Jumat, 05 Maret 2010

Mawar untuk Cempluk

“Jika memang kamu inginkan aku untuk tidak ngambek lagi. Bawakan aku dua tangkai bunga mawar” tertulis sebuah pesan singkat di telepon genggamku. Aku hanya menggelengkan kepala dan mengulum senyum membaca pesan yang baru saja kubuka. Baru kali ini aku merasakan kekasih tercinta ngambek begitu lama. Permintaan maaf pun bersyarat. Memberikan bunga mawar untuknya, dua tangkai pula.
Sementara aku bingung memikirkan dimana tempat dan toko yang berjualan bunga mawar. Belum juga sempat aku membalas, kau sudah mengirim pesan untuk yang kedua kali. “Ada tambahan: 1. Mawarnya harus berwarna merah dan putih. 2. Secepatnya berikan kepadaku. Dan yang ke 3. Setelah kau dapatkan bunga yang kuminta, baru kamu boleh menemuiku”.
Begitu lama aku mengingat tempat dan jalan yang sering aku lewati. Dari ujung utara kota hingga selatan, barat hingga timur batas kota, aku mencoba mengingat semua nama toko yang pernah kulewati. Aku tak tahu, tak satupun rujukan tempat dan toko penjual bunga. Apa mungkin ada bunga mawar bertangkai yang dijual di pojok pasar tempat biasa aku membeli uba rampe setiap kamis sore?
“Beli bunganya dimana Ay??” kubalas pesan kepadanya, mengabar ketidaktahuanku tempat penjual bunga. Terus terang baru kali ini aku harus memberikan bunga untuk kekasih tercinta yang sebelumnya sama sekali tidak pernah kubeli atau memberikan kepada siapapun.
Seperempat jam berlalu, setengah jam terlewat, dan hampir satu jam pesan yang kukirim tak kunjung berbalas. Pikirku, tidak mungkin Handphonemu tak berpulsa. Setahuku sisa pulsa tigaribu rupiah saja sudah diisinya kembali.
“Maaf aku baru selesai mandi. Cari tahu dengan jarimu” selang begitu lama ia membalas. Pesan singkat bahkan terlalu singkat dan meninggalkan tanya. Aku semakin bingung dibuatnya. Apakah dengan tunjukan jemari dapat kutemukan penjual bunga yang dipesan? Tak apalah biar aku cari. Aku meyakinkan diri dengan Nawaitu.
Memutari kota akan kulakukan sekalipun jari menunjuk. Bermain insting, demi cinta kan kuturuti permintaannya. Untuk maafku dan dua tangkai mawar sebagai prasyarat. Kan kucari hingga dapat dan kuberikan kepadanya.
***

Mawar untuk Cempluk -nama panggilan sayangku padanya. Kedengarannya memang nama yang aneh. Istilah Cempluk berasal dari bahasa Jawa yang berarti pipi tembem dan montok. Terinspirasi oleh kedua pipinya yang tembem. Seperti dua kue bakpao jika ditempelkan di kedua pipi. Pernah pada suatu hari dia ngambek saat aku memanggilnya dengan nama itu. Katamu; Papa-mama memberiku sebuah nama yang bagus dan berpengharapan untukku. Tapi semenjak aku mengenal dan berpacaran denganmu. Kau seenaknya merubah namaku. Apa kata mama-papaku? Kau telah membuatku sangat-sangat bersedih. Sejak kejadian itulah aku tak berani lagi dan hanya sekali itu saja aku memanggilnya dengan nama itu.
Mengeliling kota dari tengah hingga pinggiran hanya sekadar mencari penjaja bunga. Sekali lagi demi kekasih tercinta, kulakukan sesuatu yang tak biasa. Karena aku baru pertama kali mencarikan prasyarat maafku walau harus berpanas-panas. Mungkin di Valentine Day akan dengan mudahnya mendapatkan bunga mawar.
Belum lelah aku mengelilingi kota. Menyusuri lorong demi lorong, dari toko ke toko. Sampai akhirnya kudapatkan bunga itu di deretan memanjang toko bunga seberang jalan gedung Radio Republik Indonesia (RRI), tengah kota. Itupun berdasar petunjuk dari seseorang yang kutanyai dijalan.
“Akhirnya kudapatkan bunga itu” aku bersyukur.
Ku percepat laju motor untuk segera menemui si Cempluk. Sesampai dirumahnya tanpa basa-basi kuketuk pintu tanpa mengucap salam. Rumahnya terlihat sepi, sepertinya tidak berpenghuni. Lama ia membukakan pintu. Kuketuk untuk kedua kalinya, tidak juga terdengar jawaban dan pintu masih tertutup rapat. Kuyakinkan sekali lagi untuk ketiga kalinya. “Assalamualaikuuuuuuuuum” kali ini aku mengucap salam sembari mengetukkan pintu lebih keras lagi. Dari dalam rumah terdengar jawaban salam lalu derit pintu terbuka untukku.
“Nah begitu dong adat bertamu. Berucaplah salam terlebih dahulu” terlihat menyeringai saat membuka pintu. Aku hanya menunduk bergeming.
Sesekali kucuri pandang. Parasnya terlihat ayu, wajahnya sama sekali tak berpoles kosmetik, rambut yang masih basah dibiarkan tergerai. Tampak anggun, serasi mengenakan kemeja  putih bermotif garis-garis hitam selaras dengan celana panjang yang juga berwarna hitam. Aku terkesima. “Kau pandai berdandan” aku terkagum.
“Mana mawarnya?” ia membuka percakapan dan memecah kekagumanku akan paras ayunya.
“Oh iya ini” Aku terkesiap, tergesa-gesa membuka ransel tempat aku menyimpan bunga mawar itu. Kusodorkan dua tangkai bunga mawar yang sedikit lusuh dan masih terbingkai rapi di dalam kemasan plastik berwarna bening. Aku tercekat, masih mengagumi kecantikkannya. Tanpa terucap sepatah kata, aku hanya menatap wajahnya yang cerah sembari menjulurkan tangan mengapit bunga.
Diambilnya bunga itu kemudian diciuminya . “Hmm harum. Aku sayang kamu mas!” seraya berucap terima kasih dengan senyum yang mengembang, matamu berbinar bahagia. Aku membalas senyummu, tersipu malu. “Maafkan aku Ay? Sungguh aku tak berniat untuk menyakitimu” lirih kuucapkan maaf. Kau hanya mengangguk kalem. Kuharap kau mau memaafkanku aku terpatah-patah melanjutkan kata-kata. Dia hanya mengangguk.
Selepas prosesi penyerahan bunga yang begitu dramatis, aku lantas berpamit pulang. Kali ini aku mengucap salam. “Wa’alaikum salam mas ” jawabnya dengan senyum yang ramah. Aku menoleh kebelakang, mencuri pandang untuk yang terakhir kali. Kau masih bersandar pada pintu, sekilas terlihat kedua matamu yang teduh. Kulambaikan tangan, dan kau membalas lambaianku. Aku pun memelintir gas motor melaju pelan dan menghilang ditikungan.
“Oh senangnya dalam hati, kekasihku tak lagi ngambek”. Aku bersiul. Hatiku begitu lega ketika pertama kali melihat senyum mengembang di sela kedua bibirnya yang mengatup. Senyum pemaaf, senyum bahagia, senyum mawar merah dan putih.
***

Begitulah caraku jika kau ngambek dan marah lagi. Selalu aku meminta maaf disertai sekuntum atau dua kuntum mawar. Terus berulang-ulang. Seolah mawar wajib hukumnya jika aku berbuat kesalahan dan meminta maaf. Begitupun denganmu, setiap kali ada momen, kau mesti memberiku sekuntum mawar. Dan tiga tangkai mawar yang pernah kau kasihkan kepadaku masih tersimpan. Kutaruh di vas bunga yang terpajang diatas meja kamar. Sayangnya, mawar itu telah mengering. Layu masih terbungkus apik dalam kemasan plastik. Kelopak bunga itu satu persatu berguguran, namun tangkainya masih tegak berdiri.
Risalah mawar. Bunga kasih sayang. Simbol cinta, katanya seperti itu.
***

Hari-haripun berlalu. Sekarang, lebih dari lima tahun lamanya kami terpisah. Aku tak tahu apa sebab perpisahan itu? Kaulah yang menghendaki. Sembilan Agustus kau nyatakan menghentikan hubungan kita, itupun tidak berdasar kesepakatan bersama. Awalnya aku berusaha mempertahankan hubungan kita. Tetap kau memaksaku dengan berbagai alasan. Tidak harmonis, katamu. Sudah tidak sejalan lagi arah hubungan ini, alibimu. Aku hanya mengiyakan semua yang kau inginkan. Hanya kurang dari 10 bulan atau kira-kira hanya 292 hari kita menjalani.  Cukup singkat memang. Tapi sesungguhnya sangat berkesan.
Berjalannya waktu, hubungan kita tidak seharmonis seperti pertama kita berkenalan dan atau saat kita sedang menjalin hubungan sebentuk cinta -berpacaran. Dan saat ini bersinthesa menjadi mantan kekasih.
Kita pun tak saling bertegur sapa? Tak pernah lagi bertemu ditempat dimana kita saling mempertemukan. Bukanlah masalah jarak yang memisahkan kita. Jika di hitung dengan meter, menurutku tidak lebih 20000 meter. Hanya membutuhkan waktu kurang dari satu jam. Kau telah memutus kontak dan jarang memberi kabar. Sesekali hanya bertanya kabar? Sibuk apa? itupun lewat pesan-pesan singkat melalui telepon genggam. Begitupun sebaliknya, aku hanya berani bertanya kabar seperti apa yang kau lakukan padaku. Bertemu dan bertatap wajahpun kita saling terdiam, masing-masing dari kita sepertinya menyimpan rahasia. Ssssssssst kuharap kita masih bisa membedakan dimana ruang privat dan dimana ruang publik? Semoga kau mengerti.
Entahlah… kenapa ini bisa terjadi? Aku tak tahu menahu sebab musababnya? Andaipun kau merasa tersakiti, mestinya kau akan berkata terus terang padaku. Setahuku kau selalu jujur pada setiap perkataanmu. Kau tak betah berlarut-larut menyimpan masalah. Aku yakin. Aku masih ingat, ketika kau menyarankan untuk berkata jujur dan berterus terang dalam menjalani hubungan kita –Waktu itu. Sebab kau pernah memberitahuku jauh-jauh hari sebelum kita bersepakat untuk berpacaran. “Apa yang tidak kau suka dariku? Atau apapun itu mengenaiku bicaralah dengan jujur. Akupun akan sebaliknya!” ia mewanti-wanti untuk menjaga keharmonisan hubungan yang akan segera dibina.
Dan kau hingga sekarang masih diam. Sekadar mengungkit masa lalu pun tidak. Masa dimana kita pernah sempat menjalin sebentuk cinta. Apakah kau benar-benar terlupa? Melupakah? Atau akulah yang terlupakan. Aku tidak berharap kau terus mengingatku. Kau tak perlu takut dibayang-bayangi cerita usang yang pernah kita jalani bersama. Sama sekali tidak berharap terkuaknya kembali cerita lama yang sudah kupendam beberapa tahun. Tak ada untungnya.
Jika memang kisah kita akan membuat dirimu terasa menyesak di hati. Buanglah jauh-jauh cerita kita. Lebih baik biarkan kisah itu menguap. Biarlah angin yang berhembus menghamburkannya.
Namun kelak bila seumpama garis Tuhan berkehendak menyatukan lagi. Mari susun kembali potongan-potongan puzzle yang berserak itu. Tak usah terburu waktu, perlahan saja. Lalu kita bersama-sama merakitnya, memasang kembali potongan itu menjadi satu utuh tak bercerai.
Tanpa Mawar! Sekali lagi tanpa mawar, merah ataupun putih.
Tidak tahukah kau jika mawar itu berduri? Sekali tertusuk onaknya, sakitnya luar biasa. Walau tak berbekas, namun terasa, tepat menohok di ulu hati! Begitu menyayat dan perih. Sekali lagi tanpa mawar. Andaipun iya jikalau garis Tuhan berkendak seperti itu. Itupun jika kau mau.

Jalan Simpang Karimata, 12-14 Februari 2010
(WFY)

NB;
  • Tulisan ini tidak ditujukan kepada siapa-siapa, baik itu laki-laki maupun perempuan. Jika ada kesamaan, nama tempat, lakon, peristiwa dan atau jalannya alur cerita maka itu faktor kebetulan saja. 
  • Sekali lagi cerita ini murni fiktif! 
  • Untuk Catastrova Prima;  Terima kasih telah sudi mengedit catatan ini J matur suwun sanget mbak Prim….