Sabtu, 24 Januari 2009

Malam; pada suatu malam di malam-malam yang menunggu malam

Pergerakan malam nampaknya begitu melambat, tak seperti biasa aku merasa. Bintang hanya mengerlip samar dari kejauhan. Sedang sang bulan hanya berbentuk sabit, pun memancarkan sinar temaram. Terlihat gulita! Kokok sang jago tak kunjung segera menandakan akan datangnya mentari. Begitu lama menunggu pagi.

Mata ini tak juga segera menutup. Entahlah, tak seperti biasanya. Padahal terbilang puluhan kali mulut telah menguap. Namun sama saja mata ini tak juga terpejam. Sesekali melongok jam di langit-langit tembok kamar. Jarum jam dinding itu terus berputar tanpa henti. Tik-tak-tik-tak berbunyi secara beraturan dan kontinyu.

Yah ini masih bercerita tentang malam. Malam panjang yang memang harus dilewati. Malam yang senyap. Tak ada lagi suara jangkrik yang mengerik ataupun kodok mengorek saling bersahutan. Tak ada lagi bebunyian selain angin yang menderu masuk disela-sela ventilasi. Sunyi, senyap dan dingin.

Mana manusianya? Mungkin sepasang manusia semuhrim sedang bersetubuh. Atau yang belum semuhrim asyik bercumbu-rayu dengan pasangannya. Sementara aku hanya bersetubuh dengan imaji-imaji, membayangkan perempuan menyerupa “Dewi Perssik’’. Beronani sembari membayangkan kemolekan tubuhnya. Hanya itu yang bisa aku lakukan, tidak lebih!

Begitulah tentang malam...

***

Jam dinding telah menunjuk angka 03.15 WIB. Semakin larut saja, gumamku. Dini hari! Tak terasa waktu terus berlalu, walau melambat. Hawa dingin merasuk kulit, terasa dingin menyengat. Kantuk belum juga menyergap mataku. Pikiran tak keruan terus saja bergelanyut. Syaraf-syaraf yang mulai menegang, tubuh yang terasa lemah. Rasanya, ingin sekali rebahkan tubuhku, walau sebentar. Namun ku pikir percuma. Sama saja toh mataku juga tak mau dipejamkan! “Duh Gusti, piye carane iso turu?” lagi aku menggerutu.

Akh begitu menyiksa. Serasa di neraka saja. Ingin sekali aku meminta pada Tuhan, agar takdirku bisa dirubah. Aku memohon agar aku menjelma seperti Beruang. Dimana pada musim dingin, terlelap tidur hingga berbulan-bulan lamanya. Aku tidak ingin seperti binatang! Aku ingin jadi manusia saja! Beruang jelek, kataku sambil meralat segala keinginan yang dipanjatkan pada Tuhan. Lalu? Mau jadi apa? “Ough 10 X 10 = capek dech!” keluhku.

Seperempat jam lamanya berandai-andai ingin menjadi apa? Tak satupun jawaban didapat dari pengandaian itu. Hanya keluhan-keluhan yang terlontar dari mulutku. Kali ini aku tak ingin mencaci-maki ataupun menghujat segala takdir dan tentang Tuhan. Aku ingin menjadi atau paling tidak mendapat pengakuan sebagai makhluk ciptaanNnya. Andaipun Ia tak mengakuiku. Ku harap masih ada orang yang mau dan peduli serta meyakinkanku untuk mengakuiku bahwa aku juga makhluk ciptaanNya.

Masih di kamar, mata masih mengerjap. Pikiran mengawang. Tak di nyana, akhirnya asbak telah berjejal penuh puntung rokok. di sebuah kamar, Asap-asap mengepul saling bertubruk hingga menutup samar cahaya lampu. Persis mega mendung menutup matahari. Tak luput segelas kopi hangat turut serta menyertai. Rasa kopi itu terasa pahit dan getir. Sepahit dan getirnya nasib si pembuat kopi. Warna kopi itupun pekat, sepekat kulit pembuatnya. Mungkin rasa dan aroma kopi itu bagian dari cerita hidupnya. Menggambarkan tentang lakon cerita dalam hidup yang dilaluinya. Sungguh berliku dan terjal. Seakan matanya di butakan pada realita yang begitu kejam. Semoga saja esok, nasib baik menghampirinya. Amien..

***

Allahu Akbar..Allahu Akbar.Allahu Akbar..Allahu Akbar...” terdengar dengan sangat jelas nyaring suara Bilal masjid di sebelah rumah. Pertanda jadwal Sholat Shubuh akan segera dimulai. Kapan Sholat? Pertanyaan itulah yang sering kali di lontarkan kekasihku (walau sebenarnya aku tak menganggapnya sebagai kekasih). “Ïku loh mas, wis di undangi kon Sholat? Gek ndang sholat! Selak waktune entek lho!” Begitulah cara ia jika sedang mengajakku untuk menunaikan Sholat. Aku selalu menjawabnya “ sik tha dek, aku durung siap!” “terus kapan siape?” selorohnya. “yo mengko nek Tuhan wis nakdirke aku kon sholat tho yo” alibiku.

Pernah suatu waktu ia menanyakan tentang keyakinan dan agama yang selama ini aku anut.

Agamamu opo tho mas?” tanyanya.

Islam” jawabku.

Rukun Islam iku ono piro mas? Opo wae?” sambungnya.

Dan ku jawab “Rukun Islam iku nek ora salah ono limo; Shahadat, Sholat, Puasa, Zakat, Naik Haji

Kenapa gak mbok lakoni?” ia menimpali.

Aku wis nglakoni tapi lagi siji; yaiku Shahadat! Liyane durung” jawabku sekenanya saja.

Ngopo lagi siji sing mbok lakoni?

“yo aku lagi muk lakoni bacaan shahadat thok. Sing lagi dipercaya lagi iku! Percoyo bahawasane ora ono Tuhan selain Allah, lan percoyo yen Nabi Muhammad SAW iku utusan Allah!

karepmu nek ngono, tapi aku sebagai muslim wajib ngingetno kowe. Yo nek percoyo lakonono kabëh

Insya Allah

Jika perkataannya denganku saling berbantah. Ia selalu berkhutbah tentang dalil-dalil agama. Aku hanya pura-pura mendengar sambil manggut-manggut. Seolah mendengar segala ceramah keagamaannya. Padahal aku tak begitu menghiraukan tentang cerita-cerita yang di kutipnya dari kitab dan hadis yang ia yakini.

Yah.. ku akui kalau aku sedang berpura-pura. Kepura-puraan itu ku lakukan agar ia percaya bahwa apa yang ku dengar tentang dalil dan ajaran keagamaan yang dikhutbahkannya, seolah masuk di telinga. Namun sebenarnya aku telah mengeluarkannya lewat telinga kiri. Ku lakukan kepuraan itu, sebab aku telah hapal di luar kepala dengan segala khutbah-khutbahnya. Hanya itu-itu saja! Monoton dan membosankan! Maklum ia bukanlah Ustadzah.

Ketidak terus-teranganku akan kepuraan bukan tanpa sebab. Aku begitu enggan untuk berdebat! Perdebatan itu adalah hal yang sia-sia, tidak solutif.. Aku selalu menyindir; berdebat dengannya menurutku, logis tidak logis, nalar tidak nalar, tapi cuma menang ngeyel. Jika diartikan dengan bahasa yang lebih kasar; emosional-reaksional, bener karepe dewe, Bani Israel. Sindirian kesemuanya itu hanya ku ucapkan di dalam hati saja. Aku tak sampai hati mengucapkan secara langsung di hadapannya, mengingat dia adalah seorang perempuan.

Kembali pada malam, lupakanlah masa lalu! Itu adalah sepenggal cerita yang terpotong. Sebuah sejarah yang mungkin saja menurutku tidak di kehendaki. Bisa jadi semua itu bukan lantaran mekanisme takdir Tuhan. Tapi sebuah proses dan takdir sejarah peradaban umat manusia. Kebetulan aku terlahir dan di takdirkan untuk hidup di sebuah negara yang konon berpenduduk mayoritas muslim. Walau abangan.

***

Pada malam. Aku masih saja duduk bersandar di sebuah sudut tembok kamar. Segelas kopi yang mulai menyusut. Rokok masih menyala terjepit diantara sela kedua jemari tanganku. Bercak abu rokok yang berserak dilantai. Dan lagi, mataku masih enggan untuk memejam. Sementara tubuh ini tak kuat lagi menyangga kepala!

Rokok dan kopi rupa-rupanya membantu alam pikiranku memainkan imajinasi. Mengawang jauh tanpa tepi. Ku ikuti saja ritme pikiran yang mengacau kemana-mana. Tanpa terkonsep. Jika hinggap pada masa lalu, sesegera mungkin ku tepis ingatan itu. Sebab bagiku sangatlah malas untuk mengingat cerita romantisme. Aku hanya ingin berandai pada masa depan. Berandai tentang persetubuhan tentunya lebih mengasyikkan.

Ku intip dari balik jendela kamar. Di timur, matahari mulai menyembul. Namun masih malu untuk terlihat sempurna. Mungkin awan hitamlah yang menutupi sinarnya. Ya Allah sudah pagi! Gerutuku. Tetes embun, kabut dan hembusan udara pagi masih terasa dingin. Kaos oblong yang ku kenakan tak mampu melawan dinginnya udara dipagi hari! Di luar terdengar, Burung-burung mulai bernyanyi, kicaunya saling beradu dan bersahutan tak berirama! Terlihat, Kupu-kupu beterbangan mengitari lalu hinggap di atas bunga-bunga bermekar. Tak terkecuali manusianya menyibukkan diri dengan rutinitas seperti hari-hari biasanya.

Tapi mengapa semua organ tubuhku belum juga terlelap! Sejenak saja tanpa beban, terlentang di pembaringan! Sekedar untuk istirahat! Aku ingin tidur, aku lelah! Aku ingin mati saja! Oh jangan, aku masih belum melanjutkan persetubuhan! Aku ingin bersetubuh dengan Dewi Perssik di malam yang lain. Aku ingin menyetubuhinya hingga orgasme berkali-kali, sampai puas lalu tertidur di pelukannya. Cepatlah datang malam! Aku tak sabar menunggu datangnya malam lagi. Aku ingin tidur di sisi Dewi Perssik. Bersetubuh, tidur, bersetubuh lagi hingga puas, hingga orgasme dan tertidur di pelukannya lagi. Begitu seterusnya.

Tapi sekarang telah menjelang siang! Aku lelah, tapi mata tak mau kompromi! Mengapa malam begitu cepat berganti pagi? Sudahi saja pagi ini! Aku ingin malam lagi! Kun Fayakun datanglah malam! Ku ingin Engkau tahu aku belum juga terkantuk....



Dini hari hingga pagi. Jember, Selasa 06 Januari 2009

”aku yang tak pernah meng-aku-i menjadi aku”