Kamis, 09 September 2010

Kunjungan Imajiner; Kisah Satu Malam


“Hem sudah larut malam”, gumamku. Aku segera beranjak dari ruang tamu dan memasuki kamar. Kubersihkan kamar dari serakan koran yang sesiangan kubaca. Selesai bersih-bersih dan tampak tertata rapi, aku merebahkan tubuh diatas kasur.
Sebelum mata benar-benar terpejam, aku menyempatkan membaca buku yang lama kutamatkan. Sebuah buku yang hampir-hampir jarang aku baca, “Anda Bertanya Islam Menjawab”. Kalau boleh aku berkesimpulan lebih dini dari buku yang belum kelar kubaca, buku itu menjawab segala persoalan kehidupan di dunia dan akhirat dalam perspektif Islam. Apapun pertanyaan mengenai kehidupan dijawabnya dalam buku itu. Sebuah buku yang tebalnya minta ampun, kamus bahasa Indonesia pun sepertinya kalah tebal.
Kantuk mulai menggelayut di mataku. Kulipat halaman terakhir yang sudah aku baca. Lipatan itu sebagai tanda halaman terakhir, siapa tahu esok atau suatu saat nanti aku masih ingin membacanya.
Menjelang tertidur, sempat aku membayangkan dan teringat obrolan ibuku diruang tamu sebelum aku beranjak ke kamar. “Seandainya saja ayahmu masih hidup. Mungkin kau tidak menjadi seperti ini.” kata Ibuku. “Mungkin saja, Bu” jawabku. “Eh namanya takdir, semua orang tidak bisa menebak.” Lanjut ibuku. Aku hanya tersenyum mengangguk, mengiyakan perkataan ibuku.
Sebenarnya aku sangat enggan membicarakan orang-orang yang telah tiada. Apalagi mereka ulang setiap kejadian dari seorang ayah yang begitu tega meninggalkan istri beserta anak-anaknya. Salut untuk ibuku tercinta yang berjuang seorang diri dan tanpa lelah merawat dan membesarkan kedua anaknya.
***

Ingatanku mundur kebelakang. Disebuah loteng. Saat itu, ayah sedang berkumpul dengan keluarganya dalam acara pesta pernikahan pamanku -adik ayahku. Prosesi pernikahan yang digelar begitu mewah dan bergaya Eropa. Prosesi yang tak luput dari senandung nyanyian dan puji-pujian berpengharapan untuk kedua mempelai.
Aneka minuman mulai dari teh, minuman bersoda hingga beraroma alkohol disediakan untuk para tamu undangan. Tak terkecuali ayahku pun turut serta menikmati minuman soda berwarna hitam. Jika kueja huruf yang ada dikemasan botol itu; Bir hitam bermerk –GUINNESS-. Walau aku belum bersekolah, aku sudah hafal abjad A sampai Z dan sedikit-sedikit bisa mengeja dan membaca. Ibukulah yang mengajariku hafalan abjad per abjad.
Aroma wangi yang menelisik hidungku membuatku tertarik untuk mencicip dan mencecap minuman yang diminum oleh ayah dan handai taulannya itu.
Pak, aku njaluk mimike. Ngelak aku.[1]” aku meminta dan beralasan.
Heh ojo, kowe iseh cilik. Mimik susu wae ya?[2]” kata ayahku sembari menunjuk susu kotak dalam kemasan.
Halah, Pak! Sithik wae. Ya, Pak? Ngelak aku.[3]” aku merengek.
Weeladalah. Cah iki kok ngeyel tho. Mengko sirahe mumet lho! Mimik susu wae, iki rasane pahit. Susu wae ya sing manis?[4]” bujuk ayahku.
“Haaaah Bapak pelit.”
Akupun ngambek dan menabok-nabok paha ayahku. Untuk menenangkan rengekanku yang manja, ayah dengan berbagai cara merayu untuk tidak meminum apa yang diminumnya. Aku masih ngambek dan mogok bicara.
Wis tho, Mas. Dikei wae mengko lak nek ora doyan yo dilepeh[5]” kata pamanku sambil tertawa.
Hush! Cah cilik iki. Ngawur wae![6]” tegas ayahku.
Halah, nek ra doyan yo mengko dilepeh, Mas. Daripada ngambul?[7]” sanggah adik ayahku.
Akhirnya dengan berbagai pertimbangan, ayahku mau menuangkan sedikit minumannya ke gelas yang kosong, mungkin jika ditakar kira-kira satu seloki.
Nyoh iki.. ojo akeh-akeh le ngombe. Dicicipi wae, ojo ditelen[8]” sodor ayahku sambil meminumkan minuman berwarna hitam itu ke mulutku.
“Kok Pahit, Pak?!”
Pahit tho.. Dikandani kok ngeyel. Anake sopo tho?[9]” kata ayahku sembari mengangkatku tinggi-tinggi dan menciumiku.
Anake bapaklah.[10] kataku.
Paman-pamanku yang lain tertawa terpingkal melihat kelakuan dan komentarku sehabis meminum bir. Sejak kejadian itu, mungkin diusiaku yang ke 5, aku pertama kali mencicip dan mencecap rasanya minuman keras. Dan itulah dosa terbesar yang pertama kali aku lakukan, walau dosa itu masih ditanggung kedua orangtuaku. Maaf aku telah memberimu dosa, ayah, ucapku dalam hati.
***

Tiba-tiba tubuhku melesat, seperti ada yang menarik dan menyeretku terbang. Tubuhku ringan seperti kapas, terombang-ambing tertiup angin. Semakin tinggi. Tinggi sekali! Menerobos pecahan meteor, melewati matahari bahkan gugusan bintang. Sedang bumi, dibawah semakin dan semakin terlihat kecil. Semakin jauh! Bumi dan planet lain seperti setitik debu. Aku terbang entah dibawa siapa, entah kemana pula. Mungkin langit ke tujuh.
Tubuhku ringan, melayang-layang melawan gravitasi. Antah berantah. Dunia semakin sunyi, tak seorangpun aku temui. Tak tampak tanda-tanda kehidupan. Sepi sekali! Ribuan gemintang berpendar tanpa batas. Sungguh malam yang menakjubkan. Tapi kutakut takkan kembali menapak di tanah bumi.
Tak lama menikmati indahnya kerlip cahaya. Tubuhku terhempas. Jatuh di tempat sepi tak berpenghuni. Aku tak tahu negeri apa namanya, mungkin seperti yang didalam dongeng, negeri diatas awan, jika benar aku telah menginjaknya. Tapi mengapa aku seorang diri? Dan lagi aku takut mati, di tempat asing ini, sendiri.
Assalamualaikum” suara itu terdengar dari arah cahaya yang berkilauan.
Makhluk apa itu? Aku tidak bisa mengklasifikasikan jenis makhuk yang mengucap salam kepadaku. Tidak seperti yang kulihat di bumi. Ia hanya seberkas cahaya yang nampak di depanku.
Wailakum salam” jawabku tergugup. “Dimanakah aku? Tempat apakah ini?” aku bertanya seiring rasa takut yang mendera.“Selamat datang wahai manusia. Inilah kehidupan dunia akhirat” ia menjelaskan singkat. “Siapakah Tuhanmu?”.
“Allah SWT. Apakah aku sudah mati?” aku menjawab sekaligus bertanya.
“Apa Kitabmu?” ia mengajukan pertanyaan yang kedua tanpa menjawab pertanyaan yang aku sodorkan. Aku semakin takut. Apa aku sudah mati? Bulu kudukku merinding, keringat dingin mulai menjalari tubuhku. Apakah aku benar-benar mati? Apakah ini alam kubur yang diceritakan dalam buku-buku agama? Dengan cara apa aku mati? Pikirku.
“Al-Quran!”.
“Siapa nabimu?”
“Muhammad SAW dan 24 nabi AS sebelum Muhammad”
“Apa Agamamu?”
“Insya Allah Islam. Apakah aku sudah mati?” Tanyaku mengulang.
Namun seberkas cahaya itu tidak memberikan jawaban atas pertanyaanku. Aku semakin gelisah. Apakah aku sudah mati? Pertanyaan itu kuulang-ulang dalam hati. Mengapa Tuhan memanggilku secepat ini? Tapi mengapa Izrail tidak menemuiku. Seandainya iya aku mati, mestinya terlebih dahulu aku meminta izin sejenak untuk menuliskan sebuah surat wasiat untuk orang-orang tercinta. Aku semakin cemas dengan tubuh ini. Tubuh yang tak kuasa bersiap menahan siksa. Mengapa Tuhan tidak memberiku kesempatan untukku beramal soleh? Seketika aku teringat kata-kata ibuku, “Eh yang namanya takdir, semua orang tidak bisa menebak”. Aku semakin pasrah mengikuti irama di kehidupan yang baru ini.
“Mari ikuti saya” Suara itu terdengar lagi.
“Kemana?”
Dan cahaya itu kemudian berjalan pelan. Aku dari belakang menguntit jalannya cahaya itu.
Diajaklah aku pada sebuah ruang berdinding putih, bersih bahkan suci dari segala benda najis dan kotoran. Sebuah ruang yang kurasa lain dari yang lain yang pernah aku temui di bumi. Tidak panas dan juga tidak dingin. Tiada bandingannya di dunia manapun. Dua berkas cahaya keperak-perakan sudah ada didalam ruangan itu.
“Dia disamping kirimu bernama Rakib, sedang yang disamping kananmu bernama Atid”. Cahaya itu memperkenalkan masing-masing cahaya yang ada didepanku.
“Selamat datang, wahai manusia yang bernama Mahardhika Adil Bilarata alias Budi Pekerti Luhur alias Adilla Dibumi alias Sangkan Paraning Nyawa!” sapanya bersamaan.
“Lalu siapakah yang membawaku kemari?” tanyaku masih penasaran dengan apa yang sedang terjadi dan aku alami. Apakah tadi yang membawaku adalah Izrail? Mengapa mereka tahu nama beserta aliasku? Cahaya itu tidak menjawab. Selintas mengucap salam dan berpamit. Datang seketika hilang dari pandangan mata.
“Apakah sudah siap?” Tanya kedua cahaya itu serempak.
“Maksudnya?”
“Duduklah. Posisikan dirimu lebih nyaman” perintahnya.
“Aku pun mematuhi perintah dan menempatkan diri duduk bersila dan menatap kedepan. Lalu dengan sekejap sebuah layar berwarna putih terpampang. Semuanya datang secara sekejap dan tiba-tiba.
“Dan Lihatlah,” lagi kedua cahaya itu berbicara dan memerintah, “itukah kau?”
“Benar itu saya!” jawabku.
“Runtutan peristiwa demi peristiwa mengisah awal perbuatan dengan segala dosa-dosa. Dari pertama mencicip minuman beraroma vodka sampai pertama kali mencicip candu.
“Lihatlah dirimu. Sedari kecil kau sudah mencicip apa-apa yang dilarang oleh agamamu. Beranjak akil baligh kau sudah kecanduan. Setelah akil baligh kau mencandu aneka rupa yang dilarang oleh Tuhanmu. Sepenuhnya kau malah menjalankan larangan dan menjauhi perintahNya.”
Aku terdiam, dalam hati mengucap istigfar yang begitu sulit untuk dilafadzkan.
“Kau disini beristigfar tatkala kau melihat rekam jejakmu yang pernah kau lakukan, sedang kau hampir-hampir tak pernah mengucap istigfar semasa di bumi.”
Aku masih terdiam dan tetap menonton layar bergambar bercerita kilas balik kehidupanku.
“Dan lihatlah polahmu, kau terlihat senang dengan apa yang kau lakukan, seolah kau mengkesampingkan semua ajaran agama yang kau timba sedari kecil.”
Perbuatan semasa dibumi terekam dengan jelas dalam bentuk gambar yang bergerak, persis seperti adegan yang pernah aku lakukan. Sama sekali tak ada rekaan. Dan tiba pada gambar yang menampilkan ketika aku sedang mengutuk nasib dan juga takdir dengan segala sumpah serapah, berpuisi yang tak berpakem, di pelataran sasana laya.
“Cukup hentikan!” teriakku memohon, “Aku malu.” aku memejamkan mata tak kuasa menyaksikan semua kenyataan yang pahit itu.
“Apa? Kau malu? Kau hampir-hampir tak pernah punya rasa malu ketika perbuatan yang kini kau anggap memalukan itu kau perbuat.”
Aku hanya tertunduk dan tak mau lagi melihat gambar yang merekam jejakku itu.
“Baiklah saya hentikan, “ dengan bijak ia memenuhi permintaanku, “Setidaknya aku telah membuktikan, bahwa segala sabda dan firman Tuhanmu yang pernah kau ragukan benar adanya. Wahai manusia yang bernama Mahardhika Adil Bilarata alias Budi Pekerti Luhur alias Adilla Dibumi alias Sangkan Paraning Nyawa, apakah kau masih teguh berpendirian untuk tidak mempercayaiNya?”
Aku hanya terdiam tidak menjawab. Kelu! Hanya mengangguk.
“Justru aku tidak mempercayai apa yang kau anggukkan, sebab hatimu mengatakan tidak.”
“Lalu dengan apa aku berucap agar engkau mempercayai kata-kataku?”
“Ucapkanlah ulang kalimat Syahadat dengan tulus dan ikhlas. Agar lebih sempurna pertaubatanmu. Jalankah perintah-perintahNya. Jauhi larangan-laranganNya yang pernah kau perbuat semasa di bumi.”
Aku tertunduk tak berdaya. Tubuhku melemah, lunglai. Yang kulihat membuat ku malu pada diri sendiri. Dan cahaya yang bersuara itu telah menulis, mencatat dan merekam semua perbuatanku di bumi.
“Bukankah kau suka berpetualang? Ikutlah dengan mereka,” Ia menunjuk dua berkas cahaya yang kemilau, “mereka akan mengajakmu berpetualang di alam bebas yang di bumi takkan pernah kau temui.”
Aku pun membuntuti kedua cahaya yang lagi tak kukenal.
***

Tanpa percakapan, tanpa suara. Tubuhku terbang lagi. Melesat dengan kecepatan super kilat. Mengitar alam yang tak pernah kulihat dibumi sebelumnya. Jelas kulihat, sangat-sangat jelas terlihat, manusia-manusia bersetubuh dengan bidadari dan bidadara. Kenikmatan duniawi segalanya ada. Sungai-sungai mengalir. Pepohonan buah-buahan yang merimbun dengan buah-buah yang ranum. Hingga pada sebuah ruang penyiksaan untuk manusia yang tak kalah keji dan biadabnya di bumi. Tempat dimana manusia-manusia meringis menahan perih siksaan disana, dihancurkan kemudian dihidupkan kembali untuk menerima siksa akibat perbuatan mereka. Aku bergidik.
Lalu tiba-tiba badanku tergetar dan terjatuh di tempat semula aku membaringkan tubuh. Dan cahaya itu sirna tak berbekas. Lenyap seketika seperti kemunculan pertama. Dan cahaya yang menyilaukan itu masih membekas nyeri di mataku. Nafasku tersengal, keringat dingin menetes di pelipisku. Aku mengamati langit-langit ruangan. Ya, aku yakin ini kamarku. Kucubit lenganku untuk meyakinkan kesadaranku. “Aku belum mati”, kataku didalam hati.

Muntilan, -Agustus 2005 dan dilanjutkan di Jalan Paris, 03 September 2010
(WFY)


NB

  • Semula tulisan ini berjudul, ‘Rekam Jejak si Kecil’ namun setelah di sunting berganti judul “Kunjungan Imajiner; Kisah Satu Malam”  
  • Tulisan ini ditemukan disebuah CD (Compact Dist) yang tak pernah dibuka.
  •  Terima kasih buat Septi Melinda yang membantu proses penyuntingan tulisan ini.. Matur nuwun sanget. 
  • Tulisan ini hanya fantasi. Fiktif! Boleh dikatakan, mimpi buruk yang kerap mengusik tidur nyenyakku.


 Catatan Kaki
[1] Pak Aku minta minumnya. Aku haus!
[2] Heh Jangan., kamu masih kecil. Minum susu saja ya?
[3] Halah, Pak! Sedikit saja ya Pak? Aku haus
[4] Weladalah. Anak ini kok membantah. Nanti kepalanya pening lho. Minum susu saja, ini rasanya pahit. Minum susu saja ya?
[5] Sudahlah, Mas. Dikasih saja nanti kalau tidak doyan juga dimuntahkan.
[6] Hush! Ini anak kecil. Ngawur!
[7] Halah, kalau tidak doyan nanti ya dimuntahkan, Mas. Daripada mutung.
[8] Ini. Jangan banyak-banyak minumnya. Dicicipi saja, jangan ditelan.
[9] Pahit kan? Dibilangin kok ngeyel. Anaknya siapa sih?
[10] Anaknya ayah lah.

2 komentar:

Only Digital Binary mengatakan...

ow ternyata pujangga juga si indian ini ... mantab fit!!

Unknown mengatakan...

ah mas Gun bisa aja..a.. jadi malu.....