Selasa, 27 Juli 2010

Kaca Bening

I. Pandanglah aku lewat kaca
Bukan dari cermin
Sekedip mata
Sesekali boleh bercermin
Tapi ingat… Tak boleh lama
Terlalu lama tertinggal jauh
Jauh sekali
Bahkan kaca pun takkan mampu menembusnya


II. Aku jemu menunggu
Bila sempat lambaikan tangan;
Kemari atau perpisahan
Makna apa itu? Aku tak tahu
Tapi Tuhan tahu apa yang kumau
Hei tunggu, aku hendak mengucap sesuatu
Jaga diri dan jagalah hati.
Aku tak pernah ragu
Jika aku mencintaimu…
















Pinggiran Selokan Mataram, 21 Juli 2010

(WFY)


NB
•Lagi belajar membuat semacam puisi
•Ide tulisan sudah terekam saat saya sedang melakukan perjalanan panjang antara Baderan-Cikasur-Cisentor-Rawa Embik-Puncak Rengganis-Cisentor-Taman Hidup-Bremi pada tanggal 12-17 Juli 2010.

Jumat, 23 Juli 2010

Menyuluh Tabir

DI Padang Sabana Aloen-aloen Kecil
Pegunungan Hyang…
Dan saat itu
Tak seorang pun tahu, jika aku menitikkan airmata
Tangis yang berbaur deru angin
Tersapu kering tak berbekas


Telah kunyanyikan dalam gumam
Sebuah lagu penghapus lara
Syair-syair tentang kehidupan
Hingga sajak merunut alur kematian


Jejak kaki terus menapak
Belum lelah
Walau gontai
Takkan pernah lelah
Tetapkan langkah
Membayang Angan
Berteka-teki menerka mimpi










Pinggiran Selokan Mataram, 18 Juli 2010
(WFY)


NB
•Lagi belajar membuat semacam puisi
•Ide tulisan sudah terekam saat saya sedang melakukan perjalanan panjang antara Baderan-Cikasur-Cisentor-Rawa Embik-Puncak Rengganis-Cisentor-Taman Hidup-Bremi pada tanggal 12-17 Juli 2010.

Rabu, 07 Juli 2010

Seandainya Orangutan Bisa Bicara (part III)

Kisah Monyet yang (dan tak) Bertopeng


Kembali saya bersuara. Suara-suara sumbang dan penuh tangis. Tangisnya para satwa yang menyatu, melebur dengan berisik gergaji mesin, parang, kapak yang beradu dengan pepohoan tumbang lantas satu persatu dan sebentar lagi habis menjadi lapangan belukar kemudian hangus terbakar. Asapnya perlahan membunuh saya dan satwa lain, imbasnya pada kalian (baca; manusia) mengidap ISPA (infeksi saluran pernafasan akut).


Kembali saya bersuara atas nama kera, monyet, lutung, siamang dan binatang lainnya. Bersuara sama, derita yang sama dan tangisan yang sama pula. Dengan mulut saya, kami katakan hentikan pengrusakan hutan-hutan di seluruh negeri dengan alasan apapun, dengan dalih apapun, dengan hukum apapun hentikanlah eksploitasi demi kelangsungan semua makhluk hidup yang ada di bumi. Salam kasih alam semesta.


Sebelum ke topik yang ingin saya sampaikan. Terlebih dahulu saya ingin bertanya. Apakah kalian bisa membaca? Kalau tidak, di eja saja.

P+O=PO, H+O+N= HON, dibaca POHON

T+U+M=TUM, B+A+N+G= BANG, di baca TUMBANG

Dua suku kata itu jika di gabung dibaca, POHON TUMBANG

H+U=HU, T+A+N=TAN, dibaca HUTAN

H+I= HI, L+A+N+G= LANG, dibaca HILANG

Dua suku kata itu jika di gabung dibaca, HUTAN HILANG


Nah setelah berhasil membaca, saya akan bertanya lagi. Apakah kalian tahu jika sebelum memasuki kawasan hutan biasanya terpampang tulisan-tulisan dilarang disertai sangsi dan hukuman jika tidak mematuhi larangannya. Tentunya kalian tahu bukan? Jika tidak mau dibilang bodoh, baca dan patuhi apa yang tertulis itu.


Bacalah dengan keras:

  1. Buanglah sampah pada tempatnya, jika tidak telan saja.
  2. Stop Global Warming


Bukankah salah satu diantara kalian yang menuliskan slogan-slogan itu? Mengapa tidak dipatuhi dan di jalankan? Apakah diantara kalian tidak lagi sepaham? Atau jangan-jangan slogan-slogan yang dituliskan oleh kalian yang mengorganisir diri membentuk LSM yang mengatasnamakan gerakan pemerhati lingkungan atau pecinta alam itu hanya upaya sok-sokan dalam hal penyelamatan lingkungan hidup? Ya bagaimana pun juga harus dihargai upaya-upaya itu walau hanya sebatas slogan dan ajakan penyadaran bagi kalian untuk tidak lagi merusak hutan. Walau terjungkal, saya acungkan ke empat jempol saya bagi kalian meski segelintir yang berupaya (dengan cara apapun) menyelamatkan hutan, satwa dan lingkungan hidup.


Bagi kalian yang tetap menebang pohon, merusak dan membalak hutan, baik itu yang legal atau yang illegal saya kutuk menjadi orangutan, harimau jawa, agar binatang yang hampir punah bertambah populasinya. Disamping itu, rasakanlah nasib yang sama seperti kami, bagaimana susahnya bertahan hidup di hutan-hutan yang kalian rusak!

***


Kenapa ya kok saya nyerocos bercerita tentang kerusakan hutan? Bukankah semuanya sudah digariskan Tuhan? Hutan rusak, saya punah, bukankah itu sudah takdirNya? Apa peduliku? Kalian tidak peduli! Huft dasar makhluk hidup!!


Saya ingin kembali ke topik. Jadi apa solusi untuk hutan agar tetap kokoh dengan pohon-pohon menjulang tinggi dan tidak digantikan gedung-gedung bertingkat tinggi!



Persoalan pelik, memang. Saya juga hampir-hampir tidak bisa menjawab. Susah menebak pola pikir kalian, apalagi untuk bekerja sama. Setahu saya akar dari rusaknya hutan adalah dari faktor manusia itu sendiri. Bukan begitu pak menteri kehutanan?


Ruwet! Otak saya tidak sanggup memikirkan kenapa hutan-hutan di negeri ini habis di tebang. Saat ini yang saya pikirkan hanyalah bagaimana mempertahankan hidup disela-sela pembalak menumbangkan pohon. Itu saja!


Untuk menutup keruwetan hutan dan segala kerusakannya. Saya ingin mendongeng. Dengan dongeng mungkin bisa dijadikan cerita penghantar tidur anak-cucu kalian kelak, siapa tahu anak-cucu kalian hampir-hampir sama sekali tidak tidak berkesempatan untuk melihat atau tahu apa itu hutan? Dengan dongeng pula, semoga anak-cucu kalian mengerti apa bentuk binatang? Siapa itu orangutan dan binatang yang hampir punah lainnya. Berikanlah gambar-gambar satwa yang punah itu, agar anak-cucu kalian mengerti dan tahu satwa yang pernah ada di negeri ini. Berikanlah anak-cucumu imajinasi dan ceritakanlah sedetail mungkin ciri fisik dan tempat dimana binatang itu hidup.

***


Dan dongeng itu adalah….

Alkisah, seekor monyet yang berasal dari Kalimantan melanglang buana. Mengingat hutan yang ditinggal mengalami pengrusakan mahadahsyat yang dilakukan oleh manusia maka sang monyet itu bermigrasi, barangkali masih ada hutan yang lebat dan cocok untuk ditinggali.


Perjalanan waktu, sang monyet itu menumpang kapal lalu menyeberangi lautan dan berlabuh di pelabuhan Tanjung Mas, Semarang. Sang monyet terperanjat melihat situasi yang 180° berbeda jauh dengan daerah asalnya, Kalimantan. Melihat realita yang dihadapi setelah tiba di pulau Jawa, ia mengalami culture Shock[1], Stres!


“Gila” sang monyet menjerit, “Sepertinya aku salah tujuan.” Comelnya dalam hati.

Sang monyet berjalan mengendap-endap, menghindari keramaian manusia agar tidak terlihat dengan kedatangannya. Takutnya ia menjadi tontonan banyak manusia, atau malah ditangkap dan dijadikan seni pertunjukan topeng monyet. Ia masih berjalan mengendap-endap menyusuri jalan-jalan raya yang penuh lalu lalang kendaraan yang mengeluarkan asap tebal.


“Sontoloyo!! Setan alas!!!” sang monyet memaki-maki kendaraan yang tak memberinya kesempatan untuk menyeberang.


Sesudah berhasil menyeberang, masih berjalan mengendap, ia menyusuri perumahan dan gedung-gedung bertingkat tinggi. Tak satupun teman sesama monyet yang di temui. Adapun hanya kucing dan anjing yang dengan cueknya tidak menegur sapa dengan sesama binatang. Dalam hati sang monyet bergumam dongkol, “Memang benar manusia bilang. Di kota, manusia terkenal dengan kesombongannya, tak terkecuali binatang. Apa mereka ketularan manusia ya! Huh!!”.


Malam pun menjelang. Sang monyet kebingungan arah dan tujuannya. Apalagi lapar sudah mendera. Dengan sangat terpaksa ia berjalan lunglai mengais-ngais makanan yang tersisa dari tong ke tong sampah yang ada disetiap perumahan. Ia hampir putus asa dengan keputusan hijrah ke hutan yang lain. “Survival di kota sama sulitnya dengan survival di hutan masa kini” gerutunya.


Akhirnya, sang monyet menemukan tiga buah pisang yang hampir busuk dikerubut lalat berebut makan di salah satu tong sampah. Meskipun terpaksa ia pun ikut merebut pisang itu dan dengan lahap memakannya. Tanpa sisa, kulitnya di makan juga.


“Hergggg… Herg… kenyang” sang monyet bertahak.

Setelah perut terisi, ia memanjat pohon flamboyan. Pohon itu satu-satunya pohon yang cukup besar dan rimbun di antara pohon-pohon yang ada disekitar perumahan. Sebenarnya ada banyak pohon, tapi dikerdilkan oleh pemilik rumah dan ditanam di pot-pot halaman depan rumah. Ia pun bertengger di batang paling pucuk pohon flamboyan itu. Memandang langit-langit penuh bintang dan rumah-rumah dengan aneka warna kerlip lampu yang menyala.


“Tidak ada hutan!” sang monyet bergumam.

Semilir angin yang berhembus di pucuk pohon menghantarkan lelap dan tertidurlah sang monyet sampai fajar menyinsing. Ia terlalu lelah berjalan dari pelabuhan mengendap-endap, menyusur perumahan dan mencari makan.

***


“Dang glundang-glundang… Hore..Hore… Dang Glundang-glundang” suara tetabuhan manusia dengan iringan riang anak-anak kecil membangunkan sang monyet yang masih tertidur letih diatas pohon.


Ada apa sich ribut-ribut?” sang monyet menggerutu sembari mengucek-ucek mata dan melongok ke bawah. Ia mengintip dari sela-sela dedaunan pohon. “Apa itu? Kok ramai betul!”


“Bapak-bapak, ibu-ibu, saudara-saudara dan anak-anak pertunjukkan akan segera dimulai. Berkumpul dan saksikanlah. Saya datang bukan untuk membuat kegaduhan, tapi sekadar memberikan hiburan.” seorang manusia berjenis kelamin laki-laki berwajah tua memberikan pengumuman diiringi dengan tetabuhan yang tak harmonis. Suara gaduh tak kalah seru dengan jingkrak sorai anak-anak kecil yang bertepuk tangan meminta pertunjukan untuk segera dimulai.


“Pengumuman-pengumuman. Pertunjukan akan segera dimulai” empunya pertunjukan kembali menabuh seperangkat gamelan sederhana. “Dang glundang-glundang… Hore..Hore… Dang Glundang-glundang… Pak.. Pak…”


Sang monyet mengintip, melongok-longok dari balik dedaunan di atas pohon, akan tetapi yang terlihat hanyalah, topi, gundul, rambut kepala kerumunan manusia yang sedang menonton.



Atas dasar rasa penasaran, sang monyet terpaksa turun, dan lagi berjalan jinjit mengendap-endap. Menyelinap diantara kaki-kaki kerumunan penonton yang semakin terus berjubal.


“Alamaaaaak!” setengah menjerit, setelah melihat seekor monyet bertopeng berjingkrak menari membawa payung berlari kesana kemari. “Japi Methe, Bolo dewe[2]celetuknya.


Riuh sorai tepuk tangan dan gelak tawa mengiring tetabuhan dan lenggak-lenggok monyet yang sedang beraksi. Di kota, bagi manusia yang haus hiburan murah., topeng monyet adalah salah satu hiburan yang atraktif mengundang tawa.


Tak kalah gengsi, sang monyet iseng turut berpartisipasi dalam gelaran topeng monyet.

“Heh sana pergi. Jangan ikut-ikutan!” hardik monyet bertopeng.

“Gak apa-apa!” jawab sang monyet. “Aku juga lagi butuh hiburan. Stres hidup di kota!”

“Sudahlah sana pergi, nanti pawangku tahu dan kamu ditangkap seperti aku.”

“Santai saja. Di tangkap? Maksudmu?”

“Nanti kamu di tangkap dan di latih seperti aku!”

“Nanti kalau pawangmu tahu, aku akan lari!” ujar sang monyet. “kamu kok mau jadi seperti ini” sambungnya sambil menirukan monyet bertopeng melenggak-lenggok.


“Sudahlah jangan banyak tanya. Pergilah! Nanti kalau pertunjukan selesai buntuti aku. Nanti akan kuceritakan!”


“Oklah. Aku akan menunggumu diatas pohon itu” jawab sang monyet sambil menunjuk pohon flamboyan.


Sang monyet pun akhirnya pergi juga. Menyelinap di kaki-kaki para penonton dan memanjat pohon menunggu pertunjukan usai. Gelak tawa penonton masih membahana, dan si pawang tidak mengetahui kedatangan sang monyet yang barusan ikut serta menari bersama monyet bertopeng.


“Dang Glundang-glundang… Glundang… Pak.. Pak” tetabuhan itu bertalu lagi. “Bapak-bapak, ibu-ibu, saudara-saudara dan anak-anak pertunjukan sudah selesai. Persiapkan uang receh kalian, walau recehan bagi kami sangat penting untuk keberlangsungan hidup kami. Daripada kami mencuri ataupun mengemis lebih baik dan alangkah terhormatnya jika kami menghibur Bapak-bapak, ibu-ibu, saudara-saudara dan anak-anak sekalian semua. Hitung-hitung cari pahala.” si empunya topeng monyet menutup pertunjukan sembari berkelakar.


Dengan kode berupa tarikan yang terikat di pinggul monyet bertopeng, dengan sigap pula ia membuka topi dan berkeliling meminta uang-uang receh dari para penonton.


Setelah kelar dan membereskan perlengkapan beserta peralatan pertunjukan, monyet bertopeng memberi aba-aba kepada sang monyet yang masih bersembunyi di atas pohon. Berjingkrak-jingkrak dan melambaikan tangan supaya sang monyet ikut membuntuti dirinya bersama si pawang. Sang monyet pun tanggap dan mengangguk-anggukan kepala melihat isyarat dari monyet bertopeng.


Monyet bertopeng dan si pawang kembali menyusuri lorong-lorong perkotaan dan mengundang massa. Mengumpulkan lalu menggelar pertunjukan topeng monyet. Dan sang monyet berjalan membuntuti dari belakang, masih mengendap-endap agar tak terlihat oleh banyak orang.

Hingga sore menjelang. Dipertunjukann terakhir. Seusai menghitung uang receh, si pawang bergegas pulang ke rumahnya.

***


Di depan rumah si pawang, monyet bertopeng dimasukan ke dalam kerangkeng. Si pawang masuk ke dalam rumah dan menguncinya rapat-rapat. Melihat situasi yang sepi sang monyet mendekati kerangkeng.


“Hei apa kabarmu? Kenapa di kerangkeng?” Tanya sang monyet.

“Beginilah hidup dan keseharianku. Mendingan nanti saja ceritanya!”

“Kenapa?”

“Pawangku biasanya keluar lagi memberi aku makan. Nanti kamu ketahuan dan mengalami nasib serupa denganku. Please[3] pergi dulu!”


“Ok lah kalau begitu. Nanti jika kondisinya sudah sepi dan aman, beri aku kode ya” sang monyet menjauh, mencari tempat persembunyian. “Eits, nanti aku di bagi ya, jatah makannya” sang monyet membalikkan badan. Monyet bertopeng menyeringai dan mengangguk tanda setuju.


Tak lama berselang, si pawang keluar membawa enam buah pisang raja.

“Cimot ini jatah makanmu hari ini,” si pawang menyodorkan pisang. “Jaga tubuh tetap sehat ya?! Besok lebih atraktif lagi, agar penonton terhibur” pintanya sembari mengelus-elus kepalanya dan si pawang pun kembali masuk ke dalam rumah dan menguncinya rapat-rapat.


Malam kembali senyap. Hanya jengkerik mengerik yang bersahut dan sesekali terdengar suara tokek.


“Nguk…Nguk…Nguk… Sudah aman. Keluarlah” monyet bertopeng memberi isyarat kepada sang monyet agar lekas keluar dan menghampirinya. Mendengar isyarat itu sang monyet pun keluar dari tempat persembunyian dan mendekati monyet bertopeng.


“Ini tiga buat kamu,” monyet bertopeng menawari pisang, membagi adil. “Selamat makan”.

“Terima kasih, selamat makan juga” jawab sang monyet.

Disela makan malam sepasang monyet itu memulai percakapan.

“Oh iya kamu belum melanjutkan cerita. Tapi alangkah baiknya jika kita berkenalan dulu,” tawar sang monyet sembari mengulurkan tangan untuk bersalaman dan mengucap nama. “Teman-teman tempat asal saya biasa memanggil saya Nguknguk. Kalau kamu siapa?”.


“Dulu ketika aku masih di hutan teman-teman juga biasa memanggilku Nguknguk. Tapi si Pawang biasa memanggilku cimot.” Jawab monyet bertopeng.


“Wah di hutan Jawa dan Kalimantan nama kita sama ya, Nguk-nguk” kelakar sang monyet. “Hahahah Tapi bagus juga, untuk membedakan monyet yang satu dengan monyet yang lain.”


“Baiknya seperti itu, kau boleh memanggilku Cimot. Dan jika boleh aku memanggilmu Moka saja gimana?” ujar Cimot diplomatis.


“Okelah… lalu bagaimana kelanjutan ceritanya?”.

“Panjang sekali!” Cimot menghela nafas panjang.

“Jalan hidup yang panjang, jika di ceritakan dengan kata-kata akan terasa lebih singkat” seloroh Moka.


“Baiklah aku akan bercerita. Awalnya di sisi selatan gunung Merapi aku hidup. Namun setelah kejadian letusan gunung Merapi, hutan terbakar hangus oleh lahar yang menyembur dari puncak gunung. Selain itu akibat maraknya pembalakan kayu dan penambangan liar pasir yang dilakukan oleh manusia. Lambat laun aku dan teman-teman yang lain merasa terusik dan tersingkir.” Cimot terhenti dan melanjutkan makan malamnya yang belum habis. Moka terdiam dan ikut melahap pisang terakhirnya. “Akhirnya, beberapa teman memutuskan untuk berpindah tempat. Ada yang hijrah ke gunung Sumbing dan ada juga yang ke gunung Sindoro. Bahkan ada juga yang bermigrasi ke gunung Selamet. Tapi aku memutuskan ke Gunung Telomoyo.”


“Mengapa kau memutuskan ke Telomoyo?” Moka bertanya.

“Menurut kabar burung yang aku terima, di Telomoyo[4] hutannya masih lumayan lebat. Ternyata benar kabar burung, hutannya lebat! Banyak pohon-pohon jagung, cabe, kubis dan palawija lain.” Cimot mentertawakan dirinya sendiri.


“Lalu?” Moka penasaran.

“Sesampai di Telomoyo. Saya hidup di tegalan-tegalan yang bersemak. Untuk memenuhi kebutuhan dasarku. Aku makan sayur, buah yang di tanami oleh manusia. Aku mencuri!” kata cimot menyesali perbuatannya. “Tapi yang kulakukan semata-mata demi kelangsungan hidupku.”


“Apa kamu tidak ketahuan si pemilik kebun?” moka memotong.

“Goblok kamu!! Yang namanya mencuri tentunya sudah tahu seluk beluk, kondisi dan situasi yang akan di curi tho yo” tukas Cimot dengan logat Jawanya yang kental. “Tapi jika sedang bernasib sial, kadang si pemilik kebun mengejar-ngejarku. Tak jarang aku kena timpuk batu yang di sambit oleh pemiilik kebun.” Cimot tersenyum getir. “Pada suatu ketika, saat malam yang dingin, seusai hujan reda. Dalam keadaan menggigil aku di sergap tak berdaya oleh kawanan pemilik kebun. Aku tertangkap dan di jual di pasar hewan, waktu itu aku di hargai duaratus ribu rupiah. Kemudian si pawang membeliku duaratuslimapuluh ribu rupiah” lanjut Cimot mengenang kehidupan masa lalunya.


“Lalu kamu bekerja dengan si pawang?” Tanya moka.

“Iya, si pawang melatihku menari, membawa payung dan bermain akrobatik untuk menghibur penonton. Seperti yang kau saksikan sesiangan tadi.” Jawab Cimot.


“Apa yang kamu rasakan setelah hidup bersama si pawang?” selidik Moka, mencecar seperti wartawan.

“Tidak bebas! Kau sendiri tahukan hidupku terkekang? Hidupku sekarang cenderung manja, bisa di bilang malas. Sepertinya naluri hewaniku sudah tidak berfungsi normal. Pernah pada suatu hari, ketika rantainya terlepas, aku melarikan diri. Namun aku bingung hendak kemana? Walau aku harus bekerja dengan si pawang berkeliling dari setiap sudut desa dan kota, akhirnya kuputuskan untuk kembali lagi. Setidaknya aku mendapatkan jatah makan beberapa buah pisang dan penghasilan bagi si pawang” terang Cimot.


Moka terangguk-angguk medengar penjelasan yang dipaparkan Cimot. Persis apa yang dilakukannya dan kini ia pun bingung dengan tujuannya. Moka mengalami diorientasi hidup.


“Lalu bagaimana ceritamu sampai disini?” Tanya Cimot memulai perbincangan.

“Hah… apa? Moka tergagap dan buyar lamunannya.

“Ceritamu gimana, kok sampai di pulau Jawa?” Cimot mengulang.

“Oh…. Tidak beda jauh denganmu. Hanya saja aku dari Kalimantan” jawab Moka pendek.

“Sesimpel itukah?”

“Mestinya tidak”

“Lalu?”

“Baiklah. Mungkin kau tidak akan percaya dengan kisahku. Tapi tak mengapa aku akan ceritakan. Anggap saja kita sedang berbagi pengalaman dan info!” terjenti sejenak untuk mengingat-ingat. “Kondisi habitatku, di Kalimantan, keadaannya mungkin tidak beda jauh dengan tempatmu di Pulau Jawa. Banyaknya pembalak, dan perusahaan ber-HPH[5]lah biang keladi dari kerusakan hutan dan lingkungan di habitatku. Berawal dari situ aku memutuskan untuk merantau mencari tempat dan penghidupan yang layak. Siapa tahu ada? Kuputuskan berlayar menyeberangi lautan dan hingga aku terdampar di Pulau Jawa.” Moka tercekat lalu menyandarkan tubuh di balik kerangkeng tempat Cimot berada. Moka mengingat-ingat betapa brutalnya manusia yang merusak hutan tempat tinggalnya. “Sesampai di pulau Jawa, seketika sirna apa yang aku harapkan. Banyaknya rumah dan gedung-gedung bertingkat, kendaraan dengan asap tebal yang keluar dari knalpot, semakin membuatku sangsi gambaran hutan yang lebat! Dan kini aku semakin bingung kemana lagi hutan yang hendak kutuju!”


“Lebih baik kau pulang ke habitatmu, kawan” Cimot berempati. Memotong cerita seolah tahu apa yang akan dikatakan Moka selanjutnya.



“Tidak adakah tempat yang layak di pulau ini?”

“Hemm” Cimot melenguh. “Kau telusuri dari ujung barat hingga ujung timur pulau jawa, kau tak akan menemukan hutan yang lebat. Adapun beberapa hektar dan aku yakin populasi binatang sudah berjubal penuh sesak. Di Ujung Kulon[6] sudah di huni badak dan berbagai satwa. Di timur, Baluran[7] sudah di huni banteng dan tentunya dengan berbagai satwa pula. Mungkin beberapa puluh tahun kedepan, mengingat banyaknya pencurian kayu, hutannya akan gersang dan gundul atau malah akan beralih fungsi menjadi hutan produksi dan palawija.” Cimot menerangkan kondisi hutan di pulau Jawa.


“Bukankah disini banyak gunung-gemunung?”

“Hahahahaha…. Kau membuatku tertawa. Apakah kau tadi tidak menyimak ceritaku? Hutan di pinggiran Gunung-gunung pulau Jawa ini sudah hampir dan mendekati gundul. Dan sekarang sudah menjadi kebun-kebun buah dan sayur. Pastinya kamu tahu pabrik-pabrik rokok kenamaan negeri ini. Pasokan tembakaunya dihasilkan dari kebun di gunung Sumbing dan Sindoro, sebagian pegunungan Dieng[8]. Di kedua gunung itu terkenal dengan hutan tembakaunya. Itu baru pabrik rokok yang ada di Jawa tengah. Lain lagi pabrik rokok yang ada di Jawa Timur, konon tersiar kabar burung, pasokan tembakaunya berasal dari kebun dan hutan tembakau di lereng pegunungan Hyang, Argopuro. Sudahlah lebih baik kau pulang saja ke habitat asalmu!” Cimot menyarankan.


Percakapan terhenti. Alunan musik jengkerik berpadu dengan suara kodok membuat suasana menjadi lebih ramai. Sepertinya kedua binatang itu sedang berbincang dengan nasibnya. Moka menyesali keputusannya untuk keluar dari hutan tempat tinggalnya. Cimot pun terdiam menyandar pada teralis besi yang mengekang tubuh dan jiwanya bertahun-tahun.


“Jika ingin hidup enak, jadilah seperti aku sekarang. Berkeliling desa bersama manusia dan menjadi penghibur bagi manusia lain.” Cimot memulai lagi perbincangan. “Atau hiduplah di kebun-kebun binatang atau di taman-taman safari. Di pulau ini, kalau tidak salah ada sekitar 7 atau 8 kebun binatang, sedang taman safari Cuma ada 2 yakni di Cisarua, Bogor dan Prigen, Pasuruan. Kau hanya tinggal di teralis besi, sama sepertiku, makan 3 kali sehari tapi resikonya jadi tontonan manusia. Itu juga bentuk hiburan manusia lho?” Cimot menakut-nakuti.


“Oh jangan. Tidak! Aku tidak mau.” Teriak Moka.

“Kalau kau masih kurang yakin. Aku kasih gambaran tentang hutan dan gunung di pulau Jawa. Selain tripel S dan 2 M (Gunung Selamet, Sumbing, Sindoro dan Merapi-Merbabu[9]). Yang sudah barang tentu hampir gundul hutannya. Di Jawa Barat ada gunung Gede, Pangrango, Salak, Papandayan dan Ciremai. Di gunung-gunung itu hutannya sudah berganti menjadi hutan-hutan yang lebih bernilai ekonomis, itu bahasa manusia. Hutan bernilai ekonomis itu di tumbuhi pepohonan yang mempunyai nilai jual, misalnya; Tembakau, sayur-mayur dan pohon-pohon yang di buat jendela, pintu, dipan dan perabotan rumah tangga manusia. Kupikir semua gunung hutan di pulau Jawa mengalami nasib dan kasus yang sama, tidak jauh beda kondisinya dengan gunung hutan yang telah saya sebutkan.”


“Itulah manusia” gerutu Moka. “Bisanya Cuma merusak!”

“Memang begitu sifat manusia!” Cimot menimpali. “Oh iya saya tambahkan. Hutan horizontal Randublatung, Purwo, Kumitir pun lambat lau akan mengalami nasib serupa dengan kondisi gunung hutan yang ada di negeri ini. Coba kamu bayangkan jika total penduduk di negeri ini 250juta manusia. Anggap saja satu keluarga terdiri dari empat manusia; bapak ibu dan dua anak cukup. Setiap keluarga masing-masing punya rumah. Hitung ada berapa rumah?”

“Tentunya banyak!”

“Mari kita hitung 250 juta manusia : 4 itu kira-kira 62.500.000. enampuluhdua juta limaratus ribu rumah! Angka yang fantastisk bukan?? Nah anggap saja setiap keluarga membangun rumah yang terbilang sangat sederhana, seperti rumah si pawang itu” ujar Cimot sambil menunjuk rumah pawangnya. “Rumah dengan 2 pintu dan 2 jendela kamar tidur, 1 pintu belakang dan depan rumah. 1 jendela ruang tamu dan dapur. Tiang-tiang penyangga atap genteng, kuda-kuda, reng dan semacamnya. Berapa juta atau bahkan milyar gelondong kayu untuk memenuhi 62.500.000 rumah itu?”


“Banyaklah” celetuk Moka.

“Itulah manusia” timpal cimot meniru kata-kata Moka. “Belum lagi perabot rumah yang terbuat dari kayu seperti kursi, dipan, buffet, dan masih banyak lagi yang terbuat dari kayu. Ah aku pusing menghitung angka!” Cimot mengeluh, frustasi dengan kenyataan bahwa hutan semakin hilang dan gersang.


“Ternyata kau seekor yang pandai” Puji Moka.

“Ah biasa aja. Aku Cuma bercerita tentang gunung dan hutan di pulau ini. Itupun bagian dari pengalaman yang pernah aku alami. Walau kukatakan tidak berdasar data tapi aku yakin ini fakta dan benar-benar terjadi. Bukankah katamu berbagi info dan pengalaman?” Cimot merendah.


“Iya sich!?”

“Lalu bagaimana kondisi hutan di pulaumu?” Cimot balik bertanya.

“Tak jauh beda dengan pulau Jawa!”

“Kau selalu begitu!! Selalu saja tidak beda jauh dengan apa yang kukatakan” protes Cimot.

“Ya memang begitu kondisinya kok” Moka beralasan. “Sebab kerusakan di pulau Kalimantan akibat dari perbuatan manusia! Hanya saja…..”

“Tuh kan, pasti beda kasus” Cimot memotong sok tahu. “Hanya saja apa? Lanjutkan!”

“Pohon yang di tebang kayunya di selundupkan ke Malaysia[10]

“Hah Malingsia?”

“Yeah Malaysia. Kayunya di jual di Negara itu, dengan harga ringgit. Mata uang Negara itu jika ditukar dengan mata uang negeri kita nominalnya lebih besar. Dan lebih menguntungkan. Misalnya 1 ringgit bila dikurskan menjadi rupiah bisa menembus Rp. 4.500. coba bayangkan harga kayu yang dijual di negeri sendiri 1 meter kubik kayu di hargai Rp 450.000, nah kalau di jual di Malaysia bisa mencapai 10.000 ringgit, dan jika di tukar dengan rupiah menjadi 10 kali lipat, 4,5juta rupiah. Menggiurkan sekali kan? Nah akhir-akhir ini di hutan Kalimantan banyak garong kayu dari kelas bayi sampai kelas raksasa, illegal logging! Dan kayunya banyak di selundupkan dinegeri tetangga.”


“Manusia di negeri ini memang tamak! Mereka haus uang!” Cimot berkeluh.

“Begitulah. Dasar Boedi!!” Moka mencaci.

“Boedi? Siapa itu? Nama monyet kah?”

“Bukan. Aku selalu mengumpat dengan nama manusia. Seperti halnya manusia yang selalu mengumpat dengan nama kita dan binatang lainnya.” Moka menjelaskan.


“Oh begitu. Saya baru tahu. Biasanya sich aku mengumpat memakai nama kelamin. Tapi bagus juga umpatanmu. Kreatif!”


“Hahahahaahaha” Cimot dan Moka tergelak berbarengan.

Malam pun semakin gelap. Jam dinding di rumah si pawang sudah berdentang duabelas kali. Suasana malam semakin senyap seiring penghuni rumah yang sudah terlelap. Hanya jengkerik yang terus mengerik menyanyikan lagu-lagu sendu nan pilu. Kedua monyet sudah lelah berbagi info dan pengalaman.


“Mok, sudah larut malam. Istirahatlah”

“Kupikir begitu, Mot”

“Pulanglah di habitatmu, Kalimantan”

“Entahlah apa kata besok”

“Ya sudah terserah kau saja. Pesanku, pulanglah jika tidak ingin seperti aku”

“Terima kasih atas sarannya, Mot”

“Kuharap besok kau tidak menemui dan juga membuntutiku lagi.”

“Baiklah, terima kasih sarannya…”

“Berbagi info dan pengalaman!” Cimot meluruskan.

“Iya itu” Moka menegaskan. “Ya sudah, aku istirahat dulu. Aku janji sebelum fajar menyinsing dan sebelum kau berangkat menghibur bersama si pawang, aku sudah pergi dari sini”


“Baguslah. Met istirahat. Semoga Tuhan masih dan senantiasa melindungi kau, aku dan semua makhluk hidup yang ada di bumi”


“Amien!” cimot dan Moka mengamini serentak.


Moka pun undur diri untuk istirahat dan berpamit sekalian. Dalam benaknya kemana ia pergi? Pilihannya adalah kembali ke habitat asal atau mencari hutan lebat yang ada di pulau jawa? Tapi entahlah, apa kata esok hari. Ia lelah, ingin istirahat. Membayang dan merangkai beragam mimpi indah untuk hidup yang lebih baik dan layak dari kehidupan sebelumnya. Itu tujuan awal mengapa ia bermigrasi. Sang monyet itu pun masih berharap dan berdoa semoga masih ada hutan yang lebat di negerinya.

***


Begitulah kisah monyet Kalimantan yang tersingkir dan di singkirkan oleh tabiat dan perbuatan manusia-manusia yang berprofesi sebagai pencuri, pembalak, blandong kayu di hutan-hutan, dimana sang monyet bertempat tinggal.


Saya heran dengan negeri ini. Kalian selalu menggembar-gemborkan, selalu berkoar-koar tentang; Hentikan Pembalakan, Human Trafficking dan Stop-stop lain yang berbau kekerasan dan kerusakan. Tapi mengapa tidak menstop kekerasan terhadap satwa, tidak menghentikan Animal Trafficking? Hem mungkin kabar burung belum mengabar kepada saya. Kalau boleh saya usulkan; bagaimana kalau membuat perundang-undangan yang mengatur Hak Asasi Binatang? Atau Undang-undang tentang Animal Trafficking? Jika perlu ada hukum Pidana khusus satwa. Hahahaha. Lagi-lagi hanya andai.


Baiklah seperti biasa. Sebagai penutup, saya akan memberikan pernyataan sikap. Sederhana saja. Dengan dalih ekonomi, pembangunan dan apapun itu. Dengan sangat memohon, hentikanlah pengrusakan hutan secara sistemik yang dilakukan oleh kalian. Tabik.









Di Kaki Gunung Ampon, 23 Juni 2010

(WFY)

NB

• Ide cerita berawal dari kerapnya saya menonton Film “The Burning Season”, yang diperankan oleh Raul Julia dan disutradarai John Frankenheimer. Dan film “Tarzan” (tanpa huruf X). Dan sering mendengarkan lagu “Isi Rimba Tak Ada Tempat Berpijak Lagi”, pencipta Iwan Fals. “Berita Cuaca”, yang dipopulerkan Gombloh dan "Lautan Tangis"nya Sujiwo Tejo.








Keterangan

1. Gegar Budaya.

2. Japi methe atau bolo dewe artinya teman sendiri. Bahasa gaulnya anak jogja.

3. Please bahasa Inggis; Mari, memohon.

4. Telomoyo dataran tinggi di kabupaten Semarang, Jawa Tengah.

5. HPH akronim dari Hak Pengusahaan Hutan. Terkadang sering dipelesetkan menjadi Hak Pembabatan Hutan.

6. Ujung Kulon adalah Suaka Marga Satwa yang terletak Provinsi Banten. Ujung Kulon adalah tempat habitat hewan yang dilindung yaitu; Badak bercula Satu.

7. Baluran adalah Suaka Marga Satwa yang terletak di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Baluran adalah tempat habitat hewan yang dilindung seperti; Banteng dan satwa lain.

8. Pegunungan Dieng secara geografis terletak di kabupaten Wonosobo dan berbatasan langsung dengan kabupaten Pemalang, Jawa Tengah.

9. Tripel S dan 2 M ;Gunung Selamet, Sumbing, Sindoro dan Merapi-Merbabu. Ke lima Gunung itu secara geografis terletak di Provinsi Jawa Tengah.

10. Malaysia adalah Negara serumpun dengan Indonesia. Sebuah Negara berbentuk kerajaan dan persemakmuran Inggris. Secara geografis terletak di kawasan Asia Tenggara.