang. Televisilah yang menambah dan menjejali otaknya dengan segala ilmu pengetahuan dan tekhnologi/Iptek. Hingga tertidur lelap dan terlupa mematikan tv yang ia sendiri stel. Teman-temannya sudah memaklumi tabiat dan kebiasaan yang ada dalam diri paman Step.


Jika sudah tertidur lelap, tak ingat lagi beban yang sedang ia pikul. Semua terlupa begitu saja. Tertidur berjam-jam dan terbuai dalam mimpi-mimpi indah. Kami dan beberapa teman hafal betul jika ia sudah tertidur pulas. Ada yang pernah menghitung berapa jam ia tertidur. Hasil dari pengamatan secara seksama. Dalam satu minggu, ia tidur kurang lebih hampir 11 jam setiap harinya. Misalnya ia tidur pukul 21.00 WIB, maka ia akan terbangun pukul 08.00 pagi. Pernah ia menyindirku dan beberapa teman, kita kalau tidur tak punya aturan. Seperti kerbau! Tidur lama dan bangunnya siang. Padahal jika kuhitung tidak melebihi dari tidurnya yang 11 jam.


Paginya segelas kopi dibuat untuk menemani menonton berita perkembangan dunia dan tanah air. Hari beranjak siang baru ia bersosialisasi dengan manusia lain. Nge-break via radio komunikasi, itulah aktivitas pertama kali yang dilakukan sedari bangun dari tidurnya. Mengobral cerita dengan para breaker yang entah ia kenal atau tidak.


“Break, Tes…Tes… Alfa, Beta, Charlie, Delta, Echo! Roger, Ganti” ia mulai memutar channel frekuensi mencari lawan bicara atau teman obrolan lewat udara.


“Selamat pagi semuanya, berjumpa lagi dengan Rudi alias rusak dikit” begitulah cara ia memulai bercuap-cuap dan memperkenalkan diri. Semua lawan bicara di radio pasti tahu, yang tak lain dan tak bukan adalah suara paman Step. Rudi nama samaran yang selalu di pakai paman Step untuk mengudara lewat radio komunikasi.


Nge-break adalah aktivitas di siang hari. Setelah capek bercuap-cuap ia kembali memantau perkembangan dunia lewat televisi. Duduk manis bersandar di tembok menatap layar tv dan tak lupa secangkir kopi turut serta menemani. Baru setelah sore hari ia bepergian menggunakan skuter hitam yang selalu dibanggakan, -skuter yang konon diakui, kecepatannya bisa melebihi dari motor sport pabrikan Jepang keluaran terbaru-. Jika kutanya akan pergi kemana? Dia pasti menjawab akan pulang kerumah. Tumben ia masih ingat anak dan mertuanya. Menjelang maghrib, ia kembali lagi ke kantor dan melakukan rutinitas seperti biasa. Duduk manis di depan layar tv sembari mengomentari apa yang ia lihat dan dengar. Hingga ia tak kuat menahan kantuk dan lalu tertidur. Bukan paman Step jika tak berkomentar akan sesuatu hal.

***


Paman Step adalah komentator handal di segala bidang. Bicaranya ceplas-ceplos. Salah atau tidak komentarnya selalu dianggap benar. Tak mempedulikan lagi apakah komentarnya menyinggung perasaan yang ia komentari atau tidak. Jika ada yang membetulkan -bukan bermaksud menyalahkan- ia akan diam lalu mengalihkan pada pembicaraan lain. Tanpa maaf, tanpa peduli lagi apa yang telah dikatakannya. Untuk meralat ataupun membenarkan apa yang telah diucapkan gengsinya setengah mati. Ia tak mau menjilat ludahnya sendiri. Seolah-olah apa yang telah dikatakannya adalah ayat-ayat suci yang tak perlu lagi di uji kebenarannya. Mutlak dan absolut!


Keserba-tahuannyalah yang menyebabkan ia pandai dengan segala hal. Bagaimana tidak pintar? Lha wong setiap hari ia berguru dengan Televisi, Koran, radio. Pantas saja perkembangan dunia dan ilmu pengetahuan selalu up to date! Serba bisa! Bisa jadi salah atau mungkin bisa jadi benar dengan semua apa yang ia cerap dari hasil belajarnya di media cetak dan elektronik. Namun hingga kini ia tak pernah mengaplikasikan pengetahuan yang ia dapat. Nyata-nyata semua teori yang ia dalilkan dalam praktek tak pernah terlihat hasilnya! Andai pun ada, hanya sebentuk gambar dalam imajinasinya.


Sudah menjadi rahasia umum. Semua rekan-rekan yang dekat dengannya tak lagi menanggapi paman Step berkhutbah, berteori dan bercerita. Mendengar pun hanya pura-pura atau dengan istilah yang lebih sopan “Ngajeni uwong sing luwih tuwek[7]!”. Ada rasa sungkan kalau terlalu blak-blakan mengacuhkan dirinya. Kami hanya bisa memaklumi walau terkadang merasa tidak suka pada kesoktahuannya! Suara yang terlontar dari mulutnya melebihi dari kecepatan cahaya. Seakan-akan jika mulai berbicara tak dipikirkan lagi sebab-akibat dari perkataannya. Bisa jadi benar jika ia bicara memang tidak dipikirkan terlebih dahulu. Sepertinya begitu, kami hanya menduga.


“Saya itu lebih berpengalaman dari pada kamu! Saya ini pelaku sejarah! Kamu itu tahu apa?” adalah kata-kata paling ampuh mematikan lawan bicaranya bila tidak sependapat dengan dalil dan perkataan paman Step. Setiap kali kata-kata pamungkas itu keluar dari mulutnya, lawan bicaranya pun akan terkesima, tersihir diam seribu bahasa. Membungkam mulut tanpa kata-kata menahan tawa! Mungkin ia menganggap kata-kata itu mempunyai daya linuwih melebihi mukjizat para nabi. Paman Step pun berada di atas angin. Rupa-rupanya paman Step lupa dengan diktum “kata-kata adalah senjata”. Kata-kata bisa setajam silet, tapi bila tidak panda-pandai mengoperasikan malah akan menjadi senjata makan tuan. Sungguh dia terlupa jika kata-kata adalah sumber malapetaka.


Hingga detik ini, semangat mudanya masih menyala-nyala. Masih dengan celotehan-celotehan. Meracau! Entah sampai kapan ia akan merubah sifat, sikap beserta tingkah lakunya. Biarlah, biar Tuhannya yang akan mengubah. Atau malah inilah takdir yang dikehendak Tuhan pada dirinya! Tapi jika ia berubah bukan lagi paman Step namanya. Dunia akan terasa sepi. Tanpa ia, dunia selaksa tanpa penghibur.


Taman Hidup, 19 Januari 2010

(WFY)



[1] Sudahlah percaya sama saya!

[2] Lho iya paman, Sebentar tho ini lho saya jelaskan dulu semua kebutuhannya!

[3] Tidak usah membantah

[4] Seenaknya sendiri

[5] Sudahlah Boy, Tidak usah berdebat kusir dengan paman Step. Daripada nanti air senimu diminum paman Step?

[6] Lho iya, kalau kamu lebih pintar daripada dia, paman Step akan meminum air senimu. Itu janjinya Paman Step sendiri lho.

[7] Menghormati yang lebih tua

Sabtu, 16 Januari 2010

Sebuah Potret Berpigura Hitam


-->
Pigura itu masih terpampang dengan jelas pada posisi ketika pertama kali ibuku meletakkan. Masih terbingkai rapi di sebuah pigura mungil yang tampak mulai berdebu. Sengaja kutak membersihkan, biarlah sang angin menyapu bersih debu-debu itu. Terlihat bersih pun jika memang kerap kutinggalkan kamar untuk beberapa waktu yang lama dan ibuku yang selalu membersihkan pigura berpotret hitam-putih. Setelahnya akan terlihat kotor dan berdebu lagi, jika aku sudah kembali menghuni kamar. Tak perlu beralasan mengapa aku begitu enggan membersihkan.
Selain diriku tak ada yang berani memasuki kamar tanpa seizinku, kecuali ibuku. Sekalipun ada yang berani memasuki, aku akan mengusir sebelum langkah pertama menginjak lantai kamarku. Bagiku kamar adalah tempat tersimpannya berbagai macam privasi yang tak boleh dijamah manusia lain. Jika ada yang pernah tidur dikamarku, itu lain soal, maka sesungguhnya ia manusia yang beruntung. Hanya aku yang tahu! Ibarat celengan, tak semua orang tahu berapa uang yang kusimpan didalamnya. Melihat hanya bisa dari lubang tempat memasukkan kepingan koin. Mengintip dari celahpun hanya gelap dan tak bisa terlihat dengan jelas. Hanya si pemilik yang mengetahui berapa jumlah koin yang telah dimasukkan.
Tahukah kamu jika aku kerap membalikkan pigura agar kau tampak membelakangiku. Aku tak mau bertatap muka denganmu, walau hanya dengan gambar menyerupa raut wajahmu. Justru potret itulah yang bisa membuat kau bercerita tentang rentetan peristiwa masa lalu, kini, dan mungkin masa depan. Hanya potret diri dan ibuku saja yang boleh terpajang diatas rak buku dan berpigura. Seandainya ada foto bersama dan kau salah satu orang didalam gambar, maka kan kubalik atau malah dimasukkan kedalam album foto -yang belum tentu kubuka dan lihat setiap hari. Pigura kosong itu berganti dengan potret yang lain, tanpa kau.
Miris jika kupaksa mengingat kembali masa lalu, yang selalu ibuku katakan berulang-ulang, walau hanya sebagai pengingat. Menatap potretmu yang terasa hanya mengenangmu. Kilas balik pada pengalaman yang telah berlalu.
***
Tatkala rekam jejak mengenaimu terulang kembali! Terus terang aku begitu merindumu, terkenang, tetapi jika mengingatmu terus-menerus maka segera kutepis dengan segela kebencian yang aku ciptakan. Tak baik berlarut-larut dalam kepedihan. Kuhanya bisa melantunkan doa-doa pengharapan agar kau tenang dalam damai di alammu dan diterima disandingNYa. Barangkali hanya ini yang bisa sementara aku lakukan.
Aku masih bisa membayangkan ketika kau menimangku dengan penuh kasih sayang. Menciumiku penuh cinta kasih, memberi wejangan dan mengayun-ayunku sembari bersenandung lagu keroncong di saat kau gendong. Selain itu, kau juga mensisipi harapan-harapan di sela pergantian lagu berikut yang hendak kau nyanyikan. Agar aku kelak berguna bagi bangsa serta kedua orang tua.
Kau begitu sabar, lebih dari sembilan bulan lamanya menunggu si jabang bayi penuh dengan rasa was-was. Begitu anakmu terlahir didunia, kau terlihat bahagia bercampur haru. “Sempuna. Anakku yang terakhir terlahir. Terima kasih Tuhan!” begitu bahagia kala itu, berucap syukur dengan kedua telapak tangan menyatu terkepal. Walau kau tak mengadzani ketika kulahir, terima kasih kau telah memberiku nafas kehidupan di dunia ini. Kan kukenang semua kisah yang pernah kita lalui bersama, semuanya, segalanya apapun itu. Akulah yang selalu kau sebut “Janoko” ketika kau timang.
Tujuh puluh dua bulan atau setara dengan Dua ribu seratus enam puluh satu hari dan atau sama dengan Lima puluh satu ribu delapan ratus enam puluh empat jam. Waktu yang begitu singkat untuk menemaniku, bercengkerama dan bermain bersama. Aku rindu dengan sore. Mengukur jalan dengan Si Pitung -Motor buatan Jepang tahun 1970an- atau dengan sepeda mini bercat hijau cerah menemaniku berkeliling. Menikmati senja di jalanan desa yang sepi.
Rasa-rasanya, ingin kembali merasakan lezatnya nasi goreng berlauk kacang atau telur mata sapi yang kau buat di setiap pagi. Kuyakin cita rasa masakan yang kau buat tidak berubah. Ah lupakan. Semua itu hanya ingin! Andai saja keinginan itu dapat kubeli, aku akan berusaha untuk membeli semua keinginan itu. Semampuku meraihnya.
Namun, Tuhanmu dan Tuhan kitalah yang memisah hidup kita, dan mutlak menjadi takdirNya. Itu sudah menjadi kuasaNya. Kita dipisah oleh ruang, waktu dan alam yang berbeda.
Andai saja kau masih hidup, mungkin apa yang kaulihat dengan kehidupanku sekarang, kau hanya bergeleng kepala. “Nak, laku hidup apa yang sedang kau jalani? Apakah aku salah mendidikmu?” sesalnya. Pastinya kau sudah nampak beruban dengan wajah yang mulai keriput. Sedang menikmati hari tuamu di beranda rumah memetik gitar dan memainkan musik keroncong atau country kesukaanmu. Bisa jadi kau malah sudah memakai krek, mengingat kau mengidap penyakit stroke, komplikasi.
Sayangnya kau tak diberi kesempatan memantau dan mendidikku bertumbuh kembang hingga sekarang. Andai saja kau masih hidup, mungkin aku bukanlah aku yang sekarang. Hanya andai, jika dan bila. Apa daya Tuhan telah berkehendak. Kita tidak sedang menolak takdir.
Hanya Enam tahun kita jalani hidup bersama, terbingkai dalam satu keluarga utuh dan hidup di atap rumah yang sama. Tak terdengar lagi senda gurau di rumah kita, suasana pun telah berganti. Sungguh, begitu lama menghapus jejak-jejak yang kau tinggalkan. Hanya potret yang masih terbingkai pigura hitamlah dimana kenangan itu masih bisa bercerita. Sebuah potret lama yang masih bisa menguak kenangan yang terpendam.
Pertengahan tahun 1989, tepat kurang satu hari sebelum kau memperingati tanggal kelahiranku. Kau sudah terbujur kaku mengenakan stelan jas hitam berdasi kupu-kupu, terlihat begitu rapi jika dibandingkan dari hari-hari biasanya. Tidak untuk hari ini, disebuah peti mati, kau berbaring memejam mata menghadap langit-langit. Tak terlihat senyum yang mengembang, walau aku ingin melihat senyum darimu sekali saja. Kupeluk engkau untuk terakhir kali pada siang yang riuh berbaur kesedihan. Semestinya esok pagi menjadi hari bahagiaku. Pedih sekali! Dan itulah perayaan terakhir memperingati tanggal kelahiranku bersamamu dengan diam dan airmata.
Teringat akan kata-katamu, menjadi lelaki janganlah cengeng, harus kuat dan tabah. Demi kau, ku berusaha untuk tidak menitikkan airmata. Tapi hati ini teriris luka yang sangat perih. Airmata yang kubendung menumpah juga saat melihatmu diam membisu di hari terakhirmu. 20 Juli kau telah berpulang. 21 Juli ratusan orang mengantar kepergianmu. Selamat jalan.
***
Kini, Dua puluh satu setengah tahun berlalu. Bila dihitung dengan hari, mungkin bukan waktu yang singkat. Lama sudah kau pergi, meninggalkanku begitu saja tanpa berucap selamat tinggal. Tak satupun pesan tertulis yang kau torehkan untukku. Kau hanya menitipkan pesan kepada istrimu, katamu, harus lebih bersabar dalam mendidik, dan menjadikan anak-anakmu agar lebih berguna. Sedang kau tak memikirkan dengan cara apa membesarkan anak-anak dari hasil perkawinanmu. Tanpa kau sadari, kau telah mengalih tugaskan kepala keluarga di pundak istrimu, seorang diri tanpa warisan yang kau tinggal.
Sepeninggalmu aku terbiasa menikmati hidup bersama seorang kakak dan istrimu, yang biasa kami panggil ibu. Kutapaki hanya bertiga. Namun selang satu tahun setelah kepergianmu, anakmu yang pertama diambilnya juga! Kemudian diasuh oleh ayah ibumu, dengan alasan membantu beban. Nenekkulah yang mengambil dengan paksa apa yang ibu miliki. Tanpa ayah-ibumu beralasan seperti itu, kuyakin ibuku mampu menghidupi anak-anakmu. Lengkap sudah kesedihan yang kami terima. Andai saja kau tahu, Apakah kau juga akan meneteskan air matamu seperti aku dan ibuku lakukan?
Kini tinggal berdua, aku bersama ibuku tercinta. Perlu kau ketahui, jika ibuku begitu setia denganmu. Bahkan terlalu sangat mencintaimu! Cinta itu tumbuh begitu besar hingga tak mau melepas masa jandanya. Inilah rahasia terbesar ibuku yang hingga kini masih kusimpan rapat-rapat. Kupastikan tak seorangpun tahu akan rahasia yang terpendam selama ini. Andai saja kau dapat mendengar, kubisikkan dipusara saat pertama kali ibu memberiku sebuah rahasia tentangmu. Tentang cinta kalian yang abadi.
Harus kau ketahui pula, ibuku masih menyimpan dengan rapi semua surat cinta beserta foto yang telah kau berikan kepada ibuku. Jika kami merasa rindu, kembali membongkar semua benda kenangan yang kau tinggalkan untuk kami. Kembali merangkai cerita tentangmu. Semua itu kami lakukan, untuk menumpahkan rasa rindu yang terpendam didalam hati. Rindu-rindu yang menggumpal dan kemudian membuncah hingga meneteskan airmata yang tak pernah kuseka sampai rasa rindu terlampiaskan.
Tak ada yang membimbingku dalam menapaki hidup. Ada pun, hanya kakak-adikmu yang membinaku berdasar pengalaman yang pernah kaulalui pada masa hidupmu. Itupun hanya berupa nasehat-nasehat yang sering kudengar. Inilah, itulah, apalah, ini-itu, itu-itu saja hingga betul-betul kuhafal. Pengalaman adalah guru terbaik, kata pepatah. Hanya saja aku tak mempercayai 49% semua cerita paman dan bibiku tentang cerita dan pengalaman hidupmu. Bukan berarti aku tidak percaya dengan semua kisah yang telah kau lakoni. Adikmu selalu melebih-lebihkan jika sedang antusias bercerita mengenaimu. Sedang orang lain -teman semasa hidupmu- menceritakan hal yang lain pula. Kontradiktif. Perlu kau ketahui, aku bangga dengan semua kisah nyata yang pernah kau alami. Akupun sedikit banyak terinspirasi tentang kisah hidupmu. Kaulah sang figur, dan bagian orang-orang yang mempengaruhi hidupku.
Banyak orang menilai diriku mirip dengan kau. Pembedanya hanya rambut saja, kau berambut ikal bergelombang sedang aku berambut lurus tipis. Dari segi hidung dan raut wajah, hampir mirip. Tak jauh beda jika aku membandingkan dengan foto pada masa mudamu. Jika aku menilai dengan prosentase hampir 89% aku memiliki kemiripan denganmu. Watakku persis dengan kau, itu kata nenekku, keras dan teguh dalam prinsip. Tapi entah dengan sifat dan kelakuanku apakah sama persis denganmu? Konon pepatah orang Belanda mengatakan; Buah apel jatuh tidak jauh dari pohonnya. Mungkin saja benar peribahasa bijak itu. Inilah karma yang kuterima sebab perbuatan dari masa lalumu.
Dua ratus empat puluh enam bulan, kami berpisah. Kau tak lagi bersama kami. Tak lagi bercengkerama di ruang makan. Bayanganku kau selalu ada ditengah-tengah keluarga kita. Kursimu selalu kosong disaat makan malam bersama keluarga. Tetapi aku selalu memposisikan dirimu selalu duduk di kursi yang terbiasa kau tempati. Di meja berbentuk persegi panjang, aku dan kakakku berdampingan, sedang kau dan ibuku berhadap-hadapan. Seperti itulah formasi perjamuan makan malam keluarga kita. Suasana berubah sepi, dan kini tinggallah sisa-sisa kenangan yang belum sempat terhapus. Dunia ini belum menggerus. Terbukti aku masih bisa kembali merunut kisahmu.
Aku masih ingat ketika adzan Ashar berkumandang. Yah masih ingat, betul-betul ingat masa kecilku. Saat itu aku sedang bermain dengan teman-teman sebayaku di pelataran sebuah masjid depan madrasah dekat rumah. Di kampungku setiap menjelang Maghrib seringkali mengadakan kegiatan belajar baca-tulis bahasa Arab untuk anak-anak, dan untuk orang dewasa pengajian (Tadarus). Sembari menunggu usai teman-temanku belajar, aku hanya duduk menunggu diselasar madrasah. Mendengar teman sebayaku belajar menghafal baca-tulis huruf Arab itu.
Waktu itu, aku sama sekali belum berniat belajar bahasa Arab seperti teman-teman sebayaku. Belum pernah melihat huruf Alif, Ba, Ta, Tsa, Jim dan huruf Hijaiyah lainnya. Hanya saja aku hafal satu surat -Surat Al Fatehah- yang kerap dibaca lantang secara berjamaah ketika hendak pelajaran dimulai. Itupun kudengar dari balik jendela ruang madrasah dan menirukan hafalan surat itu secara pelan-pelan sampai hafal diluar kepala. Namun di rumah, aku tak berani membacakan keras-keras surat yang tidak sengaja kuhafal dari pelataran masjid.
Belum usai pengajian dan bermain di pelataran masjid. Kau menjemputku dengan paksa dan menyeretku untuk pulang. Di perjalanan menuju rumah kau memarahi lalu menghukum dengan cara mengikat tubuhku pada sebatang pohon jambu didepan rumah. Kau menyalibku –seperti Yesus tersalib di bukit Golgota-, menghadap arah tenggelamnya matahari dan mempertontonkan di khalayak umum. Aku hanya menunduk kala itu. Menangis tanpa air mata. Menahan sesak yang terasa dan menanggung malu yang tak terkira. Apalagi jika teman-teman sebayaku pulang dari madrasah, yang kebetulan sebagian teman melewati rumah. Mereka mengolok-olokku, dan aku tertunduk malu. Begitulah terus berulang jika aku tetap membandel bermain di pelataran masjid. Inilah pelanggaran terberat yang pernah kulakukan dan mendapat ganjaran yang berat pula. Di larang masuk dan bermain di Masjid! Kata ayah mengomeliku.
Takkan pernah terlupa, aku selalu ingat. Tatkala kau menggantungku di atas kusen pintu rumah dengan karung goni. Tangisku tak pernah didengar, semakin ku meraung semakin lama aku bergantung. Bagiku ini adalah pelanggaran terberat kedua. Masih menjelang Maghrib. Ketika itu aku sedang bermain-main di teras rumah, berlarian mengejar laron yang beterbangan, laron-laron sialan. Lalu tak sengaja menabrak lampu petromaks yang baru saja menyala. Menumpahkan minyak dan hampir membakar kursi di depan teras rumah.
Ibuku hanya diam menatapku penuh iba. “Pak sudah turunkan si kecil, kasihan!” ibuku membela dan membujuk. Berharap mensudahi hukuman yang kujalani. Namun sang ayah hanya diam seperti tak mendengar, acuh tak acuh. “Pak sudahlah, dia masih anak-anak. Turunkan ya pak?” ibuku memohon. “Biarkan saja si kecil menerima hukuman dari bapak, itulah akibat dari anak kita yang nakal” katanya dengan santai sambil menikmati cerutu yang dihisapnya. “Tapi pak, anak kitakan masih anak-anak” bela ibuku. “Bu, bapak mendidik anak kita supaya si kecil tak lagi nakal, lagian hukuman yang aku berikan tak menyakiti anak kita. Aku memberi pelajaran agar kelak dewasa nanti ia tak lagi berbuat nakal seperti ini!” tegasnya mempertahankan alasan mengapa ia menghukumku dengan cara seperti itu. Ibuku tetap membelaku.
Sementara aku yang masih bergantung hingga tertidur dan terbangun dalam pelukan ibuku diatas ranjang yang berkelambu. Dibelainya aku penuh kasih sayang dan mewanti-wanti agar aku tak nakal lagi.
Sedang hukuman lain, jika aku berbuat kesalahan melebihi batas kenakalan masa kanak-kanakku -versi ayahku-, aku dimasukan ke dalam gudang yang dulu pernah dijadikan lumbung (kini telah menjadi kamarku). Lalu mengangkat dan menaruhku di atas tumpukan karung berisi padi, kemudian mengunci pintu rapat-rapat dari luar. Hanya lampu teplok yang menerangi gelapnya gudang. Walau aku menangis, mengemis ampunan, aku tak pernah dikeluarkan dari gudang. Memang hukuman yang aku terima lebih manusiawi ketimbang hukuman-hukuman yang lain. Ibuku tanpa lelah mengiba dan terus membelaku, tetapi kau tanpa ampun memberikan hukuman itu padaku. Lagi sampai aku tertidur dan terbebas tatkala aku di pelukan ibu. Ibu selalu mengusap air mataku yang masih membekas, penuh kasih sayang. Takkan pernah kulupa, kan selalu kuingat.
Inilah pengadilan ala ayahku. Tidak diperkenankan adanya pengacara untuk membelaku. Tidak ada jaksa yang menuntut kesalahan dan memberi hukuman. Hanya ayahlah sebagai hakim, mutlak yang memvonis hukuman. Ketika palu sudah kau ketuk. Maka, aku sama sekali tak diberi kesempatan untuk membacakan pledoi. Tidak ada banding apalagi grasi. Masa hukuman sesuai selera ayahku dan pembebasan yang kudapat hanyalah rasa belas kasihan dari ayahku dan rasa iba dari ibuku.
Tujuh ribu empat ratus delapan puluh tiga hari. Kulalui tanpa hukuman yang memalukan dihadapan teman-teman sebayaku. Tak ada yang menghukumku, andaipun aku nakal aku hanya diberi nasehat dan petuah bijak dari orang tua tunggalku (baca; Ibuku). Tidak ada yang melarangku bermain dipelataran masjid. Sama sekali tidak ada yang memberi hukuman! Dan inilah kemerdekaanku. . Senyumku semakin mengembang, namun hanyalah sementara.
Ayahku memang kejam. Hukuman yang kuterima hingga kini masih membekas dalam ingatan, walau sakitnya tak terasa hingga kini. Kutakkan pernah terlupa begitu saja. Di balik semua itu, kusadar kau melakukan semuanya supaya aku lebih tegar melanjutkan kehidupan setelah sepeninggalmu. Agar aku lebih kuat menjalani fase kehidupan yang tak berujung.
Seratus tujuh puluh sembilan ribu lima ratus sembilan puluh dua/179592 jam kita tak lagi bersama. Mencoba mengenang semua kisah tentangmu. Membuka dan menutup kembali kisahmu.
Tetap kau sebagai ayahku. Kau telah memberiku kehidupan yang penuh makna. Semoga kita diberikan kesempatan untuk kembali bertemu, walau hanya dalam mimpi. Kini, jalanku masih panjang, kelok dan berliku. Kuharus melanjutkan langkahku…



Untuk alamarhum “M”
Yang telah mengalami hidup di rentang waktu 14 Desember 1949 Hingga 20 Juli 1989
Jalan Simpang Karimata, 14 Januari 2010
(WFY)

Selasa, 12 Januari 2010

Mengisah Diri


Siapa Aku? Banyak orang menyebutku sesosok manusia yang misterius. Dari mana aku berasal? Apa yang kulakukan? Tentangku semuanya tak pernah seorangpun tahu. Tahupun hanya menerka atau mencoba menelisik dan mengorek kisah hidup yang sedang kualami. Kok ya mereka ingin tahu siapa aku. Ada apa denganku? Katanya, hanya sebatas ingin tahu tentangku, tidak lebih. Bukan saja mereka yang selalu mempertanyakanku tentang siapa aku? Hingga saat ini akupun tidak tahu, Terus terang aku tak pernah merasa merahasiakan siapa aku sebenarnya. Baiklah kuceritakan siapa aku?

Absurd untuk memahami tentang aku. Liar untuk mengerti semua kelakuanku. Imajiner untuk mengetahui pola pikir beserta jalan hidupku. Untuk tahu siapa aku? Kata kuncinya, absurd, liar dan imajiner. Jangan terkejut. Kan kucoba berkisah untuk menceritakan apa yang kutahu tentang aku. Inilah kisahku.

“AKU” adalah anak manusia yang menahbiskan diri sebagai pengelana. Hidupku selalu berpindah tempat. Mengapa begitu? Menurutku tempat yang nyaman membuatku terasa tidak nyaman. Selalu tidak bisa berdiam diri terlalu lama pada satu tempat. Cepat merasa bosan pada ruang dan waktu yang monoton. Sudah banyak tempat telah kusinggahi, hingga kini tak satupun tempat yang memikat dan bisa membuatku merasa nyaman. Jadi jangan heran jika separuh hidupku selalu berpindah tempat sesuai selera apa yang kusuka.

“AKU” Seorang manusia berjenis kelamin persis dengan Adam. Manusia resah, selalu gelisah dengan ke”aku”anku. Ehm, boleh di bilang pencarian jati diri tepatnya. Pernah juga menyandang predikat sebagai manusia pendosa, psikopat, gila dan semua konotasi negatif lainnya! Itu kata orang-orang yang suka ataupun tidak suka dengan keberadaanku. Jika aku menanggapi gossip-gosip (Ghibah), takutnya malah aku menjadi faktor penyebab terjerumusnya para penggosip dalam kubangan neraka. Aku tak berani bertanggung jawab atas pergunjingan orang-orang terhadapku. Beruntung saja waktu itu gosip belum di fatwa haram oleh Majelis Ulama Indonesia. Aku tak terlalu ambil pusing dengan pergunjingan orang-orang mengenaiku. Obyektif atau tidaknya biarlah mereka yang menilaiku. Pun semua telah kumaafkan.

Seorang kawan pernah bercerita bahwa "aku" adalah seorang nista dan hina dina, namun aku hanya diam. Toh yang mereka katakan belum tentu akan kebenarannya. Diamku bukan berarti emas. Bukan pula bermaksud pasrah, aku hanya berharap kepada sang Pencipta, semoga apa yang telah mereka katakan itu membuat sadar akan dirinya. Lagi, harapanku hanya basa-basi saja. Bagiku harapan tak ubahnya seperti doa-doa yang tak pernah terkabul. Hanya bait-bait sanjungan tentang keagungan, tentang kebesaran dan tentang-tentang yang baik tentangNya. Untuk orang sepertiku, hingga mulut berbusa pun takkan pernah terealisasi harapan itu.

Terserah orang bilang apa tentangku, mulut-mulut mereka. Sak munimu! Yang jelas aku bangga dengan diriku sendiri. Sebab apa? Karena aku adalah salah satu makhluk ciptaan Tuhan! (walaupun terkadang aku sendiri menyangkalNya). Semoga saja Ia masih mau mengakuiku, andai dia “ada”. Maaf Tuhan, kuakui jika meraguMu, anggap saja ini sebagai pengakuan dosa dariku. Sekalipun di hisab nanti dan pada akhirnya Engkau putuskan untuk menghuni neraka. Aku bersyukur, Dia masih mengakui eksistensiku sebagai makhluk ciptanNya. Biarlah pengadilan terakhir yang menentukan. Aku tak mau memikirkanNya.

Suatu ketika, Ayahku pernah mendongengi, jika "AKU" adalah hasil persenggamaan yang tidak dikehendaki. Namun dengan takdir dan kehendak Tuhan (?) lalu tercipta dan lahirlah aku di bumi manusia ini. Apapun itu, kusyukuri walaupun sebenarnya aku enggan bernafas dan menginjakkan kaki di bumi ini. Walaupun ia telah berdongeng, tak salah jika aku menghanturkan sembah serta berucap terima kasih untuk ayah yang telah mendongengi tatkala menjelang tidur nyenyakku. Namun sayang, kini engkau hanya bisa mendidikku diam-diam dari peristirahatannya yang tenang.

"AKU" adalah aku yang mengaku benci dengan kehidupan, sebab kehidupan hanyalah berisi desingan omong kosong dengan segala sumpah serapah manusia. Sampah audio yang memekakkan gendang telingaku.

Pikirku, kehidupan ini sangatlah menjemukan. Kehidupan itu ibarat menunggu antrian panjang pada kematian. Mengapa lahir kemudian mati? Lahir mengantri dan matipun mengantri. Evolusi manusia sampai akhir zaman. Bukankah pekerjaan menunggu itu menjemukan? Berbicara tentang kematian? Omong-omong aku sudah lelah bermain petak umpat dengan malaikat pencabut nyawa. Kata agama yang kuimani sejak lahir, konon malaikat pencabut nyawa itu bernama Izroil. Ia selalu menguntitku juga manusia lain, menunggu waktu yang tepat menikamkan belati tepat di ulu hati. Mematikan memang! Aku sudah lelah berlari, lari pada kenyataan bahwa kematian itu tak satupun orang yang bisa menghindari! Kita sedang mengantri kematian. Mutlak, tak terelakkan. Ingin rasanya ku berteriak “Hentikan Pembunuhan secara sistemik!”

Pada satu malam yang sepi. Udara dingin terasa menusuk tulang belulang. Nafasku tersengal. Terasa ngilu, dingin menggigil, disisi lain tubuhku terasa panas menyengat. Secara sengaja, pernah menantangnya. “Apa yang kau inginkan dariku?”. Ia hanya tersenyum sinis menatapku. Sorot matanya tajam terus memandang, memelototiku dengan hasrat ingin membunuh.

“Hunuskan belati yang kau sarungkan! Lalu tusukkan tepat di jantungku! Jika kau mau!” kataku seraya membusungkan dada. Lagi ia hanya tersenyum tanpa berucap kata. Senyum dan terus tersenyum. Tubuhku kusodorkan pasrah, memasang dada agar ia lekas melakukan apa yang sudah menjadi tugasnya. “Tikamlah, Tusuklah” teriakku.

"AKU" sadar, laku hidupku seperti wayang yang seringkali dipermainkan sang dalang (baca; Tuhan). Seperti bidak catur, angkat sana-oper sini, berjalan ke kotak hitam lalu berpindah di kotak putih, adu sana-adu sini, lantas berakhir dengan kematian. Skak Mat! Rocker juga akan Mati! Gayaku memang sok urakan (Rock n Roll man!), membuatku tidak percaya akan diriku sendiri. Mungkin karma atau sebab akibat dari perbuatanku. Orang bilang, mungkin inilah yang sudah digariskan Tuhan. Namun aku selalu menepisnya. Mengalir saja kata kuncinya. Jika ditanya siapa Tuhanku? Mendongak ke atas, menerawang jauh tanpa menyebut nama Tuhan.

Dalam hidupku tak ada yang istimewa atau di istimewakan. Hidupku berjalan biasa-biasa saja. Melakoni hidup dengan apa adanya. Kulakukan hidup ini sesuai apa yang harus kulakukan. Bisa jadi inilah garis Tuhan yang ditentukan dalam hidupku (kata orang yang beragama). Dan kutak ingin menjalani hidup dengan menuntut. Apalah aku? Siapakah aku? Betul aku sadar semua itu. Bukan lantaran garis yang ditentukan olehNya aku menjalani seperti ini. Bukan pula aku tidak ingin merubah apa yang kuharus lakukan dalam hidup. Inginku hidup ini kulalui seperti air yang mengalir. Mengalir terus tanpa henti hingga muara. Terombang-ambing di tengah samudera, limbung lalu tenggelam. Mungkin saja! Jika meminjam istilah orang bijak, biarlah waktu yang menjawab.

Tentang hidup. Menurutku hidup itu sekumpulan lakon cerita manusia yang diliputi dengan aneka kesialan. Tak perlu mendebat pendapatku. Berilah aku kesempatan untuk melanjutkan cerita.

Berceritalah seorang sahabat tentangku. Konon, aku adalah sesosok manusia menyerupa anjing. Selalu menggonggong jika melihat apa yang tidak disuka. senantiasa melolong jika nasib sedang tak berpihak. Kupikir benar apa yang dimaksud olehnya. Anjing hewan najis, jadah, sebagian orang menganggap sebagai binatang kutukan. Binatang jalang yang teraniaya! Aku mengamini apa yang ia sebutkan tentangku. Kuakui aku hanyalah manusia yang diperlakukan layaknya anjing. Anjing-anjing yang mengumpat “anjing!”. Haram dan tanpa guna. Itulah kesialanku yang pertama.

Kesialanku yang kedua. Tidak bermaksud menyalahi takdir dan atau siapapun. Selalu saja aku mengutuk diriku sebagai orang yang dungu! Tak berani bersikap dalam menentukan jalan hidupku sendiri. Bodoh dalam bertindak. Banyak teman yang mengatakan aku seperti itu. Kembali lagi pada prinsip semula, aku ingin menjalani hidup ini apa adanya. Tanpa menuntut! Laku hidup yang berjalan sesuai mekanisme alam. Lahir tumbuh-kembang setelah itu mati. Dengan apa aku melakoni hidup? Biarlah otakku yang bekerja mencari celah memenuhi kebutuhan dasar hidupku. Dengan cara apa aku mati, kuserahkan Ia yang menentukan. Tapi sejujurnya, berharap matiku secara perlahan dan tidak menyakitkan. Kematian yang sempurna. Tanpa isak tangis tatkala pelepasan dan pertemuanku yang terakhir. Kematian yang tanpa doa-doa serta seremonial yang menghabiskan uang. Bid’ah! Kematian yang membebaskanku dan tanpa masalah. Sejenak saja aku beranjak gila agar aku lebih merdeka!

Singkat cerita, mereka menyebutku jalang! Tapi kusebut diriku elang. Tanpamu, kalian atau siapalah aku masih sanggup mengepakkan sayap terbang kemana arah yang kutuju. Itulah aku yang ingin bebas tanpa sekat pembatas. Andaipun ada penghalang kan kuterjang! Tak peduli lagi apapun itu yang merintang, kulibas.

Jika aku boleh mendefinisikan diri, aku adalah seorang yang apa adanya. Hidupku terlalu santai! Banyak teman yang menyimpulkanku demikian. Sedang lain orang, mengatakanku sebagai anak terbuang! Selalu saja berjalan diseberang jalan dari orang-orang kebanyakan.

Kesimpulan, AKUlah aku yang mengaku tak pernah menjadi aku. Mengakui aku sebagai aku yang takkan kuakui. Pun aku tak berharap mendapat pengakuan atau terakui untuk diakui menjadi aku. Keakuankulah yang berkehendak menjadi aku. Kuakui Akulah aku. Akui saja aku sebagai manusia. Itu lebih dari sekedar cukup.

Tentang apa, kenapa, mengapa, bagaimana, dimana, kapan menjadi "AKU", berproseslah. Jangan jadi atau berperan menjadi orang lain apalagi aku. Jadilah diri sendiri. Tegar lalu hadapi.***

Jalan Simpang Karimata. 11 Januari 2010

(WFY)

NB;

Tulisan ini kutulis di bawah tugu Monas, Jakarta dan Puncak, Bogor di awal Desember 2009. Namun diedit (penambahan dan pengurangan kata di sana-sini) hingga seperti ini di sebuah rumah Jl Simpang Karimata.

Kupersembahkan untuk orang-orang yang (sedang) mengalami krisis identitas