Rabu, 16 Januari 2008

Aku (hanya) Ingin

Aku ingin bermain ditanah lapang yang sangat luas…

Tak ada rumah-rumah yang terbangun

Bergelintir manusia, pun tak ada keramaian

Sepi...Sunyi...

Hanya ada rerumputan hijau membentang..

Aku ingin Bermain petak umpet di padang sabana…

Berlari…

Sembunyi… lalu tertawa

Mengasyikkan….

Ah Hanya ingin.…..

Kehidupan seperti Batu menggelinding; keras dan berputar!

“Aku ingin hidup sepertimu” seorang teman menyeletuk di hadapku. Panjang lebar diceritakanlah ia yang ingin hidup seperti aku. “Andaikan wajah ini bisa ku tukar dengan wajahmu. Berapa perawan yang telah hilang berkat ketampananmu?” Aku hanya tersenyum mendengarnya. Entah apa alasan untuk hidup seperti apa yang aku lakukan. Tidak seperti yang kubayangkan. Semudah itukah ia berkata pada hal keperawanan? Beruntung aku tidak berpikiran seperti itu. Dari pengakuan jujur darinya. Masa muda dinikmatinya dengan hura-hura dan foya-foya. Dari penuturan yang pernah disampaikan, M5 (molimo) cuma satu M yang belum pernah ia lakukan, yakni Medok. Prinsip yang ia jalani yakni; 25 tahun foya-foya, 25 tahun kedepan Orientasi kerja dan 25 tahun kedepannya lagi bertobat. Semoga Tuhan memberi umur panjang padanya.


Pertama kali aku bertemu dengan temanku, disebuah malam yang begitu senyap. Lama tak bersua dengan temanku. Seorang teman yang berperingai aneh. Menurutku begitu! Selalu dibebatnya selendang hitam juga seluruh pakaian yang melekat ditubuhnya juga berwarna hitam, selaras warna kulitnya. Ia sangat menggandrungi musik Rock n Roll, dengan penampilan yang apa adanya. Rambut yang acak-acakkan, kaos yang lusuh. Ia sangat membenci dengan kemapanan. Dia hanya bisa berteriak dengan megaphone jika melihat ketidakadilan. Hanya berteriak? Dan lagi ia berapologi: andaikan aku punya 20 kawan setia di lengkapi dengan senjata AK47. Maka kami akan bergerilya untuk menentang ketidakadilan. Bukan hanya kata tapi juga senjata. Bukankah, Revolusi dari laras senjata? Ujarnya, mengutip kata-kata Mao Ze Dong.


Seorang laki-laki yang identik dengan warna Hitam ini oleh banyak teman sering dibilang seorang yang “Broken Home”, namun ia hanya tersenyum jika dikatakan demikian. Dengan simpel dan nada bergurau ia menjawab, bukan broken home tapi kurang kasih sayang! Apa bedanya? Gayanya yang sok urakan, membuatnya kini tidak percaya akan dirinya. Mungkin karma atau akibat atas perbuatannya. Bukan bermaksud pasrah, dia hanya berujar mungkin ini sudah digariskan Tuhan. Ia selalu menepisnya begitu. Mengalir saja kata kuncinya. Jika ditanya siapa Tuhan anda? Laki-laki ini hanya mendongak ke atas, menerawang jauh tanpa menyebut nama Tuhannya.


Aku salah satu dari sekian banyak orang yang mengaguminya. Dengan gaya yang urakan. Selalu tak menghiraukan tentang orang-orang di sekelilingnya. Nampak arogan. Tanda-tanda itu kulihat sejak pertama kali aku mengenal dirinya. Dengan sombong dalam bertutur kata, juga yang anti kritik. Di carinya berbagai alasan untuk mengelak atas kritik-kritik. Apapun kata yang diutarakan yang menurutnya logis, semua itu dijadikan alasan untuk membantah kritikan yang dihujamkan pada dirinya. Beberapa teman sepertinya memaklumi, pun demikian juga aku. Rasa salut dan kagum aku melihatnya. Bukan sebagai pengakuan melainkan penghormatan untuk dirinya.


Malam itu begitu sepi. Hanya ada bergelintir orang. Itupun sibuk dengan aktivitasnya. Saling mengelompok dan berpencar dari sudut kesudut gedung. Di sebuah ruangan sempit, yang penuh sesak dengan alat-alat musik. Tak tertata rapi juga kelihatan semrawut. Kami mengobrol. Secangkir teh untuk bertiga, berbatang-batang rokok dengan berbagai merk serta obrolan yang tak terlalu serius. Obrolan yang tidak terkonsep. Tidak ada topik bahasan. Penuh nuansa kekeluargaan, perbincangan mengalir begitu saja. Canda tawa dan saling ejek. Kami pun tak marah. Sindiran Hanyalah dianggap sebagai lelucon belaka. Begitulah kami memaknai persahabatan.


Malam berangsut menjadi pagi ketika itu. Hawa dingin sejak malam masih terasa. Dengan diterangi lampu 5 watt yang samar dan temaram cahaya bulan yang bersinar. Tidak secerah yang kubayangkan kala itu. Wajah-wajah terlihat resah teramat sangat. Entah apa yang terpikirkan. Mata yang memerah akibat kepulan asap rokok yang berhembus dari mulut yang menghitam. Lengang dan saling terdiam, terlihat mengangkat cangkir teh sembari memberi isyarat untuk segera meminumnya. “maaf kawan, tak ada minuman beralkohol kali ini, hanya secangkir teh. Mari!” seraya mengajakku bersulang. Aku hanya menganggukkan kepala, mempersilahkan untuk segera meminumnya.


“Kawan apa yang kau pahami tentang kehidupan?” ia bertanya pada manusia resah seperti ku. Lama tak ku jawab pertanyaan itu. Dalam tenang ku enggan untuk menjawabnya. Dia mengulangi pertanyaan yang serupa. Kali ini ia meninggikan nada suaranya. Di kiranya aku tak mendengar pertanyaan yang ditujukan padaku. Lagi dengan mengedipkan mata ku jawab: “Kehidupan itu keras seperti batu”. Sekenanya saja kujawab, tak mengerti apa maksud dari kata-kata yang telah terucap. Temanku hanya mengangguk seolah mengerti apa yang ku katakan. Ku balikkan pertanyaan itu padanya. Dengan simpel juga ia menjawab “kehidupan itu aneh”. Aku hanya teranggut-anggut tak mengerti apa yang dimaksudkannya.


Nyinyir ia ceritakan tentang kehidupan dirinya. “Kau tahu kawan, betapa pahit kehidupan yang kujalani saat ini? Semua teman seolah tak mengakui keberadaanku. Terkadang aku berpikir pada diriku, apakah Tuhan tidak mentakdirkanku, tidak seperti Tuhan menakdirkan dari kebanyakan orang. Serta merta aku mencemooh Tuhan tidak adil!” dengan posisi telentang menyandar tembok ia bercerita. Sebatang rokok yang menancap di sela kedua bibir belum juga dipungut dengan jemari. Tak dihisapnya rokok itu. Tangannya sibuk menggoreskan pena di kertas. Entah apa yang ditulisnya. Sekali menghisap, begitu dalam nampak meresapi. Hembusan asap yang keluar dari mulutnya begitu banyak hingga mengaburkan pandangan. Seolah ia sedang mengeluarkan kegundahan hatinya.


“Kenapa kau mempersalahkan Tuhanmu?” ujarku mencoba berempati.


“Yah Ia tidak adil. Tuhan menciptakanku dengan segala kekurangan tanpa ada kelebihan dari apa yang dimiliki manusia lain. Sedang aku, seorang hina yang kerap kali dipermainkan oleh banyak orang, juga Tuhan. Seperti pion-pion catur yang selalu memindahku dari kotak hitam ke putih selalu begitu seterusnya. Inikah takdir? Seolah aku tak lagi bisa menyetir atas jalan hidupku sendiri” dijelaskannya tentang kehidupan dirinya. Pengulangan kata yang sama makna.


Terpagut diam aku mendengarkan ceritanya. Inilah hidup, seperti roda yang terus berputar. terkadang diatas dan tiba-tiba harus dibawah. Merambat naik dan turun secara cepat. Terus berulang-ulang. Seperti batu yang jatuh dari pucuk dan terus bergulung-gulung, hingga disuatu titik tempat dimana ia harus berhenti. Disitulah batu itu mengonggokkan diri. Merasa nyaman ia berpijak. Bukan lagi mekanisme takdir Tuhan yang selalu diperdebatkan oleh banyak orang. Hidup itu keras? Tergantung pada manusia itu sendiri bagaimana melakoninya.


“Kawan, coba renungkanlah. Seandainya kau hidup di dalam lebatnya hutan. Kau hanya sendiri. Tak ada lagi manusia selain dirimu. Apa yang kau lakukan? Masihkah kau menghujat Tuhanmu itu?” ku coba bertanya alih-alih semoga pertanyaan ini bisa dijadikan bahan renungan.


“Aku telah terbiasa keluar masuk hutan ketika aku sedang mendaki gunung. Aku merasa sangat nyaman dengan kesendirianku. Tak ada lagi, aku harus berpikir ini-itu. Berbuat ini dan itu. Seakan dunia ini hanya milikku” ia menjawabnya dengan penuh kebanggaan.


“Tapi itu cuma sesaatkan?” aku menyindir. “tidakkah kau butuh manusia lain? Yah paling tidak, pendamping hidupmu kelak!


Tak dijawabnya sanggahan yang kuberikan. Ia menunduk menatap lantai. Kulihat ia mengawang. Dengan mimik wajah serius ia mencoba untuk berpikir. Mencari alasan untuk tidak lagi bisa ku menjawabnya. “hei bung, itulah letak ketidakadilan Tuhan! Mataku dibutakan pada realita yang begitu kejam. Sungguh aku tak mempercayainya! Suatu saat! Mungkin? Yakin! Dan lagi pada soal keberpihakan! Saat ini aku tetap konsisten dengan komitmen untuk tidak berkomitmen, selalu konsisten dengan ketidak konsistenanku” ujarnya. Tercengang tak percaya aku mendengarnya. Dengan dongkol aku menyindirnya “apakah kau bisa melakukannya? Sedang kau selalu berkeluh kesah dengan hidupmu!”


Ia menyibakkan rambut panjangnya yang hampir menutupi mata. Kemudian menatapku dalam-dalam, seraya menata rambut dan kemudian mengikatnya dengan gelang karet. “Kau telah membuatku merasa bersalah dengan kedua orang tuaku. Seorang ayah yang mengawini ibu. Dan kemudian melahirkan dan membesarkanku!” dengan nada bergetar. selaksa marah ia menampik. “Aku pikir cerita yang aku sampaikan padamu bukanlah sebuah keluh kesah. Aku hanya ingin berbagi pengalaman dengan mu tentang. Hidup! Tentang hari ini, esok dan seterusnya”.


“Jadilah seperti Koboi dengan Kudanya berjalan searah keyakinan. Tentunya dengan tujuan yang jelas. Toleh kanan-kiri. Pantang mundur tetap maju. Terus melaju terjang ilalang! Tetaplah ber-gerilya searah mata angin, berpencar. Disuatu titik tempat dimana kau merasa nyaman. Disitulah kau berdiri dan berpijak!” aku mencoba membangkitkan semangatnya. Rasa sesal yang ada dalam benakku. Semestinya tak terjadi hal seperti ini. Seharusnya juga aku berhati-hati dalam pembicaraan ini.


Suatu waktu sempat terpikir. Jika suatu saat atau sepuluh tahun kedepan aku tak berjumpa dengannya. Namun disaat takdir kembali mempertemukan ku dengannya, akankah ia akan berubah? Masihkah ia tetap berpetualang dengan imajinasinya? Tak dapat kubayang apa nasib yang terjadi pada dirinya. Ia selalu bergumul dengan bayang-bayang ketakutan yang diciptakannya sendiri. Selalu bermain-main dengan ide-ide, hanya obsesi itupun tanpa tendensi. Ku harap ia tetap konsisten pada setiap perkataannya. Semoga ia bukan Tuhan yang menciptakan takdirnya sendiri. Semoga pula Tuhan tidak tertawa, tatkala ia punya rencana. Ku akui, ia adalah seorang Pecundang…….


Yogyakarta, 07 Juni 2007

Mimpi Si Kecil yang (tak) lagi Indah. Mari mendongengiku!

Malam itu, derasnya hujan tak juga reda. Segelas kopi dan camilan ala kadarnya turut serta menemani. Berbatang rokok memenuhi asbak yang semula kosong. Entah berapa batang rokok yang telah ku sulut, hisap lalu mematikannya di asbak itu. Tak terhingga, mungkin! Sebab aku tak sempat menghitungnya. Hitungan jaripun tampaknya lebih. Kepulan asap beterbangan, berputar di sebuah kamar kecil yang berserak buku, ku yakin tak kesemuanya buku itu telah terbaca oleh pemiliknya. Mungkin ia jadikan sebagai hiasan kamar. Maklum mahasiswa! Harus bergelut dengan buku, kata Iwan Fals.

Pekat dan memerihkan mata. Melihat pun hanya samar, putih dan abu-abu yang bisa terlihat dalam ruangan sempit itu. Antara asap beracun dan oksigen saling berebut masuk dalam paru-paruku. Sesak! Ditembok kamar terpampang aneka gambar dan poster yang tak ku tahu makna dari gambar itu. Gambar yang aneh, pikirku! Mungkin pemilik kamar memasang itu sesuai dengan kegundahan hatinya. Selalu resah. Sisi lain tembok kamar, tergantung sebuah papan tulis putih bertuliskan kata-kata penyemangat, ehm tumben terencana, aku menyindir. Keisengan mulai timbul dan aku menambahi papan itu dengan tulisan; Dusta dan dosa mu tak jauh beda dengan mulutmu! Aku harap pemilik kamar tidak tahu apa maksud dari tulisan itu. Andaipun ia tahu, syukurlah! Bukan hanya soal perempuan saja, paling tidak otaknya masih bisa berpikir.

Sementara aku asyik dengan imajinasi laku hidup yang ku jalani. Seorang kamerad, berkeluh kesah tentang lakon hidup yang tejadi pada dirinya saat ini. Sebelumnya aku tak pernah mendengar ia bercerita akan hal itu. Aku terhenyak kaget bercampur rasa tak percaya atas penuturan jujur darinya. Kewanen Kowe Ple! Bercerita itu padaku! Namun hanya empati yang kurasakan. Tak dinyana, aku ikut memikirkan tentang kehidupan dan segala pernak-perniknya, paling tidak memikirkan tentang diriku sendiri. Yang semula aku hanya diam dan enggan bercerita tentang itu. Pun akhirnya aku terpaksa (baca; dipaksa) untuk ikut mengeluarkan kata-kata yang memang telah sekian lama tak kuucapkan. Menumpuk dalam otak dan memuntahkannya dengan mulutku.

Entah siapa yang memulai. Perbincangan itu bermula disaat hanya sekedar omong kosong dan segala basa-basinya. Maklum lama tak bersua. Alasan pinjam-meminjam uang dan bukulah sebagai trik paling ampuh setiap kali hendak bertemu. Jika ditanya mengapa lama tak berjumpa? Aku dan Bajingan (ed; teman) itu sama-sama akan menjawab; aktivitas kitalah yang membuatnya demikian. Seandainya ditanya tak adakah waktu luang? Maka jawabnya: Tuhan sedang menguji pertemanan kita, kawan!

Sesekali pun tak ada tawa yang mengiring. Aku hanya serius menyimak setiap kata yang terlontar. Terlihat matanya berkaca-kaca, menerawang di langit-langit kamar penuh harap. Wajah tertunduk seakan menyesali dan meratapi tentang realita hidup. Berdoalah, semoga kita diberikan jalan olehNya. Dalam benakku terlintas pertanyaan, inikah Hidup? Itukah takdir Tuhan? Pesimiskah aku! Ah tidak ini hanya ketakutanku saja. Hanya saja belum mencobanya! Aku meyakinkan diri. Di usiaku yang hampir ¼ abad. Sudah selayaknya untuk kembali memulai menata kehidupan. Merencanakan apa yang harus ku lakukan kedepan? Lalu Menyusun strategi dan skenario dalam menghadapi realita hidup! Saat ini bukan dengan mimpi untuk membangun kehidupan. Walau bermimpi paling tidak, terencana dalam menghadapinya.

Sejenak ku teringat masa kanak-kanak. Suatu masa dimana tak pernah memikirkan tentang kedunawian. Polos! Begitu bahagianya waktu itu. Namun kini yang ku hadapi adalah realita hidup yang tak seindah waktu kecil aku bayangkan. Tentang mimpi si kecil yang tak (belum) pernah mengerti akan makna hidup, hitam-putih, manis-pahitnya kehidupan.

“Vincent” besok kalau besar mau jadi apa?” Tanya ayah pada anaknya dengan iming-iming sebatang coklat. Sambil menyahut coklat itu ia berteriak dengan bangganya “Kernet”. Semua hanya diam, suasana menjadi lengang juga terkesima dengan jawaban seperti itu. “mengapa kau pilih kernet?” Sang Ayah balik bertanya dengan muka masam. Bocah itu menjawab dengan kepolosannya “agar aku dapat berkeliling Indonesia!”. Sementara si Ibu hanya menggeleng-geleng kepala. Telihat sedih dengan keluguan anaknya yang bercita-cita sesederhana itu. Dengan kasih sayang dia membelai dan berbisik: “Vincent, jadilah anak yang berbakti bagi nusa dan bangsa serta agama. Bercita-citalah seperti itu!” Bocah itu hanya mengangguk tanpa mengerti apa yang dimaksud Oleh ibunya. Mungkin dalam benak bocah kecil akan bertanya; Apakah nusa & bangsa? Siapakah Agama? Mengapa berbakti terhadapnya?

Aku mencoba kembali mengingat masa kecil nan Indah. Masa-masa dimana aku pernah (setidaknya) mempunyai cita-cita tentang hari esok. Dengan segala keindahan dan mimpi-mimpi yang diciptakan. Tentang mimpi si kecil yang menginginkan jadi ini dan itu, tentunya yang indah-indah. Terasa indah bukan? Andaikan benar sejarah itu pasti berulang? Aku ingin menjadi kecil lagi, (Seperti sedia kala) dengan kepolosan dan keluguan layaknya yang dimiliki bocah kecil lain, selalu bahagia. Angan-angan yang tak mungkin terjadi! Gumamku. Untuk menghibur diri, jalani saja hidup ini dengan senyuman dan nikmatilah jalan hidup, bukankah ini takdir yang telah digariskan Tuhan?

Tentang cita-cita, yang nyata tidak semudah apa yang aku impikan masa kecil. Kini tak lagi indah! Mungkin akan terdengar nada-nada kekecewaan yang kerap terlontar. Hidup itu susah, kata orang putus asa. Realita hidup itu kejam, jawab orang gila. Yah kegelisahan! Manusiawi?

Sejenak lupakanlah tentang mimpi si kecil. Lamat terdengar, siluet. Iblis berselendang hitam membisikkan padaku: jika kau bermimpi, maka bangunlah! Wujudkanlah mimpi itu! Bukan proses ataupun takdir Tuhan namun “kemauan” dan “niat” kitalah yang mampu mewujudkan mimpi itu. Percayalah!” Anggukan kepala tanda setuju. Sepertinya aku harus mampu mewujudkannya, bukan masalah menunggu waktu tapi aku harus mengejar waktu, agar bisa menjadi nyata mimpi itu . Lagi-lagi pilihan…. Tentukanlah pilihan itu atau aku harus tertidur dengan buaian mimpi-mimpi.. Untuk seorang kamerad: Doktrin itu kejam!!