“Jika
memang kamu inginkan aku untuk tidak ngambek lagi. Bawakan aku dua tangkai
bunga mawar” tertulis sebuah pesan singkat di telepon genggamku. Aku hanya
menggelengkan kepala dan mengulum senyum membaca pesan yang baru saja kubuka. Baru
kali ini aku merasakan kekasih tercinta ngambek begitu lama. Permintaan maaf
pun bersyarat. Memberikan bunga mawar untuknya, dua tangkai pula.
Sementara
aku bingung memikirkan dimana tempat dan toko yang berjualan bunga mawar. Belum
juga sempat aku membalas, kau sudah mengirim pesan untuk yang kedua kali. “Ada
tambahan: 1. Mawarnya harus berwarna merah dan putih. 2. Secepatnya berikan
kepadaku. Dan yang ke 3. Setelah kau dapatkan bunga yang kuminta, baru kamu
boleh menemuiku”.
Begitu
lama aku mengingat tempat dan jalan yang sering aku lewati. Dari ujung utara
kota hingga selatan, barat hingga timur batas kota, aku mencoba mengingat semua
nama toko yang pernah kulewati. Aku tak tahu, tak satupun rujukan tempat dan
toko penjual bunga. Apa mungkin ada bunga mawar bertangkai yang dijual di pojok
pasar tempat biasa aku membeli uba rampe setiap kamis sore?
“Beli
bunganya dimana Ay??” kubalas pesan kepadanya, mengabar ketidaktahuanku tempat
penjual bunga. Terus terang baru kali ini aku harus memberikan bunga untuk
kekasih tercinta yang sebelumnya sama sekali tidak pernah kubeli atau
memberikan kepada siapapun.
Seperempat jam berlalu, setengah jam terlewat, dan hampir satu jam pesan yang kukirim tak kunjung berbalas. Pikirku, tidak mungkin Handphonemu tak berpulsa. Setahuku sisa pulsa tigaribu rupiah saja sudah diisinya kembali.
Seperempat jam berlalu, setengah jam terlewat, dan hampir satu jam pesan yang kukirim tak kunjung berbalas. Pikirku, tidak mungkin Handphonemu tak berpulsa. Setahuku sisa pulsa tigaribu rupiah saja sudah diisinya kembali.
“Maaf
aku baru selesai mandi. Cari tahu dengan jarimu” selang begitu lama ia
membalas. Pesan singkat bahkan terlalu singkat dan meninggalkan tanya. Aku
semakin bingung dibuatnya. Apakah dengan tunjukan jemari dapat kutemukan
penjual bunga yang dipesan? Tak apalah biar aku cari. Aku meyakinkan diri
dengan Nawaitu.
Memutari
kota akan kulakukan sekalipun jari menunjuk. Bermain insting, demi cinta kan
kuturuti permintaannya. Untuk maafku dan dua tangkai mawar sebagai prasyarat.
Kan kucari hingga dapat dan kuberikan kepadanya.
***
Mawar
untuk Cempluk -nama panggilan sayangku padanya. Kedengarannya memang nama yang
aneh. Istilah Cempluk berasal dari bahasa Jawa yang berarti pipi tembem dan
montok. Terinspirasi oleh kedua pipinya yang tembem. Seperti dua kue bakpao
jika ditempelkan di kedua pipi. Pernah pada suatu hari dia ngambek saat aku
memanggilnya dengan nama itu. Katamu; Papa-mama memberiku sebuah nama yang
bagus dan berpengharapan untukku. Tapi semenjak aku mengenal dan berpacaran
denganmu. Kau seenaknya merubah namaku. Apa kata mama-papaku? Kau telah
membuatku sangat-sangat bersedih. Sejak kejadian itulah aku tak berani lagi dan
hanya sekali itu saja aku memanggilnya dengan nama itu.
Mengeliling
kota dari tengah hingga pinggiran hanya sekadar mencari penjaja bunga. Sekali
lagi demi kekasih tercinta, kulakukan sesuatu yang tak biasa. Karena aku baru
pertama kali mencarikan prasyarat maafku walau harus berpanas-panas. Mungkin di
Valentine Day akan dengan mudahnya mendapatkan bunga mawar.
Belum
lelah aku mengelilingi kota. Menyusuri lorong demi lorong, dari toko ke toko.
Sampai akhirnya kudapatkan bunga itu di deretan memanjang toko bunga seberang
jalan gedung Radio Republik Indonesia (RRI), tengah kota. Itupun berdasar
petunjuk dari seseorang yang kutanyai dijalan.
“Akhirnya
kudapatkan bunga itu” aku bersyukur.
Ku
percepat laju motor untuk segera menemui si Cempluk. Sesampai dirumahnya tanpa
basa-basi kuketuk pintu tanpa mengucap salam. Rumahnya terlihat sepi,
sepertinya tidak berpenghuni. Lama ia membukakan pintu. Kuketuk untuk kedua
kalinya, tidak juga terdengar jawaban dan pintu masih tertutup rapat.
Kuyakinkan sekali lagi untuk ketiga kalinya. “Assalamualaikuuuuuuuuum” kali ini
aku mengucap salam sembari mengetukkan pintu lebih keras lagi. Dari dalam rumah
terdengar jawaban salam lalu derit pintu terbuka untukku.
“Nah
begitu dong adat bertamu. Berucaplah salam terlebih dahulu” terlihat
menyeringai saat membuka pintu. Aku hanya menunduk bergeming.
Sesekali
kucuri pandang. Parasnya terlihat ayu, wajahnya sama sekali tak berpoles
kosmetik, rambut yang masih basah dibiarkan tergerai. Tampak anggun, serasi
mengenakan kemeja putih bermotif
garis-garis hitam selaras dengan celana panjang yang juga berwarna hitam. Aku
terkesima. “Kau pandai berdandan” aku terkagum.
“Mana
mawarnya?” ia membuka percakapan dan memecah kekagumanku akan paras ayunya.
“Oh
iya ini” Aku terkesiap, tergesa-gesa membuka ransel tempat aku menyimpan bunga
mawar itu. Kusodorkan dua tangkai bunga mawar yang sedikit lusuh dan masih
terbingkai rapi di dalam kemasan plastik berwarna bening. Aku tercekat, masih
mengagumi kecantikkannya. Tanpa terucap sepatah kata, aku hanya menatap
wajahnya yang cerah sembari menjulurkan tangan mengapit bunga.
Diambilnya
bunga itu kemudian diciuminya . “Hmm harum. Aku sayang kamu mas!” seraya
berucap terima kasih dengan senyum yang mengembang, matamu berbinar bahagia.
Aku membalas senyummu, tersipu malu. “Maafkan aku Ay? Sungguh aku tak berniat
untuk menyakitimu” lirih kuucapkan maaf. Kau hanya mengangguk kalem. Kuharap
kau mau memaafkanku aku terpatah-patah melanjutkan kata-kata. Dia hanya
mengangguk.
Selepas
prosesi penyerahan bunga yang begitu dramatis, aku lantas berpamit pulang. Kali
ini aku mengucap salam. “Wa’alaikum salam mas ” jawabnya dengan senyum yang
ramah. Aku menoleh kebelakang, mencuri pandang untuk yang terakhir kali. Kau
masih bersandar pada pintu, sekilas terlihat kedua matamu yang teduh.
Kulambaikan tangan, dan kau membalas lambaianku. Aku pun memelintir gas motor
melaju pelan dan menghilang ditikungan.
“Oh
senangnya dalam hati, kekasihku tak lagi ngambek”. Aku bersiul. Hatiku begitu
lega ketika pertama kali melihat senyum mengembang di sela kedua bibirnya yang
mengatup. Senyum pemaaf, senyum bahagia, senyum mawar merah dan putih.
***
Begitulah
caraku jika kau ngambek dan marah lagi. Selalu aku meminta maaf disertai
sekuntum atau dua kuntum mawar. Terus berulang-ulang. Seolah mawar wajib
hukumnya jika aku berbuat kesalahan dan meminta maaf. Begitupun denganmu,
setiap kali ada momen, kau mesti memberiku sekuntum mawar. Dan tiga tangkai
mawar yang pernah kau kasihkan kepadaku masih tersimpan. Kutaruh di vas bunga
yang terpajang diatas meja kamar. Sayangnya, mawar itu telah mengering. Layu
masih terbungkus apik dalam kemasan plastik. Kelopak bunga itu satu persatu
berguguran, namun tangkainya masih tegak berdiri.
Risalah
mawar. Bunga kasih sayang. Simbol cinta, katanya seperti itu.
***
Hari-haripun
berlalu. Sekarang, lebih dari lima tahun lamanya kami terpisah. Aku tak tahu
apa sebab perpisahan itu? Kaulah yang menghendaki. Sembilan Agustus kau
nyatakan menghentikan hubungan kita, itupun tidak berdasar kesepakatan bersama.
Awalnya aku berusaha mempertahankan hubungan kita. Tetap kau memaksaku dengan
berbagai alasan. Tidak harmonis, katamu. Sudah tidak sejalan lagi arah hubungan
ini, alibimu. Aku hanya mengiyakan semua yang kau inginkan. Hanya kurang dari
10 bulan atau kira-kira hanya 292 hari kita menjalani. Cukup singkat memang. Tapi sesungguhnya
sangat berkesan.
Berjalannya
waktu, hubungan kita tidak seharmonis seperti pertama kita berkenalan dan atau
saat kita sedang menjalin hubungan sebentuk cinta -berpacaran. Dan saat ini
bersinthesa menjadi mantan kekasih.
Kita
pun tak saling bertegur sapa? Tak pernah lagi bertemu ditempat dimana kita
saling mempertemukan. Bukanlah masalah jarak yang memisahkan kita. Jika di
hitung dengan meter, menurutku tidak lebih 20000 meter. Hanya membutuhkan waktu
kurang dari satu jam. Kau telah memutus kontak dan jarang memberi kabar.
Sesekali hanya bertanya kabar? Sibuk apa? itupun lewat pesan-pesan singkat
melalui telepon genggam. Begitupun sebaliknya, aku hanya berani bertanya kabar
seperti apa yang kau lakukan padaku. Bertemu dan bertatap wajahpun kita saling
terdiam, masing-masing dari kita sepertinya menyimpan rahasia. Ssssssssst
kuharap kita masih bisa membedakan dimana ruang privat dan dimana ruang publik?
Semoga kau mengerti.
Entahlah…
kenapa ini bisa terjadi? Aku tak tahu menahu sebab musababnya? Andaipun kau
merasa tersakiti, mestinya kau akan berkata terus terang padaku. Setahuku kau
selalu jujur pada setiap perkataanmu. Kau tak betah berlarut-larut menyimpan
masalah. Aku yakin. Aku masih ingat, ketika kau menyarankan untuk berkata jujur
dan berterus terang dalam menjalani hubungan kita –Waktu itu. Sebab kau pernah
memberitahuku jauh-jauh hari sebelum kita bersepakat untuk berpacaran. “Apa
yang tidak kau suka dariku? Atau apapun itu mengenaiku bicaralah dengan jujur.
Akupun akan sebaliknya!” ia mewanti-wanti untuk menjaga keharmonisan hubungan
yang akan segera dibina.
Dan
kau hingga sekarang masih diam. Sekadar mengungkit masa lalu pun tidak. Masa
dimana kita pernah sempat menjalin sebentuk cinta. Apakah kau benar-benar
terlupa? Melupakah? Atau akulah yang terlupakan. Aku tidak berharap kau terus
mengingatku. Kau tak perlu takut dibayang-bayangi cerita usang yang pernah kita
jalani bersama. Sama sekali tidak berharap terkuaknya kembali cerita lama yang
sudah kupendam beberapa tahun. Tak ada untungnya.
Jika
memang kisah kita akan membuat dirimu terasa menyesak di hati. Buanglah
jauh-jauh cerita kita. Lebih baik biarkan kisah itu menguap. Biarlah angin yang
berhembus menghamburkannya.
Namun
kelak bila seumpama garis Tuhan berkehendak menyatukan lagi. Mari susun kembali
potongan-potongan puzzle yang berserak itu. Tak usah terburu waktu, perlahan
saja. Lalu kita bersama-sama merakitnya, memasang kembali potongan itu menjadi
satu utuh tak bercerai.
Tanpa
Mawar! Sekali lagi tanpa mawar, merah ataupun putih.
Tidak
tahukah kau jika mawar itu berduri? Sekali tertusuk onaknya, sakitnya luar
biasa. Walau tak berbekas, namun terasa, tepat menohok di ulu hati! Begitu
menyayat dan perih. Sekali lagi tanpa mawar. Andaipun iya jikalau garis Tuhan
berkendak seperti itu. Itupun jika kau mau.
Jalan Simpang Karimata,
12-14 Februari 2010
(WFY)
NB;
- Tulisan ini tidak ditujukan kepada siapa-siapa, baik itu laki-laki maupun perempuan. Jika ada kesamaan, nama tempat, lakon, peristiwa dan atau jalannya alur cerita maka itu faktor kebetulan saja.
- Sekali lagi cerita ini murni fiktif!
- Untuk Catastrova Prima; Terima kasih telah sudi mengedit catatan ini J matur suwun sanget mbak Prim….