“Hem
sudah larut malam”, gumamku. Aku segera beranjak dari ruang tamu dan memasuki
kamar. Kubersihkan kamar dari serakan koran yang sesiangan kubaca. Selesai
bersih-bersih dan tampak tertata rapi, aku merebahkan tubuh diatas kasur.
Sebelum mata benar-benar terpejam,
aku menyempatkan membaca buku yang lama kutamatkan. Sebuah buku yang
hampir-hampir jarang aku baca, “Anda Bertanya Islam Menjawab”. Kalau boleh aku
berkesimpulan lebih dini dari buku yang belum kelar kubaca, buku itu menjawab
segala persoalan kehidupan di dunia dan akhirat dalam perspektif Islam. Apapun
pertanyaan mengenai kehidupan dijawabnya dalam buku itu. Sebuah buku yang
tebalnya minta ampun, kamus bahasa Indonesia pun sepertinya kalah tebal.
Kantuk mulai menggelayut di mataku.
Kulipat halaman terakhir yang sudah aku baca. Lipatan itu sebagai tanda halaman
terakhir, siapa tahu esok atau suatu saat nanti aku masih ingin membacanya.
Menjelang tertidur, sempat aku
membayangkan dan teringat obrolan ibuku diruang tamu sebelum aku beranjak ke
kamar. “Seandainya saja ayahmu masih hidup. Mungkin kau tidak menjadi seperti
ini.” kata Ibuku. “Mungkin saja, Bu” jawabku. “Eh namanya takdir, semua orang
tidak bisa menebak.” Lanjut ibuku. Aku hanya tersenyum mengangguk, mengiyakan
perkataan ibuku.
Sebenarnya aku sangat enggan
membicarakan orang-orang yang telah tiada. Apalagi mereka ulang setiap kejadian
dari seorang ayah yang begitu tega meninggalkan istri beserta anak-anaknya.
Salut untuk ibuku tercinta yang berjuang seorang diri dan tanpa lelah merawat
dan membesarkan kedua anaknya.
***
Ingatanku mundur kebelakang.
Disebuah loteng. Saat itu, ayah sedang berkumpul dengan keluarganya dalam acara
pesta pernikahan pamanku -adik ayahku. Prosesi pernikahan yang digelar begitu
mewah dan bergaya Eropa. Prosesi yang tak luput dari senandung nyanyian dan
puji-pujian berpengharapan untuk kedua mempelai.
Aneka minuman mulai dari teh,
minuman bersoda hingga beraroma alkohol disediakan untuk para tamu undangan.
Tak terkecuali ayahku pun turut serta menikmati minuman soda berwarna hitam.
Jika kueja huruf yang ada dikemasan botol itu; Bir hitam bermerk –GUINNESS-.
Walau aku belum bersekolah, aku sudah hafal abjad A sampai Z dan
sedikit-sedikit bisa mengeja dan membaca. Ibukulah yang mengajariku hafalan
abjad per abjad.
Aroma wangi yang menelisik hidungku
membuatku tertarik untuk mencicip dan mencecap minuman yang diminum oleh ayah
dan handai taulannya itu.
“Pak, aku njaluk mimike. Ngelak
aku.[1]”
aku meminta dan beralasan.
“Heh ojo, kowe iseh cilik. Mimik
susu wae ya?[2]”
kata ayahku sembari menunjuk susu kotak dalam kemasan.
“Halah, Pak! Sithik wae. Ya, Pak?
Ngelak aku.[3]”
aku merengek.
“Weeladalah. Cah iki kok ngeyel
tho. Mengko sirahe mumet lho! Mimik susu wae, iki rasane pahit. Susu wae ya
sing manis?[4]”
bujuk ayahku.
“Haaaah Bapak pelit.”
Akupun ngambek dan menabok-nabok
paha ayahku. Untuk menenangkan rengekanku yang manja, ayah dengan berbagai cara
merayu untuk tidak meminum apa yang diminumnya. Aku masih ngambek dan mogok
bicara.
“Wis tho, Mas. Dikei wae mengko
lak nek ora doyan yo dilepeh[5]”
kata pamanku sambil tertawa.
“Hush! Cah cilik iki. Ngawur wae![6]”
tegas ayahku.
“Halah, nek ra doyan yo mengko
dilepeh, Mas. Daripada ngambul?[7]”
sanggah adik ayahku.
Akhirnya dengan berbagai
pertimbangan, ayahku mau menuangkan sedikit minumannya ke gelas yang kosong,
mungkin jika ditakar kira-kira satu seloki.
“Nyoh iki.. ojo akeh-akeh le
ngombe. Dicicipi wae, ojo ditelen[8]”
sodor ayahku sambil meminumkan minuman berwarna hitam itu ke mulutku.
“Kok Pahit, Pak?!”
“Pahit tho.. Dikandani kok
ngeyel. Anake sopo tho?[9]”
kata ayahku sembari mengangkatku tinggi-tinggi dan menciumiku.
“Anake bapaklah.[10]”
kataku.
Paman-pamanku yang lain tertawa
terpingkal melihat kelakuan dan komentarku sehabis meminum bir. Sejak kejadian
itu, mungkin diusiaku yang ke 5, aku pertama kali mencicip dan mencecap rasanya
minuman keras. Dan itulah dosa terbesar yang pertama kali aku lakukan, walau
dosa itu masih ditanggung kedua orangtuaku. Maaf aku telah memberimu dosa,
ayah, ucapku dalam hati.
***
Tiba-tiba tubuhku melesat, seperti
ada yang menarik dan menyeretku terbang. Tubuhku ringan seperti kapas,
terombang-ambing tertiup angin. Semakin tinggi. Tinggi sekali! Menerobos
pecahan meteor, melewati matahari bahkan gugusan bintang. Sedang bumi, dibawah
semakin dan semakin terlihat kecil. Semakin jauh! Bumi dan planet lain seperti
setitik debu. Aku terbang entah dibawa siapa, entah kemana pula. Mungkin langit
ke tujuh.
Tubuhku ringan, melayang-layang
melawan gravitasi. Antah berantah. Dunia semakin sunyi, tak seorangpun aku
temui. Tak tampak tanda-tanda kehidupan. Sepi sekali! Ribuan gemintang
berpendar tanpa batas. Sungguh malam yang menakjubkan. Tapi kutakut takkan
kembali menapak di tanah bumi.
Tak lama menikmati indahnya kerlip
cahaya. Tubuhku terhempas. Jatuh di tempat sepi tak berpenghuni. Aku tak tahu
negeri apa namanya, mungkin seperti yang didalam dongeng, negeri diatas awan,
jika benar aku telah menginjaknya. Tapi mengapa aku seorang diri? Dan lagi aku
takut mati, di tempat asing ini, sendiri.
“Assalamualaikum” suara itu
terdengar dari arah cahaya yang berkilauan.
Makhluk apa itu? Aku tidak bisa
mengklasifikasikan jenis makhuk yang mengucap salam kepadaku. Tidak seperti
yang kulihat di bumi. Ia hanya seberkas cahaya yang nampak di depanku.
“Wailakum salam” jawabku
tergugup. “Dimanakah aku? Tempat apakah ini?” aku bertanya seiring rasa takut
yang mendera.“Selamat datang wahai manusia. Inilah kehidupan dunia akhirat” ia
menjelaskan singkat. “Siapakah Tuhanmu?”.
“Allah SWT. Apakah aku sudah mati?”
aku menjawab sekaligus bertanya.
“Apa Kitabmu?” ia mengajukan
pertanyaan yang kedua tanpa menjawab pertanyaan yang aku sodorkan. Aku semakin
takut. Apa aku sudah mati? Bulu kudukku merinding, keringat dingin mulai
menjalari tubuhku. Apakah aku benar-benar mati? Apakah ini alam kubur yang
diceritakan dalam buku-buku agama? Dengan cara apa aku mati? Pikirku.
“Al-Quran!”.
“Siapa nabimu?”
“Muhammad SAW dan 24 nabi AS sebelum
Muhammad”
“Apa Agamamu?”
“Insya Allah Islam. Apakah aku sudah
mati?” Tanyaku mengulang.
Namun seberkas cahaya itu tidak
memberikan jawaban atas pertanyaanku. Aku semakin gelisah. Apakah aku sudah
mati? Pertanyaan itu kuulang-ulang dalam hati. Mengapa Tuhan memanggilku
secepat ini? Tapi mengapa Izrail tidak menemuiku. Seandainya iya aku mati,
mestinya terlebih dahulu aku meminta izin sejenak untuk menuliskan sebuah surat
wasiat untuk orang-orang tercinta. Aku semakin cemas dengan tubuh ini. Tubuh
yang tak kuasa bersiap menahan siksa. Mengapa Tuhan tidak memberiku kesempatan
untukku beramal soleh? Seketika aku teringat kata-kata ibuku, “Eh yang namanya
takdir, semua orang tidak bisa menebak”. Aku semakin pasrah mengikuti irama di
kehidupan yang baru ini.
“Mari ikuti saya” Suara itu
terdengar lagi.
“Kemana?”
Dan cahaya itu kemudian berjalan
pelan. Aku dari belakang menguntit jalannya cahaya itu.
Diajaklah aku pada sebuah ruang
berdinding putih, bersih bahkan suci dari segala benda najis dan kotoran.
Sebuah ruang yang kurasa lain dari yang lain yang pernah aku temui di bumi.
Tidak panas dan juga tidak dingin. Tiada bandingannya di dunia manapun. Dua
berkas cahaya keperak-perakan sudah ada didalam ruangan itu.
“Dia disamping kirimu bernama Rakib,
sedang yang disamping kananmu bernama Atid”. Cahaya itu memperkenalkan
masing-masing cahaya yang ada didepanku.
“Selamat datang, wahai manusia yang
bernama Mahardhika Adil Bilarata alias Budi Pekerti Luhur alias Adilla Dibumi
alias Sangkan Paraning Nyawa!” sapanya bersamaan.
“Lalu siapakah yang membawaku
kemari?” tanyaku masih penasaran dengan apa yang sedang terjadi dan aku alami.
Apakah tadi yang membawaku adalah Izrail? Mengapa mereka tahu nama beserta
aliasku? Cahaya itu tidak menjawab. Selintas mengucap salam dan berpamit.
Datang seketika hilang dari pandangan mata.
“Apakah sudah siap?” Tanya kedua
cahaya itu serempak.
“Maksudnya?”
“Duduklah. Posisikan dirimu lebih
nyaman” perintahnya.
“Aku pun mematuhi perintah dan
menempatkan diri duduk bersila dan menatap kedepan. Lalu dengan sekejap sebuah
layar berwarna putih terpampang. Semuanya datang secara sekejap dan tiba-tiba.
“Dan Lihatlah,” lagi kedua cahaya
itu berbicara dan memerintah, “itukah kau?”
“Benar itu saya!” jawabku.
“Runtutan peristiwa demi peristiwa
mengisah awal perbuatan dengan segala dosa-dosa. Dari pertama mencicip minuman
beraroma vodka sampai pertama kali mencicip candu.
“Lihatlah dirimu. Sedari kecil kau
sudah mencicip apa-apa yang dilarang oleh agamamu. Beranjak akil baligh kau
sudah kecanduan. Setelah akil baligh kau mencandu aneka rupa yang dilarang oleh
Tuhanmu. Sepenuhnya kau malah menjalankan larangan dan menjauhi perintahNya.”
Aku terdiam, dalam hati mengucap
istigfar yang begitu sulit untuk dilafadzkan.
“Kau disini beristigfar tatkala kau
melihat rekam jejakmu yang pernah kau lakukan, sedang kau hampir-hampir tak
pernah mengucap istigfar semasa di bumi.”
Aku masih terdiam dan tetap menonton
layar bergambar bercerita kilas balik kehidupanku.
“Dan lihatlah polahmu, kau terlihat
senang dengan apa yang kau lakukan, seolah kau mengkesampingkan semua ajaran
agama yang kau timba sedari kecil.”
Perbuatan semasa dibumi terekam
dengan jelas dalam bentuk gambar yang bergerak, persis seperti adegan yang
pernah aku lakukan. Sama sekali tak ada rekaan. Dan tiba pada gambar yang
menampilkan ketika aku sedang mengutuk nasib dan juga takdir dengan segala
sumpah serapah, berpuisi yang tak berpakem, di pelataran sasana laya.
“Cukup hentikan!” teriakku memohon,
“Aku malu.” aku memejamkan mata tak kuasa menyaksikan semua kenyataan yang
pahit itu.
“Apa? Kau malu? Kau hampir-hampir
tak pernah punya rasa malu ketika perbuatan yang kini kau anggap memalukan itu
kau perbuat.”
Aku hanya tertunduk dan tak mau lagi
melihat gambar yang merekam jejakku itu.
“Baiklah saya hentikan, “ dengan
bijak ia memenuhi permintaanku, “Setidaknya aku telah membuktikan, bahwa segala
sabda dan firman Tuhanmu yang pernah kau ragukan benar adanya. Wahai manusia
yang bernama Mahardhika Adil Bilarata alias Budi Pekerti Luhur alias Adilla
Dibumi alias Sangkan Paraning Nyawa, apakah kau masih teguh berpendirian untuk
tidak mempercayaiNya?”
Aku hanya terdiam tidak menjawab.
Kelu! Hanya mengangguk.
“Justru aku tidak mempercayai apa
yang kau anggukkan, sebab hatimu mengatakan tidak.”
“Lalu dengan apa aku berucap agar
engkau mempercayai kata-kataku?”
“Ucapkanlah ulang kalimat Syahadat
dengan tulus dan ikhlas. Agar lebih sempurna pertaubatanmu. Jalankah
perintah-perintahNya. Jauhi larangan-laranganNya yang pernah kau perbuat semasa
di bumi.”
Aku tertunduk tak berdaya. Tubuhku
melemah, lunglai. Yang kulihat membuat ku malu pada diri sendiri. Dan cahaya
yang bersuara itu telah menulis, mencatat dan merekam semua perbuatanku di
bumi.
“Bukankah kau suka berpetualang?
Ikutlah dengan mereka,” Ia menunjuk dua berkas cahaya yang kemilau, “mereka
akan mengajakmu berpetualang di alam bebas yang di bumi takkan pernah kau
temui.”
Aku pun membuntuti kedua cahaya yang
lagi tak kukenal.
***
Tanpa percakapan, tanpa suara.
Tubuhku terbang lagi. Melesat dengan kecepatan super kilat. Mengitar alam yang
tak pernah kulihat dibumi sebelumnya. Jelas kulihat, sangat-sangat jelas
terlihat, manusia-manusia bersetubuh dengan bidadari dan bidadara. Kenikmatan
duniawi segalanya ada. Sungai-sungai mengalir. Pepohonan buah-buahan yang
merimbun dengan buah-buah yang ranum. Hingga pada sebuah ruang penyiksaan untuk
manusia yang tak kalah keji dan biadabnya di bumi. Tempat dimana
manusia-manusia meringis menahan perih siksaan disana, dihancurkan kemudian
dihidupkan kembali untuk menerima siksa akibat perbuatan mereka. Aku bergidik.
Lalu tiba-tiba badanku tergetar dan
terjatuh di tempat semula aku membaringkan tubuh. Dan cahaya itu sirna tak
berbekas. Lenyap seketika seperti kemunculan pertama. Dan cahaya yang
menyilaukan itu masih membekas nyeri di mataku. Nafasku tersengal, keringat
dingin menetes di pelipisku. Aku mengamati langit-langit ruangan. Ya, aku yakin
ini kamarku. Kucubit lenganku untuk meyakinkan kesadaranku. “Aku belum mati”,
kataku didalam hati.
Muntilan,
-Agustus 2005 dan
dilanjutkan di Jalan Paris, 03 September 2010
(WFY)
NB
- Semula
tulisan ini berjudul, ‘Rekam Jejak si Kecil’ namun setelah di sunting berganti judul
“Kunjungan Imajiner; Kisah Satu Malam”
- Tulisan
ini ditemukan disebuah CD (Compact Dist) yang tak pernah dibuka.
- Terima
kasih buat Septi Melinda yang membantu proses penyuntingan tulisan ini.. Matur
nuwun sanget.
- Tulisan
ini hanya fantasi. Fiktif! Boleh dikatakan, mimpi buruk yang kerap mengusik
tidur nyenyakku.
Catatan Kaki
[1] Pak Aku minta minumnya. Aku haus!
[2] Heh Jangan., kamu masih kecil. Minum susu saja ya?
[3] Halah, Pak! Sedikit saja ya Pak? Aku haus
[4] Weladalah. Anak ini kok membantah. Nanti kepalanya pening
lho. Minum susu saja, ini rasanya pahit. Minum susu saja ya?
[5] Sudahlah, Mas. Dikasih saja nanti kalau tidak doyan juga
dimuntahkan.
[6] Hush! Ini anak kecil. Ngawur!
[7] Halah, kalau tidak doyan nanti ya dimuntahkan, Mas.
Daripada mutung.
[8] Ini. Jangan banyak-banyak minumnya. Dicicipi saja, jangan
ditelan.
[9] Pahit kan? Dibilangin kok ngeyel. Anaknya siapa sih?