Kamis, 14 Oktober 2010

Seperti Air

 “Memangnya ada apa dengan rumah kita? Kok dia tidak sudi lagi kembali di rumah ini?” katamu mengadu tentangku kepada kawan yang juga temanku. Dan selalu bertanya tentang itu kepadaku dan juga dengan kawan-kawan yang lain, yang masih kuanggap sebagai kawanku.
Terus terang aku enggan untuk bercerita dan menjawab pertanyaan kenapamu itu. Kuyakin sekali bercerita, mau tidak mau aku harus menceritakan sedari awal, runtut dan berkronologis. Iya jika kau menerima alasan-alasaku, seandainya tidak? Kuyakin justru malah memperumit atau malah menambah deretan alasan mengapa aku enggan dan tak mau lagi pulang ke rumah. Semoga kau mengerti. Aku tidak memperkeruh status quo yang sudah mapan di rumah kita.
Sekelumit aku akan mengajakmu melacak ingatan. Yah mungkin sebatas nostalgia indah atau justru sebaliknya. Tergantung kita memaknainya, jika ada yang lucu tertawalah, kalaupun ada yang kurang sreg mari menginstropeksi. Tidak ada yang salah dan dipersalahkan. Hanya sekadar pengingat dan melawan lupa. Bagaimanapun juga aku, kau dan kita seluruh anggota keluarga adalah bagian dari sejarah dalam perjalanan rumah itu, rumah kita!
Tentunya kau masih ingat, kala itu dibulan November, kau dan juga pacarmu atau calon penghuni rumah kita yang ditolak hampir seluruh anggota keluarga. Ketika itu kau mengadakan acara perayaan ulang tahun pacarmu. Kau membuat pesta kecil dan mengundang beberapa kerabat jauh untuk menghadiri pesta dengan jamuan minum-minuman dengan kadar alkohol lebih dari 40%. Sungguh terlihat meriah saat itu. Mulut-mulut ceracau dan kelakar riuh rendah. Aku turut hadir tapi tidak lama. Sekedar mengucap selamat lantas pergi. Hanya menjadi penggembira saja. Tidak sempat mencicipi sedikit pun hidangan yang kau sediakan bersama pacarmu. Aku terkesan munafik, menampik gelas yang kau sodorkan kepadaku.
Kau telah mendobrak dan merubah segala konvensi yang telah ada secara turun-temurun. Dan pada akhirnya kau, aku dan seluruh anggota pun turut merasakan dampak dari pesta kecil itu. Rumah kita dikucilkan oleh tetangga sebelah dan dicap sebagai bar dan  berkonotasi negatif lainnya. Itulah alasanku yang pertama mengapa aku tak lagi pulang kerumah.  Tentunya kau masih ingat alasan-alasanku yang lain bukan? Kupikir aku tak perlu lagi menceritakan ulang semua alasan mengapaku itu. Aku tidak mau menceritakan sedari awal, runtut dan berkronologis. Anggap saja sebagai nostalgia.
***

Patut digaris bawahi, bila perlu dicetak biru. Ada tidaknya aku di rumah, semuanya akan baik-baik saja dan berjalan sesuai alur visi dan misi awal terbangunnya rumah itu sendiri. Sebagai wadah dan penyalur bakat yang ditempa dari cita-cita para pendiri, barangkali seperti itu. Pondasi itu masih kokoh, terbukti beberapa tahun ketidakpulanganku, ada tidaknya aku dirumah pun masih berjalan sebagaimana mestinya. Andaipun stagnan itu hanya bagian dari proses dan seleksi perkembangan jaman. Yakinlah, jalankan saja dan tetap mengalir untuk membuat sejarah.
Ibarat kereta. Selagi ada masinis yang menggerakan lokomotif, pastilah rangkaian gerbong yang tersambung dibelakang akan mengikuti laju penggeraknya. Kemanapun perginya. Niscaya! Sekalipun terjungkal di tubir jurang maka rangkaian gerbong pun akan ikut terguling. Tergantung bagaimana kehendak masinis akan membawa kemana gerbong-gerbong yang membuntutinya.
Jika kau masih ragu ada tidaknya masinis yang mampu menggerakan kereta. Aku yakin semua anggota keluarga yang mendiami rumah kita mampu dan berkompeten. Semua anggota keluarga berhak untuk dipilih dan memilih untuk menjadi masinis. Asalkan sesuai dengan koridor dan kemampuan, paling tidak bisa menjadi stabilisator  apa yang dimaui seluruh anggota keluarga.
Saranku, kalau aku masih diperbolehkan memberi saran, fasilitasilah seluruh anggota yang berpotensi dan jangan menggebyah uyah kehendak masinis yang notabene sebagai penggerak gerbong. Itu hanya semacam analogi saja. Tidak lantas kemudian menjadikan rumah kita sebagai kereta sungguhan, yang berpindah-pindah antar kota. Kupikir itu saja.

***

Kau boleh menyebutku ‘Kacang lupa kulitnya’ atau ‘keong lupa cangkangnya’ atau 'Kura lupa pada tempurung' dan atau apa sajalah. Bebas! Sebebas mulutmu mengatakan. Sekalipun Fitnah! Yang pasti aku asyik-asyik saja dengan apa yang semua kau sebut dan tuduhkan mengenaiku. Tapi jangan marah jika kemudian aku menertawaimu. Mulanya hanya diam, lalu menjadi senjata mematikan!!
            Akhir kata aku teringat guyonan dengan sahabat lama; "Ada Musang dimakan Macan.. Punah!!!" kata temanku. "Apaan sich?" jawabku. "Lho masa kamu gak tahu? Kemana aja?? Wah jadi PR nich" katanya lagi. "Ah gak urusan!" jawabku ketus. "Oh iya kamukan sekarang jadi Elang!" jawabnya. “Sekalipun, seperti elang yang patah sayapnya. Tetap. Selamat tinggal.” Jawabku dengan entengnya. Kami pun tergelak bersama. "HAHAHAHA XIXIXIXI..."
Walaupun aku begitu enggan meninggallkan tempat dimana aku belajar memaknai hidup. Begitu berat meninggalkan semua kenangan yang telah kubuat. Dan kini semuanya cepat berlalu dan biarlah semoga tetap menjadi cerita. Sejenak saja inginku menjadi gila. Melupa dan bebas merdeka agar aku bisa menggapai mimpiku. Kan kuseka airmata ketika kereta hendak melaju. Tabik. Adios. Selamat tinggal.


Jalan Simpang Karimata, 03 Oktober 2010
(WFY)



NB:
  • Jan-jane aku iki nulis opo tho? Meracau... Ehmm mungkin gumpalan beratus kata yang tak terkatakan. Jadi Ambyaaaaaaaaaaar...


Sabtu, 02 Oktober 2010

Gelak Tawa Revolusioner Tambun


Waktu hampir maghrib. Malam ini aku ada janji dengan seorang kawan yang hampir-hampir tak pernah bertemu sekian tahun lamanya. Tepat pukul delapan bertemu disebuah kedai kopi tengah kota. Segera aku bergegas menuju kamar mandi untuk mencuci muka. Niatnya mandi, tapi kuurungkan karena air sumur begitu dingin setelah terguyur hujan sesorean tadi. Lain sebab, konon mandi di malam hari tidak baik untuk kesehatan. Kaos yang masih melekat di badan tak kuganti. Begitu pula dengan celana jeans. Sebagai penghilang bau apek, kusemprotkan wewangian yang lazimnya untuk menghaluslembutkan kain yang diseterika. Aku tak mempersoalkannya. Terpenting pakaian tercium harum! Bagiku lebih dari sekadar Percaya Diri.
Kusambar tas hitam bergambar bintang merah. Tanpa basa-basi segera kupelintir gas si Tempik[1] di jalanan menuju kota. Sembari menyetir, dengan handphone kusempatkan tangan kiri untuk mengetik dan kirimkan sebuah pesan singkat mengabar jika aku sudah meluncur ke tempat dimana janji yang telah tersepakati sebelumnya. Butuh ekstra kewaspadaan dan kehati-hatian tingkat tinggi untuk bisa mengemudi sambil berkirim pesan[2]. Selang beberapa saat kawanku membalas, ‘OKE’ katanya.
            Tak butuh waktu lama, mungkin seperempat jam lebih sedikit, aku sudah sampai di kedai kopi. Kulihat kawanku sudah datang duluan, duduk di bangku paling pojok. Ehm ternyata kawanku pintar memilih tempat untuk menikmati kopi. Menghadap jalan sekaligus memanjakan mata dengan suguhan beragam wajah para pejalan atau duduk di trotoar, yang oleh pemilik kedai dijadikan lesehan.
***
           
“Hallo, Bung!” sapaku, “sudah lama menunggu?”
            “Ah tidak. Aku baru saja datang beberapa menit yang lalu sebelum kau datang!” jawabnya berbasa-basi, sambil menjabat tanganku erat-erat. “Saya bersyukur masih bisa lagi bertemu denganmu. Suatu anugerah yang indah tiada taranya. Oh iya masih suka kopi yang mix atau sudah beralih ke kopi hitam? Biar saya yang pesan.” Lanjutnya sembari mempersilahkan untuk duduk.
            “Kalau bir tidak mungkin. Ehm apa sajalah.” Jawabku.
            “Serius bung. Pesan yang mana?” mengulang tawaran yang hendak dipesannya, “Siapa tahu sepulang menjelajah Jawa Timur kau sudah beralih ke kopi hitam!”
            Aku hanya tertawa kecil mendengar sentilannya. Maklum kami sudah lama tidak bertemu. Aneh bin ajaib kebiasaan kami saling sindir satu sama lain tak bisa diubah, “Ya aku pesan kopi yang mix rasa nasibmu yang manis saja!”
            “Ah kau bisa saja. Kalau begitu aku pesan kopi hitam sehitam kulitmu!” kelakar kawanku sembari memanggil pelayan dan memesan kopi.
            “Ehm, masih saja seperti yang dulu. Sarkastis!” gumamku. “Apa kabar bung?” tanyaku memulai perbincangan.
            “Seperti yang kau lihat saat ini!”
            “Melihat penampilanmu rupa-rupanya hidupmu sudah sejahtera. Semakin tambun saja berat badanmu!”
            “Persis yang kau lihat. Aku masih seperti dulu, kawan. Dan tubuhku semakin tambun! Hahaha” kawanku menertawakan diri, “Bagaimana kabarmu?” lanjutnya balik bertanya.
            “Senantiasa sehat dan baik-baik saja. Dan lihatlah penampilanku tak ada yang berubah. Kaos lusuh, jeans robek dan topi pet yang selalu melekat ditubuh. Belum ada perubahan yang signifikan.” Jawabku.
            “Yah kau tidak berubah. Masih seperti dulu. Tetap konsisten dengan keproletaranmu. Ehm atau mungkin sekarang malah sedang bunuh diri kelas?” sindirnya.
            “Sama sekali tidak. Kalau dibilang hidup layak, mungkin! Andai pun aku sudah kaya, mungkin barangkali aku menjadi sombong dan enggan menemuimu di kedai kopi ini! Atau motor itu, si Tempik sudah kuganti dengan Trail yang memang sudah lama kuidam-idamkan.” Tunjukku pada si Tempik yang terparkir dibaris terdepan tidak jauh dari tempat kami duduk. Sepeda motor yang kuanggap pacar dan sahabat dan hampir 13 tahun setia menemaniku bepergian.
            “Ehm ternyata kita masih kere ketemu kere! Sebab kemiskinanlah yang mempersatukan kita! Bersatulah kaum miskin sedunia[3]!!” celetuknya.
            “Tapi, melihat tubuhmu yang tambun. Semua orang tak akan pernah mengira jika kau benar-benar proletar, bung!” sahutku, “Malah semua orang yang melihatmu sekilas, akan beranggapan bahwa kau adalah seorang yang kaya raya. Seperti bos-bos para pemilik modal yang pastinya pola makanmu lebih terjamin dan serba enak. Semoga itu bukan karena obesitas.”
            “HAHAHAHA XIXIXIXIXI” Kamipun tergelak bersama.
            Tanpa sekat, obrolan keluar dengan sendirinya. Seperti bebek-bebek yang berebut makan, nyerocos tiada henti. Tak jarang pemilik kedai berdehem menyindir kami yang tak kunjung pergi. “Ehm pelangganku bukan kalian saja ya. Ehem..” katanya. Kami pura-pura tidak mendengar dan cuek saja. Bagiku dimanapun berada, pembeli adalah raja. Namun lama-lama risih juga mendengar deheman yang mungkin ke tiga kali atau entah keberapa. Akhirnya aku memesan gelas kedua dengan menu yang sama, kopi hitam dan kopi yang mix.  Pemilik kedai menyunggingkan senyum dengan pesananku. “Laris manis tanjung kimpul.” serunya memasang wajah yang tak lagi cemberut.
Semakin larut malam, kedai kopi semakin ramai oleh pengunjung. Para penyuka kopi datang silih berganti beragam rupa wajah. Sedang kami, masih mengonggokan diri dan enggan untuk segera beranjak meninggalkan tongkrongan. Masih asyik masyuk  berbagi cerita. Wacana apapun. Dari hal yang remeh temeh sampai ke arah yang mendekati serius. Semakin menenggelamkan diri ke diskusi tentang politik dalam negeri yang saling silang sengkarut tak berarah pasti. Obrolan yang aktif. Berkesimpulan, bersolusi dan entah kapan akan mempraksiskannya.
***

“Lihatlah pengamen tua itu.” Tunjuk kawanku pada pengamen tua yang berdendang dengan alat musik berupa kecrek dari tutup botol limun yang digepengkan, “Ia adalah salah satu korban pemerintah yang mengadopsi sistem kapitalisme biadab!” kata kawanku geram.
"Dan lihatlah. Bendera itu," tunjukku pada tiang kibar bendera, "kan kusobek putihnya lalu merahnya kan kuikat dikepalaku."
"Mengapa begitu? Supaya apa?" Tanya kawanku terheran-heran.
"Masa kau tidak tahu? Terus terang saya malu menjadi warga negara bangsa ini!" Jawabku sembari cengengesan.
"Oh, kukira kau akan menggambarinya palu arit! Tunjukan merahmu, Bung!" gurau kawanku setengah berteriak.
"HAHAHA XIXIXI" kami pun cekikikan.
“Beginilah jadinya jika pemimpin di negeri ini tidak sanggup menyediakan lapangan pekerjaan bagi rakyatnya!” keluhku mengomentari pengamen tua, “tanah di negeri ini memang subur, kawan. Coba bayangkan, tanam jagung tumbuhlah jagung, tanam padi tumbuhlah padi. Bahkan tanaman herbal semacam ganja begitu sangat mudah tumbuh dengan suburnya. Tapi pada kenyataannya sekarang? Tanam padi tumbuh pabrik, tanam jagung tumbuh gedung, tanam modal tumbuhlah korupsi[4]. Kontradiktif! Dan rakyatlah yang selalu dijadikan korban dari sistem yang di impor dari barat. Kapitalisme memang jahat! Seperti iblis yang selalu mengganggu manusia dalam usaha mencapai kebaikan dalam hidup.”
“Yah aku tahu. Negeri ini sebelum berbentuk republik yang berbendera merah-putih, dari masa sebelum negeri-negeri eropa menjajah, sudah terkenal dengan kekayaan alamnya. Itu baru diatas permukaan tanah, belum lagi apa yang terpendam didalam tanah ini. Tanah yang kita injak ini, kawan! Tersimpan aneka tambang dan sumber daya alam yang juga begitu sangat melimpah. Seharusnya dapat mensejahterakan rakyat yang mendiami negeri ini. Dan persoalannya, mengingat masih banyaknya penindasan dan ketidakadilan yang sering kita lihat, lalu apa yang harus kau lakukan?”
            “Sebenarnya bukan aku, Bung. Tapi kita! Tapi entahlah aku juga tak tahu apa yang seharusnya dilakukan. Untuk kondisi saat ini, Jika diam tidak lagi menjadi emas, maka bicara pun menjadi bumerang pada akhirnya.” Jawabku diplomatis.
“Apa kau lupa dengan pedoman-pedoman MLM[5] yang diajarkan pada kita?  Kuharap kau tidak sedang mengalami demor[6]!" sindir temanku.
“Ehm demor? Kau masih saja menstigma seseorang yang kehilangan kendali arah perjuangan. Tak beda jauh dengan para aktivis berdasi yang pandai mencuri peluang. Kamerad[7], apakah orientasimu juga mengikuti jejak pendahulu kita yang sekarang duduk di Senayan? Jika memang iya, akulah orang yang pertama kali menjadi martir mengebom rumah dinasmu kelak.” jawabku agak guyon agar pembicaraan tidak menjadi kaku, “Dan percayalah, kamerad! Kita masih segaris massa. Darah saya masih merah, Jenderal![8]
"HAHAHA XIXIXI" kami pun cekikikan.
            “Kau sedari dulu pandai mencairkan suasana. Aku suka gayamu, Kamerad! Tak salah jika organisasi kita dulu, mempercayakanmu menjadi Sekjen[9]!” celetuknya, “Jargon-jargon yang kau buat membuatku bersemangat dan semakin memerahkan otak dan jalan pikiranku! Serasa aku tak sabar lagi untuk melakukan tugas sejarahku sebagai seorang revolusioner.” puji kawanku seraya beromantisme akan masa lalu.
            “Biasa saja. Mungkin aku adalah buah dari revolusi ’45 yang tersandera. Bisa jadi  Tuhan memberi kelebihan pada mulutku!” gurauku merendah.
            “HAHAHA” kawanku terkial-kial mendengar apa yang kuucapkan. Sedang aku tak turut tertawa. Apakah aku melucu? “Kau bicara Tuhan? Apa aku tidak salah dengar? Apa kamu sudah kembali ke jalan yang lurus?” lanjutnya masih diringi dengan tawa.
            “Tidak salahkan jika aku menyusur jalan yang lurus lalu berbelok ke arah kiri?” jawabku sekenanya.
            “Tidak ada yang salah, kamerad! Hanya saja telingaku tergelitik. Aku tidak bisa menahan tawa dengan apa yang kau ucapkan barusan. Nampaknya kau sudah bertobat?” kata kawanku mengulur tangan mengajakku bersalaman, “Aku percaya otakmu masih merah. Aku percaya itu! Paling tidak rasa kemanusiaanmu masih tertanam dalam-dalam di sanubarimu.” Lanjutnya sambil menepuk-nepuk dadaku.
            “Ah biasa aja tapi terima kasih. Lalu bagaimana denganmu?”
"Gagagagagagaga, kau kembali membuatku tertawa, Kawan! Kau? atau siapalah, sekalipun negara tidak berhak untuk tahu kepada siapa aku menyembah? Hanya aku dan yang diataslah yang tahu!" sahutnya sembari menunjuk jari telunjuk keatas, masih terkekeh.
            “Oh iya aku lupa!” aku berseru, “bukankah komunis tidak berarti atheis?”
            “Yah begitulah! Marx[10] bilang ‘agama itu candu’ maksud Marx adalah tidak anti agama. Agama adalah urusan setiap pribadi dan setiap orang bebas untuk menentukan kepercayaannya, termasuk untuk tidak percaya pada suatu kepercayaan sekalipun.” Jelasnya mengutip Karl Marx.
“Sejak kecil kita sudah diajarkan di sekolah, bahwa agama adalah hubungan paling personal antara seorang individu dengan Tuhannya, karena itu tidak ada orang yang dapat mengatur, menentukan, dan mengendalikan hubungan itu.”
“Di negeri ini agama dilembagakan, Bung! Ingat itu. Setiap orang diwajibkan dan harus mencantumkan nama agamanya di setiap kartu identitas atau tanda pengenal lain. Dan lihatlah apa mereka yang beragama taat dengan ajaran agamanya? Dan hebatnya negara, seolah dosa tidaknya Negaralah yang memutuskan dengan bermacam fatwa. Lalu apa wewenang Tuhan, juga malaikat?” lanjutnya berapi-api.
            “Tidak kau terangkan pun aku sudah tahu!” aku memotong khutbahnya karena bukanlah tempat yang pas untuk membicarakan dogma Marx di tempat umum, “Ah masa bodoh. Bagimu agamamu, bagiku agamaku. Terpenting tahu tidaknya dengan siapa aku percaya, semua orang tak perlu tahu. Toh, Undang-undang menjamin kebebasan beragama. Bukan begitu, kamerad?”
            “Nah kau sendiri tahu!” sahutnya.
            Sedang asyik-asyiknya mengobral cerita. Tiba-tiba handphoneku berdering nyaring. Aku memohon pada kawanku untuk meminta waktu menghentikan percakapan guna mengangkat panggilan masuk di telepon genggamku.
“Hallo Brother! Apa kabar?” suara perempuan terdengar dari balik telepon genggamku. “Kabar baik. Maaf anda siapa?” jawabku. “Aku Manda, Bro!” suara perempuan itu mengingatkanku. Ia adalah mantan pacarku yang sekarang sudah bersuami dan beranak satu. “Hei Jeng. Apa kabarmu?” tanyaku sumringah karena ia masih menganggapku sebagai teman. ”Kabar baik, Brother. Oh iya mumpung masih Syawal, mewakili suami dan juga anakku. Aku ucapkan selamat berlebaran ya. Mohon maaf lahir dan batin.” Jawabnya sekaligus mengucap hari raya. “Oh ya sama-sama. Maafkan aku juga.” Balasku singkat, deg-degan "Oh iya Bro, BTW[11] sudah punya anak berapa?" tanyanya. "Wah anakku masih dalam bentuk sperma, Jeng!" jawabku. "Lho sudah diembriokan belum?" tanyanya lagi. "Nah itu dia!" tukasku. "Maksudmu?!?" ujarnya heran. "Belum  ada yang mau kutitipkan benih!" jelasku sambil lalu. "Wong EDAN!!" hardiknya. "HAHAHA XIXIXI." Serta merta kami kami tertawa bersama. Selesai berbasa-basi dan berucap selamat. kami pun menyudahi perbincangan.
Sementara kawanku terlihat diam dan asyik memainkan asap rokok yang dikepulkan lewat mulutnya membentuk lingkaran-lingkaran yang mengudara. Sesekali menjentikkan abu ke dalam asbak. Selain itu, jemarinya begitu lincah memainkan serta memutar-mutar batang rokok disela jari-jari tangannya. Sesekali tersenyum dan kemudian memicingkan mata seolah ada ide cemerlang yang hendak dikatakan.
"Idealisme kita masih sama! Ayolah Bung, Bergerak!" kawanku membisik lirih menyemangati.
"Apa itu?" aku pura-pura melupa.
"Melawan atau miskin! Tunduk tertindas atau bangkit melawan sebab mundur adalah pengkhianatan.." jawab kawanku sembari mengepalkan tangan kiri dan mengangkatnya tinggi-tinggi. Aku tak menjawab. "Kenapa? Kamu takut Tentara?" oloknya.
"Sama sekali tidak!" jawabku tegas.
"Lalu?!?" kawanku bingung.
“Dari pada dipolitikin. Lebih baik aku 'Berpolitik atau miskin' saja!" jelasku.
"HAHAHA XIXIXI" spontan kami pun tertawa.
Tak lama kemudian tiba-tiba kawanku menyeletuk, agak mengumpat. “Demokrasi tai kucing!”
“Tidak ada demokrasi di negeri ini.” Sergahku berkeluh, “Di negeri ini siapapun presidennya, demokrasi hanyalah milik bergelintir orang yang duduk ditampuk kekuasaan. Dan korbannya adalah rakyat yang memilihnya! Satu lagi, mewujudkan demokasi sama halnya seperti mimpi di siang bolong. Sama susahnya menegakan buah zakar yang tak bersyahwat! Utopia! Memang sial hidup di negeri ini.”
***

Tak terasa malam telah terlewati dengan obrolan yang penuh tawa. Hari mendekati pagi. Kedai kopi sudah sepi dari pengunjung. Tinggal beberapa gelintir, termasuk aku dan kawanku, seorang pejuang tambun.
"Mari bergerak, Bung. Revolusi siap dimulai!" kata kawanku dengan semangat revolusioner seraya beranjak dari bangku yang lebih dari 5 jam telah diduduki.
"OK, kamerad! Dari dulu Saya sudah siapkan amunisi. Kelereng dan ketapel! Mari bergerilya." Jawabku tak kalah militan.
"HAHA XIXIXI..." Kami pun tertawa bersama untuk terakhir kalinya.
Seusai membayar empat gelas yang kami pesan, kami bersepakat untuk pergi dan  meninggalkan kedai kopi. Kemudian pulang menuju jalan ke rumah masing-masing. Aku menyusuri arah selatan sedang kawanku menuju ke utara. Dia ke kiri, aku ke kanan dan lalu berbelok kearah kiri. Tentunya berlainan arah dan tidak berlawanan. Kami masih tetap dan akan terus segaris massa. Konon katanya perbedaan itu indah? Demi perubahan, mari dielaborasikan. Sampai bertemu di medan laga.

Sleman, 11 September  2010 disunting
di  jalan Simpang Karimata, 30 September, di tahun yang sama
(WFY)




NB
·         Tulisan ini tidak ditujukan kepada siapa-siapa, baik itu laki-laki maupun perempuan. Jika ada kesamaan nama tempat, lakon, peristiwa dan atau jalannya alur cerita maka itu faktor kebetulan saja.
·         Sekali lagi Tulisan ini hanya fantasi. Fiktif! Boleh dikatakan, mimpi buruk yang kerap mencandui tidur nyenyakku. “Memang sial hidup di negeri ini!!”


[1]  Tempik bahasa Jawa; Vagina. Tapi Tempik yang saya maksud adalah akronim iTEM aPIK. Nama Motor bebek yang  sampai saat ini.masih setia menemani saya kemana pun  hendak bepergian.
[2] Pesan Sponsor; Jika tidak pandai dan lihai berkendara,  jangan ditiru perbuatan itu! Berbahaya!
[3] Bersatulah Kaum Buruh Sedunia!!! (sebuah slogan dari  Manifesto Komunis  yang ditulis oleh Karl Marx & F. Engels) saya pelesetkan menjadi 'Bersatulah Kaum Miskin Sedunia!.
[4] Lirik lagu ‘Indonesia Oye’ yang dipopulerkan oleh Kepal SPI, Yogyakarta
[5]  MLM = Marxisme Lenin & Marxisme Mao Zedong.
[6]  Demor akronim dari Demoralisasi; kemerosotan akhlak; kerusakan moral. Tuduhan paling keji yang acapkali dilontarkan, dituduhkan oleh aktivis ‘kiri’ terhadap kawan seperjuangannya yang sedang mengalami patah semangat dalam perjuangannya.
[7] Kamerad; Kawan, bung.
[8] Darah itu merah, Jenderal!!! (kutipan dari film G 30 S/PKI yang di sutradarai -sekaligus Penulis- Arifin C Noer) saya pelesetkan menjadi 'Darah Saya masih merah, Jenderal!.
[9] Sekjen akronim dari Sekretaris Jenderal.
[10]  Karl Marx adalah anak seorang pendeta Kristen di Jerman, yang dikenal secara luas sebagai seorang filsuf dan sekaligus ekonom.
[11] BTW akronim dari by the way

Jumat, 17 September 2010

Sumpah tidak sama dengan Janji

Kami Mahasiswa Indonesia Mengaku;
BERTANAH AIR SATU,
TANAH AIR TANPA PENINDASAN
BERBANGSA SATU,
BANGSA YANG GANDRUNG AKAN KEADILAN
BERBAHASA SATU,
BAHASA KEBENARAN

Siapa yang berani mengelak bahwa kita (baca; mahasiswa) tidak pernah mengucapkan sumpah itu? Jika berani memungkiri, mungkin tidak dibaiat oleh seniornya. Tidak bisa disama-ratakan memang. Tapi analogikan saja semua mahasiswa setidaknya pernah membaca sumpah itu. Andaikan saja, bahwa kita telah bersumpah dan di sumpah. Walau ayat-ayat itu dibaca secara terpaksa (tidak berdasar hati nurani).

Mari kita mencoba melihat realita yang sedang terjadi di Negara ini (Indonesia?). Sebagai contoh; beberapa kasus yang selama ini terjadi di tanah air. Pembangunan reaktor Nuklir di Jepara. Hingga pembangunan mall terbesar se Jawa Tengah dan DIY, Amborukmo Plaza. Sampai penambangan pasir besi di Yogyakarta yang sangat kontroversial itu. Lupakanlah Yogyakarta! Mari berkeliling Nusantara.

Pertama kita mulai berselancar ke pulau Sumatera. Tepatnya di Porsea, Sumatera Utara. PT Toba Pulp Lestari (Indorayon) telah melakukan pengrusakan hutan dan pencemaran lingkungan akibat air limbah. Dampaknya dapat mengakibatkan kematian pada tanaman, hewan dan bahkan manusia.

Nikmatilah keindahan pulau Sumatera. Jika sudah merasa bosan, berlayar lagi ke Pulau Kalimantan. Mungkin sekarang kita tidak dapat lagi menyaksikan lebatnya hutan atau bahkan monyet-monyet yang bergelantung dari ranting pohon ke pohon lainnya. Semua itu musnah akibat pembalakan liar yang di lakukan oleh perusahaan-perusahaan yang mengaku berbadan hukum dan konon mempunyai ijin yang bernama HPH[1] itu. Di sana juga terdapat pertambangan emas yang di motori oleh PT. Kelian Equatotial Mining (KEM).

Selesai bercengekerama dengan gundulnya hutan-hutan di tanah Borneo. Menyeberanglah ke Pulau Sulawesi, kasus serupa dapat kita jumpai di Buyat, PT Newmont lah sebagai pelakunya.

Setelah asyik bertamasya di Pulau Sulawesi. Melanconglah ke tanah Papua. Di sana terdapat ekspoitasi tambang (emas, tembaga dan konon Uranium juga) yang dilakukan oleh PT Freeport Indonesia. Masihkah kita dapat melihat indahnya burung Cendrawasih? Tentunya tidak bukan? (Melihatpun hanya kebetulan!). Adapun hanya sedikit dikarenakan populasi burung itu semakin berkurang. Mengapa demikian? sebab hutan-hutan sudah hilang, ditebang oleh ketamakan bergelintir orang. Kok bisa? Tanyakanlah pada rakyat Papua. Pasti dapat jawabnya.

Waktunya kembali ke pulau Jawa. Sudah menjadi rahasia umum, pulau jawa dijadikan tempat sentralisasi industri aneka produk barang dan jasa. Orang-orang yang semula hidup bermata pencaharian sebagai petani, penggarap kebun dan sebagian bergantung dari hasil hutan. Dipaksa beralih profesi menjadi buruh. Sebab desa yang ditinggalkannya tak berprospek lagi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini akibat dari ulah perusahaan-perusahaan berbadan hukum yang kerap kali memonopoli tanah-tanah.

Dari hasil berplesiran coba kita buat pertanyaan kemudian mereka-reka
jawabannya;

1. Berapa puluh, bahkan ratusan dan mungkin ribuan orang yang terkena imbasnya? Kalkulasikanlah?

2. Siapakah yang bertanggung jawab? Siapa yang salah dan siapa yang akan dipersalahkan. Masyarakatkah? Para pemodalkah? Pemerintahkah?

Semestinya semua orang pasti setuju dengan jawaban; Rakyat jelatalah yang selalu dijadikan korban.

Tak usah bingung menjawab persoalan itu.. Apakah ini akibat dari kapitalisme atau globalisasi? Berpikirlah sederhana, semua hal bisa dicari akar masalahnya. Dari sudut pandang apapun, teori, ideologi atau apalah namanya jika disangkutpautkan maka akan menemukannya semua sumber dari akal permasalahan tersebut.

Bukan bermaksud mendeskreditkan ideology atau isme tertentu. Semuanya bermula dari ulah para tuan-tuan tanah dan pengusaha-pengusaha asing yang menguasai tanah-tanah masyarakat dengan sewa jangka panjang dan kemudian hari dikuasai secara semena-mena (permanen). Masyarakat terusir dari tanahnya dan kehilangan alat produksi utama. Untuk mereguk keuntungan para pengusaha asing biasanya memperkerjakan masyarakat lokal dengan upah rendah. Dan pada akhirnya kesejahteraan masyarakat lokal tidak berubah karena pasar sepenuhnya dikuasai para pedagang asing yang menguasai teknologi, alat komunikasi dan transportasi. Ada perubahan pun hanya setitik, sama sekali tidak ada perbaikan kesejahteraan. Justru kemiskinan semakin meluas.

Ah gak usah terlalu bertele-tele menjelaskan berbagai penindasan yang sedang terjadi di negeri ini! Tak perlu pula dijelaskan ideology atau isme beserta segala tetek-bengeknya. Fakta, tidak sesuai dengan cita-cita pendiri bangsa ini.

Tak usah menulikan telinga dan membutakan mata pada realita. Semua orang pun tahu, entah itu lewat media massa cetak ataupun elektronik. Jelas-jelas merekalah (rakyat Papua, Sulawesi, Sumatera Utara dan masih banyak lagi) yang tetap dijadikan korban! Semua orang pun tahu! Dunia sepertinya mengakui bahwa di negeri ini banyak terjadi penindasan, ketidakadilan dan kebohongan yang dilakukan oleh sang pemerintah.

Bagaimana dengan kita?

Mari kita menilik sebentar. Tolehlah teman kita si A, B, C, D dan seterusnya. Apakah ia benar-benar menunaikan ucapan sumpahnya? Si A sibuk mengelarkan kuliahnya, dengan alasan biaya kuliah mahal. Sedang si B terlalu asyik dengan kehidupan hura-huranya baginya tak terlalu mempersoalkan biaya kuliah, ia termasuk kelas ekonomi atas (orang kaya!). Sedang si C, D dan seterusnya bingung mencari pekerjaan sampingan, karena untuk menutupi biaya kuliah dan kebutuhan sehari-hari. Dan berbagai alasan lainnya.

Sekarang kita kembali lagi pada masalah sumpah! Apakah para pengucap sumpah itu benar-benar menjalankan apa yang telah disumpahkannya? Apakah para pengobral janji itu melakukannya? Mengingat kondisi negeri ini banyak terjadi ketimpangan sosial dan bahkan penindasan.

Simpulkan dan renungkanlah! Benarkah ayat-ayat itu adalah sumpah? Jika kita benturkan pada realitas sebenarnya, kita akan terpaksa untuk mengamini ayat-ayat itu hanya sebatas kata yang tanpa makna.

Miris memang…

Sudah Waktunya untuk turun Gunung….Halah Nulis Opo tho yo? Tuwaek...

Yogyakarta, 05 Oktober 2007
(WFY)

Catatan Kaki

[1] HPH akronim Hak Pengusahaan Hutan. Dan kadang, dipelesetkan menjadi Hak Pembabatan Hutan.



Rabu, 15 September 2010

Relawan, Wisata Bencana atau dari pada TIDAK?

Sohibul hikayat, pada zaman lampau ada suatu negeri yang makmur. Padi menghampar luas. Pepohonan yang nampak rindang. Serta disuguhkan hamparan pantai-pantai yang indah membentang. Di negeri inilah terdapat para pembuat (pelestari budaya) berbagai kerajinan, mulai dari pengrajin tanah liat hingga anyam-anyaman. Masyarakat setempat bermatapencaharian sebagai petani dan nelayan. Hanya sebagian kecil saja yang bekerja sebagai buruh. Negeri yang penuh daya tarik bagi wisatawan. Negeri dengan sejuta pesona, negeri Antah Berantah namanya.


Pada suatu ketika di pagi, tanggal 27 Mei 06 Masehi. Manusia-manusia sudah bersiap dan bergegas. Bersiap untuk menjalankan rutinitas seperti biasanya. Namun masih ada yang terlelap di pembaringan dengan buaian mimpi indah, tak terkecuali anak-anak -balita-. Hiruk pikuk mulai kentara. Masyarakat mulai menjalankan aktivitasnya masing-masing yang kebetulan bermatapencaharian sebagai petani, nelayan dan juga buruh. Mereka nampaknya sudah siap menjalankan aktivitas seperti hari-hari yang menjadi rutinitasnya.


Terlihat riang wajah pak tani karena padinya mulai menguning, nampak sedih para buruh karena gajinya tak kunjung belum terbayar. Maklum tanggal tua. Di sekolah anak-anak nampak ceria, sebentar lagi bertemu dengan teman sebayanya. Belajar dan bermain.


Seusai Subuh. Dibalik keriangan pak tani, kesedihan buruh dan keceriaan anak-anak, kini kandas. Sirna jua mimpi-mimpi mereka. Sebab pagi buta jam 05.57, masih di tanggal 27 Mei 06 M. Suatu waktu belum dimulainya roda ekonomi masyarakat. Terjadilah guncangan yang hebat. Hanya dengan 3 menit guncangan itu bisa memporak-porandakan rumah dan juga mematikan nyawa manusia. Luluh lantah dan mematikan. Masyarakat setempat menyebutnya sebagai Lindu. Namun dalam bahasa Indonesia guncangan tersebut dinamakan Gempa. Konon katanya menurut para ahli nujum guncangan itu berkekuatan 5,9 Skala Richter. Hanya perkiraan!


Orang-orang semua panik. Berhamburan seperti dalam keadaan perang. Bersembunyi, berteriak minta tolong, mengungsi. Apalagi isu yang merebak yakni akan ada tsunami. Banjir bandang! Entah siapa yang mengisukannya. Orang yang tak bertanggung jawab mestinya. Mengungsi atau mati, pikiran yang ada dalam pikiran orang-orang. Tidak bisa membayangkan seperti apa kota di pagi itu. Kota mati.


Yah setidaknya guncangan tersebut begitu dahsyat. Hampir seperempat penduduk di negeri Antah Berantah itu tewas. Innalilahi waina ilahi roji’un. Bencana yang maha dahsyat! Mungkin ini semacam kiamat kecil, kata pemuka agama. Ahli bumi tak kalah memberi pernyataan, selain takdir Tuhan, guncangan ini terjadi akibat pergeseran lempeng di bawah samudera. Berita itu simpang siur. Hanya perkiraan tanpa hukum sebab akibat. Belum tentu kebenarannya!


Ucapan bela sungkawa datang dan silih berganti dari tetangga negeri. Bantuan datang tak henti-hentinya mengalir deras dari berbagai penjuru negeri. Berlomba mencari pahala? Semua orang berbondong-bondong menuju tempat bencana. Ada yang ingin membantu, dan ada juga yang ingin sekedar melihat-lihat situasi serta berfoto-foto ria. Piknik Bencana. Sepertinya di negeri yang terkena bencana itu dijadikan sebuah bisnis yang menggiurkan, ladang basah bagi para investor. Yah lagi-lagi “mungkin” atas nama pembangunan. Tak heran menjelang pintu masuk di lokasi bencana terpampang tulisan “WISATA BENCANA, HTM SeIkhlasnya!”.


Decak kagum menyeruak ludah. Para pelancong, nampaknya sangat begitu menikmati pemandangan yang hanya tinggal puing-puing berserakan. Berfoto, bercengkerama sambil sesekali tertawa senang. Mungkin jarang terjadi peristiwa yang begitu unik atau mungkin ini sebuah kenangan indah yang tak terlupakan bagi para pelancong? Tak heran ada juga, sebagian masyarakat yang terusik oleh para pelancong. Masyarakat sepertinya terganggu dengan kedatangan para pelancong dadakan itu. Menurutnya, kedatangan pelancong itu bukannya menghibur tapi malah membuat resah masyarakat. “KAMI BUKAN BARANG TONTONAN!” Protesnya! Siapa yang akan mendengar? Toh mereka (pelancong) mentulikan telinganya. Rasa simpati tak ada, apalagi empati. Begitu menikmati! Kejadian seperti ini belum tentu satu tahun sekali, butuh proses atau jika tidak tunggulah Tuhan murka.

***


Di negeri itu terdapatlah sebuah pondokan. Ada ribuan santri yang belajar di pondok itu. Namanya Sekolah Kebijaksanaan. Tempat dimana para santrinya belajar tentang ilmu-ilmu yang di impor dari negeri Barat. Sekolah Kebijaksanaan adalah tempat tercetaknya santri yang handal dari berbagai disiplin ilmu. Mulailah santri itu menerapkan ilmunya. Di lokasi terjadinya bencana inilah para santri menerapkan teori yang telah dipelajarinya dan kemudian mempraktekkannya.


Segerombol santri sedang mendiskusikan apa yang seharusnya diperbuat setelah negeri Antah-berantah itu luluh lantah akibat gempa. Ketiga santri itu adalah Asu, Kirik, dan Anjing begitu serius dengan diskusinya. Perdebatan demi bantahan saling kukuh dengan idenya masing-masing. Satu sama lain tak mau mengalah! Berjam-jam lamanya mereka duduk di selasar pondokan. Duduk bersila, memeras otak dan mencoba untuk mencari solusi atas ketidaksepahaman ide dari ketiga santri itu. Saling diam. Tak satupun, satu dari mereka berani mengungkapkan gagasannya.


Ketiga santri berimajinasi dengan ide dan buku yang digeluti. Dengan latar belakang yang berbedalah otak mereka disatukan. Asu adalah seorang pembaca buku tentang keidealismean manusia, siapapun tokohnya, habis ia lahap. Perawakannya yang kecil membuat teman-temannya merasa gemes, apalagi dengan tingkah lakunya yang sering melucu. Dibalik keunikan yang dimiliki ia juga seorang yang idealis. Untuk Kirik, ia selalu bergumul dengan dunia mesin, teknik. Dari tampang culunnya tak menandakan ia seorang santri yang pemikir. Apatis dan pandai bermain spekulasi. Sementara Anjing selalu bergelut dengan buku-buku sosial kemasyarakatan, ia juga gemar membaca buku tentang lingkungan. Ia adalah seorang yang pendiam, bersifat otoriter. Bukan tipikal seorang pekerja tapi suka memimpin dan tidak mau dipimpin.


“Aku punya ide!” Teriak Asu. Mencoba memecah kebuntuan. Kedua temannya kaget. Antara Kirik dan Anjing saling menatap. “Ceritakanlah ide itu?” Jawab Anjing dengan gayanya yang sok bijak. Sementara Kirik hanya diam tampak acuh dan tak peduli. “Bagaimana kalau kita membuat Posko bantuan di tempat bencana? Disana kita bisa membantu. saudara-saudara kita yang tertimpa musibah. Misalnya kita mencari dan kemudian mendistribusikan barang-barang bantuan itu pada mereka.” Asu menjelaskan idenya. “Apakah itu efektif? Hanya sia-sia! Buang-buang waktu, Su!” timpal Kirik dengan gaya pragmatisnya. Anjing mencoba menengahi. “Hei Rik, apa kamu punya solusi?” Kirik hanya menggeleng sembari menghisap lintingan tembakau. Dengan posisi tangan menyangga kepala, seolah berpikir. Sementara rokok dihisapnya terus berulang-ulang, hampir mati. Juga tak mendapatkan ide. Ketiga santri itu saling terdiam. Saling memikirkan tentang apa yang seharusnya diperbuat.


Siang itu, masih belum juga mendapatkan solusi. Panas matahari mendidihkan
darah, emosi yang gampang meletup. Dari ketiga santri itu mempunyai pandangan yang berbeda. Saling berlawanan. Ditengah perdebatan yang tak berujung. Akhirnya, dari ketiganya memutuskan untuk break sejenak. Dan tentunya dengan kesepakatan bersama pula, masing-masing harus dapat mempunyai ide yang dapat dikolaborasikan. “Baiklah sementara kita belum mendapatkan apa yang seharusnya kita lakukan, alangkah baiknya kita istirahat sejenak. Namun perlu di ingat saudara-saudara kita membutuhkan kita! Jangan sampai terlena.” nada bijak nan tegas itu terlontar dari mulut Anjing.


Sementara orang-orang sibuk menyiarkan berita tentang musibah yang baru saja terjadi. Masih di selasar pondokan. Banyak para santri yang kemudian memutuskan menjadi relawan. Hilir-mudik dan kesibukan mulai terasa. Di sekeliling pondokan itu banyak bertumpuk bantuan. Obat-obatan, makanan dan minuman tertumpuk menjadi satu disebuah sudut selasar itu.


Ketiga santri kembali berkumpul. Tentunya dengan gambaran ide masing-masing. “Baiklah kita, kita sudah berkumpul disini. Kuharap masing-masing dari kita sudah mendapatkan ide dari apa yang seharus kita perbuat. Bukan semestinya!” Anjing memulai kembali rapat yang tidak formal itu. Asu masih dengan idenya yang ingin mendirikan posko bantuan, harapannya sederhana ingin membantu dan memudahkan penyaluran pasokan barang. Sedang Anjing disamping mendirikan posko bantuan, ia juga mengusulkan untuk terjun langsung ke lapangan membantu dan mengevakuasi korban. Sedang si kirik masih malu untuk mengeluarkan pendapatnya. Dia hanya berbisik pada pemimpin forum. Bahwa ia sepakat dengan pemikiran kedua temannya. Ia juga mengusulkan untuk dijadikan praktek kerja lapangan. Maklum dari ketiga santri tua itu belum mendapatkan mata pelajaran praktek kerja lapangan. Salah satu syarat kelulusan belajarnya.


Kirik hanya tersenyum simpul atas ide cemerlangnya. Nampak keoportunisan yang ada pada si Kirik. Namun Asu tidak sepaham apa yang diidealkan kirik. Dengan nada sewot serta reaksioner, “Aku sepakat dengan ide yang kalian paparkan. Namun ketahuilah DIMANA ADA MOMENT, DISITULAH ADA KANS DAN KEPENTINGANLAH PADA AKHIRNYA. Aku tidak munafik.” Ia mempertahankan idenya.


Dengan penjelasan selogis mungkin Kirik pun menguraikan gagasannya panjang lebar. Sedang Anjing dan Asu hanya teranggut-anggut mendengarkan apa yang dipaparkan olehnya. Dari teman yang semula tidak diakui pemikirannya, kedua rekannya terkesima dengan gagasan yang baru saja ia dengarkan. Seharian belum juga mengetok palu kesepakatan. Dan akhirnya, untuk sementara mereka sepakat untuk mendirikan posko bantuan di daerah tempat bencana. Dari ketiga santri tersebut masing-masing mempunyai tugas. Ada yang mendirikan posko, mencari logistik dan melobi pada guru pengampu mata kuliah praktek kerja lapangan. Untuk dipercaya melobi ialah sang Anjing, karena ia tidak terbiasa untuk bekerja di lapangan. Mulut sumirlah yang menghendaki demikian. Untuk merangkai kata-kata dan kemudian meyakinkan, ia pandai beretorika. Pialang ulung. Kedua rekan mempercayakannya.

***


Pascagempa, telah satu tahun lamanya telah terlewati. Pendirian posko lambat laun beralih fungsi menjadi pondokan para santri. Yang semula dijadikan posko para relawan, kini bertebar posko untuk santri yang sedang kuliah lapangan. Status ganda relawan dan kuliah lapangan juga para pencari uang. Setelah adanya musibah para santri diberi keuntungan untuk kuliah di luar ruangan. Kadang terdengar nada sumbang dari orang-orang moralis; pengungsi bukannya orang yang tertimpa bencana, namun para santri juga relawanlah yang mengungsi di tempat bencana. Sambil berenang minum air, jika di umpamakan dengan pepatah.


Satu tahun telah terlewati. keadaan negeri Antah Berantah itu berangsur pulih. seperti sedia kala. tentunya dengan kondisi yang berbeda. Jalan-jalan, hingga rumah. Semuanya nampak baru, walau sederhana. Keceriaan anak-anak, keriangan pak tani kini nampak lagi terulas. Geliat masyarakat mulai menandakan bahwa kota itu tak lagi mati seperti awal terjadinya bencana gempa.


Sebagian kegiatan harian mulai nampak, pasar banyak yang sudah melakukan kegiatan ekonominya, begitu juga toko-toko. Adapun kegiatan harian di daerah gempa lebih terlihat kepada evakuasi barang-barang, mengumpulkan genting dan kayu yang masih bisa digunakan. Aparat membantu merobohkan bangunan yang membahayakan, terutama untuk fasilitas umum seperti tempat ibadah dan lainnya.


Sedang banyak para relawan domestik dan asing yang berada di lokasi tempat bencana. Masyarakat juga nampak begitu apatis dengan mereka para dermawan itu. Beruntung semangat gotong royong masyarakat masih ada. Hingga tak terlalu mengharapkan bantuan dari para pengumpul pahala. Menurut masyarakat, tidak hanya uang yang diberikan untuk membantu mengatasi bencana itu, namun juga bantuan fisik secara nyata diberikan langsung ke tempat kejadian. Masyarakat tampak acuh dengan para donatur yang mengiming-imingi bantuan. Hanya omong kosong katanya.


Hingga saat ini di tahun 07 M, puluhan bahkan ratusan organisasi bantuan, telah lewat satu tahun setelah bencana itu masih aktif memberikan bantuan. Mereka tinggal di tenda-tenda yang didirikan di lokasi bencana. Begitu juga ketiga santri itu. Yah, paling tidak merasakan empati. Atau pilihannya adalah menjadi Relawan, Wisata Bencana atau dari pada TIDAK?






Yogyakarta, 28 Mei 2007

(WFY)