Minggu, 14 Februari 2010

Hujan dan Secangkir Teh

Sore masih mendung. Dari kejauhan ujung barat senja jingga tak menampak. Terlihat samar, tertutup gumpalan awan hitam seperti jelaga. Dijalanan orang-orang berkendara dengan kecepatan kencang. Tak mempedulikan lagi jalan aspal yang licin. Persetan dengan nyawa! Baginya terpenting baju yang melekat tubuh tak terguyur air. Pengendara yang sibuk, panik dan kebut-kebutan. Berebut aspal tanpa memperhatikan marka pembatas jalan.

Dari balik jeruji jendela berkaca bening. Kuperhatikan tingkah laku manusia penuh ketololan yang takut dengan hujan. Padahal mereka sudah mengenakan ponco atau raincoat pelindung dari percikan air. Sembrono! Aku hanya bergeleng kepala melihat orang-orang dengan laju kendaraan yang dipacu. Peringatan Alon-alon waton kelakon -biar lambat asal selamat-, sepertinya tidak berlaku jika musim penghujan tiba. Dia lupa jika sedang bertaruh nyawa. Mungkin baginya, barang siapa yang lincah berkendara di jalanan, maka selamatlah sampai tujuan. Berhati-hatilah. Malaikat pencabut nyawa bertebaran dimana-mana.

Dari balik jendela berjeruji. Aku masih terduduk ditempat semula. Masih dengan setia melihat air yang menetes jatuh dari genteng. Hujan telah memperangkapku pada kenyataan bahwa sunyi tak pernah berhenti. Mematung seorang diri disebuah ruangan berbentuk persegi panjang yang kian lama semakin membelenggu. Seperti di dalam penjara. Di sekat batas oleh air hujan.

Cuaca tak lagi bersahabat. Mega mendung tak juga menyingkir dari kota ini. Sebentar lagi gelap, dan hujan belum juga reda. Hingga Maghrib tiba, Muadzin tak terdengar lantang menyeru adzan. Kalah suara dengan deru knalpot dan bising klakson motor saling bersahut.

***

Langit masih tertutup mendung. Malam segera menjelang, awan hitam sedari sore masih menggumpal membayang kelam. Seingatku, hitungan kalender Jawa, -malam ini tepat pergantian tanggal limabelas. Seharusnya malam ini bulan terlihat bundar, terang bulan. Nampaknya tidak untuk malam ini, hanya berbentuk sabit atau setengah lingkaran itupun tertutup mendung. Gumpalan awan membuat purnama tidak menyinar sempurna.

Dari ruang tamu, gemiricik hujan tak henti-hentinya mengucur deras. Terlihat kilatan cahaya berkelap-kelip, kemudian disusul suara gemuruh saling menyambar. Aku terpaku diam dan hanya melihat. Rasa takut menyerangku tiba-tiba. Nyaliku ciut. Semoga tidak terjadi apa-apa dengan malam ini. Mengingat kota yang sedang aku singgahi berzona merah, -kerap terjadi bencana.

Radio komunikasi yang biasa terdengar membungkam. Hening, tak terdengar suara obrolan manusia. Sepi dari cekakak-cekikik berisik penggila alat komunikasi -handy talkie. Jauh dari hingar bingar. Sama sekali tak terdengar kasak-kusuk mulut busuk mengoceh ngalor-ngidul tak berjuntrung.

Beranjak malam. jalanan mulai terlihat sepi dari lalu-lalang pengendara. Begitu senyap. Mencekam. Angin berhembus kencang, menyibakkan tirai berkain korden penutup jendela. Hawa dingin terasa memasuki pori-pori kulit. Terasa ngilu menusuk tulang, Tubuhku menggigil. Di bagian kepala, migrain yang kuidap bertahun-tahun kambuh. Cekot-cekot. Nyerinya seperti tertusuk jarum.

Lebatnya hujan merubah suasana. Malam menjadi nyenyet . Aku tak tahu apa yang sedang terjadi diluar sana. Begitu senyap, mulai sepi suara pekak knalpot dan klakson kendaraan bermotor. Gelap gulita. Kulongok melalui celah jendela tidak terlihat orang yang berani keluar rumah. Pos kamling yang biasanya ramai dengan orang-orang bermain gaple tak berpenghuni. Malam ini begitu sepi dari suara kelakar para peronda.

Bumi ini seolah tak berpenghuni. Hening sementara. Hanya terdengar gemericik air hujan dan suara angin berdesis. Kilatan cahaya dan gemuruh semakin lama semakin terdengar keras. Awalnya pelan lalu menggelegar. Kusumbat telinga dengan kedua telapak tangan. Serta merta tak henti-henti mulut merapal doa. Aku membatin. Mengharap hujan berhenti mengguyur serta kilatan petir tak lagi menyambar.

Menyendiri di kamar. Menyandar tubuh yang mulai terasa letih, mencoba memejam mata, namun kantuk belum juga menyergap. Perasaan diliputi rasa cemas yang tak berkesudahan. Semakin lama semakin menjadi-jadi. Seketika itu aku menjadi paranoid. Dihinggapi rasa takut yang tak beralasan.

Pikiran melantur tak keruan. Tiba-tiba bayang-bayang kehancuran bumi muncul dalam benakku. Bermula dari hujan kemudian banjir lalu menenggelamkan bumi. Luluh lantah seiring jeritan manusia berteriak tolong. Dan jadilah, maka jadilah bumi manusia lebur tergerus air dan semburat menjadi serpihan-serpihan setitik debu. Tak bersisa, musnah semua. Aku bergidik ngeri membayangkan berakhirnya jaman. Semoga Tuhan membatalkan rencana yang ada di dalam pikiranku. Aku memohon.

***

Aku masih sendiri.

“Menjadi bujang itu lebih merdeka. Adakalanya sendiri menyenangkan! Tapi, repotnya jika malam minggu tiba?” kala itu aku pernah sesumbar.

Namun, di malam inilah aku merasa terasing. Diasingkan oleh malam bernama malam minggu. Malam dimana kebanyakan orang menikmati penuh dengan rasa sukacita. “Perayaan malam kebebasan!” Kata temanku. Hari terbebas dari pekerjaan yang mengekang selama enam hari sebelumnya. Namun, hanya satu hari pula mereka merayakan kebebasan. Selepas hari minggu, kembali melewati hari-hari dengan peluh dan keluh kesah. Tragis dan mengenaskan. Justru bagiku, enam hari itulah hari pembebasanku.

Aku mengutuk malam. Malam yang mengantarku seorang diri luntang-lantung tak tentu arah. Bergerilya ke setiap pojok kota sekadar mencari teman senasib sial persis denganku. Kenyataannya, seperti labirin berdinding badan manusia yang membentangkan tangan, dan menyesatkanku entah kemana. Dimana pun melangkahkan kaki, pastilah kutemui sepasang muda-mudi berkeliaran hingga larut malam. Kutahu, musykil kudapatkan teman yang bernasib sama. Andaipun ada, pastinya dia tidak mengenaliku.

Dini hari tak kunjung juga kutemukan teman. Akhirnya kuputuskan untuk tetap berdiam diri dikamar. Tidak kemana-mana. Lagi hanya sendiri.

Selalu kuyakinkan bahwa pergantian hari sabtu ke minggu seperti hari-hari biasa. Kuyakinkan sekali lagi, hanya hari libur saja. Weekend! Aku mencoba menyikapi hari itu seperti hari selain sabtu dan minggu. Tidak ada yang istimewa di dua hari itu. Sama sekali tidak. Aku menghibur.

Apa rencana malam minggu? Mengapa hujan tak kunjung reda?

Sepertinya malam ini akan menjadi kelabu. Kulupakan malam minggu. Toh aku juga tidak dengan siapa-siapa. Cuma sendiri! Biarkan orang-orang yang biasa bersamaku meributkan acara akhir pekannya. Dan malam ini, aku hanya berteman secangkir teh manis dan sebungkus rokok. Seperti hari-hari biasa. Tidak berubah, namun sesekali -masih- ditemani dengan beberapa botol Anggur Merah cap Orang Tua. Minuman kelas akar rumput! Bercakap-cakap dengan mbah Jenggot memandangi langit yang tak biru. Meresolusi hari esok.

Mengingat malam ini hujan lebat. Masih adakah sepasang muda-mudi berpagut mesra? Masih bersukacitakah? Aku tak tahu, karena hujan telah melarangku berada di luar rumah. Berdiam diri melihat air yang terus menetes dengan penuh kecemasan. Aku termangu menunggu hujan berharap reda

***

Dini hari. Tepatnya, lebih dari jam duabelas malam.

Bulan masih bersembunyi dibalik awan kelabu. Rembulan enggan berbagi cahaya. Ribuan bintang tak satupun telihat mengerlip. Masih hitam pekat dan gulita. Langit tak berhias! Hujan yang sedari sore masih mengguyur deras belum juga menampakkan tanda-tanda akan mereda.

Orang yang terbiasa berkumpul, pergi entah kemana. Biarlah menjadi sunyi. Biarkanlah mereka sibuk merencana akhir pekan. Kumatikan lampu. Kurebahkan tubuh, kubenamkan kepala dengan bantal sampai terlelap tertidur. Tak bermimpi. Hingga pagi.

Secangkir teh yang kubuat setelah maghrib belum juga terminum. Sampai-sampai teh yang kuseduh berubah warna. Semula berwarna merah marun beralih warna menjadi merah kehitam-hitaman. Teh telah kusia-sia, ditiriskan berjam-jam lamanya. Jika meminumnya, rasanya agak pahit dan berasa anyep. Tidak manis, terasa getir dan sepah dilidah. Tidak seperti sediakala ketika pertama kali aku mencicipi.

Rokok yang kubeli sedianya untuk menemani juga masih utuh. Tak berkurang satu pun batang rokok. Aku lupa menyulutnya. Aku benar-benar terlupa dengan teh yang kubuat. Lupa dengan sebungkus rokok pengganti teman yang berutinitas. Hujan telah mengacaukan semuanya.

“Selamat pagi dunia” aku menyapa dari balik jendela berkaca. Masih kelabu. Awan hitam masih bergantung di langit-langit. Teh itu berasa hambar, mungkin sudah basi. Sebungkus rokok masih rapi tergeletak diatas meja. Kusulut satu batang untuk menyambut hari. Dan hujan belum juga reda!

Jalan Simpang Karimata, 06 Februari 2010

(WFY)

Minggu, 07 Februari 2010

Kopi Pahit Serasa Nasib

Pagi ini hanya segelas kopi dan dua batang rokok peninggalan temanku yang menemani. Pasangan kopi paling maknyus biasanya camilan berupa pisang goreng atau ketela rebus hangat. Tapi tidak untuk pagi ini. Sama sekali tidak ada makanan untuk sarapan. Perut dari semalam belum juga terisi, mulai keroncongan. Rasanya perih sekali. Melilit seperti terkena diare.

Setengah sendok makan gula pasir bercampur dengan satu sendok penuh kopi dan diseduh dengan air panas dari dispenser. Jangan tanya rasanya seperti apa? Air panas yang setengah mendidih diaduk dengan campuran kopi gula yang komposisinya tidak proporsional. Hmm rasanya ambyar! Dari warnanya tidak terlalu pekat, hitam tidak kental. Bahkan cenderung terlihat bening. Rasanya tidak manis juga tidak terlalu pahit. Sepah, sepet. Tak apalah, dari pada tidak ada pengisi perut mengawali pagi.

Masih pagi. Jarum jam menunjuk pukul 05.30 wib. Sedang arloji yang melingkar dipergelangan tangan berangka 06.00 wib. Sengaja aku lebihkan 30 menit dari waktu Indonesia bagian barat pada umumnya. Bagiku waktu adalah dilema. Hal ini kulakukan, mengingat aku masih mempunyai kebiasaan tidak tepat pada waktu.

Rasanya malas sekali beranjak dari tempat duduk untuk sekadar mencuci muka di kamar mandi. Leyeh-leyeh memoloti layar kaca gambar bergerak sembari menikmati kopi hambar dengan mata masih terkantuk-kantuk.

Tidak ada semangat melihat perkembangan berita dari media elektronik. Apa yang sedang terjadi? Ada apa dengan Indonesia? Bagaimana kasus terkini Century yang menghebohkan? Hingga berita pemakzulan presiden yang tak kupilih pada pemilu setahun yang lalu. Seratus hari lebih sudah terlewati. Janji-janji semasa kampanye tak pernah terealisasi. Omong-omong, Omong doang! Oh Indonesiaku, apakah rakyatnya salah memilih presiden?

Duh Gusti Pangeran Diponegoro lihatlah regenerasi kepemimpinan bangsa ini! Duh Gusti Ngurah Rai masih adakah solusi terbaik untuk menjadikan bangsa ini lebih baik? Lebih baik jangan terlalu memikirkan arah bangsa ini. Sepertinya sikap terbaik untuk menjawab persoalan bangsa yang semakin pelik ini adalah dengan diam.

Matikan saja kaca bergambar itu! Aku tak ingin ikut dan tahu perkembangan berita di negeri ini. Nasionalismeku luntur seketika itu juga.

***

Kopi yang perlahan mulai susut diseruput, tinggal separuh gelas. Sedang dua rokok masih tersisa satu batang yang belum juga kuhisap. Ingin sekali menyulut satu batang terakhir, tapi rasanya sangat sayang sekali. Konon kata para pecandu rokok; nikmatnya menghisap rokok sewaktu buang air besar di WC dan seusai makan. Tragisnya aku sudah empat hari ini belum juga buang air besar dan dari kemarin hari belum juga makan. Apalagi ini satu batang rokok terakhir. Jadi rokok yang tinggal sebatang itu kusimpan untuk dinikmati salah satu dari kedua rutinitas tersebut. Entah mitos atau bukan, tapi memang benar kenyataannya. Rokok bagiku bagaikan kopi tanpa gula. Jika tidak ada gula maka tak terasa manis, begitu dicampur dengan kopi maka akan terasa sedap aroma dan rasanya.

Matahari yang muncul sudah bergeser mendekati 180°. Jika menghadap ke timur cukup menyilaukan, bahkan bisa membutakan mata. Langit berwarna biru, mega-mega terlihat putih. Cuaca hari ini begitu cerah. Tumben matahari memancar dengan terik. Padahal Shubuh baru saja hujan reda.

Kopi tinggal ampasnya. Kutambah lagi dengan air panas, kali ini tanpa gula. Rokok yang tersimpan akhirnya terhisap juga sebagai teman menikmati segelas kopi pahit yang kembali terisi penuh. Hari ini sama sekali tidak ada aktivitas. Seperti biasanya kuhabiskan hari dengan duduk di depan televisi atau mendengarkan musik di kamar 3X4 meter yang biasa aku tempati. Apabila sudah merasa bosan dengan suasana kamar, maka aku akan bergegas keluar. Berkeliling mengitari pedesaan nan sepi dan melelahkan kaki. Menghibur diri.

Khusus hari ini sudah kuniatkan untuk tidak bepergian. Bukan rasa malas aku berniat itu, tapi ada faktor lain. Dompet yang biasa terselip disaku celana, tak lagi bertempat diposisi yang seharusnya. Dompet itu tak berfungsi lagi dan tergeletak di atas rak buku atau berserak diranjang, bahkan aku lupa dimana aku menaruhnya. Dompet berserak pertanda dompet tidak lagi terisi lembaran-lembaran rupiah satupun. Kosong! Hanya berisi kertas-kertas tidak bernilai dan batu-batu berwarna hitam dan ungu. Azimat warisan simbah yang hingga saat ini aku tidak tahu nama dan fungsinya.

Aku mencoba hidupkan kembali televisi. Namun berita yang tersiar beralih ke kabar selebritis. Para artis sibuk bersensasi mencari simpati ke penontonnya. Di Jakarta, Artis tak beda jauh dengan para politisi nasional yang sibuk mencari perhatian. Mencari kepopuleran dan mempertahankan eksistensi di tengah-tengah masyarakat. Bung 2014 masih lama, iya kalau memang kalian diberi umur panjang? Padahal dia –para artis dan politisi- tidak tahu jika ia sering di gunjing. Memang tidak tahu diri! Matikan televisi. Tidak penting! Hanya isu penyebar fitnah. Dan rasa patriotismeku pun sirna begitu saja.

Perut mulai keroncongan, lapar. Genap dua hari lamanya perut belum terisi nasi. Sama sekali tidak diberi asupan karbohidrat, hanya mineral hingga perut terasa kembung. Memang cukup mengenyangkan. Yah untuk melanjutkan hidup lebih dari cukup. Dari pada harus berpuasa 2 hari lamanya? Menyiksa diri, kutahu Tuhan melarang..

***

Hari berangsut siang, kalau tak salah hari ini hari rabu. Semakin siang semakin panas. Lumayan menyengat kulit. Apalagi hari ini aku memakai kaos berwarna hitam yang dapat menyerap panas menembus kulit. Salah kostum! Maklum aku sama sekali tidak mempunyai pakaian selain berwarna hitam, inilah akibat yang harus aku terima. Beruntung saja bulan ini bukan musim kemarau, aku pun tak terlalu direpotkan mencari tempat berteduh mendinginkan tubuh-tubuh yang memanas.

Kali ini matahari tak mau kompromi. Naudzubillah panasnya. Keringat sangat deras menetes, padahal aku hanya duduk-duduk saja di beranda rumah. Berulang kali aku menyeka keringat yang kerap mengucur diwajah. Sapu tangan merah yang kugunakan sebagai pembersih berubah warna menjadi kehitam-hitaman, bercampur daki pula. Terakhir kali aku mandi kalau tidak salah kemarin pagi. Ups bukan kemarin, kira-kira dua hari yang lalu, pagi hari, dan hingga siang ini tubuhku belum juga terguyur air.

Jangan bayangkan seperti apa bau badanku? Walau beberapa hari lamanya tidak mandi. Percayalah, aku termasuk kategori salah satu orang yang rajin menyemprotkan parfum di seluruh tubuh. Dari ketiak, tiap lekukan tubuh sampai selangkangan tak pernah luput dari semprotan pewangi. Harumnya parfum bercampur keringat. Sedap.

Huft panasnya seperti di Gurun saja.

***

Omong-omong aku begitu lapar. Sama sekali tidak ada makanan. Aku hanya bisa membayangkan sepotong roti berselai cokelat bercampur kacang dan segelas susu murni atau sepiring nasi-jagung sayur tempe dan berlauk ikan asin. Sayangnya aku hanya bisa berkhayal saja, memberi sugesti. Ternyata survival di kota lebih sulit jika dibandingkan di belantara hutan. Tumbuhan-tumbuhan yang dapat dimakan semuanya berpemilik. Berbeda di hutan, aku bebas memetik apa saja yang dapat dimakan. Tidak ada kepemilikan personal, kecuali dikuasai Negara. Izinnya pun hanya mengucap Bismillah.

Lapar, lapar dan lapar. Sekali lagi lapar. Aku harus bertahan, berpuasa sampai waktu yang tak terhingga. Kali ini sepertinya Tuhan memberi sebuah cobaan yang sangat berat. Tuhan telah menamparku, memberi peringatan berupa bencana kelaparan kepadaku. Maklum saja aku lalai menjalankan kewajibanku sebagai umatNya. Sembilan tahun lamanya, di setiap bulan Ramadhan, aku tak pernah menjalankan perintahNya. Selain itu juga, aku tidak ber-Amar ma’ruf nahi munkar. Ujian terberat dalam hidup adalah menahan nafsu makan beserta nafsu-nafsu lainnya, tak terkecuali birahi.

Panas, panas dan panas. Cuaca hari ini begitu panas. Lagi aku harus bertahan sampai malam tiba. Seperti di neraka, sama sekali tidak tersedia es batu yang menyegarkan kerongkongan. Lagi-lagi Tuhan telah memberi sebuah cobaan dalam hidup, tetapi kali ini tidak berlaku bagi diriku sendiri. Hawa panas itu ditujukan untuk umum. Peringatan Tuhan kepada manusia agar tetap menjaga alam. Mungkin saja! Memberi panas yang terasa menyegat sampai ke ubun-ubun.

Lupakanlah rasa lapar. Masih banyak hal yang harus dipikirkan selain lapar. Menurut ahli kesehatan, selama masih ada air untuk membasahi kerongkongan, lebih dari tujuh hari lamanya manusia masih bisa bertahan hidup tanpa harus makan, Aku betul-betul survival. Hanya sekadar mempertahankan keberlangsungan hidup. Semangat.

Ba’da Dzuhur, aku masih berdiam diri di dalam kamar.

***

Kopi sudah tinggal ampasnya. Satu batang rokok yang kusimpan, akhirnya terhisap habis tak bersisa. Asbak yang penuh dengan abu sisa semalam bertambah lagi dua puntung rokok yang telah kusulut. Jika dihitung ada sekitar enam belas puntung rokok di asbak itu. Rokok dengan aneka merk yang teronggok dalam satu wadah. Tak terasa aku sudah menghabiskan sebanyak itu.

Sepi, gerah di ruangan ini. Sama sekali tidak ada hiburan, hanya televisi 14 inchi yang bersedia menghiburku pada siang yang panas. Itupun kerap kuhidup dan matikan jika tak sesuai selera. Acaranya cuma sinetron dan kabar-kabar selebritis yang nyambi berpolitik. Negeri dagelan! Ah memuakkan, mengapa siang ini begitu membuat aku malas. Semoga bukan hanya karena lapar yang mendera. Aku masih sanggup bertahan menahan lapar untuk beberapa hari kedepan. Andaipun sudah tidak kuat lagi, pastinya aku mati.

Aku sedang menunggu malam. Semoga malam tak sepeti siang. Aku pun tertidur di siang yang menyesakkan. Masih menahan lapar.

Jl Simpang Karimata, 03 Februari 2010

(WFY)

Sabtu, 06 Februari 2010

Suka Duka Di Taman Hidup -Kisah pak Tua “ngGacor”- part IV

Pagi ini Paman Step belum juga terbangun dari tidur. Masih mendengkur pulas diliputi mimpi-mimpi. Tidurnya memeluk bantal guling, tubuhnya melingkar dan nungging. Beberapa tahun ini hanya bantal guling yang selalu ia peluk. Teman yang selalu setia menemani malam menjelang tidurnya. Sudah cukup lama ia tidak memeluk sang istri tercinta. Saking terlalu setianya, bantal guling itu sampai-sampai tidak berbentuk bulat dan memanjang. Terlalu sering di keloni hingga tepos dan tidak berujud seperti layaknya bantal guling.

Selama ini sang Istri lama berpisah. Bukan hanya pisah ranjang, tetapi juga pisah rumah. Berdasar pengakuan paman Step, sang istri tercinta sedang bekerja di tempat saudaranya di Nusa Tenggara. Negeri nun jauh di mata. Kisah asmara paman Step dengan istrinya selama ini dilakukan jarak jauh atau bahasa gaul masa kini Long Distance. Dan untuk urusan persetubuhan sah pun dilakukannya dengan cara jarak jauh pula, via mimpi. Mimpi basah!

Entah benar apa tidak pengakuan itu. Tidak semua orang tahu menahu latar belakang kehidupan keluarganya. Lagaknya paman Step merahasiakan silsilah bibit-bebet-bobot keluarga yang dibinanya. Tapi ada salah satu orang yang berani memberi kesaksian –sumber terpercaya- bahwa selama ini istrinya tinggal satu kabupaten tetapi berbeda kecamatan dengan dirinya. Paman Step tinggal di kota sedang sang istri bermukim di desa, berjarak hanya 30 Km dari Kota. Berdasar rumor yang beredar, di kampung tempat istrinya bertempat tinggal, ia sudah menikah lagi dengan pria yang lebih baik daripada paman Step.

Hampir jam 9 pagi belum juga terbangun, padahal semalam ia sudah tertidur pulas pukul 22 kurang, sebelum acara televisi –Discovery Channel- favoritnya berakhir. Pagi ini, paman Step menggigil kedinginan berselimut kain korden berwarna cokelat. Tidur mepet pojok tembok kamar pribadinya. Tidak ada yang berani meniduri tempat ia terbiasa merebahkan tubuh. Sama sekali tidak ada yang berani membangunkankannya. Semau-mau dia, sekarepe dewe! Tapi ketika giliran kami bangun siang maka ia dengan cerewetnya mengomeli. Tidak produktif katanya.

Tidurnya masih lelap. Dengkurnya masih keras terdengar, -walau hingga kini tidak pernah diakui jikalau ia mendengkur. Mungkin paman Step lupa, jika ia tak lagi dibuatkan kopi oleh istri tercantik. Disetiap paginya ia membuat kopi untuk dirinya sendiri. Menikmati hari tuanya tanpa pelayanan dari sang istri ataupun anak-anak yang dicintai. “Hidup ini harus mandiri, bagaimanapun juga hidup ini tetap dilalui. Inilah jalan yang sudah menjadi kehendakNya” Paman Step berkilah.

Setengah tahun yang lalu ia berhasrat untuk menikah lagi. Berita itu sudah tersebar dimana-mana. Bukan lagi menjadi rahasia umum. Kabar itu begitu heboh dan menggemparkan! Semua tercengang mendengar kabar itu.

Paman Step beringinan menikahi seorang janda beranak satu. Seorang wanita yang kerap bertandang di kantornya. Hanya saja janda yang ingin dinikahi berusia 27 tahun. Selisih 28 tahun lebih muda dari usia paman Step sekarang. Alasan ia ingin menikahi janda itu, konon ia ingin menyelamatkan biduk akan keberlangsungan kehidupannya yang carut marut. “Hidup perempuan itu laksana seorang diri di dalam perahu yang terombang-ambing di tengah lautan. Ia bimbang, masih labil dan butuh nahkoda” alibinya. “Sama sekali tidak ada kepentingan ataupun motif lain selain hanya untuk menyelamatkan dia” paman Step berdalih.

Berdasar investigasi secara mendalam, usut punya usut. Ternyata ada sebab lain mengapa paman Step begitu ngebet menikahi janda beranak satu itu. Rupa-rupanya janda itu telah mengingatkan kembali kenangan masa lalu dengan istrinya yang telah pergi meninggalkannya seorang diri.

Raut wajah hingga lekuk tubuhnya persis dengan istri yang pernah dikawini. Apabila dilihat di foto. wanita itu mempunyai kesamaan dan mirip sekali dengan istrinya. Rambutnya panjang, tinggi badan, berat badan dan parasnya hampir-hampir mirip dengan istrinya waktu pertama kali ia nikahi dulu. Dari segi fisik hampir sama. Serupa tapi tak sama, hanya umur yang berbeda, tidak setua istrinya yang sekarang.

Sebab lain, mungkin saja paman Step sudah lama tidak menyalurkan hasrat biologisnya. Entahlah jika sedang berlama-lama di kamar mandi. Apa yang dilakukannya? Semua orang tidak berani mengintipnya.

Ngomong-ngomong hasrat biologis. Konon kata paman Step, liburan natal dan tahun baru kemarin, ia telah menggagahi gadis bule dari Amerika. Di pulau Dewata lah ia menyalurkan hasrat biologisnya. Ia menggauli bule itu di dalam tenda tepian pantai Sanur. Semua orang yang mendengarkan hanya tersenyum sinis tidak mempercayai ceritanya. Teman-temannya meragu. “Jika kalian tidak percaya, slepping bag saksinya!” meyakinkan kebenaran ceritanya. Padahal bulan desember kemarin ia cuma berdiam diri di kantor dan tidak bepergian kemana-mana. Masih dengan ceritanya, slepping bag jadul miliknya kerap kali untuk melakukan perbuatan maksiat. Menggauli gadis-gadis pada zamannya semasa ia menjadi mahasiswa. Itu baru konon katanya. Kami hanya cengar-cengir tak mempercayai. Lha wong saksinya hanya Tuhan dan Slepping bag. Meneketehe. Ada-ada aja nich si paman Step.

Berbicara seputar dada dan selangkangan wanita, paman Step memang ahlinya. Dikisahkan pada masa mudanya, ia memasang sebuah susuk berupa pelor di penisnya. Katanya dengan susuk itu maka si penis akan mengencang, kuat, keras dan tahan lama di saat melakukan persenggamaan. Di wajahnya ia juga memasukkan beberapa susuk yang berguna sebagai kharisma dan pemikat untuk para wanita-wanita yang disukainya. “Niscaya para wanita-wanita akan klepek-klepek” Selorohnya tertawa terbahak-bahak. Ia mengenang masa mudanya. Semua orang tahu, jika ia sedang memulai bercerita maka ceritanya akan selalu dilebih-lebihkan. Lebay!

***

“Saya akan segera melamarnya, paling lama akhir bulan ini. Secepatnya!” kata paman Step memulai pembicaraan. Kata-katanya begitu yakin dan penuh percaya diri.

“Lho istri paman yang jauh disana gimana?” aku pura-pura tidak tahu permasalahan sebenarnya.

“Saya akan menceraikannya. Sekarang sedang di proses di pengadilan agama” dengan mantap dan tegas ia menjelaskan.

Aku hanya termanggut-manggut, sedang teman-teman yang lain hanya tersenyum mendengar paman mencurahkan isi hatinya. Maklum sudah lama tidak mensetubuhi istrinya yang sah. Sepertinya paman Step sedang mengalami masa puber kedua, dimana libido seksnya mulai menggebu-gebu.

Entah apa lagi yang paman ingin kabarkan. Selama ini, pikiran paman Step hanya tertuju pada wanita yang menyerupa istrinya. Ia tergila-gila kepada janda beranak satu yang selalu disebut-sebut sebagai calon pengganti istrinya. Layaknya anak muda saat merasakan jatuh cinta. Apapun itu akan dilakukan demi si gadis untuk mau menjadi pacarnya. Demi cinta, di suruh makan tai pun kayaknya dimakan juga oleh paman Step.

Perempuan itu memang familiar, ia cepat akrab dengan teman yang baru dikenalnya. Keakrabannya dengan teman-teman membuat paman Step cemburu. Pernah pada suatu malam perempuan itu bermalam di kantor. Ia tidur bersama, berhimpitan bersama teman-teman. Lantas paman mengusir teman yang bersampingan dengan wanita itu, dan ia serta merta menggantikan posisi tempat tidurnya sembari menyelimutkan dengan kain korden yang biasa ia pakai menjelang tidurnya. Oh so sweet, romantis sekali.

Paska perkenalannya dengan paman Step, kini ia mengalami perubahan penampilan secara signifikan. Ia juga mengalami depresi yang sangat akut. Rambutnya di potong pendek menyerupa pria. Pernah kutanya mengapa memangkas rambut panjangnya itu? Jawabnya sederhana; agar paman bisa melupakan dirinya dan tidak lagi menyama persiskan dengan istri paman yang ada di dalam foto.

Sepandai-pandai merubah penampilan, bagaimanapun juga, bagi paman ia adalah replika istrinya pada masa mudanya dahulu. Istri yang pernah ia kawini.

***

Lambat laun, selang 6 bulan kemudian. Kabar pernikahan belum juga tersiar. Tidak ada yang mengabarkan berita pernikahan itu. Gonjang-ganjing pernikahan paman Step seakan redup begitu saja, bagai tertelan bumi dan tak pernah muncul dipermukaan mulut paman Step. Sesumbar yang ingin menikahi janda itu hanya isapan jempol belaka, tidak terbukti. Melamar tidaknya entahlah? Andaipun melamar pastinya akan ditolak mentah-mentah oleh pihak keluarga si perempuan itu. Mana ada bapak yang rela anaknya di nikahi oleh seorang tua yang sudah bercucu? Lagi pula usia calon mertua lebih muda dari usia paman Step.

Tersiar kabar janda beranak satu itu tak pernah lagi datang ke kantor. Tidak diketahui alasan mengapa ia tidak mau beranjang sana. Berdasar info yang didapat dari teman-teman sekantor dengan paman Step. Ternyata perempuan itu takut dengan sikap-sikap paman yang terlalu berlebihan memperhatikan dirinya. Posesif! Di larang bergaul dengan si ini, dilarang bermain dengan si itu. Selalu membatasi ruang gerak perempuan yang dicintainya.

Dan paman Step masih tergila-gila pada sesosok menyerupa istri yang dinikahi pertama kali. “Saya itu mantan tentara, pangkat saya Letnan Dua. Jangan bilang saya seorang tentara kalau apa yang di inginkannya belum tercapai, lantas menyerah begitu saja” paman Step berprinsip. Semangatnya masih menggelora untuk menaklukkan hati janda beranak satu itu. Ia benar-benar jatuh hati padanya. Tapi entah sampai kapan? Hingga kini, hampir memasuki bulan ke delapan tuk kunjung juga tersebar undangan pernikahannya. Tidak ada bisik-bisik kabar bahagia yang terlontar dari mulut paman Step. Apakah ia gagal dalam bercinta? Mungkin cintanya bertepuk sebelah tangan!

***

09.13 Wib. Ups paman Step akhirnya terbangun juga dari tidur panjangnya. “Selamat pagi” ia berucap sapa. “Tumben kalian bangun lebih pagi dari saya!” sembari berjalan kearah rak piring, dan mengambil gelas lalu membuat kopi. Itulah ritual awal di pagi hari sebelum mandi. Segelas kopi hitamlah yang menemani hidupnya sepanjang hari.

Kami hanya berkerut dahi dan tidak begitu menghiraukannnya. Sesekali tersenyum dan melanjutkan aktifitas masing-masing.

Selamat pagi dunia. Hei sudah siang Bung? Mari berkelakar, kami sedang butuh hiburan.

Taman Hidup, 05 Februari 2010

(WFY)