Sabtu, 21 Agustus 2010

Seandainya Orangutan Bisa Bicara (part VII)

Belantara dalam Berita


“Kukuruyuk… Kok-kok petok… Kukuruyuk” kokok ayam jantan saling bersambut dengan petok ayam betina. Suara ayam yang saling bersahut telah membangunkan saya yang baru saja hidup di dunia mimpi. Baru sekejap mata terpejam saya sudah kembali dihadapkan pada dunia nyata. Sebuah dunia yang mengurung saya dan kawan
satwa sesama Orangutan yang lain.

Mimpi itu belum terangkai sempurna. Adegan terakhir sebelum saya terbangun adalah membina sebuah rumah tangga yang sakinah, mawadah dan warohmah dengan istri tercinta. Membangun biduk rumah tangga dengan rumah mungil di pucuk pepohonan yang rindang, serta menimang anak kembar hasil dari perkawinan dengan sang istri tercinta. Begitu bahagianya kala itu. Sebelum mimpi indah itu dilanjutkan dengan kebahagiaan berikutnya, fajar telah menyingsing dan mimpi itu terpotong oleh kokok-petok sang ayam memecah mimpi.

Sesosok manusia berseragam cokelat berambut cepak sedang piket. Ia terlihat
sedang sibuk membersihkan ruangan kantor yang kotor berserak debu dan puntung rokok. Dengan kewibawaan yang melekat pada seragamnya, ia menjalankan tugas penuh pengabdian. Tanpa pamrih!

Setelah ruangan itu bersih, ia menghidupkan televisi berukuran 21 inch. Dan memencet-mencet tombol remote control mencari saluran stasiun televisi. Pada tayangan berita nasioanal ia menaruh remote itu diatas meja tak jauh dari tv itu berada. Lantas ia duduk menyilangkan kaki layaknya bos menonton televisi. Baru beberapa menit kemudian ia pergimeninggalkan ruang dengan tv yang masih menyala.

Televisi itu berada di pojok sebelah pintu masuk. Mungkin pemiliknya sengaja menempatkan televisi agar bisa dilihat bersama-sama, baik itu orang yang diluar kamar dan orang yang didalam kamar berjeruji. Trik jitu untuk menghilangkan stres bagi manusia yang terpenjara. Dengan menonton tv itulah salah satu wahana yang menghibur satu-satunya.
***

“Pemirsa berita selanjutnya datang dari Kepulauan di utara ibukota negeri ini” Si cantik Dewi Perssik membacakan berita. Artis yang seringkali berpenampilan seksi itu kali ini menggunakan stelan jilbab yang menutup aurat. Terlihat anggun dan menawan. “Hutan gambut terbakar. Kebakaran dikarenakan oleh faktor cuaca yang akhir-akhir ini sangat panas. Musim kemarau yang berkepanjangan membuat beberapa hutan di Negeri ini terbakar. Hingga kini belum juga padam. Dan mirisnya pemadam kebakaran datang terlambat disaat api sudah melalap hutan. Tidak ada korban jiwa. Kerugian negara ditaksir milyaran rupiah.”

“Bakar saja hutan di negeri ini. Biar ramai, biar gaduh!” saya mengomentari berita yang baru saja dirilis dimedia elektronik.

“Kalau dibakar? Lalu kita hidup dimana?” celetuk Orangutan yang berada dikotak nomor 1. Rupanya Orangutan itu juga memperlihatkan kegeramannya saat menonton berita di televisi.

“Ya di kotak ini!” seloroh saya dengan maksud bercanda.
“Hm disorientasi hidup!” Orangutan yang ada di kotak nomor 1 berseloroh juga dengan maksud membalas canda.

“Belum tentu!” menutup lempar canda yang terlontar.

Televisi yang terus menayang gambar bergerak berhenti memutar berita. Jeda! Gambar berganti dengan aneka iklan dari sponsor yang silih berganti. Jika dihitung durasi waktu penayangan berita lebih sedikit daripada penayangan iklan yang mensponsori liputan berita itu sendiri. Dari 1 jam penayangan berita, kurang dari 30 menit pembawa acara membawakan materi berita. Sisanya puluhan iklan yang tertayang.

“Hey lihat... Harimau itu akan di tembak!” jerit Orangutan dari dalam kotak nomor 4.

Sebuah iklan rokok dengan tema petualangan. Seorang manusia tengah berada dihutan dengan gagah dengan senapannya membidik Harimau yang sedang melintas. Namun tidak jadi. Mungkin atas dasar rasa kecintaan pada binatang lelaki itu mengurungkan niat menarik pelatuk senapannya. Adegan terakhir dari iklan itu seekor burung Elang terbang lalu hinggap dilengan manusia yang berperan sebagai pemburu.

“Gila! Bahkan Harimau yang diburu pun dipertontonkan ke banyak mata manusia!” celetuk Orangutan di kotak nomor 2.

“Halah itu ilusi dan fantasi manusia saja. Semua itu hanya pencitraan iklan, agar dapat memikat calon konsumen!” saya ikut bicara berharap semua Orangutan yang terkotak tidak gaduh. “Sudahlah tak usah ribut. Apa yang kalian lihat di kaca bergambar itu adalah upaya tipu daya manusia sebagai pemikat untuk calon konsumen untuk memberli produknya!” saya menjelaskan.

“Tapi kesannya nyata!” jawab Orangutan di kotak nomor 1.
“Itu dia apa yang kusebut tipu daya manusia!” saya menimpali. “Kalau lebih jelasnya lihat saja realita hutan di lapangan!”

“Iya jadi lapangan. Mana ada hutan lebat di negeri ini yang selebat seperti di Tv tadi?” Orangutan di kotak nomor 5 yang sedari tadi diam ikut bicara.

“Aha Orangutan penghuni kotak nomor 5 akhirnya terdengar juga suaranya!” celetuk Orangutan di kotak Nomor 4 menyindir kotak sebelahnya.

“Sudah-sudah jangan ribut. Nanti manusia-manusia berseragam cokelat tahu!” sambar Orangutan di kotak nomor 2.

“Rupanya kita dikondisikan oleh Tugan agar tetap sehat, walau pada awalnya stres yang tak terkira!” Orangutan di kotak nomor 4 mengeluh.

“Iya… Bulu-bulu kemerahanku rontok nich! Huft!!” Orangutan di kotak nomor 1 mengeluh.

“Alangkah baiknya kita mensyukuri semua apa yang telah Tuhan berikan kepada kita. Hingga detik ini kita masih diberi kesempatan untuk hidup dan bersuara” saya menyemangati kawan-kawan sesama Orangutan.

“Yah syukuri saja. Hemmm!” Orangutan di kotak nomor 5 berdehem. Sepertinya ingin melanjutkan kata-kata tapi tidak jadi. Karena melihat manusia berseragam cokelat dan berambut cepak datang membawa sarapan pagi dengan menu yang itu-itu saja. Setandan pisang dan air putih. Tidak ada perubahan menu dari hari ke hari.

“Hey Monyet! Kuperhatikan dari tadi kalian ribut saja!” Manusia berseragam cokelat dan berambut cepak menghardik kami. “Nih makan dan diam!” lanjutnya seraya membagi jatah makan disetiap kotak tempat kami menghuni dengan merata. Setelah itu ia pergi lagi. Entah kemana.

“Berita selanjutnya. Kembali banjir melanda di Ibukota degeri ini. Musibah ini setidaknya menenggelamkan ratusan rumah dan herannya lagi-lagi tidak ada korban jiwa. Aparat berwenang tidak bisa memprediksi apa sebab banjir yang setiap tahun datang” Dewi Perssik masih membacakan berita tentang musibah yang sedang melanda di negeri ini.

“Dia bilang kita monyet?” comel Orangutan di kotak no 4. “Orang itu Goblok kali ya?”

“Jiakakakaka... wakakakakaka... hahahahaha... hihihihihihi.. kakakakakaka... huhuhuhuhuhuh” para Orangutan tertawa serentak dan terkial-kial.

Selang beberapa saat manusia berseragam cokelat berambut cepak itu datang lagi dan mencak-mencak. “HEH monyet diam!!!” gertaknya sambil menendang jeruji besi. Terlihat ia sedikit meringis dan mengaduh. “Dasar monyet tak berakal!” imbuhnya dongkol. Manusia berseragam cokelat berambut cepak itu pergi lagi dan berjalan agak pincang menahan rasa sakit.

Kami yang terhenti tertawa akhirnya terbahak-bahak lagi melihat polah tingkah dan kedunguan manusia berseragam cokelat dan berambut cepak itu.

“Manusia berseragam cokelat itu benar-benar bodoh! Gobloknya minta ampun!” Orangutan di kotak nomor
4 mencaci dan masih terkial-kial. “Bukankah manusialah yang memberi nama untuk kita? Kok ya sampai lupa denga kita-kita ini! Hahahahahaha.”

“Ssssssst diam ada yang datang!” Ujar Orangutan di kotak nomor 1, memberi tahu ada suara langkah kaki. Semua Orangutan terdiam menahan tawa.

Manusia berseragam cokelat berambut cepak datang lagi dengan Komandan Bambang.

“Ini lho Ndan!” lapor manusia berseragam cokelat berambut cepak kepada atasannya. “Sedari pagi Monyet-monyet itu ribut melulu. Padahal sudah saya kasih makan, eh masih tetap ribut” lanjutnya mengadu.

“Hmm” komandan Bambang berdehem lalu berkacak pinggang seolah sedang memikirkan sesuatu. “Apa ya? Emmmm mungkin bosan dengan menu makannya kali ya?” jawabnya.

Mendengar jawaban dari komandan Bambang serentak para Orangutan tertawa lagi. “Hahahahahahaha.”

“Ya iyalah. Jelas bosan setiap hari makannya cuma pisang!” celoteh Orangutan di kotak nomor 5 dengan cueknya. “Coba kita hidup di hutan, pastinya tidak bosan sebab makanan kita lebih variatif benar gak coy??”

“Jiakakakakakaka” gelak tawa para Orangutan semakin riuh dan membahana.

Saya pun ikut menanggapi celotehan itu dengan nada guyonanan, “Betul... Betul...Betul” meniru film kartun Upin-Ipin buatan Malaysia yang sering di putar disalah satu televisi swasta nasional negeri ini.

“Aha betul... betul... betul..” Jawab Orangutan di kotak no 2 dengan logat dan cengkok melayu yang fasih.

“Tuh kan, Ndan! Monyet-monyet itu ribut sekali” keluh manusia berseragam cokelat berambut cepak.

“Hmm,, mungkin mereka bosan hidup di kotak itu. Lepaskan saja. Siapa tahu mereka butuh ruang gerak lebih leluasa” usul komandan Bambang berlagak bijak.

Tiba-tiba datang Imin. “Selamat pagi Ndan!” sapa Imin yang baru saja datang di kantor. “Ada
apa nich, kok pagi-pagi sudah ada di depan sel. Ada sirkus ya?” Imin berbasa-basi dan menganggap saya dan keempat kawan sesama Orangutan yang lain sebagai kawanan sirkus.

“Ah ndak, ini katanya Orangutan sedari tadi ribut melulu. Ini mau dikeluarin dari dalam kandang.” Komandan Bambang menjelaskan, “Itu Min, bantu keluarin Orangutan dari kotak!” perintahnya.

“Siap, Ndan!” Imin pun bergegas membantu manusia berseragam cokelat berambut cepak, mengeluarkan Orangutan itu satu persatu dari dalam kotak.

“Aku bebas!!” Teriak Orangutan yang semula di kotak nomor 1.

“Segarnya udara pagi ini” hela Orangutan yang semula di kotak nomor 2.

Semua Orangutan mengekpresikan kebebasannya dengan bergembira. Kebebasan sementara. Tokh saya dan keempat kawan sesama Orangutan masih terkungkung di balik jeruji besi. Memang kami terbebas dari penjara individu di dalam kotak, kami terbebas bersama, namun masih mendekam di ruangan berjeruji besi.

“Min, itu Orangutan kotak nomor 3 sudah dibawa ke dokter hewan belum?” tanya komandan Bambang.

“Yang terluka tembak, kayaknya belum Ndan!” sahut Imin.
“Kalau begitu besok panggilkan dokter hewan. Untuk urusan biaya biar saya yang ngatur!” perintah komandan Bambang. Imin hanya mengangguk dengan sikap memberi hormat.

Penghuni kotak nomor 3 yang dimaksud oleh komandan Bambang adalah saya. Meskipun sebuah proyektil masih bersarang dan tidak lagi merasakan panas seperti pertama kali tertembak Saya hampir-hampir dan bahkan tidak lagi mempedulikan luka tembak yang ada di betis kaki kanan.. Mungkin saking banyaknya beban dan penderitaan yang sama alami, tubuh ini tersugesti oleh pikiran yang kacau balau. Hingga sakit itu tak terasa dan bahkan tubuh sepertinya sudah imun oleh rasa sakit.

Para Orangutan berjingkrak sorai dengan kebebasan yang baru saja diterimanya. Bak mendapat angin segar, mereka dengan riuhnya berjoget dan beberapa ada yang berguling-guling.

“Yeah kita bebas!” kata Orangutan yang semula di kotak nomor 4.
Melihat ekpresi kebebasan yang sedang kami lakukan, mereka tertawa terbahak-bahak. Tawa mereka justru membuat kami para Orangutan terluka. Tawa malapetaka. Setelah puas dengan tawa, seiring kami terdiam, mungkin komandan Bambang, Imin dan manusia berseragam cokelat berambut cepak masih memegang perutnya yang tambun dengan mata berkaca-kaca menahan tawa. Beranggapan pertunjukan sirkus telah selesai. Mereka pun pergi, memasuki ruang kerjanya masing-masing.
***

“Pemirsa kita telah mengundang beberapa narasumber,” si cantik Dewi Perssik masih membawakan acara berita. Kali ini pada bagian bincang-bincang, “disebelah kanan saya adalah bapak Hata selaku ajudan menteri kehutanan ad interim, merangkap Aspri. Apa kabar bapak?” sapa Depe dengan ramah.

“Baik mbak Dewi. Maaf bukan Aspri tapi tepatnya Juru Bicara Presiden.” Jawab Hata ramah dan sekaligus meralat ucapan Depe yang salah menyebutkan posisi jabatannya.

“Oh maaf, bukan asisten pribadi ya pak?” Depe meminta maaf. Hata hanya mengangguk santun. “Kok pak menteri yang bersangkutan mewakilkan bapak? Apa pak menteri takut dengan mulut judes saya ya?” tanya dan gurau dari Depe.

“Oh tidak. Kebetulan bapak lagi sakit jadi saya yang mewakilinya. Kan saya ad interim.” Jawab Hata singkat.

“Sakit jiwaaaaaaaaaaaaa!” celetuk Orangutan yang semula di kotak momor 2. Mendengar celetuk itu kami para Orangutan tertawa terpingkal-pingkal.

“Oh saya kira pak meneteri takut dengan pertanyaan-pertanyaan dari saya yang seperti geledek!” Depe mencandai ajudan menteri kehutanan. Seluruh narasumber dan penonton yang ada dalam ruangan studio tertawa sesaat dan memberi aplaus. “Dan di sebelah kiri saya adalah pakar politik kehutanan. Selamat datang bapak Susno?” lanjut Depe. Susno hanya mengucap salam dan menganggukan kepala.


“Langsung saja pada bincang-bincang. Topik kali ini adalah Hutan yang (terus) terbakar. Apakah departemen yang menaungi hutan ikut kebakaran jenggot? Sebelum menjawabnya. Satu pertanyaan saya, dari tahun ke tahun mengapa banyak hutan yang terbakar? Apa sich penyebabnya? Konon tersiar kabar itu memang sengaja dibakar? Dan ada pula yang bilang itu faktor cuaca dan takdir Tuhan? Monggo dijawab pak Hata selaku ajudan Menkehut ad inetrim merangkap Juru Bicara Presiden!”

Mendengar lelucon yang diperlihatkan Dewi Perssik sebagai pembawa acara. Gemuruh tawa dari penonton membahana di ruangan studio.

“Terima kasih. Pertanyaan bagus. Sebenarnya jawaban itu dua-duanya betul. Tapi, ada tapinya nich. Jika benar hutan yang terbakar itu memang sengaja dibakar untuk perluasan lahan, maka pelakunya itu adalah oknum yang tidak bertanggung jawab. Kalau berdasar faktor cuaca ya itu sudah kehendak yang di atas. Hanya Tuhan yang tahu! Wallahu a’lam!” jawab Hata.

“Bapak bilang itu oknum? Itu manusia bukan ya pak?” pancing Depe.
“Tentunya ya manusia!”
“Jika oknum itu manusia tentunya punya nama dong, pak? Hewan saja punya satu nama dalam satu spesies kok, Pak!” Depe bertanya sarkastis.

Tepuk tangan dan elu-elu penonton meramaikan acara bincang-bincang untuk kesekian kalinya.
“Ya jelas punya nama!” jawab Hata datar. “Tidak etis untuk disebutkan!”
“Kira-kira oknum manusia yang tidak etis disebut namanya itu bekerja di institusi apa, Pak?” Depe terus memancing.

“Wah itu juga tidak etis, mbak Dewi” jawab Hata sembari mengumbar senyum.

“Baiklah itu menjadi pekerjaan rumah jurnalistik dan tentunya lembaga kepolisian untuk mengungkap tabir, siapa oknum, departemen yang menaungi seandainya ada, dan aktor intelektualnya.” Depe berkesimpulan “lalu bagaimana tanggapan Pak susno selaku pakar politik kehutanan?” sambung Depe bertanya kepada nara sumber di sebelah kirinya.

“Sebelumnya saya ucapkan Terima kasih atas kesempatan dan undangan di studio. Kalau menurut saya jika dilhat dari kacamata politik. Korelasi antara manusia dan sebab terjadinya kebakaran hutan memang benar adanya. Betul apa yang disebutkan oleh bung Hata, pelakunya itu adalah Oknum! Siapa namanya tidak salah jika tidak etis disebutkan.”

“Apa korelasinya, pak?” Depe memotong penjelasan panjang dan bertele-tele yang dipaparkan Susno.

“Mbak Dewi, tidak bisa dipungkiri angka pengangguran di negeri ini tiap tahun meningkat jumlahnya. Di negeri ini kategori Usia produktif adalah kisaran usia 15 sampai 65. sedang yang tidak produtif dibawah umur 15 dan diatas usia 65. Coba bayangkan di setiap bulan Juli pemerintah merilis atau bisa dikatakan mencetak anak bangsa dari usia yang belum produktif hingga usia produktif menjadi pengangguran. Itu baru lulusan tingkat Sekolah Dasar Hingga Sekolah Menengah. Belum lagi di tingkat universitas, kalau tidak salah 1 tahun, 3 sampai 4 kali merilis dan mencetak pemuda-pemudi penganggur. Mencari pekerjaan dinegeri ini untung-untungan, mbak! Manusia di negeri ini masih di liputi dewi Fortuna, jika beruntung yang bekerja jika tidak ya menganggur! Mengapa demikian? Sebab pemerintah belum mampu menciptakan lapangan pekerjaan. Dan perlu digarisbawahi saat ini, tahun ini angka pengangguran meningkat 10%. Itu data saya dapat media tempat anda bekerja lho, mbak!” jelas Susno

“Korelasi antara kebakaran hutan, pak?” Depe mencecar.
“Ya pemerintah mau tidak mau bahkan jika tidak mau dikatakan terang-terangan, secara tidak langsung turut serta mengamini tindakan oknum tersebut. Berharap dapat menciptakan lapangan kerja baru untuk menampung potensi pemuda-pemudi yang menganggur.”

“Apa dengan membakar hutan di negeri ini dapat menciptakan lapangan kerja baru, pak?”
“Bisa jadi. Awalnya kayu ditebang setelah kayu habis lalu semak belukar dibakar kemudian dijadikan lahan perkebunan. Itu bisa menyerap banyak tenaga kerja lho, mbak.” Terang susno.

“Stop-stop,” Hata memotong paparan yang dijelaskan susno, “Saya tidak sepakat apa yang dikatakan oleh bung Susno. Hutan kita ini dilindungi oleh undang-undang, Bung! Semoga anda tidak lupa!”

“Lho iya. Nyatanya? Apa yang terjadi di lapangan? Pemerintah dan departemen terkait begitu royal dan gampangnya menerbitkan surat HPH. Apa itu tidak menciptakan lapangan kerja bagi perusahaan?” Bantah Susno.

Hata hanya tersenyum tipis dan tidak lagi membantah. Dewi Perssik dengan sigap mengambil alih pembicaraan, “Baiklah saya mengerti apa kesimpulan dari perdebatan pak Hata dan Pak Susno. Oh iya pemirsa, bincang-bincang kali ini disiarkan secara langsung dan tidak diselingi jeda komersial. Sengaja dipersembahkan untuk rakyat di negeri ini yang mungkin barangkali ada yang bertanya seperti saya, mengapa kebakaran hutan kerap melanda di negeri ini dan apa penyebabnya?” ujar Depe dengan gayanya yang kemayu, “Lalu kesimpulan untuk tidak lagi terjadinya kebakaran hutan apa pak? Monggo pak Hata dulu yang menjawab."

“Undang-undang harus ditegakkan. Patroli hutan harus ditingkatkan!” Hata menjawab singkat.
“Cuma segitu, Pak?”
“Saya kira itu sudah cukup!”
“Kalau dari pak Susno?"
"Selain Undang-undang ditegakkan. Tangkap dan Adili pembalak, cukong-cukong, mafia kayu serta oknum birokrasi yang membekingi para mafia illegal logging. Sebab menurut saya, Illegal logging itu suatu kejahatan yang berstruktur. Artinya maling kelas teri sampai maling berdasi yang berinstistusi, baik itu sipil dan militer ada yang terlibat, walaupun mereka-mereka yang terlibat itu acap kali di cap sebagai oknum." Susno memberi kesimpulan dan bersolusi.


“Begitulah kesimpulan dari akhir Bincang-bincang kali ini. Kembali pada masyrakatlah yang menilai. Hutan terbakar masyarakatlah yang terkena imbas. Sebagai penutup, ijinkan saya untuk meneriakkan slogan; STOP ILLEGAL LOGGING!” Dewi Perssik menutup acara dan berkampanye lantang menyeru penghentian pembalakan hutan di negerinya.
***

Saya dan keempat kawan sesama Orangutan hanya melongo menonton televisi dari balik penjara menyaksikan mulut-mulut manusia mengaco-belo tentang kebenaran dengan pembenaran-pembenaran. Manusia yang menjadi penguasa dengan logikanya benar tidak benar, nalar ataupun tidak nalar, benar menurut apa yang dikatakannya. Kami melongo persis terpidana mati menunggu vonis dan meratapi ajalnya di balik jeruji besi.

Tidak ada kebenaran di negeri ini. Di negeri ini, yang ada hanyalah omong kosong dari kebenaran itu sendiri. Andai saja pohon-pohon dan binatang bisa bicara? Maka merekalah yang akan memberikan kesaksian mengapa hutan terbakar. Saksi bisu! Si bisu menjadi saksi. Bungkam!***





Di Pinggiran Selokan Mataram, 29 Juli 2010
(WFY)

NB

  • Ide cerita berawal dari kerapnya saya menonton Film "The Burning Season", yang diperankan oleh Raul Julia dan disutradaraiJohn Frankenheimer. Dan film "Tarzan" (tanpa huruf X). Dan sering mendengarkan lagu "Isi Rimba Tak Ada Tempat Berpijak Lagi", pencipta Iwan Fals. "BeritaCuaca", yang dipopulerkan Gombloh dan "Lautan Tangis dan Fabel"nya Sujiwo Tejo.
  • Sumpah Tulisan ini tidak ditujukan kepada siapa-siapa, baik itu laki-laki maupun perempuan. Jika ada kesamaan, nama, tempat, lakon, peristiwa dan atau jalannya alur cerita maka itu faktor kebetulan saja. Sekali lagi Sumpah! Tulisan tidak berdasar fakta ataupun realita dan tulisan ini murni fiktif

Tidak ada komentar: