NB:
- Jan-jane aku iki nulis opo tho? Meracau... Ehmm mungkin gumpalan beratus kata yang tak terkatakan. Jadi Ambyaaaaaaaaaaar...
Akulah yang lari setelah dilahirkan. Mereka mengurung diriku tapi aku pergi. Sukmaku mencari-cari aku, arungi bukit dan lembah-lembah, kuharap sukmaku takkan pernah menemukanku. -Fernando Pessoa-
Kami Mahasiswa
BERTANAH AIR SATU,
TANAH AIR TANPA PENINDASAN
BERBANGSA SATU,
BANGSA YANG GANDRUNG AKAN KEADILAN
BERBAHASA SATU,
BAHASA KEBENARAN
Siapa yang berani mengelak bahwa kita (baca; mahasiswa) tidak pernah mengucapkan sumpah itu? Jika berani memungkiri, mungkin tidak dibaiat oleh seniornya. Tidak bisa disama-ratakan memang. Tapi analogikan saja semua mahasiswa setidaknya pernah membaca sumpah itu. Andaikan saja, bahwa kita telah bersumpah dan di sumpah. Walau ayat-ayat itu dibaca secara terpaksa (tidak berdasar hati nurani).
Mari kita mencoba melihat realita yang sedang terjadi di Negara ini (
Pertama kita mulai berselancar ke pulau Sumatera. Tepatnya di Porsea, Sumatera Utara. PT Toba Pulp Lestari (Indorayon) telah melakukan pengrusakan hutan dan pencemaran lingkungan akibat air limbah. Dampaknya dapat mengakibatkan kematian pada tanaman, hewan dan bahkan manusia.
Nikmatilah keindahan pulau Sumatera. Jika sudah merasa bosan, berlayar lagi ke Pulau Kalimantan. Mungkin sekarang kita tidak dapat lagi menyaksikan lebatnya hutan atau bahkan monyet-monyet yang bergelantung dari ranting pohon ke pohon lainnya. Semua itu musnah akibat pembalakan liar yang di lakukan oleh perusahaan-perusahaan yang mengaku berbadan hukum dan konon mempunyai ijin yang bernama HPH[1] itu. Di
Selesai bercengekerama dengan gundulnya hutan-hutan di tanah
Setelah asyik bertamasya di Pulau
Waktunya kembali ke pulau Jawa. Sudah menjadi rahasia umum, pulau jawa dijadikan tempat sentralisasi industri aneka produk barang dan jasa. Orang-orang yang semula hidup bermata pencaharian sebagai petani, penggarap kebun dan sebagian bergantung dari hasil hutan. Dipaksa beralih profesi menjadi buruh. Sebab desa yang ditinggalkannya tak berprospek lagi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini akibat dari ulah perusahaan-perusahaan berbadan hukum yang kerap kali memonopoli tanah-tanah.
Dari hasil berplesiran coba kita buat pertanyaan kemudian mereka-reka
jawabannya;
1. Berapa puluh, bahkan ratusan dan mungkin ribuan orang yang terkena imbasnya? Kalkulasikanlah?
2. Siapakah yang bertanggung jawab? Siapa yang salah dan siapa yang akan dipersalahkan. Masyarakatkah?
Semestinya semua orang pasti setuju dengan jawaban; Rakyat jelatalah yang selalu dijadikan korban.
Tak usah bingung menjawab persoalan itu.. Apakah ini akibat dari kapitalisme atau globalisasi? Berpikirlah sederhana, semua hal bisa dicari akar masalahnya. Dari sudut pandang apapun, teori, ideologi atau apalah namanya jika disangkutpautkan maka akan menemukannya semua sumber dari akal permasalahan tersebut.
Bukan bermaksud mendeskreditkan ideology atau isme tertentu. Semuanya bermula dari ulah para tuan-tuan tanah dan pengusaha-pengusaha asing yang menguasai tanah-tanah masyarakat dengan sewa jangka panjang dan kemudian hari dikuasai secara semena-mena (permanen). Masyarakat terusir dari tanahnya dan kehilangan alat produksi utama. Untuk mereguk keuntungan para pengusaha asing biasanya memperkerjakan masyarakat lokal dengan upah rendah. Dan pada akhirnya kesejahteraan masyarakat lokal tidak berubah karena pasar sepenuhnya dikuasai para pedagang asing yang menguasai teknologi, alat komunikasi dan transportasi.
Ah gak usah terlalu bertele-tele menjelaskan berbagai penindasan yang sedang terjadi di negeri ini! Tak perlu pula dijelaskan ideology atau isme beserta segala tetek-bengeknya. Fakta, tidak sesuai dengan cita-cita pendiri bangsa ini.
Tak usah menulikan telinga dan membutakan mata pada realita. Semua orang pun tahu, entah itu lewat media
Bagaimana dengan kita?
Mari kita menilik sebentar. Tolehlah teman kita si A, B, C, D dan seterusnya. Apakah ia benar-benar menunaikan ucapan sumpahnya? Si A sibuk mengelarkan kuliahnya, dengan alasan biaya kuliah mahal. Sedang si B terlalu asyik dengan kehidupan hura-huranya baginya tak terlalu mempersoalkan biaya kuliah, ia termasuk kelas ekonomi atas (orang kaya!). Sedang si C, D dan seterusnya bingung mencari pekerjaan sampingan, karena untuk menutupi biaya kuliah dan kebutuhan sehari-hari. Dan berbagai alasan lainnya.
Sekarang kita kembali lagi pada masalah sumpah! Apakah para pengucap sumpah itu benar-benar menjalankan apa yang telah disumpahkannya? Apakah para pengobral janji itu melakukannya? Mengingat kondisi negeri ini banyak terjadi ketimpangan sosial dan bahkan penindasan.
Simpulkan dan renungkanlah! Benarkah ayat-ayat itu adalah sumpah? Jika kita benturkan pada realitas sebenarnya, kita akan terpaksa untuk mengamini ayat-ayat itu hanya sebatas kata yang tanpa makna.
Miris memang…
Sudah Waktunya untuk turun Gunung….Halah Nulis Opo tho yo? Tuwaek...
(WFY)
[1] HPH akronim Hak Pengusahaan Hutan. Dan kadang, dipelesetkan menjadi Hak Pembabatan Hutan.
Sohibul hikayat, pada zaman lampau ada suatu negeri yang makmur. Padi menghampar luas. Pepohonan yang nampak rindang. Serta disuguhkan hamparan pantai-pantai yang indah membentang. Di negeri inilah terdapat para pembuat (pelestari budaya) berbagai kerajinan, mulai dari pengrajin tanah liat hingga anyam-anyaman. Masyarakat setempat bermatapencaharian sebagai petani dan nelayan. Hanya sebagian kecil saja yang bekerja sebagai buruh. Negeri yang penuh daya tarik bagi wisatawan. Negeri dengan sejuta pesona, negeri Antah Berantah namanya.
Pada suatu ketika di pagi, tanggal 27 Mei 06 Masehi. Manusia-manusia sudah bersiap dan bergegas. Bersiap untuk menjalankan rutinitas seperti biasanya. Namun masih ada yang terlelap di pembaringan dengan buaian mimpi indah, tak terkecuali anak-anak -balita-. Hiruk pikuk mulai kentara. Masyarakat mulai menjalankan aktivitasnya masing-masing yang kebetulan bermatapencaharian sebagai petani, nelayan dan juga buruh. Mereka nampaknya sudah siap menjalankan aktivitas seperti hari-hari yang menjadi rutinitasnya.
Terlihat riang wajah pak tani karena padinya mulai menguning, nampak sedih para buruh karena gajinya tak kunjung belum terbayar. Maklum tanggal tua. Di sekolah anak-anak nampak ceria, sebentar lagi bertemu dengan teman sebayanya. Belajar dan bermain.
Seusai Subuh. Dibalik keriangan pak tani, kesedihan buruh dan keceriaan anak-anak, kini kandas. Sirna jua mimpi-mimpi mereka. Sebab pagi buta jam 05.57, masih di tanggal 27 Mei 06 M. Suatu waktu belum dimulainya roda ekonomi masyarakat. Terjadilah guncangan yang hebat. Hanya dengan 3 menit guncangan itu bisa memporak-porandakan rumah dan juga mematikan nyawa manusia. Luluh lantah dan mematikan. Masyarakat setempat menyebutnya sebagai Lindu. Namun dalam bahasa Indonesia guncangan tersebut dinamakan Gempa. Konon katanya menurut para ahli nujum guncangan itu berkekuatan 5,9 Skala Richter. Hanya perkiraan!
Orang-orang semua panik. Berhamburan seperti dalam keadaan perang. Bersembunyi, berteriak minta tolong, mengungsi. Apalagi isu yang merebak yakni akan ada tsunami. Banjir bandang! Entah siapa yang mengisukannya. Orang yang tak bertanggung jawab mestinya. Mengungsi atau mati, pikiran yang ada dalam pikiran orang-orang. Tidak bisa membayangkan seperti apa
Yah setidaknya guncangan tersebut begitu dahsyat. Hampir seperempat penduduk di negeri Antah Berantah itu tewas. Innalilahi waina ilahi roji’un. Bencana yang maha dahsyat! Mungkin ini semacam kiamat kecil, kata pemuka agama. Ahli bumi tak kalah memberi pernyataan, selain takdir Tuhan, guncangan ini terjadi akibat pergeseran lempeng di bawah samudera. Berita itu simpang siur. Hanya perkiraan tanpa hukum sebab akibat. Belum tentu kebenarannya!
Ucapan bela sungkawa datang dan silih berganti dari tetangga negeri. Bantuan datang tak henti-hentinya mengalir deras dari berbagai penjuru negeri. Berlomba mencari pahala? Semua orang berbondong-bondong menuju tempat bencana.
Decak kagum menyeruak ludah.
***
Di negeri itu terdapatlah sebuah pondokan.
Segerombol santri sedang mendiskusikan apa yang seharusnya diperbuat setelah negeri Antah-berantah itu luluh lantah akibat gempa. Ketiga santri itu adalah Asu, Kirik, dan Anjing begitu serius dengan diskusinya. Perdebatan demi bantahan saling kukuh dengan idenya masing-masing. Satu sama lain tak mau mengalah! Berjam-jam lamanya mereka duduk di selasar pondokan. Duduk bersila, memeras otak dan mencoba untuk mencari solusi atas ketidaksepahaman ide dari ketiga santri itu. Saling diam. Tak satupun, satu dari mereka berani mengungkapkan gagasannya.
Ketiga santri berimajinasi dengan ide dan buku yang digeluti. Dengan latar belakang yang berbedalah otak mereka disatukan. Asu adalah seorang pembaca buku tentang keidealismean manusia, siapapun tokohnya, habis ia lahap. Perawakannya yang kecil membuat teman-temannya merasa gemes, apalagi dengan tingkah lakunya yang sering melucu. Dibalik keunikan yang dimiliki ia juga seorang yang idealis.
“Aku punya ide!” Teriak Asu. Mencoba memecah kebuntuan. Kedua temannya kaget. Antara Kirik dan Anjing saling menatap. “Ceritakanlah ide itu?” Jawab Anjing dengan gayanya yang sok bijak. Sementara Kirik hanya diam tampak acuh dan tak peduli. “Bagaimana kalau kita membuat Posko bantuan di tempat bencana? Disana kita bisa membantu. saudara-saudara kita yang tertimpa musibah. Misalnya kita mencari dan kemudian mendistribusikan barang-barang bantuan itu pada mereka.” Asu menjelaskan idenya. “Apakah itu efektif? Hanya sia-sia! Buang-buang waktu, Su!” timpal Kirik dengan
Siang itu, masih belum juga mendapatkan solusi. Panas matahari mendidihkan
darah, emosi yang gampang meletup. Dari ketiga santri itu mempunyai pandangan yang berbeda. Saling berlawanan. Ditengah perdebatan yang tak berujung. Akhirnya, dari ketiganya memutuskan untuk break sejenak. Dan tentunya dengan kesepakatan bersama pula, masing-masing harus dapat mempunyai ide yang dapat dikolaborasikan. “Baiklah sementara kita belum mendapatkan apa yang seharusnya kita lakukan, alangkah baiknya kita istirahat sejenak. Namun perlu di ingat saudara-saudara kita membutuhkan kita! Jangan sampai terlena.” nada bijak nan tegas itu terlontar dari mulut Anjing.
Sementara orang-orang sibuk menyiarkan berita tentang musibah yang baru saja terjadi. Masih di selasar pondokan. Banyak para santri yang kemudian memutuskan menjadi relawan. Hilir-mudik dan kesibukan mulai terasa. Di sekeliling pondokan itu banyak bertumpuk bantuan. Obat-obatan, makanan dan minuman tertumpuk menjadi satu disebuah sudut selasar itu.
Ketiga santri kembali berkumpul. Tentunya dengan gambaran ide masing-masing. “Baiklah kita, kita sudah berkumpul disini. Kuharap masing-masing dari kita sudah mendapatkan ide dari apa yang seharus kita perbuat. Bukan semestinya!” Anjing memulai kembali rapat yang tidak formal itu. Asu masih dengan idenya yang ingin mendirikan posko bantuan, harapannya sederhana ingin membantu dan memudahkan penyaluran pasokan barang. Sedang Anjing disamping mendirikan posko bantuan, ia juga mengusulkan untuk terjun langsung ke lapangan membantu dan mengevakuasi korban. Sedang si kirik masih malu untuk mengeluarkan pendapatnya. Dia hanya berbisik pada pemimpin forum. Bahwa ia sepakat dengan pemikiran kedua temannya. Ia juga mengusulkan untuk dijadikan praktek kerja lapangan. Maklum dari ketiga santri tua itu belum mendapatkan mata pelajaran praktek kerja lapangan. Salah satu syarat kelulusan belajarnya.
Kirik hanya tersenyum simpul atas ide cemerlangnya. Nampak keoportunisan yang ada pada si Kirik. Namun Asu tidak sepaham apa yang diidealkan kirik. Dengan nada sewot serta reaksioner, “Aku sepakat dengan ide yang kalian paparkan. Namun ketahuilah DIMANA ADA MOMENT, DISITULAH ADA KANS DAN KEPENTINGANLAH PADA AKHIRNYA. Aku tidak munafik.” Ia mempertahankan idenya.
Dengan penjelasan selogis mungkin Kirik pun menguraikan gagasannya panjang lebar. Sedang Anjing dan Asu hanya teranggut-anggut mendengarkan apa yang dipaparkan olehnya. Dari teman yang semula tidak diakui pemikirannya, kedua rekannya terkesima dengan gagasan yang baru saja ia dengarkan. Seharian belum juga mengetok palu kesepakatan. Dan akhirnya, untuk sementara mereka sepakat untuk mendirikan posko bantuan di daerah tempat bencana. Dari ketiga santri tersebut masing-masing mempunyai tugas.
***
Pascagempa, telah satu tahun lamanya telah terlewati. Pendirian posko lambat laun beralih fungsi menjadi pondokan para santri. Yang semula dijadikan posko para relawan, kini bertebar posko untuk santri yang sedang kuliah lapangan. Status ganda relawan dan kuliah lapangan juga para pencari uang. Setelah adanya musibah para santri diberi keuntungan untuk kuliah di luar ruangan. Kadang terdengar nada sumbang dari orang-orang moralis; pengungsi bukannya orang yang tertimpa bencana, namun para santri juga relawanlah yang mengungsi di tempat bencana. Sambil berenang minum air, jika di umpamakan dengan pepatah.
Satu tahun telah terlewati. keadaan negeri Antah Berantah itu berangsur pulih. seperti sedia kala. tentunya dengan kondisi yang berbeda. Jalan-jalan, hingga rumah. Semuanya nampak baru, walau sederhana. Keceriaan anak-anak, keriangan pak tani kini nampak lagi terulas. Geliat masyarakat mulai menandakan bahwa
Sebagian kegiatan harian mulai nampak, pasar banyak yang sudah melakukan kegiatan ekonominya, begitu juga toko-toko. Adapun kegiatan harian di daerah gempa lebih terlihat kepada evakuasi barang-barang, mengumpulkan genting dan kayu yang masih bisa digunakan. Aparat membantu merobohkan bangunan yang membahayakan, terutama untuk fasilitas umum seperti tempat ibadah dan lainnya.
Sedang banyak para relawan domestik dan asing yang berada di lokasi tempat bencana. Masyarakat juga nampak begitu apatis dengan mereka para dermawan itu. Beruntung semangat gotong royong masyarakat masih ada. Hingga tak terlalu mengharapkan bantuan dari para pengumpul pahala. Menurut masyarakat, tidak hanya uang yang diberikan untuk membantu mengatasi bencana itu, namun juga bantuan fisik secara nyata diberikan langsung ke tempat kejadian. Masyarakat tampak acuh dengan para donatur yang mengiming-imingi bantuan. Hanya omong kosong katanya.
Hingga saat ini di tahun 07 M, puluhan bahkan ratusan organisasi bantuan, telah lewat satu tahun setelah bencana itu masih aktif memberikan bantuan. Mereka tinggal di tenda-tenda yang didirikan di lokasi bencana. Begitu juga ketiga santri itu. Yah, paling tidak merasakan empati. Atau pilihannya adalah menjadi Relawan, Wisata Bencana atau dari pada TIDAK?
(WFY)