Kamis, 03 Desember 2009

Sang Petualang

oleh; Dwicipta



Pertama kali aku bertemu dengannya di sebuah sore letih ketika ia mengonggokkan diri pada kursi kayu yang terletak persis di sudut kedai kopi yang ramai, hanya ditemani beberapa bungkus rokok aneka merk dan sebuah botol bir. Sampai sekarang sering aku bertanya penuh ketololan bagaimana ia bisa nyaman menenggak bir di sebuah, kedai kopi sementara pengunjung lain hanya menikmati kopi atau teh. Tak ada lagi menu minuman selain kedua jenis tadi.


“Kau tahu, inilah yang bisa kubanggakan di depan semua orang: hidup menggelinding seperti batu, dua atau tiga botol bir kecil di balik baju, dan doa yang tak pernah disampaikan pada Tuhan.” katanya ketika aku bertanya darimana ia mendapatkan bir itu. Rambutnya dibiarkan memanjang dengan bagian depan diponi seperti anak perempuan. Lehernya dibebat syal warna hitam, melengkapi baju dan warna kulitnya yang juga hitam. Dari ceritanya kemudian aku tahu ia pengagum Rock 'n Roll, pengumpat ayah nomor wahid dan seorang kampiun pengagum mama, tak pernah menyukai persahabatan kental dan abadi.


Sore baru turun ketika itu. Udara panas sejak pukul sembilan pagi berangsur-angsur bersahabat. Namun wajahnya resah luar biasa. Matanya merah karena pengaruh alkohol. Batang demi batang rokok tak pernah luput dari dua bibirnya yang menghitam. Pertama kali aku masuk kedai ia mengangkat botol birnya tinggi-tinggi, memberi isyarat menggelengkan kepala supaya aku mendekat kearahnya..


“Kau minum apa? Aku tak bisa membagi kebahagiaanku dengan orang lain. Itulah sebabnya aku tak akan menawarkan botol birku padamu,” ujarnya mengawali pembicaraan.


“Bagaimana kalau aku benar-benar ingin bir?” aku menggodanya.


Mulutnya menyumpah-nyumpah dengan bahasa Inggris kacau balau.


“Kalau aku tak memberikannya?” ia bertanya dengan wajah tenang.


“Kita tak jadi berbicara.”


Ia kembali menyumpah-nyumpah. Botol birnya menempel lama di bibirnya sementara rokok yang menyala ia letakkan begitu saja diatas meja. Begitu ujung botol ia lepas dari mulutnya ia menyeringai.


“Aku suka gayamu. Kuberikan sebotol birku.”


Tangannya bergerak ke balik bajunya dan mengeluarkan sebotol lagi bir kecil. Aku hampir tertawa melihat di balik baju yang menyembunyikan tubuh tinggi kurusnya itu ada dua atau tiga botol minuman. Begitu ia akan membuka botol itu tanganku bergerak menahan.


“Tidak, aku hanya bercanda. Aku bukan peminum bir.”


Saat itu juga sumpah serapahnya keluar lebih panjang. Wajahnya makin memerah. Kakinya berkali-kali dihentakkan ke lantai. Beberapa pengunjung yang ada di dekat meja kami tertarik oleh gaya bohemiannya, namun segera memalingkan muka kembali melihat wajahnya yang marah karena diperhatikan orang.


“Kau telah membuatku tertipu. Skor sekarang satu kosong,” katanya sembari tersenyum tulus. Ia melambaikan tangan memanggil pelayan. Aku memesan kopi pahit dan dua potong roti serta sebungkus rokok.


“Hidup ini memang tak adil sejak awal. Lihatlah pemilik kedai ini, orang yang duduk di antara tiga orang kulit putih itu,” katanya sambil mengarahkan botol minumannya pada meja di tepi jendela yang diduduki lima orang, tiga diantaranya orang asing berkulit putih. “Ia teman baikku. Tapi nasib kami berbeda hampir seratus delapan puluh derajat. Ia bahagia sejak kecil, memiliki ayah dan mama kaya raya, lalu seorang istri yang baik dan cantik. Otaknya cerdas, bisa masuk di perguruan tinggi bergengsi. Sekarang usahanya berhasil baik, visi usahanya banyak dipuji orang. Dan kabar terakhir yang kuterima tahun depan ia akan menjadi wakil rakyat paling muda. Sedangkan aku, atas nama Iblis laknat yang mengutuk hidupku, mengalami bagian paling kelamnya....,” katanya dengan menyandarkan kepalanya yang berambut panjang ke sandaran kursi. Baru kumaklumi kenapa ia bisa bertingkah seaneh ini dan tidak dilemparkan keluar dari kedai kopi. Pemilik kedai ini rupanya teman baiknya.


“Tapi dari sikapmu di sini kelihatannya kau menikmati hidupmu.

“Oh, astaga! Hidupku telah dikhianati ayahku sejak kecil. Kau tahu, waktu itu aku berusia enam tahun. Enam tahun, Sobat, dan akan merayakan ulang tahunku! Tapi ia keburu mampus, tak mau memberikan ucapan selamat ulang tahun untukku. Menjelang penguburannya, aku justru dikelilingi mama dan saudaraku. Lilin dinyalakan. Dan nyanyian setan itu menggema riang. Aku kehilangan ayahku, aku betanya pada mama, dan ia hanya menangis dan memelukku, meyakinkan aku bahwa ayah sedang pergi ke Jakarta sejak malam sebelumnya untuk membelikan hadiah ulang tahunku. Kau tahu, Sobat, aku baru tahu ia meninggal ketika sudah berusia sepuluh tahun dan duduk di kelas empat sekolah dasar.” ujarnya dengan mata menerawang jauh.


Rasa panas rokokku yang hampir habis membuat aku sadar dari keadaan terbengong mendengarkan kisahnya yang menyedihkan. Barangkali inilah sebabnya kenapa sore ini udara terasa beracun dan tenggerokanku kering meskipun telah kuhabiskan berbotol-botl air putih.


“Aku turut bersedih,” ujarku mencoba bersimpati


Ia menghentakkan kaki.


“Hei, Man,jangan bersikap bodoh seperti itu! Hidup ini seperti batu yang menggelinding. Rock 'n Roll. Kau tahu The Doors? Aku penganut The Doors sampai ke sumsum tulangku. Karena dia Rock 'n Roll. Ingatkah engkau lagunya yang berjudul Moon of Alabama? Ah, akulah si pemabuk yang dinyanyikan The doors,” katanya meracau.


Tanpa diminta ia kemudian menyanyikan Moon of Alabama, seolah-olah memintaku menunjukan Bar Whiskey dan gadis-gadis peneman tidur berikutnya tanpa harus bertanya kenapa ia ingin ke Bar Whiskey. Dengan mimiknya yang aneh ia bagai mengancamku untuk mati bersama jika tak menemukan Bar Whiskey berikutnya. Hampir saja aku yakin ia telah gila oleh segala tingkah laku konyolnya ini. Tanpa mempedulikan pengunjung lain yang sesekali melirik ke meja kami, aku menghisap batang rokokku pelan-pelan, menungguinya selesai menyanyi.


“Dengar, di bait ketika Old Mama pergi, selalu saja airmataku akan tumpah, dan jika memang tumpah, akan kubiarkan memenuhi jalanan diluar sana. Aku sangat mencintai mamaku. Dialah yang berjuang membesarkanku dan tiga kakak perempuanku. Ayolah, kau benar-benar menginginkan bir? Aku akan membuka botol bir yang sudah terlanjur kukeluarkan ini. Untuk mamaku tercinta.”


“Tapi tak semestinya kau iri pada sahabatmu itu. Bukankah dia yang memberikan kebebasan padamu disini?” ujarku mengembalikan percakapan semula.


“Aku tak iri. Aku hanya dendam pada ayahku dan pada orang-orang yang berbuat jahat, atau aku sangat mencintai mamaku yang membesarkan kami berempat tanpa menikah lagi dengan segenap tenaga dan pikirannya. Tak ada perempuan lain yang sehebat mamaku. Aku tak iri pada sahabatku itu. Dendamku pada ayahku sampai kepuncak langit. Ia meninggalkan aku di usia genap enam puluh tahun. Masih cukup muda. Kuharap temanku juga meninggal di usia itu,” katanya sembari tersenyum sinis dan melemparkan isyarat yang tak kuketahui.


“Ya, temanmu itu hebat. Aku bisa merasakan aura kecerdasan dari dalam diriya. Dan istrinya sangat cantik. Apakah kau tak ingin memiliki istri cantik dan sebaik istri temanmu?”


Ia menempelkan ujung botol birnya dan memintaku melihat bagaimana ia mematikan rokok sembari menenggak isi botol itu.


“Perempuan tak pernah kupahami, kecuali mamaku. Setiap kali menjalin hubungan dengan perempuan, ia meminta lebih dari yang bisa kuberikan. Kau tahu, aku akan terus menggelinding mengikuti keadaan sampai sesuatu menghentikanku atau aku akan terus menggelinding dalam kehampaan, lenyap tanpa bekas. Pendeknya aku benar-benar ingin tahu siapa diriku. Dan perempuan, Sobat, mereka tak pernah mau tahu kenapa aku ingin tahu diriku! Aku mencari yang seperti itu, sosok seperti ibuku. Kalau aku mendapatkannya, aku akan memberi lebih dari apa yang telah diberikan ayahku pada mamaku. Aku tak ingin lari dari tanggungjawabku. Tak akan kutinggalkan anak-anakku ketika mereka masih kecil seperti dulu dilakukan ayahku. Temanku beruntung mendapatkan perempuan seperti dia, meskipun belum tentu sebaik mamaku dan belum tentu ia baik pada setiap orang.”


“Dan temanmu adalah calon wakil rakyat palng muda dan paling potensial dari kota ini. Apakah kau mengira hidupmu akan habis karena melihat karir temanmu yang bak meteor dan dirimu yang dipertalikan dengan nasib yang jahat?”


“Aku tak akan pernah habis! Sudah kukatakan, aku tak mengiri pada apapun. Hidupku akan terus menggelinding, tanpa kupedulikan kemana arah yang jelas. Dan meteor? Apakah kau tahu meteor adalah bintang yang menunjukkan kecemerlangannya untuk terakhir kali sebelum lenyap? Untuk itulah kau kuundang kemari. Kita masuk ke kandang harimau. Orang-orang di sini senang menggunakan pepatah “tak ada gading yang tak retak,” ujarnya sembari mengedipkan mata kirinya. Rambut poninya berkibar begitu ia menyebulkan udara dari mulutnya yang berbau alkohol ke arah rambut yang tergerai sampai dahi itu.


Diam-diam harus kuakui kecerdasan di balik segala sikapnya yang ugal-ugalan. Aku tersenyum sarkastis.


“Kau menggunting dalam lipatan?” tanyaku sinis.


“Aku tak tahu apakah sedang mengguntig dalam lipatan atau tidak. Aku tidak iri pada siapapun. Aku hanya memikirkan bagaimana caranya membahagiakan mama dan semua orang. Tapi aku tak suka orang culas dan suka menyengsarakan banyak orang seperti ayahku. Tak perlu rasanya aku diperhatikan oleh siapapun, tapi aku ingin memberi sedikit manfaat pada banyak orang.”


“Berapa harga dari informasi yang akan kau berikan? Aku hanya seorang wartawan, jadi aku sangat menghargai profesionalitas,” ujarku sungguh-sungguh. “Informasimu akan menjadi pintu bagi penyelidikan pemilihan wakil rakyat di kota ini.”


“Setiap kali mendengar kata harga, aku selalu membayangkan neraka, Sobat, Kau tahu ketika orang-orang bertanya padaku tentang Tuhan dan takdir atau nasib, kujawab pertanyaan mereka denga hanya melihat langit, diam termenung tanpa mengingat Tuhan sekalipun. Tuhan selalu menghargai segala hal, baik dan buruk, dengan balas jasa surga atau neraka. Sedangkan aku tidak percaya Tuhan. Bagaimana aku bisa memberi harga?” ujarnya mencoba berfilsafat.


Aku meleletkan lidah oleh kefasihannya menjelaskan segala hal yang ia yakini. Para pengunjung kedai tak habis-habisnya membuat senyum pemilik kedai dan istrinya yang sangat cantik dan anggun itu tak pernah lepas dari bibirnya. Tiga orang asing berkulit putih itu tertawa-tawa entah karena apa. Aku kembali pada lelaki bertampang aneh yang seolah memiliki dunianya sendiri itu.


“Yang Paling kusuka dari The Doors adalah karena sebuah lagunya yang luar biasa, The End. Kau mau mendengarkannya? Aku membawa MP3 Player, silahkan dengarkan kalau mau,” katanya menawarkan MP3 Player yang ada disakunya. Ia mengangsurkannya padaku. Aku menggeleng dan membalas dengan ucapan terima kasih.


“Aku juga suka lagu-lagu The Doors. The end memang salah satu yang terbaik,” kataku.


Ia memintaku tos dengan kedua telapak tangan. Lalu botol birnya terangkat kembali, dan gelasku beradu dengan botolnya, merayakan kesamaan dan hobi kami pada grup musik legendaris itu.


“Kenapa kau tak bilang dari tadi?! Aku tak pernah punya teman abadi, tapi kalau ada pengagum The Doors, aku akan berpikir untuk mengubah pendirianku. Nah, yang sekarang bersama tiga orang asing itu. Tapi jika memang harus berakhir, maka berakhirlah! Tentang rencana-rencana mendalam kami, berakhirlah. Tentang segala sesuatu yang ada, berakhirlah. Tentang yang aman dan penuh kejutan, berakhirlah. tak akan kutatap kedua matanya lagi,” katanya sembari mengutip lirik dalam lagu itu.


“Kenapa sedemikian perih kau menyanyikannya?” tanyaku ingin tahu.


“Karena di balik segala kebahagiaan dari dalam dirinya, keganasannya lebih iblis daripada iblis itu sendiri,” katanya sembari berbisik.


Ia menuliskan sesuatu di kertas, memintaku bertemu untuk mnyerahkan beberapa dokumen penting d sebuah tempat rahasia. Setelah itu aku membaca dan meremas hancur surat itu, dengan segala keagungan sikapnya ia mengusirku dari tempat duduknya dan menikmati kesendiriannya kembali. Aku keluar dari kedai menjelang gelap turun, berjalan seperti kuda congklang, bersiul penuh kemenangan.


Ketika kutulis kisah ini, lelaki itu telah meninggalkan kota ini dan bekas teman baiknya -pemilik kedai dan calon wakil rakyat termuda paling ambisius dari kota ini- telah masuk sel tahanan karena kecurangan-kecurangan yang ia lakukan demi mendapatkan kedudukan itu, termasuk tindakannya menjual aset-aset itu pada orang asing. Tak ada seorangpun yang tahu jika lelaki itulah yang memberikan segala informasinya padaku.


Sering kubayangkan suatu hari aku akan bertemu dengannya di sebuah kota -karena cita-citanya sejak kecil berpetualang dari satu tempat ketempat seperti batu yag menggelinding, sampai lenyap ditelan waktu- dan bercakap tentang hari dimana ia memberikan banyak informasi tentang teman baiknya. Atau aku yang bercerita tentang hari-hari sesudah pertemuan itu, kesibukanku membongkar kejahatan para calon-calon wakil rakyat kota ini dibawah ancaman pembunuhan dan kejaran para kaki tangan orang jahat itu. Sungguh, ia seorang petualang sejati!



Yogyakarta, Juni 2007

untuk Fitri

Senin, 23 November 2009

Suka Duka Di Taman Hidup -Kisah pak Tua “ngGacor”- part II

Kala itu, di suatu siang yang panas. Pada sebuah obrolan yang ringan. Obrolan santai pelepas penat. Obrolan yang tak pernah serius, basa-basi. Hanya omong kosong dan sekedar bergosip. Mencoba bersolusi dan pada akhir kesimpulan yang tak pernah terealisasi. Suara kegelisahan dari kami rakyat jelata. Suara-suara yang berani berbicara lantang. Suara-suara yang berani mengungkap fakta. Berani bergumam! Apa yang terjadi dengan hutan kami? “Bakar saja hutan di negeri ini, Biar ramai!” Itulah awal mula perbincangan dimulai.

“Begitulah kondisi di negeri ini! Mereka (baca; pemerintah) hanya menutup mata!” kataku pasrah. Menunduk lesu, menghela nafas panjang dan membiarkan otakku terus bekerja memecah persoalan. Begitu pelik memang! “Lalu apa yang harus kita lakukan?” temanku lirih bergumam. Begitulah jika kami di ruangan sempit berukuran 4 X 6 meter berdiskusi. Hanya sebatas gumaman. Kegelisahan mencoba untuk berbicara fakta tentang hutan di negeri ini. Negeri yang konon pernah dinobatkan sebagai paru-paru dunia. Namun fakta yang terjadi, justru jauh dari realita. Kita telah ditipu oleh media dan mediapun ditipu oleh lembaga Internasional yang menobatkan negeri ini. Jika tak percaya berkelilinglah nusantara! Lihatlah apa yang terjadi?

“Kita harus melakukan Revolusi! merevolusi sistem! Di negeri ini semua harus di revolusi! Apapun itu” suara paman memecah kebuntuan disebuah siang yang panas. Kami hanya saling tatap. Saling pandang penuh tanya? Apalagi yang ia hendak ceritakan. Memberi solusi? Mungkin saja! Semoga ia tak lagi sekedar bercerita. “Realisasikanlah paman” lagi hanya bisa bergumam. Kupikir jika ada yang mempelopori sebuah gerakan yang konsisten dan berani, kuyakin seluruh pemuda Indonesia akan mendukung. “Jadilah martir! Paman sudah terlalu renta. Sekali berarti setelah itu mati” aku bergunjing pada temanku. Akupun tersenyum tertutup tangan.

Paman Step pun mulai berkonsep “Indonesia itu bisa maju jika di revolusi total. Revolusi sistem di seluruh lembaga negara” berhenti sejenak mengambil nafas dalam-dalam. “Negeri ini sudah bobrok! Hukumnya bobrok, undang-undangnya saling tumpang tindih! Harus di rombak tatanan negeri ini” ia melanjutkan, tanpa menjelaskan konsep yang jelas. Kedua teman saling bertoleh. Apa maksudnya? Terheran dengan rencana besarnya. “Revolusi tidak semudah mengupas kacang paman!” gurauku. “Betul. Memang tidak mudah! Butuh pengorbanan dan perjuangan yang panjang!” tandasnya. “Lalu apa yang harus kita lakukan?” tanyaku berpura-pura serius. Ia menjawab “Kita harus demonstrasi! Menuntut perubahan! Revolusilah jalan keluarnya!” dengan nada semangat dan berapi-api, layaknya para aktivis yang berteriak menuntut perubahan dijalanan.

“Ah ngapain berkoar-koar di gedung dewan rakyat itu? Hanya ditertawakan para bajingan-bajingan berdasi” sindirku terus memancing konsep revolusinya. “Lho kamu itu tahu apa? Saya itu ya, pernah mengalami 6 zaman” memotong ucapanku. “Saya itu ya Le, pernah menjadi aktivis GMNI, saya itu dulu seorang demonstran. Pada zaman PKI bergolak era Orde Lama, saya pernah menjadi target orang-orang yang pro pada Soeharto. Orde Baru! Beruntung hingga kini saya masih hidup! Saya juga hanya mencoblos cuma satu kali di tahun 1977. Setelah zaman berganti Orde Baru hingga sekarang saya tak pernah berperan serta pada pemilu. Kemarin saja saya golput kok!” lanjutnya. Aku hanya mengernyitkan dahi. Bingung dengan penjelasan yang ia paparkan panjang lebar. Kok gak nyambung ya? Biarlah, mungkin ia sedang menceritakan sejarah masa lalunya. Kelam, suram dan heroik. Seperti api ia terus membara. Berkobar tanpa jeda.

Semua hanya menyungging senyum. Kebingungan! “Kok gak nyambung ya?” teman sebelahku berbisik. “Entahlah?!” aku berbalas bisik. Aku hanya tersenyum sembari memicingkan mata sebagai kode untuk memancing cerita-cerita yang terus menggebu. “Konkrit aja paman. Dengan cara apa merevolusi Indonesia?” tanyaku nyinyir. “Ya itu tadi Le dengan di revolusi sistem aparatur di negara ini” jawabnya. “Revolusi itu bukan hanya kata-kata paman! Praksisnya gimana?” aku mulai terpancing dengan pembelaannya. “Demonstrasi le..Aksi Massa!” kata paman step. “Ah tai kucing dengan demontrasi!” aku memotong jawaban yang selalu diulang-ulang. “Aku lebih sepakat jika revolusi menggunakan senjata! Revolusi dengan aksi massa adalah tai kucing paman! Seperti manusia kelaparan meneriak “lapar“ Berkoar-koar dengan slogan-slogan kosong di gedung dewan? percuma! Toh para wakil rakyat yang dipilihpun semua tuli!” cetusku. Aku terus memancing emosinya. “Ya itu salah satu bagian dari revolusi Le. Saya juga sepakat” tegasnya. Tanpa tapi dan solusi ia menyeloroh. Aku hanya terdiam. Bingung tak berkata. Apa maksud ia mengamini perkataanku. Apa ia juga sependapat dengan kata-kataku. Entahlah aku tahu pola pikirnya. Selalu njlimet. Membingungkan!

“Lho bukannya paman berani bersuara? Mengapa tidak berani bertindak?” kataku menyindir. “Ah saya lebih suka bermain dibalik layar! Secara konsep saya pandai! Tugasku dari dulu hingga sekarang mendidik anak muda seperti kalian untuk lebih berani bersikap, progresif, dan revolusioner” ia memberi alasan. Lagi aku hanya bergeleng kepala tak mengerti apa maksud dari kata-katanya. Jika aku terus mendesak jawaban, ia mesti menurunkan tensi nada suara dan tak menggebu-gebu. Jika mulai tersudut dari berbagai pertanyaan ia selalu berusaha merendah dan mengalihkan pembicaraan. Semua orang pun bisa jika hanya sebatas mengkonsep dengan kata-kata. “Aku pun bisa” teriakku dalam hati.
***

Siang semakin panas. Matahari rupa-rupanya tak mau kompromi. Keringat perlahan mulai menetes. Panasnya mulai terasa sampai ke ubun-ubun. Emosipun semakin meluap seiring diskusi yang penuh kekonyolan. Berulangkali keringat kuseka dengan sapu tangan. Sedang kami berempat masih diposisi duduk yang sama, masih dengan kepuraan yang kami buat. Seolah mendengarkan cerita mekanisme revolusi dan segala tetek bengek sejarah masa lalu.

Diskusi pun ditutup dengan acara makan siang. Sembari makan ia masih mengajak berdiskusi. Mengobral cerita dan menyumpah serapah. Sedang kami bertiga hanya sebagai pendengar setia. Diam tanpa komentar. Termanggut-manggut seolah menyimak apa yang diceritakan. Dalam tradisi Jawa, makan sambil berbicara itu tidak lazim. “Pamali” orang Jawa bilang. Tapi tidak bagi paman Step, baginya itu tradisi feodal para raja-raja Jawa. Memang ia berada diluar tradisi, mendobrak kultur dan adat istiadat! Maklum ia bukan terlahir sebagai suku Jawa.

Diskusi yang takkan pernah berujung dan takkan pernah terealisasi. Percuma saja mengkonsep hingga mulut berbusa.
***

Bicara tentang sejarah, paman Steplah jagonya. Ia begitu fasih menceritakan runtutan peristiwa-peristiwa bersejarah di masa lampau. Ia adalah seorang kutu buku. Ia begitu mahir menghafal buku-buku sejarah yang dibacanya. Bahkan program Tv mengenai sejarah Indonesia dan duniapun ia tahu betul bagaimana jalannya peristiwa itu berlangsung. Ia memang seperti mesin pengingat sejarah. Kagum aku dibuatnya, Menilik latar belakangnya ia memang bukan berpendidikan dari fakultas sejarah.

Aneh bin ajaib! Hingga kuheran. Banyak cerita dan karangan dari berbagai media ia klaim. “Mau tau siapa dia? akulah orangnya” diakuinya dengan bangga. Sama sekali tanpa memberi kesempatan untuk menjawab dari pertanyaan yang ia sendiri lontarkan. Aku hanya menunduk kepala. Apa maksudnya? Apa yang ia baca lalu diceritakan dengan lugas, persis sama apa yang ada didalam buku. Hanya saja nama pelaku ia ganti dengan namanya sendiri. Ah tai, aku sudah tahu jika ia akan menceritakan bahwa ia adalah sang pelaku sejarah itu. Padahal rentetan sejarah yang ia ceritakan bersumber dari berita di tv dan buku yang baru saja dibaca. Yang pasti daya ingat paman Step luar biasa luar tajam. Memang benar, setajam-tajamnya pedang lebih kalah tajam dengan tajamnya lidah.

Bicara tentang andil dalam sejarah. Aku tak begitu mempercayai begitu saja. Pernah temanku menggerutu sekaligus kecewa. Pada suatu ketika di peringatan hari bumi. Temanku membuat diskusi dan Hearing dengan DPRD (Dewan Perwakilan Rakyar Daerah) yang bertema tentang Hutan di kotanya. Paman Step dihadapan teman-temanya selalu saja mengklaim bahwa ialah yang memfasilitasi acara tersebut. Mendengar klaim itu temanku marah hebat. Setahuku paman Step tanpa undangan datang diacara tersebut. Itupun hanya sebentar, setelah itu pulang. Dihadapanku dengan bangga ia berceloteh. “Itu lho teman-teman OPA (akronim; Organisasi Pecinta Alam) jika tidak ada saya acara itu tidak bakalan sukses. Sayalah yang melobi para anggota dewan untuk Hearing dengan para OPA!”. Sedang temanku yang membuat acara tersebut hanya dongkol dan misuh “JANCOK!! ”. “Sabar boy... sabar.. Maklumi, ia sudah terlalu tua, ia sedang butuh eksistensi” kumeredam emosi temanku yang memuncak. Itupun kulakukan sembari bergurau.

Satu cerita yang membuatku terpingkal. Masih dengan heroik ia bercerita jika ia adalah salah satu sanak famili dari kakek buyutnya yang pernah melakukan percobaan pembunuhan presiden Soekarno. Ia menembaki sang presiden dari pesawat tempur Mikoyan-Gurevich MiG-17F Fresco nomor 1112. Daniel Alexander Maukar-lah yang diakui paman Step sebagai kakek buyutnya.

Kutanya mengapa kakek buyutnya berani menembaki presiden? Konon kata paman Step, pacar kakek buyutnya direbut Soekarno dan hingga hingga akhir hayat si penembak itu tetap membujang. Aku terpingkal mendengarkan ceritanya. Hanya karena cinta ia berani melakukan usaha percobaan pembunuh sang presiden kala itu. Apakah benar alasan cinta? Tak adakah sebab lain? Aku mulai meragu! Paman Step tak henti-henti meyakinkan kebenaran ceritanya. Menyedihkan sekali nasib si penembak itu. Berakhir tragis! Masa sich, akhir hayatnya dihabiskan di kamar mandi, onani. Mari buka kembali lembaran-lembaran buku sejarah. Luruskan sejarah!!

Paman Step memang berasal dari keluarga militan. Aku masih terkekeh mendengar ceritanya. Bukankah paman Step pernah aktif di organisasi pergerakan GMNI (akronim; Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia)? Kok ya tidak membalaskan dendam kakek buyutnya itu. Bukankah GMNI itu underbownya PNI (Partai Nasional Indonesia)? Ada-ada aja nich paman Step ini, kok malah ikut aktif di organisasi yang Notabene kendaraan politik Soekarno. Kok ya tidak ikut PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) saja. Lalu bersekongkol dengan musuh-musuh Soekarno dan membalaskan dendam kakek buyutnya?

Kembali pada konsep revolusi. Paman masih bercerita tentang revolusi senjata. Konon ia pernah membunuh puluhan orang sewaktu mengikuti operasi Seroja di Timor-Timur (sekarang Timor Leste). Dia hafal betul cara merakit senapan. Dari M 16, AK 47, Steyr AUG, Galil dengan mata terutup ia bisa merakit. Seluk beluk isi dari senapan itu ia telah hafal luar dalam. Konon katanya ia bisa membuat senapan laras panjang setara buatan pabrik. Akurasi, letupan dan ketahanan dari senapan yang ia buat kualitasnya hampir tak jauh beda dengan produksi pabrikan Pindad atau Rusia IZhMASh. “Baiklah paman. Saya siap jadi martir. Separuh nyawa kupersembahkan untuk revolusi Indonesia. Tolong saya buatkan senapan api 10 pucuk saja! Dengan sepuluh pemuda, saya siap bergerilya” ejekku. Paman Step mengiyakan permintaanku, dan ia berjanji akan membuatkan 10 pucuk pesananku. Kutahu ia takkan pernah menepati janji. Revolusi takkan berhasil tanpa senjata. Takkan mungkin terwujud revolusi di Indonesia.

Diakhir perbincangan tentang revolusi. Ia memamerkan sebuah magazin berikut 36 butir peluru berkaliber 5.56 x 45 mm. Katanya magazin dan peluru itu adalah kenang-kenangan dari operasi Seroja yang pernah ia ikuti. Kupegang magazin itu, kuamati satu persatu selongsong peluru. Tertera ke-36 butir peluru itu diproduksi tahun 1983. ehm, bukankah semua orang Indonesia tahu kalau Operasi Seroja itu dimulai pada akhir desember 1975 hingga 1978. Ada-ada aja nih paman yang jenius ini, masa mau membodohi saya. Memangnya saya buta huruf? Gumamku. Usut punya usut, berdasar informasi dari teman-teman magazin beserta 36 butir peluru yang dimiliki paman Step itu adalah hasil pemberian dari temannya yang kini sedang bertugas di Koramil (Komando Rayon Militer) setempat. Aku dikibuli. Tak apa ia mengibuli, yang penting aku bisa tertawa. Stres hilang coy. Tertawalah sebelum tertawa itu dilarang kata Dono, Kasino, Indro dalam film-filmnya. Anggap saja pelepas penat yang menghimpit, Leluconing Urip.
***

Sejarah telah membuktikan. Dari tempat lahir di Ambon ia berkeliling Nusantara hingga duniapun telah jajaki. Celah dunia bagian mana kaki yang belum di injak paman Step? Kuyakin, pengakuannya dari ujung utara hingga selatan ia telah tapaki. Dari ujung timur sampai barat ia telah jelajahi. Benarkah? Mari terus bertanya?


Taman Hidup, 10 November 2009

Selasa, 17 November 2009

Suka Duka Di Taman Hidup -Kisah pak Tua “ngGacor”

Cerita ini bermula dari sekedar basa-basi dan omong kosong, hingga pada akhirnya muncullah perdebatan dengan pak tua.

“Kamu itu tahu apa le? Kamu itu masih bocah! Aku lebih berpengalaman daripada kamu!” Begitulah jika ia menasehatiku. Dalam hati aku hanya bisa berkomentar “Sudahlah pak tua, zaman sudah berubah, bukan waktunya lagi berandai-andai dengan masa lalu. Itu dulu, ceritamu hanya pada zamanmu. Tidak mesti selalu benar di masa kini. Lihatlah realita? Apakah sesuai dengan ceritamu?”. Hanya berkomentar dalam hati saja. Tidak berani kukatakan terus terang. Takutnya, komentarku menyinggung perasaan. Mengingat usianya yang semakin menua. Maklum saja! Lha wong dia lebih berpengalaman dari pada aku kok! Yang muda mengalah kumenyemangati diri. Hal itu kulakukan hanya sebatas menghormati ia yang lebih tua 35 tahun dari usiaku sekarang. Andai saja ia seusiaku, mestinya berucap terus terang akan perkataan yang kuungkapkan didalam hati. Kutakut jika tak kuungkapkan dengan terus terang, hati ini tertimbun gumpalan penyakit yang bernama dengki. Sekali lagi, demi menghormati yang “tua” tak apalah. Toh itu demi menjaga perasaan pak tua. Aku tak mau menyakiti hati pak tua hanya karena ucapanku. Kuharap, aku diberi ketabahan olehNya.

Sekilas tentang pak tua. Teman-temanku selalu memanggilnya “Paman Step”. Begitu juga denganku! Hampir semua orang yang mengenal dia, pasti memanggil dengan nama itu. Baik itu yang baru kenal dengan dirinya bahkan teman seusianya.

Ia adalah seorang lelaki tua yang masih berpenampilan nyentrik layaknya anak muda. Rambutnya gondrong. Tubuhnya bertatto. Di lengan dan punggung berrajah salib yang dilingkari simbol cinta, sedang kakinya hanya tertera berupa kata “Ract”. Jika aku berpendapat mengenai dia, pastinya paman Step masa mudanya nakal, Rock n Roll dan badung. Terbukti ketika aku melihat album fotonya, ia adalah anak gaul pada zamannya. Rokok, Alkohol dan perempuan adalah bagian yang tak bisa lepas dari kehidupan sehari-hari, waktu itu. Jika kusimpulkan tentang kehidupan masa mudanya, laku hidup yang dilakoni berpedoman pada Al-kitab sedang penuntun hidupnya yaitu Al-Kohol. Tak kalah dengan anak muda masa sekarang. Rock n Roll!!

Ia bapak beranak tiga dan sudah dikaruniai cucu. Putrinya yang bungsu kalau tak salah berusia hampir 16 tahun. Entah dengan anaknya yang lain. Aku tak begitu mengetahui kehidupan rumah tangganya. Pernah suatu ketika bertanya dengan paman Step, berapakah anak paman? Ia tidak menjawab. Tapi setahuku, anak laki-laki dan si bungsu kerap menemui sang papi di kantor meminta uang jatah bulanan. Sedangkan anak yang telah memberinya cucu, adalah anak perempuan. Mungkin putri sulung. Itupun kudengar tanpa sengaja dari pembicaraan orang-orang mengenai dirinya. Ia hampir tak pernah pulang ke rumah. Kesehariannya ia habiskan di kantor. Makan, minum, mandi, tidur, kerja, kencing dan berak pun di kantor. Pengabdian yang luar biasa, tanpa pamrih!

Seorang Lelaki yang terlahir sebagai Nasrani. Tapi tak mau mengakui kenasraniannya. Seorang yang tak mengakui keberadaan Tuhannya. Tapi jika sedang dirundung masalah, dibukalah Al-Kitab –Injil- berharap mendapatkan ketenteraman hati serta berharap menemukan jalan keluar dari kesukaraan yang dihadapi. Pernah, kudengar dan kerap kali ia menahbiskan dirinya sebagai Tuhan Swasta. Itupun ia menceritakan secara vulgar dihadapan teman serta orang-orang dilingkungan kantor. Setelah menahbiskan diri sebagai Tuhan swasta, ia serta merta menunjuk -yang paling kutidak suka- dan mengangkatku sebagai nabi yang juga swasta. Ra sudi!!! Aku punya Tuhan yang tak jelas, berujud dia!

Ia mengklaim bahwa istilah “Tuhan Swasta” tercetus dari mulutnya. Kuluruskan sejarah. Perlu diralat! Yang mempopulerkan istilah Tuhan swasta itu adalah teman-temanku tatkala disuatu malam pada obrolan yang dipengaruhi alkohol. Sejarah munculnya istilah “Tuhan Swasta” bermula dari sebuah obrolan mengenai UU NO 01 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Ada salah satu pasal yang tidak aku sependapat. Dalam undang-undang itu, menurut analisisku hanya diperuntukkan bagi salah satu agama tertentu saja! Pertanyaan yang mendasar dari ketidaksepakatanku adalah; bolehkah manusia yang tidak seiman atau seagama menikah? Sahkah? Mengingat orang tua berbeda agama, status Haram atau halalkah si anak itu? Undang-undang tak menjawabnya secara gamblang dan terperinci. Bermula dari situlah asal mula munculnya istilah KUA (Kantor Urusan Agama) swasta, MUI (Majelis Ulama Indonesia) swasta, semua lembaga yang menaungi beraneka agama di swastanisasi. Termasuk Tuhan, juga swasta! Ini langka! Hanya ada di imajinasi orang Indonesia.

Ia begitu fasih menjelaskan apa, kenapa, mengapa, bagaimana ia menjadi seorang Atheis? Pencela nomor wahid! Bercelotehlah ia dengan berbagai dalil yang entah ia kutip dari mana? Menurutku apa yang ia jelaskan tidaklah logis. Mungkin hanya orang bodoh saja yang bisa mencerna dan memahami dalil beserta alibinya. Taruhan! Halah, paling jika mengalami kesusahan lagi, pasti ia akan membuka Injil. “Bapa kami yang disurga dikuduskanlah namamu.. datanglah kerajaanmu.. dibumi bagaikan disurga… dan seterusnya hingga selesai. Amien”. Itulah azimat-azimat yang dilantunkannya. Berkeluh-kesahlah dengan Tuhanmu, paman. Mintalah tobat padaNya. Percayalah semua Tuhan maha pengampun. Halleluyah! Halleluyah!! Haleluyah!!! Puji Tuhan dengan segala ciptaanNya.

Jika dihitung tahun, aku baru mengenal kurang lebih 2 tahun. Terkadang aku berpikir, apakah teman-temanku yang lebih lama mengenal dia mengalami hal serupa denganku? Andaipun iya, kuyakin telinganya sudah menebal! Namun sayang, teman-temanku tak mau berbagi tips denganku tentang bagaimana kiat-kiat untuk menghindar dari segala sumpah serapahnya. Memang sial jika tak tahu karakter pak tua itu. Apalagi aku baru 2 tahun mengenal dia. Sialnya, jika aku sedang bercakap-cakap pasti mereka (baca;teman-temanku) merasa senang. Sebab baginya, aku salah satu dari sekian banyak dari teman-teman yang terjerat doktrin-doktrin serta omong kosong dari si pak tua yang mahir berbicara itu. Eits, aku masih bisa mencerna, memilah kata-kata bombastisnya. Seperti biasa aku hanya pura-pura termanggut-manggut mendengar segala obral cerita beserta ceramahnya. Padahal aku telah menyumpal telingaku rapat-rapat. Jika masih terdengar maka sesegera aku mengeluarkan dari telinga kiri. Aku tidak sebodoh yang kau kira bung!

Sepertinya pak tua itu seorang yang intelek dan berpendidikan. Kudengar dari ceritanya, ia sarjana lulusan Universitas negeri terkemuka di Yogyakarta. Ia menyandang dua gelar kesarjanaan sekaligus, gelar yang satu lagi jebolan dari salah satu universitas swasta terkemuka di kota yang sama. Pernah aku menuliskan curriculum vitae-nya. Riwayat pendidikannya begitu bagus dan handal. SD hingga SMA ia tempuh di salah satu sekolahan elit milik TNI AU. SMA-nya ia pernah meralat. Ngakunya, alumni dari salah satu sekolahan Katholik elit di bilangan Demangan Yogyakarta. Entah mana yang benar? Aku tak tahu! Aku hanya menuliskan saja. Aku hanya berdecak kagum, pintar betul orang ini. Ia gemar sekali menuntut ilmu. Baginya, tuntutlah ilmu sampai setinggi langit. Konon ia pernah kuliah di Denver, salah satu universitas terkenal di USA. Pernah kuliah di Australia, Russia, Peru, Swiss dan terakhir tahun 2004 paska bencana tsunami di Aceh, ia pernah kuliah di Kobe Jepang selama 18 bulan belajar cara penanggulangan bencana gempa. Hebat betul orang ini, apa tidak jebol otaknya? Jika kutanya darimana biaya kuliah ke luar negeri? Jawabnya “Yang pasti bukan dari beasiswa Pemerintah Indonesia! Kudapat dari Negara asing”. 4 jempol buat paman Step!! Jika memang benar!!

Mengenai pekerjaan, ia pernah menjadi anggota Intelejen Negara. Operasi yang pernah melibatkan dirinya yaitu operasi Seroja di Timor-Timur (sekarang Timor Leste), dan masih banyak lagi operasi intelejen yang paman Step ikuti. Diceritakanlah suka-duka ketika turut serta dalam operasi Seroja di Timor-Timur. Katanya, ia pernah tertembak oleh pejuang kemerdekaan Timor Leste. Laksana seorang patriot dengan rasa nasionalisme yang tinggi, ia selalu bicara berapi-api. Terlalu bersemangat! Membanggakan diri atas partisipasi dalam operasi itu. Selalu diceritakan berulang-ulang. Namun herannya, hingga saat ini ia tak pernah menunjukkan bagian mana luka tembak yang mengena tubuhnya. Pernah secara sembunyi-sembunyi kuamati ketika ia telanjang dada. Kulihat secara seksama di setiap lekuk tubuhnya. Hingga saat ini, sama sekali tak kutemukan ataupun terlihat tanda-tanda bekas luka tembak ditubuh kurusnya. Hanya ada tattoo yang telah meluntur terlihat dipunggung dan kaki. Tak ada bekas jahitan dikulit atau tanda-tanda lain, sama sekali tak membekas! Apa mungkin ia tertembak di sekitar selakangan? Pikirku. Mungkin saja. Hanya Tuhan yang Tahu.

Masih dengan ceritanya. Ia pernah bekerja di PT Newmont Indonesia di Nusa Tenggara Timur sebagai peneliti di PT tersebut. Untuk masalah pekerjaan yang lain, ia tak banyak bercerita denganku. Yang pasti, pengalaman kerjanya seabreg.

Kuakui secara teoritik ia pintar dan cerdas. Arti Pintar disini, yakni aku tak mengerti maksud dari kata-katanya. Teori A sampai Z pun ia terjemahkan, aku juga tak kunjung mengerti teori dan bahasanya. Mungkin saja aku terlalu bodoh, tak mampu mengimbangi pola pikir orang sejenius paman Step. Saking jeniusnya, jika aku sering bertanya? Ia selalu mengalihkan pembicaraan yang lain, padahal topik pertama yang diperbincangkan belum terselesaikan. Begitulah jika aku terus mencecar pertanyaan yang menjadi topik bahasan dalam pembicaraan. Tapi jika aku dan teman-temanku mengobrol ia selalu saja nimbrung dalam perbincangan itu. Dengan pengetahuannya yang maha luas, lagi ia bercerita. Jika ada yang berani menyanggahnya. Maka dia akan akan berkata “Kamu itu tahu apa?” Bla..bla..bla..dan bahkan kerap kali menggoblok-goblokkan lawan bicaranya. Aku dan yang lain hanya memaklumi, dia kan serba tahu atau jangan-jangan sok tahu. Ah embuhlah! Diakan seorang Tua yang jenius. Selalu benar dengan ucapannya. Sabda 25 nabipun tak sanggup mengalahkan kebenaran kata-kata paman Step. Seakan-akan, 2 milyar manusia dibumi ini, dialah yang selalu dan paling benar dengan segala perkataannya. Andai saja saat ini kita hidup di Zaman Jahiliyah mungkin dan bisa jadi paman Step-lah nabi terakhir dimuka bumi ini. Bukan Muhammad! Sejarah akan berkata lain, Nabi terakhir berasal dari Indonesia, tepatnya dari pulau di Timur Indonesia.
Siapa yang berani mendebat dia? Atau berdebat dengannya?

***

Banyak kisah yang menarik jika menceritakan tentang tingkah laku paman Step. Salah satu kisah lucu terjadi saat temanku menyindir bau keringat paman Step. Semula temanku hanya mengingatkan bau keringat yang bersumber dari ketiak paman Step. Saran dari temanku terkesan menyuruh. “Mandi paman! Bau, keringatmu” temanku mengingatkan. Tapi yang terjadi justru temanku mendapat respon yang tidak baik. “Heh aku tuh ya sering menjaga kesehatan, 1 hari saya mandi 5 X” dengan nada keras ia menghardik. Kebetulan aku juga belum mandi waktu itu. Kalau aku sich cukup 2 kali mandi dalam satu hari. Tapi seringnya dalam sehari mandi Cuma 1 kali, itupun diwaktu pagi. Pernah dalam satu hari bahkan lebih, temanku mencoba menghitung berapa ia kali mandi. Temanku hanya bermaksud menguji kebenaran kata-katanya. Ternyata jauh dari fakta, ia hanya mandi 1 kali sehari. Namun seringkali ia jarang mandi. Disindirlah paman Step “lho paman, katanya mandi 5 kali sehari? Kok hari ini sama sekali belum mandi?”. Paman Step hanya simpel menjawab “Wah saya sedang, tidak enak badan!” katanya sembari menutupkan tubuhnya dengan selimut. Perasaan jika kuingat sedari siang Paman Step tidak terlihat sakit, buktinya ia masih kuat mengendara Vespa dan berkelakar dengan teman-teman sekantor. “Ehm, berpura-pura sakit” Gumamku. Hingga saat ini, ejekan dan saling sindir semakin ngetrend diantara teman-temanku. Jika ada yang ketahuan belum mandi. “Baunya seperti Paman! Mandi gih sana!” sembari menutup hidung. Bermula dari kejadian itulah anekdot dan sindiran itu muncul lalu menyebar di lingkungan kantor.

Hal paling menarik yang pernah aku alami bersama paman Step adalah tentang ramalan dan zodiak. Ketika itu aku membaca sebuah buku; Rahasia Tanggal Lahir & Tubuh Manusia karya Nino Zenjaya, yang kupinjam dari seorang teman. Aku sedang asyik membolak-balikkan halaman dan kemudian mencocokkan tanggal lahirku berdasarkan dari ramalan buku itu. Tiba-tiba ia menyuruhku untuk membacakan zodiak bulan kelahirannya. “apa Zodiak paman? Tanyaku. “Libra! Tolong bacakan Le.” Celetuknya. “Baik paman!” balasku tak berani membantah. Dengan amat sangat terpaksa aku membacakan zodiak Libra. Kubaca keras-keras zodiak berlambang timbangan itu.

“Zodiak paman Libra, artinya Libra itu menyukai 5K yaitu; Keadilan, Kedamaian, Keindahan, Keseimbangan, dan Keanggunan. Dia merupakan sosok yang menawan, cerdas, baik, lembut teratur, memiliki wawasan luas, dan mampu mengakomodasi keadaan” baru alenia pertama kubaca, ia sudah menghentikan apa yang kubacakan untuknya. Ia menyela dan kemudian bercerita dengan bangga.

“Ya.. itu memang saya banget! Aku itu yo le, suka dengan Keadilan, saya itu cinta damai, suka Keindahan dan seni. Saya juga menyukai tentang harmoni”. Ia berhenti sejenak lalu menyeruput kopi dan melanjutkan bercerita.” Di bidang seni, saya apa saja bisa! Misalnya dalam musik saya pintar membuat lagu, saya juga pintar membuat puisi dan berpuisi” Aku memotong, ceritanya yang belum selesai. “Paman, Tolong bacakan selarik puisi untukku!”. Ia terlihat gelabakan dan bingung dengan permintaanku itu. Mulutnya tercekat tanpa sepatah kata yang dirangkai dalam sebentuk puisi yang kuminta. “lho paman katanya pintar membuat dan berpuisi” sindirku. Lagi ia beralibi “Lho iya, saya pintar berpuisi, saya juga sering menang lomba baca puisi” “Lalu mana puisi yang paman bacakan untukku?” kupotong alasannya agar ia tidak lebih banyak bicara dan mengalihkan pembicaraan. “Si Burung Merak” ia berusaha membacakan puisi, tapi selanjutnya tak juga dibacakan. Ia malah mengalihkan pembicaraan ke topik yang lain. Anak SD pun tahu kalau si burung merak itu karya dari WS. Rendra. Gerutuku.

Ia terus bercerita dan aku tak menghiraukan. Malah aku melanjutkan membaca buku ramalan berzodiak Libra. Pada alenia terakhir kusempat tersenyum kecil, terkekeh menyindir si empunya zodiak. Di alenia terakhir itu menyebutkan “…..Libra dikenal sebagai penengah dari setiap kontradiksi. Dia populer sebagai peace maker. Namun jeleknya, jika perlu, Libra akan berbohong, bermuka dua, dan bahkan merendahkan diri agar mencapai 5K (Keadilan, Kedamaian, Keindahan, Keseimbangan, dan Keanggunan) yang selalu diimpikannya”. Dalam hati bergumam, jangan-jangan apa yang semua ia ceritakan itu adalah khayalannya saja. Atau jangan-jangan dengan Kebohonganlah ia akan mencapai tujuan yang ia hendaki. Pandai juga ia bermain dua peran. Aku tertawa kecil. Ada benarnya ramalan itu, jika merunut cerita-cerita yang dikarang. Bukan bermaksud suudzon. Pernah ia bercerita pada tanggal, bulan dan tahun yang sama ia mengisahkan tentang kejadian berbeda yang ia lakoni. Itulah alasan pertamaku tidak percaya dengan segala ceritanya. Aneh bukan?! Sungguh ironis.

Banyak kisah menarik jika berbaur bersama. Takkan pernah habis menceritakan kisah hidup paman Step. Baik itu aku, teman-temanku, dan juga teman-teman paman Step yang lain. Pastilah mempunyai kisah tersendiri jika bercerita tentangnya. Banyak versi cerita mengenai dia. Ia memang kontroversial. Jika aku bercerita tentang A, teman-temanku bercerita yang sama tapi menggunakan versi B. Aku hanya menanggapi ceritanya sebagai lelucon. Penghibur diri, maklum lama tak tertawa!

Hari-hari pun berlalu. Paman Step masih bercerita. Mendongeng dan berbagi kisah tentang lakon hidupnya. Sudahlah paman, lanjutkan saja hidupmu. Aku sudah lelah mendengar semua yang kau ceritakan. Aku akan melanjutkan cerita hidupku sendiri. Tak perlu lagi mendramatisir untuk menjadi cerita-cerita indah. Cerita yang di ulang-ulang. Itu-itu saja. Monoton. Tak perlu lagi mendongeng! Di setiap pagimu, duduklah dengan tenang dikursi goyang. Indahkan hari-harimu sambil membaca koran lalu dongengilah anak cucumu. Kau sudah lelah, istirahatlah pak Tua.




Taman Hidup 27 Oktober 09

Rabu, 25 Maret 2009

Belum Ada Judul -Iwan Fals-

pernah kita sama-sama susah
terperangkap di dingin malam
terjerumus dalam lubang jalanan
di gilas sang kaki yang sombong
terjerat mimpi yang indah
lelah...

pernah kita sama-sama rasakan
panasnya mentari hanguskan hati
sampai saat kita nyaris tak percaya
bahwa roda nasib memang berputar
sahabat masih ingatkah kau

sementara hari terus berganti
engkau pergi dengan dendam membara
di hati...

Cukup lama aku jalan sendiri
tanpa teman yang sanggup mengerti
hingga saat kita jumpa hari ini
tajamnya matamu tikam jiwaku
kau tampar bangkitkan aku sobat

Sabtu, 24 Januari 2009

Malam; pada suatu malam di malam-malam yang menunggu malam

Pergerakan malam nampaknya begitu melambat, tak seperti biasa aku merasa. Bintang hanya mengerlip samar dari kejauhan. Sedang sang bulan hanya berbentuk sabit, pun memancarkan sinar temaram. Terlihat gulita! Kokok sang jago tak kunjung segera menandakan akan datangnya mentari. Begitu lama menunggu pagi.

Mata ini tak juga segera menutup. Entahlah, tak seperti biasanya. Padahal terbilang puluhan kali mulut telah menguap. Namun sama saja mata ini tak juga terpejam. Sesekali melongok jam di langit-langit tembok kamar. Jarum jam dinding itu terus berputar tanpa henti. Tik-tak-tik-tak berbunyi secara beraturan dan kontinyu.

Yah ini masih bercerita tentang malam. Malam panjang yang memang harus dilewati. Malam yang senyap. Tak ada lagi suara jangkrik yang mengerik ataupun kodok mengorek saling bersahutan. Tak ada lagi bebunyian selain angin yang menderu masuk disela-sela ventilasi. Sunyi, senyap dan dingin.

Mana manusianya? Mungkin sepasang manusia semuhrim sedang bersetubuh. Atau yang belum semuhrim asyik bercumbu-rayu dengan pasangannya. Sementara aku hanya bersetubuh dengan imaji-imaji, membayangkan perempuan menyerupa “Dewi Perssik’’. Beronani sembari membayangkan kemolekan tubuhnya. Hanya itu yang bisa aku lakukan, tidak lebih!

Begitulah tentang malam...

***

Jam dinding telah menunjuk angka 03.15 WIB. Semakin larut saja, gumamku. Dini hari! Tak terasa waktu terus berlalu, walau melambat. Hawa dingin merasuk kulit, terasa dingin menyengat. Kantuk belum juga menyergap mataku. Pikiran tak keruan terus saja bergelanyut. Syaraf-syaraf yang mulai menegang, tubuh yang terasa lemah. Rasanya, ingin sekali rebahkan tubuhku, walau sebentar. Namun ku pikir percuma. Sama saja toh mataku juga tak mau dipejamkan! “Duh Gusti, piye carane iso turu?” lagi aku menggerutu.

Akh begitu menyiksa. Serasa di neraka saja. Ingin sekali aku meminta pada Tuhan, agar takdirku bisa dirubah. Aku memohon agar aku menjelma seperti Beruang. Dimana pada musim dingin, terlelap tidur hingga berbulan-bulan lamanya. Aku tidak ingin seperti binatang! Aku ingin jadi manusia saja! Beruang jelek, kataku sambil meralat segala keinginan yang dipanjatkan pada Tuhan. Lalu? Mau jadi apa? “Ough 10 X 10 = capek dech!” keluhku.

Seperempat jam lamanya berandai-andai ingin menjadi apa? Tak satupun jawaban didapat dari pengandaian itu. Hanya keluhan-keluhan yang terlontar dari mulutku. Kali ini aku tak ingin mencaci-maki ataupun menghujat segala takdir dan tentang Tuhan. Aku ingin menjadi atau paling tidak mendapat pengakuan sebagai makhluk ciptaanNnya. Andaipun Ia tak mengakuiku. Ku harap masih ada orang yang mau dan peduli serta meyakinkanku untuk mengakuiku bahwa aku juga makhluk ciptaanNya.

Masih di kamar, mata masih mengerjap. Pikiran mengawang. Tak di nyana, akhirnya asbak telah berjejal penuh puntung rokok. di sebuah kamar, Asap-asap mengepul saling bertubruk hingga menutup samar cahaya lampu. Persis mega mendung menutup matahari. Tak luput segelas kopi hangat turut serta menyertai. Rasa kopi itu terasa pahit dan getir. Sepahit dan getirnya nasib si pembuat kopi. Warna kopi itupun pekat, sepekat kulit pembuatnya. Mungkin rasa dan aroma kopi itu bagian dari cerita hidupnya. Menggambarkan tentang lakon cerita dalam hidup yang dilaluinya. Sungguh berliku dan terjal. Seakan matanya di butakan pada realita yang begitu kejam. Semoga saja esok, nasib baik menghampirinya. Amien..

***

Allahu Akbar..Allahu Akbar.Allahu Akbar..Allahu Akbar...” terdengar dengan sangat jelas nyaring suara Bilal masjid di sebelah rumah. Pertanda jadwal Sholat Shubuh akan segera dimulai. Kapan Sholat? Pertanyaan itulah yang sering kali di lontarkan kekasihku (walau sebenarnya aku tak menganggapnya sebagai kekasih). “Ïku loh mas, wis di undangi kon Sholat? Gek ndang sholat! Selak waktune entek lho!” Begitulah cara ia jika sedang mengajakku untuk menunaikan Sholat. Aku selalu menjawabnya “ sik tha dek, aku durung siap!” “terus kapan siape?” selorohnya. “yo mengko nek Tuhan wis nakdirke aku kon sholat tho yo” alibiku.

Pernah suatu waktu ia menanyakan tentang keyakinan dan agama yang selama ini aku anut.

Agamamu opo tho mas?” tanyanya.

Islam” jawabku.

Rukun Islam iku ono piro mas? Opo wae?” sambungnya.

Dan ku jawab “Rukun Islam iku nek ora salah ono limo; Shahadat, Sholat, Puasa, Zakat, Naik Haji

Kenapa gak mbok lakoni?” ia menimpali.

Aku wis nglakoni tapi lagi siji; yaiku Shahadat! Liyane durung” jawabku sekenanya saja.

Ngopo lagi siji sing mbok lakoni?

“yo aku lagi muk lakoni bacaan shahadat thok. Sing lagi dipercaya lagi iku! Percoyo bahawasane ora ono Tuhan selain Allah, lan percoyo yen Nabi Muhammad SAW iku utusan Allah!

karepmu nek ngono, tapi aku sebagai muslim wajib ngingetno kowe. Yo nek percoyo lakonono kabëh

Insya Allah

Jika perkataannya denganku saling berbantah. Ia selalu berkhutbah tentang dalil-dalil agama. Aku hanya pura-pura mendengar sambil manggut-manggut. Seolah mendengar segala ceramah keagamaannya. Padahal aku tak begitu menghiraukan tentang cerita-cerita yang di kutipnya dari kitab dan hadis yang ia yakini.

Yah.. ku akui kalau aku sedang berpura-pura. Kepura-puraan itu ku lakukan agar ia percaya bahwa apa yang ku dengar tentang dalil dan ajaran keagamaan yang dikhutbahkannya, seolah masuk di telinga. Namun sebenarnya aku telah mengeluarkannya lewat telinga kiri. Ku lakukan kepuraan itu, sebab aku telah hapal di luar kepala dengan segala khutbah-khutbahnya. Hanya itu-itu saja! Monoton dan membosankan! Maklum ia bukanlah Ustadzah.

Ketidak terus-teranganku akan kepuraan bukan tanpa sebab. Aku begitu enggan untuk berdebat! Perdebatan itu adalah hal yang sia-sia, tidak solutif.. Aku selalu menyindir; berdebat dengannya menurutku, logis tidak logis, nalar tidak nalar, tapi cuma menang ngeyel. Jika diartikan dengan bahasa yang lebih kasar; emosional-reaksional, bener karepe dewe, Bani Israel. Sindirian kesemuanya itu hanya ku ucapkan di dalam hati saja. Aku tak sampai hati mengucapkan secara langsung di hadapannya, mengingat dia adalah seorang perempuan.

Kembali pada malam, lupakanlah masa lalu! Itu adalah sepenggal cerita yang terpotong. Sebuah sejarah yang mungkin saja menurutku tidak di kehendaki. Bisa jadi semua itu bukan lantaran mekanisme takdir Tuhan. Tapi sebuah proses dan takdir sejarah peradaban umat manusia. Kebetulan aku terlahir dan di takdirkan untuk hidup di sebuah negara yang konon berpenduduk mayoritas muslim. Walau abangan.

***

Pada malam. Aku masih saja duduk bersandar di sebuah sudut tembok kamar. Segelas kopi yang mulai menyusut. Rokok masih menyala terjepit diantara sela kedua jemari tanganku. Bercak abu rokok yang berserak dilantai. Dan lagi, mataku masih enggan untuk memejam. Sementara tubuh ini tak kuat lagi menyangga kepala!

Rokok dan kopi rupa-rupanya membantu alam pikiranku memainkan imajinasi. Mengawang jauh tanpa tepi. Ku ikuti saja ritme pikiran yang mengacau kemana-mana. Tanpa terkonsep. Jika hinggap pada masa lalu, sesegera mungkin ku tepis ingatan itu. Sebab bagiku sangatlah malas untuk mengingat cerita romantisme. Aku hanya ingin berandai pada masa depan. Berandai tentang persetubuhan tentunya lebih mengasyikkan.

Ku intip dari balik jendela kamar. Di timur, matahari mulai menyembul. Namun masih malu untuk terlihat sempurna. Mungkin awan hitamlah yang menutupi sinarnya. Ya Allah sudah pagi! Gerutuku. Tetes embun, kabut dan hembusan udara pagi masih terasa dingin. Kaos oblong yang ku kenakan tak mampu melawan dinginnya udara dipagi hari! Di luar terdengar, Burung-burung mulai bernyanyi, kicaunya saling beradu dan bersahutan tak berirama! Terlihat, Kupu-kupu beterbangan mengitari lalu hinggap di atas bunga-bunga bermekar. Tak terkecuali manusianya menyibukkan diri dengan rutinitas seperti hari-hari biasanya.

Tapi mengapa semua organ tubuhku belum juga terlelap! Sejenak saja tanpa beban, terlentang di pembaringan! Sekedar untuk istirahat! Aku ingin tidur, aku lelah! Aku ingin mati saja! Oh jangan, aku masih belum melanjutkan persetubuhan! Aku ingin bersetubuh dengan Dewi Perssik di malam yang lain. Aku ingin menyetubuhinya hingga orgasme berkali-kali, sampai puas lalu tertidur di pelukannya. Cepatlah datang malam! Aku tak sabar menunggu datangnya malam lagi. Aku ingin tidur di sisi Dewi Perssik. Bersetubuh, tidur, bersetubuh lagi hingga puas, hingga orgasme dan tertidur di pelukannya lagi. Begitu seterusnya.

Tapi sekarang telah menjelang siang! Aku lelah, tapi mata tak mau kompromi! Mengapa malam begitu cepat berganti pagi? Sudahi saja pagi ini! Aku ingin malam lagi! Kun Fayakun datanglah malam! Ku ingin Engkau tahu aku belum juga terkantuk....



Dini hari hingga pagi. Jember, Selasa 06 Januari 2009

”aku yang tak pernah meng-aku-i menjadi aku”