Kamis, 22 April 2010

Mimpi dari Surga

“Jadi berapa usiamu, Nak?” suara itu terdengar tak asing lagi bagiku. Arah suara itu beradadibelakangku. Tanpa menoleh kujawab “Hampir 25, Pak!” aku masih memandang berseliweranikan-ikan di kolam kaca. Suara itu sama sekali tak memecah konsentrasiku, tak sedikit pun kulepaspandangan mata pada warna-warni ikan dari balik kaca bening. Rasa-rasanya aku inginseperti ikan-ikan yang bebas berenang di luasnya samudera, tiba di suatu pantai, kembalimenjelma menjadi manusia lalu berjalan di daratan yang maha luas. Berenang dari samuderaHindia hingga Atlantik kemudian berkeliling antasbenua. Itulah khayalanku saat masih berumurbelasan.

“Ehm lalu apa resolusimu menyikapi masa depan?” sembari berdehem ayahku kembalibertanya. Pertanyaan pendek itu sontak membuatku terkejut. Butuh hingga beberapa detiklamanya untuk menjawabnya.


“Entahlah?!” sekenanya saja aku menjawab. Aku tidak tahu reaksi ayah saat mendengar jawaban yang juga begitu singkat. Jawaban yang terlontar tanpa terpikir lebih dahulu. Kuyakin ia pasti terhenyak tak percaya mendengar jawaban itu. Bisa jadi ia kecewa. Aku berharap semoga saja tidak.


“Janokoku, bapak tidak mengarahkanmu untuk menjadi apa? Kuberi kebebasan kepadamu untuk menjadi apapun itu dan Bapak akan selalu mendukung apa yang kamu pilih” suara bijak dan tegas itu dikatakannya padaku. Aku hanya mengangguk, mengiyakan wejangan-wejangan darinya. “Sekalipun kau ingin mewujudkan cinta-citamu semasa kecil dahulu, sebagai seorang ayah pastinya aku mendukung. Apapun profesi itu yang penting halal dan tidak merugikan orang lain” tuturnya melanjutkan nasehat yang terputus di sela anggukan kepalaku.


Aku hanya menunduk. Sesekali mengulum senyum mendengar nasihat beserta dukungan dari ayahku. Sembari mengoreksi kembali ingatanku pada masa kecil. Sebuah cita-cita ingin berkeliling Nusantara, menjelajah dari pulau ke pulau dan dari benua ke benua. Cita-cita yang pada anak seusiaku, dimasa itu, emoh untuk dicita-citakan. Sebuah cita-cita yang tak kesemua teman-teman sebayaku menghendaki.


Kupalingkan badan tepat didepan ayah. Ayahku dengan senyuman terus memandang. Terlihat ia sudah mulai renta. Rambutnya memutih, jenggotnya pun beruban. Wajahnya lambat laun mengeriput dan pucat. Sedang di lehernya terbebat syal. Kuamati setiap jengkal tubuhnya, ia kelihatan tak lagi muda. Seketika terlintas di pikiranku, kelak aku pun akan mengalami seperti dia. Siklus manusia. Lahir-tumbuhkembang-hidup kemudian mati. Sangkan paraning nyawa, orang Jawa bilang.
***


Percakapan itu terjadi mengalir begitu saja, layaknya percakapan antara ayah dan anaknya. Diceritakanlah pengalaman panjang yang pernah dialami. Dari usia anak hingga remaja dilaluinya dengan masa-masa sulit, sesulit kondisi ekonomi keluarga dan politik pada jamannya. Pada masa mudanya, ia kemudian memilih untuk merantau. Jalan yang ditempuh inilah satu-satunya harapan untuk menyambung kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Di perantauan, pada kemudian hari bertemu dengan seorang gadis dan menikahinya sampai pada usia senja. Begitulah cerita singkat jalan hidup beserta lika-likunya.

Di akuinya, ayahku adalah seorang laki-laki yang romantis, dan ibuku mengamini. Ayahku juga sosok laki-laki yang berwibawa dan cukup disegani. Hingga kini masih banyak teman-teman karibnya yang masih bertandang ke rumah, walau hanya sekedar bertamu dan menyambung silaturahim atau sekadar mengobrol dan bertukar pikiran dengan ayahku.

Namun untuk urusan gadis dan percintaan, ayahku sempat di nobatkan sebagai pemuda playboy. Pendekar Pemetik Bunga, jika boleh aku memberikan julukan kapadanya. Julukan itu juga diakui oleh ibuku, sebab semasa ayah belum mengawini ibu. Ia kerap bergonta-ganti pasangan dalam menjalin kisah asmaranya. Hingga pada suatu ketika ia pun menambatkan hatinya kepada ibuku tercinta. Pernah kutanyakan mengapa ia bergonta-ganti, hinggap pergi lalu hinggap lagi? Apa sebab berkat ketampanan atau malah memang itu tabiatnya? Ayahku hanya tersenyum dengan pertanyaan itu. Dengan kalem dan bertanggung jawab ia menjawab “Bapak, bukan bergonta-ganti pacar anakku. Sama sekali tidak ada niatan untuk menyakiti hati perempuan yang dulu pernah bapak dekati. Sama sekali tidak! Pendekatan yang dilakukan bapak, semata-mata hanya untuk mencari pasangan hidup yang tepat. Hingga tepat pilihan itu jatuh pada ibumu” aku hanya tercenung mendengar uraian panjang yang dijelaskan olehnya. “Begitulah, bapakmu! Apa yang beliau katakan semuanya itu benar” ibuku menyahut dari belakang dan kami pun saling melempar senyum.

Itulah sekelumit cerita tentang seorang ayah. Dimataku, selalu saja aku memaksakan diri untuk menjadikan diri seperti dia. Dalam hidupku, aku mengidolakannya dan bagiku tak ada peran yang dapat menggantikan dirinya. Dialah pahlawanku.

***


“Ehm…Ehm” entah yang keberapa kali aku mendengar ayahku berdehem. Aku tidak begitu menghiraukan suara itu, dan aku masih duduk di tempat semula, terus mengamati ikan-ikan yang terpenjara di dalam ruang kaca. Hanya diam dan termangu, tak ada sesuatu yang terpikirkan. Ayah masih memandangiku. Kali ini juga ia melakukan hal yang sama denganku. Berdiam diri tanpa kata.

Tiba-tiba aku teringat pada diriku sendiri, pada usiaku yang tak lagi remaja. Bahkan bisa dikatakan aku sudah menginjak dewasa. Dewasa? Hah apa itu? Apakah seiring bertambahnya usia? Ataukan sebab pola pikir manusia yang sedikit lebih maju berorientasi kedepan? Pola pikir manusia yang terencana dalam menapaki kehidupan tanpa ketergantungan orang tua? Yah aku telah dewasa, boleh dikatakan seperti itu.

“Ehm” sekali lagi ia berdehem, kali ini deheman terdengar lebih keras. “Apa yang kau lamunkan, Nak?” kembali bertanya seraya memandangku lekat-lekat. Aku masih bergeming tak mengeluarkan suara. Didalam hati terasa sesak yang tak tertahan, serasa paru-paru saling bertubruk, berhimpit dan bergesekan. Sedang di kepala sudah berjubal bermacam-macam pikiran dan terasa ingin meledak. Namun mulutku tak mampu mengucap. Andaipun berkata-kata entah memulai dari mana? Seakan begitu sulitnya mengucapkan rangkaian kata yang ingin segera kumuntahkan. Aku masih terdiam.

“Bicaralah Nak! Katakanlah, sekalipun emosimu meluap bicaralah!” Ayah kembali bertanya dan aku masih seperti semula, hanya diam yang dapat kulakukan.

Kupandangi wajah ayah, dia hanya membalas dengan senyuman. “Bicaralah, Nak. Bukankah katamu diam bukan lagi emas?!” katanya dengan suara parau. Aku bingung akan memulainya dari mana, kutatap ayah lekat-lekat. Tak berasa mataku menitikkan bulir-bulir airmata begitu deras dan semakin tak terbendung. Ayah hanya diam lalu melihatku iba. Sepertinya ia hendak menyeka airmataku, tapi terburu kuseka olehku.

“Entah takdir apa yang memaksaku untuk melakukan seperti yang kulakukan saat ini” kataku menahan sesak yang berkecamuk hebat di dalam dadaku. Aku memulai berbicara, rasa-rasanya hidupku tidak seperti apa yang bapak dan ibuku harapkan. Ketika aku yang pernah kau timang. Aku masih ingat, ingat betul pada dongeng-dongeng, yang kuanggap itu sebagai harapanmu. Dan kini, aku tak mampu mewujudkan dongeng-dongeng itu. Kutakut kau dan juga ibuku yang selalu kucintai tak pernah merasakan kebahagiaan yang kalian harapkan dariku. Aku merasa belum mampu membahagiakan kau dan juga ibuku tercinta.

Mendadak mulutku tercekat, tak mampu lagi melanjutkan kata-kata. Airmata mulai mengucur deras tak henti-hentinya. Sesak yang menghimpit dada kian terasa menyakitkan dan membuatku terasa susah untuk bernafas. Kutundukan kepala dan membenamkan dengan kedua telapak tangan. Aku bergumam didalam hati “bodohnya aku”

“Anakku, kau tidak sedang membuat takdir. Itulah hidup. Terkadang tidak seperti apa yang kita harapkan. Dan percayalah Tuhan telah merencanakan jalan yang terbaik untukmu” ujar ayahku menebar senyum. Kedengarannya begitu teduh, sungguh menyejukkan hati.

Aku masih menahan isak. Kepala yang berjubal dengan bermacam pikiran, perlahan mulai terurai. Bagitu plong setelah mendengar nasehat yang baru saja kudengar. Aku tak menyangka, ayah yang dalam pikiranku seorang ayah yang kejam, bisa juga mengeluarkan kata-kata sebijak itu.

“Tapi mengapa Tuhan mentakdirkanku semacam ini? Tak adakah pilihan lain yang lebih baik untukku?”

“Tidak anakku! Percayalah, Ayah juga pernah mengalami nasib serupa denganmu. Disorientasi itu adalah bagian dari pendewasaan pola pikir kita sebagai manusia. Dan ketahuilah Tuhan maha adil nan bijaksana!”.

Aku hanya mengangguk mendengar petuah-petuahnya. Tak sepatah kata yang terucap. Ingin rasanya mengucap tapi, namun aku tak kuasa untuk berbantah kata mencari kebenaran atas dogma dan takdir omong kosong. Aku tak mau, atau mungkin belum mau megakui segala cerita tentang takdir. Aku tak mau melukai hati dan keyakinannya.

“Dan laluilah jalan itu. Niscaya, kaupun akan menemukan kebenaran!” suara ayah terdengar untuk yang terakhir kali. Dan iapun beranjak pergi, menghilang dari balik pintu tanpa berucap selamat malam untukku. Aku tercenung, masih melihat ruang kaca yang berisi air dan ikan-ikan yang masih berkitar-kitar.

***


Ash-shalatu khairum minam-nauum”. Dari kejauhan terdengar muadzin menyeru seperti itu sebanyak dua kali. Lalu disambung dengan kalimat takbir dan diakhiri dengan kalimat tahlil satu kali. Sepertinya subuh telah tiba.

Pagi akan segera menjelang. Kabut sudah mulai turun, embun membasahi bunga-bunga yang akan bermekar. Tak terkecuali, hawa dingin merasuk sampai sum-sum tulang dan terasa menggigil ditubuhku. Aku menyembunyikan tubuh mencari kehangatan dibalik selimut.

Suara adzan yang terdengar beberapa menit yang lalu tidak kugubris. Kuanggap itu sebagai angin lalu saja, sebab aku sama sekali belum tertidur nyenyak. Gumamku dalam hati, kutahu aku seorang Mukallaf, aku ingat itu. Aku betul-betul sadar akan posisiku sebagai seorang muslim. Tapi terus terang aku belum mau melaksanakan seperti mukallaf pada umumnya. Aku tak tahu apa sebab semua itu. Mungkin yang kulakukan ini adalah bagian dari takdir yang sudah digariskanNya? Andaipun iya, kuharap pada akhirnya akan menjadi seorang yang benar-benar mukallaf seperti seorang muslim yang lain.

Matahari perlahan mulia menyinar. Terlihat terang berwarna jingga kemerah-merahan. Sinarnya perlahan menembus masuk dari balik celah tirai jendela, tepat menerpa wajahku. Kubuka mata perlahan-lahan, terlihat cukup menyilaukan mata. Kubalikkan tubuhku dengan posisi tengkurap, kulakukan alih-alih menghindar dari kilauan mentari pagi. Namun, sekali membuka mata, rasanya sulit untuk memejamkannya kembali. Saat itu juga aku terbangun dari tidur tapi tubuh masih merebah di ranjang. Begitu malas untuk segera beranjak dari pembaringan.

Menatap langit-langit kamar. Kembali mengingat kembali apa yang terjadi semalam. Aku betul-betul terlupa. Antara realita dan ilusi hanya berbeda tipis. Benarkah ia hadir dan berkomunikasi denganku? Apakah benar ia menemuiku didalam mimpi?

Ya… Ya.. aku benar-benar teringat kejadian semalam. Ia betul-betul hadir dan menemuiku di dunia imajinasi. Tapi mengapa ia baru kali ini datang menemuiku? Kemana saja bung? Ah mungkin saja ia baru diberi kesempatan dan diijinkan untuk menemuiku. Aku sedikit menghibur.

Ya…Ya.. Aku ingat! Begitu jelas! Didepan sebuah akuarium aku bercakap-cakap dengannya. Aku memalingkan muka tepat didepan sebuah rak buku. Terpampang sebuah potret berpigura hitam. Kupandangi foto itu sembari sesekali mengumbar senyum sinis. Kuyakin, andai saja foto itu hidup, pasti ia pun akan membalas senyumanku. “Huh.. kau begitu tega dan jahat!” aku menggerutu dengan bercanda.

Kukepalkan tangan, menengadah ke langit-langit dan mengucap doa. Tenanglah dalam damai disana. Semoga kelak, kubisa menemuimu di alam yang sama. Entah dimanapun itu. Salam hangat dari ananda. Amien. Aku menutup doa.



Yogyakarta, 04 Januari 2007

(WFY)

Selasa, 20 April 2010

Lelaki Lelakoning Urip*

Aku tak pernah menyangka bila kau berbuat senekat ini. Benar-benar tak mengira. Sungguh! Kupikir kau menceritakan semua itu hanya sekadar guyonan saja. Awalnya aku tidak mempercayai semua yang kau katakan, tapi setelah kau perlihatkan dokumen bergambar kepadaku. Aku kaget bukan kepalang. Benarkah dengan semua yang kau lakukan? Hingga detik ini, kulihat fotomu, aku baru menyadari jika kau senekat itu. Kau benar-benar gila!

Sudah lama aku mengenalmu. Aku mengenal ketika kau pertama kali baru belajar menghisap ganja, -disebuah gubuk tua samping rumahmu. Saat itu, kau masih terlihat malu-malu sedang menenggak Vodka atau menghisap lintingan ganja. Seperti bocah yang baru merdeka, kau meneriak histeris, “Kebebasan! Aku bebas. Aku bebas! Inilah duniaku. Liberte!”. Dasar bocah pikirku waktu itu.

Kau selalu mencoba-coba dengan apa yang kita sebut sebagai barang laknat. Dan bodohnya, kau mau saja saat aku menawari pil setan dan sabu keparat, hingga kau semakin kecanduan dengan barang pemberianku. Aku menyesali perbuatanku. Rasanya ingin sekali aku meminta maaf. Tapi entah mengapa mulutku tersumpal, seperti ada batu cadas yang mengganjal, tak mampu mengucapkannya. Aku telah memberimu dosa! Dari dari mana aku memulai kata maaf. Aku bingung dan kau limbung.

Aku hanya bergeleng kepala dengan semua yang kulihat dan kau ceritakan tentang kisahmu. Kau begitu menggebu bercerita, seolah kau telah menuliskan hidupmu dalam catatan harian dan membacakannya ulang dari awal. Aku begitu bersemangat mendengar kau bercerita. “Tidak semua orang bisa sepertimu kawan!” aku memuji. Kau hanya tersenyum datar mendengar sanjunganku. “Ck..Ck..Ck Benar-benar fantastis. Spektakuler!” aku berdecak. Sedang kau masih melanjutkan cerita dan tak memberiku jeda untuk bertanya. Aku masih menyimak ceritamu.

“Kau tidak sedang mabuk kan?!” aku menghentikan mulutmu yang terus ceracau, bercerita tanpa henti. “Tidak! Sama sekali tidak? Aku sudah berhenti hampir empat tahun yang lalu!” kau tersenyum menjawab pertanyaanku. Sejujurnya aku tidak mempercayai pengakuan itu. Setahuku untuk melepas kecanduan benar-benar sangatlah susah. Mustahil bagi pecandu sepertimu!

“Santai bung, kau tak perlu mempercayai kata-kataku. Semenjak gempa melanda kota kita, aku berhenti mengkonsumsi barang yang sama seperti pertama kali kau tawarkan padaku! Benar katamu dulu, susah melawan racun yang telah lama mengendap di tubuh!” kau menjelaskan kepadaku.

“Baguslah kalau begitu! Hmmmm kau berhenti, bukan karena harta bendamu terkuras habis untuk membeli benda laknat itukan?” tanyaku.

“Salah satunya Iya!” jawabmu. Kamipun tertawa.

Kuperhatikan kamarmu sama sekali tidak ada benda berharga. Hanya tumpukan buku yang tak tertata rapi. Berbeda dengan dahulu, jika dibandingkan dengan kamarku, kamarmu lebih mewah dengan perabotan beserta aksesorisnya. Kini yang tersisa hanya ada ratusan buku menjadi satu-satunya barang mewah yang jadi penghias kamar. Yang kutahu, sedari dulu, kau memang gemar membaca buku-buku bertemakan sosial dan budaya. Sekarang, justru novel-novel cintalah yang mendominasi deretan rak buku di kamarmu.
***

Terlihat badanmu sudah kurus kering. Tulang-tulang kelihatan menyembul di permukaan kulit. Celana yang kau kenakan kedodoran dan selalu terikat kencang dengan sabuk. Kuamati di sekujur tubuh terlihat perubahan yang sangat mencolok. Tubuhmu yang berajah kian hari semakin menjamur. Awalnya hanya bergambar kupu-kupu di betis kaki sebelah kanan, berjalannya waktu, menjalar hampir menutupi lengan dan punggungmu.

Di punggungmu terlukis tato huruf Arab gundul; Alif, Nun, Ta, Fa, Dha dan Ha. Dan masih banyak lagi tato di punggungmu. Bukan hanya itu, di atas pantatmu, ada sebuah tato mungil bergambar kompas dengan segala petunjuk arah. Sedang di lengan kanan berajah sebilah bambu dengan angka-angka yang tak pernah kutahu makna angka itu. Pernah kutanya apa makna angka-angka itu? Kau hanya menjawab, angka keberuntungan. Sembari berkelakar katamu, kau pernah memasang togel dan memenangkannya.

Rajah-rajah penuh dengan simbol, aku tak begitu tahu makna apa yang ada di tubuhnya. Jika kupu-kupu pernah kau ceritakan filosofinya. Konon katamu, kupu-kupu itu sebagai simbol perdamaian. Hanya itu yang aku tahu, sedang makna lain rajah tubuhmu aku tak tahu. Dan hingga kini obsesi yang belum juga terlaksana yaitu ingin merajah dadamu dengan gambar dirimu sendiri yang tersalib persis seperti Yesus. Tubuhmu sudah tinggal tulang dan tahi. Aku bergumam.
***

Lamanya waktu yang telah memisahkan kita begitu terasa cepat. Sampai-sampai aku tersadar bahwa usia tak lagi muda. Di antara kita telah disibukkan dengan rutinitas yang telah dijalani. Walau stagnan, tapi jaman telah menggiring pada kenyataan yang tidak kita kehendaki. Ruang dan waktulah yang telah memisah kita. Memisahkan gerak kita hingga seperti ini. Harusnya kau ceritakan semua yang indah-indah, tentang cinta, tentang rindu, tentang gunung-gemunung atau tentang apa sajalah yang menakjubkan. Bukan bercerita tentang roda nasib yang tak pernah berhenti berputar. Hingga menimbulkan amarah dendam dan kutukan.

Tidak perlu lagi mengumpat. Tapi terserah saja, lakukan semaumu, itu hakmu. Aku tak akan pernah melarangmu. Tapi tidak baik juga jika terus-terusan menyesali sesuatu yang telah dilewati. Mestinya kau jadikan pembelajaran hidup yang akan datang. Tapi terserah saja, lakukan sesukamu jika memang itu pilihan terbaik bagimu atau lebih baik lanjutkan ceritamu.

Masih ingatkah, ketika kita pertama kali menghisap ganja? Katamu laksana hidup di Surga. Banyak gunung-gemunung yang menjulang. Angin semilir membuat mata terkantuk-kantuk lalu tertidur bergumul bersama para bidadari-bidadari. Itulah imajinasi yang tak pernah ada dalam realita. Hanya ilusi. Namun pada perjalanan waktu kaupun bisa mempraksiskan apa yang ada dalam fantasimu. Kau telah melakoni semuanya. Dari ujung barat hingga timur pulau Jawa gunung-gemunung itu telah kau jelajahi.

Tapi ketahuilah, justru aku sangat bersalah ketika pertama kali aku menawari dan mengiming-imingi lintingan ganja kepadamu. Itulah dosa terbesar yang pernah aku lakukan kepadamu. Kucekoki kau dengan segala khayalan yang aku ciptakan, yang belum tentu aku bisa mewujudkannya. Sungguh aku sangat bersalah jika mengingat hal yang pernah kulakukan kepadamu. Benar katamu andai roda nasib bisa berputar mundur, aku akan membatalkan niat jahat untuk meracunimu.
***

“Bung kuberi tahu sesuatu kepadamu!”
“Apa itu?” kataku
“Apa kau bisa merahasikannya?”
“Jika maumu begitu, aku bisa!” jawabku yakin.
“Aku masih mempercayaimu, Bung”.

Kau menceritakan secara mendetail semua kisah yang pada masa lampau yang telah di lalui. Saking semangatnya bercerita, kulihat kau tak merasa mengucurkan bulir-bulir airmata. Airmata kesedihan, airmata keharuan berpadu dengan jalan hidup yang telah kau tempuh. Kau ceritakan semua tanpa ada sesal sedikitpun, begitu gamblang sesuai alur dan runtutan peristiwa pada masa itu yang telah terjadi.

Kutahu kita sudah lama terpisah. Kau sibuk berkelana entah kemana, sedang aku melakukan hal yang sama entah kemana pula. Aku selalu menyebut pekerjaanku sebagai pekerjaan membunuh waktu. Bekerja dengan cara mengukur jalan. Kuyakin kaupun masih ingat dengan apa yang kita pernah sama-sama lakukan dulu. Pasti kau pun masih marasakan dan mencari esensi diri dan sampai pada akhirnya menempuh dengan cara dan jalan masing-masing dalam mengarungi kehidupan di dunia ini.

Aku mendengarkan semua yang kau ceritakan, tanpa sedikitpun memotongnya. Aku memberi kesempatan untuk bercerita hingga titik akhir cerita yang ingin disampaikan. Aku menyimaknya hingga aku juga turut merasakan empati yang sama. Seperti biografi kau ceritakan jalan hidupmu.

Pernah kita sama-sama susah
Terperangkap di dingin malam
Terjerumus dalam lubang jalanan
Di gilas sang kaki yang sombong
Terjerat mimpi yang indah
Lelah...

Radio yang sedari tadi kustel terus mengalun. Suaranya pelan, hingga larut dengan suasana seperti lagu yang di putar.

Pernah kita sama-sama rasakan
Panasnya mentari hanguskan hati
Sampai saat kita nyaris tak percaya
Bahwa roda nasib memang berputar
Sahabat masih ingatkah kau

Sementara hari terus berganti
Engkau pergi dengan dendam membara
Di hati...

Cukup lama aku jalan sendiri
Tanpa teman yang sanggup mengerti
Hingga saat kita jumpa hari ini
Tajamnya matamu tikam jiwaku
Kau tampar bangkitkan aku sobat


Lantunan lagu Iwan Fals yang berjudul “Belum Ada Judul” menghentikan cerita yang kudengar. Terlihat kau melamun setelah menikmati senandung lagu yang telah selesai di putar. Diam dengan tatapan nanar seraya ikut mendendangkan lagu itu secara pelan, hingga bait terakhir. Kaupun mengulum senyum setelah mendengar dan menirukan lagu yang tak berjudul itu.

“Aku suka lagu itu!” kau memulai lagi pembicaraan sembari menunjuk sebuah radio. “Ya aku suka sekali!” sembari teranggut-anggut.

“Kenapa dengan lagu itu?” tanyaku.
Kau tak segera menjawab pertanyaanku. Kau hanya bergeleng kepala namun mulut mencoba menyanyikan kembali lirik-lirik lagu yang tidak kau hafal. “Bahwa roda nasib memang berputar” kau lantunkan kembali lagu itu. Nyanyianmu hampir-hampir tak terdengar, begitu lirih. “Sahabat masih ingatkah kau” Dan kaupun tampak menghayati kisah si pembuat lagu itu.

“Ehm ada apa dengan lagu itu? Nampaknya kau begitu menjiwai!” aku berdehem mengulang pertanyaan yang sama.

“Oh gak. Tidak ada apa-apa” Kau terkejut dengan dehemanku. Tampak gugup dan berusaha menyembunyikan kebingungan. Aku hanya tersenyum melihat raut wajahmu yang memerah.

“Lagu itu bagus. Bagus sekali. Aku suka!” sedikit berkomentar. Kau sepertinya ingin mengatakan sesuatu tetapi tidak jadi.

“Aku juga suka dengan lagu itu”

“Pahamilah lagu itu? Inikah makna persahabatan? Yah memang roda nasib memang terus berputar” Kau memecah keheningan.

“Begitulah roda!” aku menjawabnya dengan kelakar.

Tentang roda, aku sudah berkali-kali mendengarnya. Tapi kemudian kau menambahkan, terkadang kebingungan itu muncul tiba-tiba. Kemana kakiku melangkah? Jalanku semakin banyak, dan aku merasa bingung menentukan arah. Apakah aku harus berbelok ke kanan atau ke kiri? Ataukah aku terus malaju ke depan atau bahkan mundur ke belakang? Sebelum aku melangkahkan kaki pertamaku, sepertinya rintangan selalu menghadang. Aku rasa sepertinya untuk berdiri pun aku tak mampu. Lalu jika keadaannya seperti ini, apa yang mesti aku lakukan?

Sebilah belati yang semula tergeletak di meja kau pungut, dan kemudian di ayun-ayunkan seperti sedang bermain double stick. Ingin rasanya aku melarangmu bermain belati itu, tapi aku takut kau malah memarahiku. Aku membiarkanmu. Kupikir dengan sebilah belati yang kau mainkan akan membuatmu merasa tenang dan berkonsentrasi mengeluarkan semua isi kepala yang tertimbun dan belum bisa memuntahkan. Tapi setidaknya aku selalu waspada jika kau berlebihan atau akan melakukan sesuatu terhadap tubuhmu dengan belati itu.

Bulir-bulir air mata yang tanpa kau seka, melintasi pipimu telah mengering dengan sendirinya. Wajahmu bermuram durja. Wajah-wajah penuh amarah, dendam dan penyesalan. Pikiran-pikiran yang tak pernah kau luapkan akhirnya kau tumpahkan juga. Dan dikamar inilah, kamar yang sama seperti sepuluh tahun yang lalu, ketika kau pertama kali dengan malu-malu menghisap ganja bersamaku.

Tampaknya, kau begitu menyesali dengan segala perbuatan pernah kita perbuat. Andai saja aku tidak membujukmu, waktu itu, aku yakin kaupun tidak akan terjerumus pada penyesalan. Di sisi lain kau tampak menyimpan amarah, mungkin juga terhadapku, dan dendam yang tak pernah kau lampiaskan. Dendam yang kau tanam di dalam hati. Dendam yang kian hari kian menggumpal seiring berjalannya waktu.

“Tak kusadari juga, selama ini aku selalu di kelilingi orang-orang munafik. Bermuka dua dan penuh dengan kepuraaan. Ah sok-sokan misterius pula!” kau terhenti sesaat, menggaruk-garuk kepala. “Sepertinya aku dituntut untuk pandai bermain dua peran? Yah paling tidak harus bisa kompromi” kau terhenti lagi, menyulut rokok dan menghisapnya dalam-dalam. “Dan Aku menyerah?! Kupikir apa yang selama ini aku idealkan tidak semudah apa yang aku bayangkan. Jalan yang berkelok, dan tak ada kejelasan dimana harus berlabuh. Nampak Samar! Kau ke kanan sedang aku ke kiri. Bagaimana bisa sepaham dan sejalan? Tidak bisakah berkompromi?”.

“Begitulah hidup” aku menjawabnya dengan bercanda.

Kau hanya tersenyum mendengar jawabanku. Kembali pada keheningan dan saling terdiam. Sepertinya masing-masing, di antara kita, sedang mengevalusi diri. Inikah arti sahabat? Aku hanya menyikapinya sebagai kehendak jaman, takdir sejarah. Mari mengintropeksi diri.
***


Kulihat kau sedang asyik menikmati sebotol vodka yang kau ambil dari ransel hitammu yang lusuh. Ransel yang selalu setia menemanimu melanglang keberbagai penjuru negeri. Kau teguk dan mencecapnya, kau selipkan sebatang rokok disela bibir yang menghitam. Menyulut, menghisap, menghembuskan ke udara dan menjentikkan abu rokok ke dalam asbak. Meneguk dan menghisap lagi. Jari jemari kau ketuk-ketukan diatas meja. Sesekali bernyanyi dengan lagu sama yang baru di putar di radio.


Lalu kau pandangi aku lekat-lekat. Sorot matamu terlihat ada tanda-tanda kegelisahan. Matamu ingin mengatakan sesuatu, tapi mulut tak mau menangkap sinyal-sinyal yang terpancar dari mata yang hendak berbicara. Kau terus menatapku kosong, tanpa arti. Namun bibir sesekali terlihat menyungging senyum. Sementara aku hanya diam mencoba untuk tidak memulai pembicaraan. Sengaja aku lakukan agar kau mau memulainya. Aku memberimu kesempatan untuk melanjutkan cerita.

“Sejenak Kau menepi.. Bersandar pada asa.. kemudian bergerilya…” Kau lirih mengatakannya.

Sepertinya kau masih ingat dengan puisi-puisi yang pernah kita baca di jalanan. Puisi yang tercipta tanpa sengaja tatkala mulut-mulut meracau terpengaruh alkohol. Aku tersenyum mendengar kata-kata yang tak pernah di kumandangkan begitu lama. Lantas aku pun menjawab; Kan kuajak dirimu berkelana agar kau tak sebatang kara!

Aku terdiam. Saling pandang, dan kita pun tergelak. Kau merebahkan tubuh di ranjang dan berucap selamat tidur. Aku masih ingin melanjutkan mimpi. Aku ingin mewujudkannya dan kini aku sedang merencana, katamu sambil memejam mata.



Di kaki Gunung Ampon, 31 Maret 2010
(WFY)

Keterangan
* Tulisan ini tidak layak baca,sebelum membacanya sediakan kantong plastik apabila sewaktu-waktu ingin muntah...