Jumat, 17 September 2010

Sumpah tidak sama dengan Janji

Kami Mahasiswa Indonesia Mengaku;
BERTANAH AIR SATU,
TANAH AIR TANPA PENINDASAN
BERBANGSA SATU,
BANGSA YANG GANDRUNG AKAN KEADILAN
BERBAHASA SATU,
BAHASA KEBENARAN

Siapa yang berani mengelak bahwa kita (baca; mahasiswa) tidak pernah mengucapkan sumpah itu? Jika berani memungkiri, mungkin tidak dibaiat oleh seniornya. Tidak bisa disama-ratakan memang. Tapi analogikan saja semua mahasiswa setidaknya pernah membaca sumpah itu. Andaikan saja, bahwa kita telah bersumpah dan di sumpah. Walau ayat-ayat itu dibaca secara terpaksa (tidak berdasar hati nurani).

Mari kita mencoba melihat realita yang sedang terjadi di Negara ini (Indonesia?). Sebagai contoh; beberapa kasus yang selama ini terjadi di tanah air. Pembangunan reaktor Nuklir di Jepara. Hingga pembangunan mall terbesar se Jawa Tengah dan DIY, Amborukmo Plaza. Sampai penambangan pasir besi di Yogyakarta yang sangat kontroversial itu. Lupakanlah Yogyakarta! Mari berkeliling Nusantara.

Pertama kita mulai berselancar ke pulau Sumatera. Tepatnya di Porsea, Sumatera Utara. PT Toba Pulp Lestari (Indorayon) telah melakukan pengrusakan hutan dan pencemaran lingkungan akibat air limbah. Dampaknya dapat mengakibatkan kematian pada tanaman, hewan dan bahkan manusia.

Nikmatilah keindahan pulau Sumatera. Jika sudah merasa bosan, berlayar lagi ke Pulau Kalimantan. Mungkin sekarang kita tidak dapat lagi menyaksikan lebatnya hutan atau bahkan monyet-monyet yang bergelantung dari ranting pohon ke pohon lainnya. Semua itu musnah akibat pembalakan liar yang di lakukan oleh perusahaan-perusahaan yang mengaku berbadan hukum dan konon mempunyai ijin yang bernama HPH[1] itu. Di sana juga terdapat pertambangan emas yang di motori oleh PT. Kelian Equatotial Mining (KEM).

Selesai bercengekerama dengan gundulnya hutan-hutan di tanah Borneo. Menyeberanglah ke Pulau Sulawesi, kasus serupa dapat kita jumpai di Buyat, PT Newmont lah sebagai pelakunya.

Setelah asyik bertamasya di Pulau Sulawesi. Melanconglah ke tanah Papua. Di sana terdapat ekspoitasi tambang (emas, tembaga dan konon Uranium juga) yang dilakukan oleh PT Freeport Indonesia. Masihkah kita dapat melihat indahnya burung Cendrawasih? Tentunya tidak bukan? (Melihatpun hanya kebetulan!). Adapun hanya sedikit dikarenakan populasi burung itu semakin berkurang. Mengapa demikian? sebab hutan-hutan sudah hilang, ditebang oleh ketamakan bergelintir orang. Kok bisa? Tanyakanlah pada rakyat Papua. Pasti dapat jawabnya.

Waktunya kembali ke pulau Jawa. Sudah menjadi rahasia umum, pulau jawa dijadikan tempat sentralisasi industri aneka produk barang dan jasa. Orang-orang yang semula hidup bermata pencaharian sebagai petani, penggarap kebun dan sebagian bergantung dari hasil hutan. Dipaksa beralih profesi menjadi buruh. Sebab desa yang ditinggalkannya tak berprospek lagi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini akibat dari ulah perusahaan-perusahaan berbadan hukum yang kerap kali memonopoli tanah-tanah.

Dari hasil berplesiran coba kita buat pertanyaan kemudian mereka-reka
jawabannya;

1. Berapa puluh, bahkan ratusan dan mungkin ribuan orang yang terkena imbasnya? Kalkulasikanlah?

2. Siapakah yang bertanggung jawab? Siapa yang salah dan siapa yang akan dipersalahkan. Masyarakatkah? Para pemodalkah? Pemerintahkah?

Semestinya semua orang pasti setuju dengan jawaban; Rakyat jelatalah yang selalu dijadikan korban.

Tak usah bingung menjawab persoalan itu.. Apakah ini akibat dari kapitalisme atau globalisasi? Berpikirlah sederhana, semua hal bisa dicari akar masalahnya. Dari sudut pandang apapun, teori, ideologi atau apalah namanya jika disangkutpautkan maka akan menemukannya semua sumber dari akal permasalahan tersebut.

Bukan bermaksud mendeskreditkan ideology atau isme tertentu. Semuanya bermula dari ulah para tuan-tuan tanah dan pengusaha-pengusaha asing yang menguasai tanah-tanah masyarakat dengan sewa jangka panjang dan kemudian hari dikuasai secara semena-mena (permanen). Masyarakat terusir dari tanahnya dan kehilangan alat produksi utama. Untuk mereguk keuntungan para pengusaha asing biasanya memperkerjakan masyarakat lokal dengan upah rendah. Dan pada akhirnya kesejahteraan masyarakat lokal tidak berubah karena pasar sepenuhnya dikuasai para pedagang asing yang menguasai teknologi, alat komunikasi dan transportasi. Ada perubahan pun hanya setitik, sama sekali tidak ada perbaikan kesejahteraan. Justru kemiskinan semakin meluas.

Ah gak usah terlalu bertele-tele menjelaskan berbagai penindasan yang sedang terjadi di negeri ini! Tak perlu pula dijelaskan ideology atau isme beserta segala tetek-bengeknya. Fakta, tidak sesuai dengan cita-cita pendiri bangsa ini.

Tak usah menulikan telinga dan membutakan mata pada realita. Semua orang pun tahu, entah itu lewat media massa cetak ataupun elektronik. Jelas-jelas merekalah (rakyat Papua, Sulawesi, Sumatera Utara dan masih banyak lagi) yang tetap dijadikan korban! Semua orang pun tahu! Dunia sepertinya mengakui bahwa di negeri ini banyak terjadi penindasan, ketidakadilan dan kebohongan yang dilakukan oleh sang pemerintah.

Bagaimana dengan kita?

Mari kita menilik sebentar. Tolehlah teman kita si A, B, C, D dan seterusnya. Apakah ia benar-benar menunaikan ucapan sumpahnya? Si A sibuk mengelarkan kuliahnya, dengan alasan biaya kuliah mahal. Sedang si B terlalu asyik dengan kehidupan hura-huranya baginya tak terlalu mempersoalkan biaya kuliah, ia termasuk kelas ekonomi atas (orang kaya!). Sedang si C, D dan seterusnya bingung mencari pekerjaan sampingan, karena untuk menutupi biaya kuliah dan kebutuhan sehari-hari. Dan berbagai alasan lainnya.

Sekarang kita kembali lagi pada masalah sumpah! Apakah para pengucap sumpah itu benar-benar menjalankan apa yang telah disumpahkannya? Apakah para pengobral janji itu melakukannya? Mengingat kondisi negeri ini banyak terjadi ketimpangan sosial dan bahkan penindasan.

Simpulkan dan renungkanlah! Benarkah ayat-ayat itu adalah sumpah? Jika kita benturkan pada realitas sebenarnya, kita akan terpaksa untuk mengamini ayat-ayat itu hanya sebatas kata yang tanpa makna.

Miris memang…

Sudah Waktunya untuk turun Gunung….Halah Nulis Opo tho yo? Tuwaek...

Yogyakarta, 05 Oktober 2007
(WFY)

Catatan Kaki

[1] HPH akronim Hak Pengusahaan Hutan. Dan kadang, dipelesetkan menjadi Hak Pembabatan Hutan.



Rabu, 15 September 2010

Relawan, Wisata Bencana atau dari pada TIDAK?

Sohibul hikayat, pada zaman lampau ada suatu negeri yang makmur. Padi menghampar luas. Pepohonan yang nampak rindang. Serta disuguhkan hamparan pantai-pantai yang indah membentang. Di negeri inilah terdapat para pembuat (pelestari budaya) berbagai kerajinan, mulai dari pengrajin tanah liat hingga anyam-anyaman. Masyarakat setempat bermatapencaharian sebagai petani dan nelayan. Hanya sebagian kecil saja yang bekerja sebagai buruh. Negeri yang penuh daya tarik bagi wisatawan. Negeri dengan sejuta pesona, negeri Antah Berantah namanya.


Pada suatu ketika di pagi, tanggal 27 Mei 06 Masehi. Manusia-manusia sudah bersiap dan bergegas. Bersiap untuk menjalankan rutinitas seperti biasanya. Namun masih ada yang terlelap di pembaringan dengan buaian mimpi indah, tak terkecuali anak-anak -balita-. Hiruk pikuk mulai kentara. Masyarakat mulai menjalankan aktivitasnya masing-masing yang kebetulan bermatapencaharian sebagai petani, nelayan dan juga buruh. Mereka nampaknya sudah siap menjalankan aktivitas seperti hari-hari yang menjadi rutinitasnya.


Terlihat riang wajah pak tani karena padinya mulai menguning, nampak sedih para buruh karena gajinya tak kunjung belum terbayar. Maklum tanggal tua. Di sekolah anak-anak nampak ceria, sebentar lagi bertemu dengan teman sebayanya. Belajar dan bermain.


Seusai Subuh. Dibalik keriangan pak tani, kesedihan buruh dan keceriaan anak-anak, kini kandas. Sirna jua mimpi-mimpi mereka. Sebab pagi buta jam 05.57, masih di tanggal 27 Mei 06 M. Suatu waktu belum dimulainya roda ekonomi masyarakat. Terjadilah guncangan yang hebat. Hanya dengan 3 menit guncangan itu bisa memporak-porandakan rumah dan juga mematikan nyawa manusia. Luluh lantah dan mematikan. Masyarakat setempat menyebutnya sebagai Lindu. Namun dalam bahasa Indonesia guncangan tersebut dinamakan Gempa. Konon katanya menurut para ahli nujum guncangan itu berkekuatan 5,9 Skala Richter. Hanya perkiraan!


Orang-orang semua panik. Berhamburan seperti dalam keadaan perang. Bersembunyi, berteriak minta tolong, mengungsi. Apalagi isu yang merebak yakni akan ada tsunami. Banjir bandang! Entah siapa yang mengisukannya. Orang yang tak bertanggung jawab mestinya. Mengungsi atau mati, pikiran yang ada dalam pikiran orang-orang. Tidak bisa membayangkan seperti apa kota di pagi itu. Kota mati.


Yah setidaknya guncangan tersebut begitu dahsyat. Hampir seperempat penduduk di negeri Antah Berantah itu tewas. Innalilahi waina ilahi roji’un. Bencana yang maha dahsyat! Mungkin ini semacam kiamat kecil, kata pemuka agama. Ahli bumi tak kalah memberi pernyataan, selain takdir Tuhan, guncangan ini terjadi akibat pergeseran lempeng di bawah samudera. Berita itu simpang siur. Hanya perkiraan tanpa hukum sebab akibat. Belum tentu kebenarannya!


Ucapan bela sungkawa datang dan silih berganti dari tetangga negeri. Bantuan datang tak henti-hentinya mengalir deras dari berbagai penjuru negeri. Berlomba mencari pahala? Semua orang berbondong-bondong menuju tempat bencana. Ada yang ingin membantu, dan ada juga yang ingin sekedar melihat-lihat situasi serta berfoto-foto ria. Piknik Bencana. Sepertinya di negeri yang terkena bencana itu dijadikan sebuah bisnis yang menggiurkan, ladang basah bagi para investor. Yah lagi-lagi “mungkin” atas nama pembangunan. Tak heran menjelang pintu masuk di lokasi bencana terpampang tulisan “WISATA BENCANA, HTM SeIkhlasnya!”.


Decak kagum menyeruak ludah. Para pelancong, nampaknya sangat begitu menikmati pemandangan yang hanya tinggal puing-puing berserakan. Berfoto, bercengkerama sambil sesekali tertawa senang. Mungkin jarang terjadi peristiwa yang begitu unik atau mungkin ini sebuah kenangan indah yang tak terlupakan bagi para pelancong? Tak heran ada juga, sebagian masyarakat yang terusik oleh para pelancong. Masyarakat sepertinya terganggu dengan kedatangan para pelancong dadakan itu. Menurutnya, kedatangan pelancong itu bukannya menghibur tapi malah membuat resah masyarakat. “KAMI BUKAN BARANG TONTONAN!” Protesnya! Siapa yang akan mendengar? Toh mereka (pelancong) mentulikan telinganya. Rasa simpati tak ada, apalagi empati. Begitu menikmati! Kejadian seperti ini belum tentu satu tahun sekali, butuh proses atau jika tidak tunggulah Tuhan murka.

***


Di negeri itu terdapatlah sebuah pondokan. Ada ribuan santri yang belajar di pondok itu. Namanya Sekolah Kebijaksanaan. Tempat dimana para santrinya belajar tentang ilmu-ilmu yang di impor dari negeri Barat. Sekolah Kebijaksanaan adalah tempat tercetaknya santri yang handal dari berbagai disiplin ilmu. Mulailah santri itu menerapkan ilmunya. Di lokasi terjadinya bencana inilah para santri menerapkan teori yang telah dipelajarinya dan kemudian mempraktekkannya.


Segerombol santri sedang mendiskusikan apa yang seharusnya diperbuat setelah negeri Antah-berantah itu luluh lantah akibat gempa. Ketiga santri itu adalah Asu, Kirik, dan Anjing begitu serius dengan diskusinya. Perdebatan demi bantahan saling kukuh dengan idenya masing-masing. Satu sama lain tak mau mengalah! Berjam-jam lamanya mereka duduk di selasar pondokan. Duduk bersila, memeras otak dan mencoba untuk mencari solusi atas ketidaksepahaman ide dari ketiga santri itu. Saling diam. Tak satupun, satu dari mereka berani mengungkapkan gagasannya.


Ketiga santri berimajinasi dengan ide dan buku yang digeluti. Dengan latar belakang yang berbedalah otak mereka disatukan. Asu adalah seorang pembaca buku tentang keidealismean manusia, siapapun tokohnya, habis ia lahap. Perawakannya yang kecil membuat teman-temannya merasa gemes, apalagi dengan tingkah lakunya yang sering melucu. Dibalik keunikan yang dimiliki ia juga seorang yang idealis. Untuk Kirik, ia selalu bergumul dengan dunia mesin, teknik. Dari tampang culunnya tak menandakan ia seorang santri yang pemikir. Apatis dan pandai bermain spekulasi. Sementara Anjing selalu bergelut dengan buku-buku sosial kemasyarakatan, ia juga gemar membaca buku tentang lingkungan. Ia adalah seorang yang pendiam, bersifat otoriter. Bukan tipikal seorang pekerja tapi suka memimpin dan tidak mau dipimpin.


“Aku punya ide!” Teriak Asu. Mencoba memecah kebuntuan. Kedua temannya kaget. Antara Kirik dan Anjing saling menatap. “Ceritakanlah ide itu?” Jawab Anjing dengan gayanya yang sok bijak. Sementara Kirik hanya diam tampak acuh dan tak peduli. “Bagaimana kalau kita membuat Posko bantuan di tempat bencana? Disana kita bisa membantu. saudara-saudara kita yang tertimpa musibah. Misalnya kita mencari dan kemudian mendistribusikan barang-barang bantuan itu pada mereka.” Asu menjelaskan idenya. “Apakah itu efektif? Hanya sia-sia! Buang-buang waktu, Su!” timpal Kirik dengan gaya pragmatisnya. Anjing mencoba menengahi. “Hei Rik, apa kamu punya solusi?” Kirik hanya menggeleng sembari menghisap lintingan tembakau. Dengan posisi tangan menyangga kepala, seolah berpikir. Sementara rokok dihisapnya terus berulang-ulang, hampir mati. Juga tak mendapatkan ide. Ketiga santri itu saling terdiam. Saling memikirkan tentang apa yang seharusnya diperbuat.


Siang itu, masih belum juga mendapatkan solusi. Panas matahari mendidihkan
darah, emosi yang gampang meletup. Dari ketiga santri itu mempunyai pandangan yang berbeda. Saling berlawanan. Ditengah perdebatan yang tak berujung. Akhirnya, dari ketiganya memutuskan untuk break sejenak. Dan tentunya dengan kesepakatan bersama pula, masing-masing harus dapat mempunyai ide yang dapat dikolaborasikan. “Baiklah sementara kita belum mendapatkan apa yang seharusnya kita lakukan, alangkah baiknya kita istirahat sejenak. Namun perlu di ingat saudara-saudara kita membutuhkan kita! Jangan sampai terlena.” nada bijak nan tegas itu terlontar dari mulut Anjing.


Sementara orang-orang sibuk menyiarkan berita tentang musibah yang baru saja terjadi. Masih di selasar pondokan. Banyak para santri yang kemudian memutuskan menjadi relawan. Hilir-mudik dan kesibukan mulai terasa. Di sekeliling pondokan itu banyak bertumpuk bantuan. Obat-obatan, makanan dan minuman tertumpuk menjadi satu disebuah sudut selasar itu.


Ketiga santri kembali berkumpul. Tentunya dengan gambaran ide masing-masing. “Baiklah kita, kita sudah berkumpul disini. Kuharap masing-masing dari kita sudah mendapatkan ide dari apa yang seharus kita perbuat. Bukan semestinya!” Anjing memulai kembali rapat yang tidak formal itu. Asu masih dengan idenya yang ingin mendirikan posko bantuan, harapannya sederhana ingin membantu dan memudahkan penyaluran pasokan barang. Sedang Anjing disamping mendirikan posko bantuan, ia juga mengusulkan untuk terjun langsung ke lapangan membantu dan mengevakuasi korban. Sedang si kirik masih malu untuk mengeluarkan pendapatnya. Dia hanya berbisik pada pemimpin forum. Bahwa ia sepakat dengan pemikiran kedua temannya. Ia juga mengusulkan untuk dijadikan praktek kerja lapangan. Maklum dari ketiga santri tua itu belum mendapatkan mata pelajaran praktek kerja lapangan. Salah satu syarat kelulusan belajarnya.


Kirik hanya tersenyum simpul atas ide cemerlangnya. Nampak keoportunisan yang ada pada si Kirik. Namun Asu tidak sepaham apa yang diidealkan kirik. Dengan nada sewot serta reaksioner, “Aku sepakat dengan ide yang kalian paparkan. Namun ketahuilah DIMANA ADA MOMENT, DISITULAH ADA KANS DAN KEPENTINGANLAH PADA AKHIRNYA. Aku tidak munafik.” Ia mempertahankan idenya.


Dengan penjelasan selogis mungkin Kirik pun menguraikan gagasannya panjang lebar. Sedang Anjing dan Asu hanya teranggut-anggut mendengarkan apa yang dipaparkan olehnya. Dari teman yang semula tidak diakui pemikirannya, kedua rekannya terkesima dengan gagasan yang baru saja ia dengarkan. Seharian belum juga mengetok palu kesepakatan. Dan akhirnya, untuk sementara mereka sepakat untuk mendirikan posko bantuan di daerah tempat bencana. Dari ketiga santri tersebut masing-masing mempunyai tugas. Ada yang mendirikan posko, mencari logistik dan melobi pada guru pengampu mata kuliah praktek kerja lapangan. Untuk dipercaya melobi ialah sang Anjing, karena ia tidak terbiasa untuk bekerja di lapangan. Mulut sumirlah yang menghendaki demikian. Untuk merangkai kata-kata dan kemudian meyakinkan, ia pandai beretorika. Pialang ulung. Kedua rekan mempercayakannya.

***


Pascagempa, telah satu tahun lamanya telah terlewati. Pendirian posko lambat laun beralih fungsi menjadi pondokan para santri. Yang semula dijadikan posko para relawan, kini bertebar posko untuk santri yang sedang kuliah lapangan. Status ganda relawan dan kuliah lapangan juga para pencari uang. Setelah adanya musibah para santri diberi keuntungan untuk kuliah di luar ruangan. Kadang terdengar nada sumbang dari orang-orang moralis; pengungsi bukannya orang yang tertimpa bencana, namun para santri juga relawanlah yang mengungsi di tempat bencana. Sambil berenang minum air, jika di umpamakan dengan pepatah.


Satu tahun telah terlewati. keadaan negeri Antah Berantah itu berangsur pulih. seperti sedia kala. tentunya dengan kondisi yang berbeda. Jalan-jalan, hingga rumah. Semuanya nampak baru, walau sederhana. Keceriaan anak-anak, keriangan pak tani kini nampak lagi terulas. Geliat masyarakat mulai menandakan bahwa kota itu tak lagi mati seperti awal terjadinya bencana gempa.


Sebagian kegiatan harian mulai nampak, pasar banyak yang sudah melakukan kegiatan ekonominya, begitu juga toko-toko. Adapun kegiatan harian di daerah gempa lebih terlihat kepada evakuasi barang-barang, mengumpulkan genting dan kayu yang masih bisa digunakan. Aparat membantu merobohkan bangunan yang membahayakan, terutama untuk fasilitas umum seperti tempat ibadah dan lainnya.


Sedang banyak para relawan domestik dan asing yang berada di lokasi tempat bencana. Masyarakat juga nampak begitu apatis dengan mereka para dermawan itu. Beruntung semangat gotong royong masyarakat masih ada. Hingga tak terlalu mengharapkan bantuan dari para pengumpul pahala. Menurut masyarakat, tidak hanya uang yang diberikan untuk membantu mengatasi bencana itu, namun juga bantuan fisik secara nyata diberikan langsung ke tempat kejadian. Masyarakat tampak acuh dengan para donatur yang mengiming-imingi bantuan. Hanya omong kosong katanya.


Hingga saat ini di tahun 07 M, puluhan bahkan ratusan organisasi bantuan, telah lewat satu tahun setelah bencana itu masih aktif memberikan bantuan. Mereka tinggal di tenda-tenda yang didirikan di lokasi bencana. Begitu juga ketiga santri itu. Yah, paling tidak merasakan empati. Atau pilihannya adalah menjadi Relawan, Wisata Bencana atau dari pada TIDAK?






Yogyakarta, 28 Mei 2007

(WFY)

Kamis, 09 September 2010

Kunjungan Imajiner; Kisah Satu Malam


“Hem sudah larut malam”, gumamku. Aku segera beranjak dari ruang tamu dan memasuki kamar. Kubersihkan kamar dari serakan koran yang sesiangan kubaca. Selesai bersih-bersih dan tampak tertata rapi, aku merebahkan tubuh diatas kasur.
Sebelum mata benar-benar terpejam, aku menyempatkan membaca buku yang lama kutamatkan. Sebuah buku yang hampir-hampir jarang aku baca, “Anda Bertanya Islam Menjawab”. Kalau boleh aku berkesimpulan lebih dini dari buku yang belum kelar kubaca, buku itu menjawab segala persoalan kehidupan di dunia dan akhirat dalam perspektif Islam. Apapun pertanyaan mengenai kehidupan dijawabnya dalam buku itu. Sebuah buku yang tebalnya minta ampun, kamus bahasa Indonesia pun sepertinya kalah tebal.
Kantuk mulai menggelayut di mataku. Kulipat halaman terakhir yang sudah aku baca. Lipatan itu sebagai tanda halaman terakhir, siapa tahu esok atau suatu saat nanti aku masih ingin membacanya.
Menjelang tertidur, sempat aku membayangkan dan teringat obrolan ibuku diruang tamu sebelum aku beranjak ke kamar. “Seandainya saja ayahmu masih hidup. Mungkin kau tidak menjadi seperti ini.” kata Ibuku. “Mungkin saja, Bu” jawabku. “Eh namanya takdir, semua orang tidak bisa menebak.” Lanjut ibuku. Aku hanya tersenyum mengangguk, mengiyakan perkataan ibuku.
Sebenarnya aku sangat enggan membicarakan orang-orang yang telah tiada. Apalagi mereka ulang setiap kejadian dari seorang ayah yang begitu tega meninggalkan istri beserta anak-anaknya. Salut untuk ibuku tercinta yang berjuang seorang diri dan tanpa lelah merawat dan membesarkan kedua anaknya.
***

Ingatanku mundur kebelakang. Disebuah loteng. Saat itu, ayah sedang berkumpul dengan keluarganya dalam acara pesta pernikahan pamanku -adik ayahku. Prosesi pernikahan yang digelar begitu mewah dan bergaya Eropa. Prosesi yang tak luput dari senandung nyanyian dan puji-pujian berpengharapan untuk kedua mempelai.
Aneka minuman mulai dari teh, minuman bersoda hingga beraroma alkohol disediakan untuk para tamu undangan. Tak terkecuali ayahku pun turut serta menikmati minuman soda berwarna hitam. Jika kueja huruf yang ada dikemasan botol itu; Bir hitam bermerk –GUINNESS-. Walau aku belum bersekolah, aku sudah hafal abjad A sampai Z dan sedikit-sedikit bisa mengeja dan membaca. Ibukulah yang mengajariku hafalan abjad per abjad.
Aroma wangi yang menelisik hidungku membuatku tertarik untuk mencicip dan mencecap minuman yang diminum oleh ayah dan handai taulannya itu.
Pak, aku njaluk mimike. Ngelak aku.[1]” aku meminta dan beralasan.
Heh ojo, kowe iseh cilik. Mimik susu wae ya?[2]” kata ayahku sembari menunjuk susu kotak dalam kemasan.
Halah, Pak! Sithik wae. Ya, Pak? Ngelak aku.[3]” aku merengek.
Weeladalah. Cah iki kok ngeyel tho. Mengko sirahe mumet lho! Mimik susu wae, iki rasane pahit. Susu wae ya sing manis?[4]” bujuk ayahku.
“Haaaah Bapak pelit.”
Akupun ngambek dan menabok-nabok paha ayahku. Untuk menenangkan rengekanku yang manja, ayah dengan berbagai cara merayu untuk tidak meminum apa yang diminumnya. Aku masih ngambek dan mogok bicara.
Wis tho, Mas. Dikei wae mengko lak nek ora doyan yo dilepeh[5]” kata pamanku sambil tertawa.
Hush! Cah cilik iki. Ngawur wae![6]” tegas ayahku.
Halah, nek ra doyan yo mengko dilepeh, Mas. Daripada ngambul?[7]” sanggah adik ayahku.
Akhirnya dengan berbagai pertimbangan, ayahku mau menuangkan sedikit minumannya ke gelas yang kosong, mungkin jika ditakar kira-kira satu seloki.
Nyoh iki.. ojo akeh-akeh le ngombe. Dicicipi wae, ojo ditelen[8]” sodor ayahku sambil meminumkan minuman berwarna hitam itu ke mulutku.
“Kok Pahit, Pak?!”
Pahit tho.. Dikandani kok ngeyel. Anake sopo tho?[9]” kata ayahku sembari mengangkatku tinggi-tinggi dan menciumiku.
Anake bapaklah.[10] kataku.
Paman-pamanku yang lain tertawa terpingkal melihat kelakuan dan komentarku sehabis meminum bir. Sejak kejadian itu, mungkin diusiaku yang ke 5, aku pertama kali mencicip dan mencecap rasanya minuman keras. Dan itulah dosa terbesar yang pertama kali aku lakukan, walau dosa itu masih ditanggung kedua orangtuaku. Maaf aku telah memberimu dosa, ayah, ucapku dalam hati.
***

Tiba-tiba tubuhku melesat, seperti ada yang menarik dan menyeretku terbang. Tubuhku ringan seperti kapas, terombang-ambing tertiup angin. Semakin tinggi. Tinggi sekali! Menerobos pecahan meteor, melewati matahari bahkan gugusan bintang. Sedang bumi, dibawah semakin dan semakin terlihat kecil. Semakin jauh! Bumi dan planet lain seperti setitik debu. Aku terbang entah dibawa siapa, entah kemana pula. Mungkin langit ke tujuh.
Tubuhku ringan, melayang-layang melawan gravitasi. Antah berantah. Dunia semakin sunyi, tak seorangpun aku temui. Tak tampak tanda-tanda kehidupan. Sepi sekali! Ribuan gemintang berpendar tanpa batas. Sungguh malam yang menakjubkan. Tapi kutakut takkan kembali menapak di tanah bumi.
Tak lama menikmati indahnya kerlip cahaya. Tubuhku terhempas. Jatuh di tempat sepi tak berpenghuni. Aku tak tahu negeri apa namanya, mungkin seperti yang didalam dongeng, negeri diatas awan, jika benar aku telah menginjaknya. Tapi mengapa aku seorang diri? Dan lagi aku takut mati, di tempat asing ini, sendiri.
Assalamualaikum” suara itu terdengar dari arah cahaya yang berkilauan.
Makhluk apa itu? Aku tidak bisa mengklasifikasikan jenis makhuk yang mengucap salam kepadaku. Tidak seperti yang kulihat di bumi. Ia hanya seberkas cahaya yang nampak di depanku.
Wailakum salam” jawabku tergugup. “Dimanakah aku? Tempat apakah ini?” aku bertanya seiring rasa takut yang mendera.“Selamat datang wahai manusia. Inilah kehidupan dunia akhirat” ia menjelaskan singkat. “Siapakah Tuhanmu?”.
“Allah SWT. Apakah aku sudah mati?” aku menjawab sekaligus bertanya.
“Apa Kitabmu?” ia mengajukan pertanyaan yang kedua tanpa menjawab pertanyaan yang aku sodorkan. Aku semakin takut. Apa aku sudah mati? Bulu kudukku merinding, keringat dingin mulai menjalari tubuhku. Apakah aku benar-benar mati? Apakah ini alam kubur yang diceritakan dalam buku-buku agama? Dengan cara apa aku mati? Pikirku.
“Al-Quran!”.
“Siapa nabimu?”
“Muhammad SAW dan 24 nabi AS sebelum Muhammad”
“Apa Agamamu?”
“Insya Allah Islam. Apakah aku sudah mati?” Tanyaku mengulang.
Namun seberkas cahaya itu tidak memberikan jawaban atas pertanyaanku. Aku semakin gelisah. Apakah aku sudah mati? Pertanyaan itu kuulang-ulang dalam hati. Mengapa Tuhan memanggilku secepat ini? Tapi mengapa Izrail tidak menemuiku. Seandainya iya aku mati, mestinya terlebih dahulu aku meminta izin sejenak untuk menuliskan sebuah surat wasiat untuk orang-orang tercinta. Aku semakin cemas dengan tubuh ini. Tubuh yang tak kuasa bersiap menahan siksa. Mengapa Tuhan tidak memberiku kesempatan untukku beramal soleh? Seketika aku teringat kata-kata ibuku, “Eh yang namanya takdir, semua orang tidak bisa menebak”. Aku semakin pasrah mengikuti irama di kehidupan yang baru ini.
“Mari ikuti saya” Suara itu terdengar lagi.
“Kemana?”
Dan cahaya itu kemudian berjalan pelan. Aku dari belakang menguntit jalannya cahaya itu.
Diajaklah aku pada sebuah ruang berdinding putih, bersih bahkan suci dari segala benda najis dan kotoran. Sebuah ruang yang kurasa lain dari yang lain yang pernah aku temui di bumi. Tidak panas dan juga tidak dingin. Tiada bandingannya di dunia manapun. Dua berkas cahaya keperak-perakan sudah ada didalam ruangan itu.
“Dia disamping kirimu bernama Rakib, sedang yang disamping kananmu bernama Atid”. Cahaya itu memperkenalkan masing-masing cahaya yang ada didepanku.
“Selamat datang, wahai manusia yang bernama Mahardhika Adil Bilarata alias Budi Pekerti Luhur alias Adilla Dibumi alias Sangkan Paraning Nyawa!” sapanya bersamaan.
“Lalu siapakah yang membawaku kemari?” tanyaku masih penasaran dengan apa yang sedang terjadi dan aku alami. Apakah tadi yang membawaku adalah Izrail? Mengapa mereka tahu nama beserta aliasku? Cahaya itu tidak menjawab. Selintas mengucap salam dan berpamit. Datang seketika hilang dari pandangan mata.
“Apakah sudah siap?” Tanya kedua cahaya itu serempak.
“Maksudnya?”
“Duduklah. Posisikan dirimu lebih nyaman” perintahnya.
“Aku pun mematuhi perintah dan menempatkan diri duduk bersila dan menatap kedepan. Lalu dengan sekejap sebuah layar berwarna putih terpampang. Semuanya datang secara sekejap dan tiba-tiba.
“Dan Lihatlah,” lagi kedua cahaya itu berbicara dan memerintah, “itukah kau?”
“Benar itu saya!” jawabku.
“Runtutan peristiwa demi peristiwa mengisah awal perbuatan dengan segala dosa-dosa. Dari pertama mencicip minuman beraroma vodka sampai pertama kali mencicip candu.
“Lihatlah dirimu. Sedari kecil kau sudah mencicip apa-apa yang dilarang oleh agamamu. Beranjak akil baligh kau sudah kecanduan. Setelah akil baligh kau mencandu aneka rupa yang dilarang oleh Tuhanmu. Sepenuhnya kau malah menjalankan larangan dan menjauhi perintahNya.”
Aku terdiam, dalam hati mengucap istigfar yang begitu sulit untuk dilafadzkan.
“Kau disini beristigfar tatkala kau melihat rekam jejakmu yang pernah kau lakukan, sedang kau hampir-hampir tak pernah mengucap istigfar semasa di bumi.”
Aku masih terdiam dan tetap menonton layar bergambar bercerita kilas balik kehidupanku.
“Dan lihatlah polahmu, kau terlihat senang dengan apa yang kau lakukan, seolah kau mengkesampingkan semua ajaran agama yang kau timba sedari kecil.”
Perbuatan semasa dibumi terekam dengan jelas dalam bentuk gambar yang bergerak, persis seperti adegan yang pernah aku lakukan. Sama sekali tak ada rekaan. Dan tiba pada gambar yang menampilkan ketika aku sedang mengutuk nasib dan juga takdir dengan segala sumpah serapah, berpuisi yang tak berpakem, di pelataran sasana laya.
“Cukup hentikan!” teriakku memohon, “Aku malu.” aku memejamkan mata tak kuasa menyaksikan semua kenyataan yang pahit itu.
“Apa? Kau malu? Kau hampir-hampir tak pernah punya rasa malu ketika perbuatan yang kini kau anggap memalukan itu kau perbuat.”
Aku hanya tertunduk dan tak mau lagi melihat gambar yang merekam jejakku itu.
“Baiklah saya hentikan, “ dengan bijak ia memenuhi permintaanku, “Setidaknya aku telah membuktikan, bahwa segala sabda dan firman Tuhanmu yang pernah kau ragukan benar adanya. Wahai manusia yang bernama Mahardhika Adil Bilarata alias Budi Pekerti Luhur alias Adilla Dibumi alias Sangkan Paraning Nyawa, apakah kau masih teguh berpendirian untuk tidak mempercayaiNya?”
Aku hanya terdiam tidak menjawab. Kelu! Hanya mengangguk.
“Justru aku tidak mempercayai apa yang kau anggukkan, sebab hatimu mengatakan tidak.”
“Lalu dengan apa aku berucap agar engkau mempercayai kata-kataku?”
“Ucapkanlah ulang kalimat Syahadat dengan tulus dan ikhlas. Agar lebih sempurna pertaubatanmu. Jalankah perintah-perintahNya. Jauhi larangan-laranganNya yang pernah kau perbuat semasa di bumi.”
Aku tertunduk tak berdaya. Tubuhku melemah, lunglai. Yang kulihat membuat ku malu pada diri sendiri. Dan cahaya yang bersuara itu telah menulis, mencatat dan merekam semua perbuatanku di bumi.
“Bukankah kau suka berpetualang? Ikutlah dengan mereka,” Ia menunjuk dua berkas cahaya yang kemilau, “mereka akan mengajakmu berpetualang di alam bebas yang di bumi takkan pernah kau temui.”
Aku pun membuntuti kedua cahaya yang lagi tak kukenal.
***

Tanpa percakapan, tanpa suara. Tubuhku terbang lagi. Melesat dengan kecepatan super kilat. Mengitar alam yang tak pernah kulihat dibumi sebelumnya. Jelas kulihat, sangat-sangat jelas terlihat, manusia-manusia bersetubuh dengan bidadari dan bidadara. Kenikmatan duniawi segalanya ada. Sungai-sungai mengalir. Pepohonan buah-buahan yang merimbun dengan buah-buah yang ranum. Hingga pada sebuah ruang penyiksaan untuk manusia yang tak kalah keji dan biadabnya di bumi. Tempat dimana manusia-manusia meringis menahan perih siksaan disana, dihancurkan kemudian dihidupkan kembali untuk menerima siksa akibat perbuatan mereka. Aku bergidik.
Lalu tiba-tiba badanku tergetar dan terjatuh di tempat semula aku membaringkan tubuh. Dan cahaya itu sirna tak berbekas. Lenyap seketika seperti kemunculan pertama. Dan cahaya yang menyilaukan itu masih membekas nyeri di mataku. Nafasku tersengal, keringat dingin menetes di pelipisku. Aku mengamati langit-langit ruangan. Ya, aku yakin ini kamarku. Kucubit lenganku untuk meyakinkan kesadaranku. “Aku belum mati”, kataku didalam hati.

Muntilan, -Agustus 2005 dan dilanjutkan di Jalan Paris, 03 September 2010
(WFY)


NB

  • Semula tulisan ini berjudul, ‘Rekam Jejak si Kecil’ namun setelah di sunting berganti judul “Kunjungan Imajiner; Kisah Satu Malam”  
  • Tulisan ini ditemukan disebuah CD (Compact Dist) yang tak pernah dibuka.
  •  Terima kasih buat Septi Melinda yang membantu proses penyuntingan tulisan ini.. Matur nuwun sanget. 
  • Tulisan ini hanya fantasi. Fiktif! Boleh dikatakan, mimpi buruk yang kerap mengusik tidur nyenyakku.


 Catatan Kaki
[1] Pak Aku minta minumnya. Aku haus!
[2] Heh Jangan., kamu masih kecil. Minum susu saja ya?
[3] Halah, Pak! Sedikit saja ya Pak? Aku haus
[4] Weladalah. Anak ini kok membantah. Nanti kepalanya pening lho. Minum susu saja, ini rasanya pahit. Minum susu saja ya?
[5] Sudahlah, Mas. Dikasih saja nanti kalau tidak doyan juga dimuntahkan.
[6] Hush! Ini anak kecil. Ngawur!
[7] Halah, kalau tidak doyan nanti ya dimuntahkan, Mas. Daripada mutung.
[8] Ini. Jangan banyak-banyak minumnya. Dicicipi saja, jangan ditelan.
[9] Pahit kan? Dibilangin kok ngeyel. Anaknya siapa sih?
[10] Anaknya ayah lah.