Kamis, 05 Agustus 2010

Seandainya Orangutan Bisa Bicara (part IV)

Tragedi Kebinatangan

Mungkin, barangkali ada diantara kalian (baca; manusia) bertanya. Mengapa beberapa minggu ini saya tidak bersuara mengatasnamakan Gajah, Harimau, Badak, dan satwa lain? Tidak berbicara mengenai hutan dan segala kerusakannya? Kalian tahu mengapa? Bebarapa minggu yang lalu saya dan satwa lain diburu oleh pemburu satwa. Siapa mereka saya tidak tahu persis. Seingat saya, mereka adalah sekomplotan manusia berseragam cokelat, hitam dan yang lain gelap samar. Mereka memanggul senapan laras panjang. Jenisnya saya juga tidak tahu. Mungkin AK-47, M-16 atau senjata produk dalam negeri berupa SS-1 dan SS-2.

Komplotan itu, sekitar sepuluhan orang. Pada suatu malam disertai hujan yang mengguyur begitu lebat. Mereka menjebak saya dan kawan-kawan penghuni hutan yang lain. Pertama-tama mereka membuat suara gaduh dan mengagetkan semesta penghuni hutan yang sedang tertidur lelap. Komplotan itu menembakan beberapa butir peluru ke atas udara, kalau di film-film laga semacam tembakan peringatan bagi penjahat yang hendak melarikan diri. Spontan bin reflek, semua satwa kaget dan berhamburan tak tentu arah. Semua satwa berlarian terbirit-birit. Ada yang terjatuh, menabrak pohon dan ada juga yang saling bertabrak dengan sesama satwa. Malam itu suasana sangat mencekam.

Kawan-kawan saya terjebak dijeratan yang sudah dipasang sebelumnya. Yang lolos terpontang-panting entah kemana. Sedang saya yang berlari dengan maksud meloloskan diri, akhirnya tertembak di betis kaki kanan. Meski menahan rasa sakit yang tak terkira, dengan segala upaya saya terus melarikan diri dari penyergapan itu. Namun usaha yang saya lakukan ternyata sia-sia. Saya terjatuh dan tak sadarkan diri. Saat siuman saya sudah menghuni di kerangkeng.

Saya dan keempat Orangutan, dua babi serta seekor belibis terjaring dalam operasi GEMA TELIK SANDI (Genosida Massal Terhadap Lingkungan dan Satwa yang Dilindungi), yang dilakukan oleh komplotan manusia yang berseragam. Mereka menandu saya dan satwa lain di dalam kerangkeng. Di tengah perjalanan nasib malang menimpa belibis dan seekor babi. Kedua satwa itu disembelih dan dibakar lalu disantap secara berjamaah. Melihat semua itu saya tidak tega. Yang bisa dilakukan melihat tindakan keji, saya hanya menghujat “HARTO! Keji!”.

***

“Bismilahi Allahuakbar” manusia pertama menggorok leher babi hingga memuncratkan darah segar disekitar arena menjagal.

Selang beberapa jam kemudian.

“Babi guling sudah matang!” kata manusia pertama. “Mari makan”.

“Sip, ayo santap!” jawab manusia kedua.

“Wah enak nich!” celetuk manusia ketiga.

“Ayo-ayo, mari merapat. Mari makan. Keburu dingin. Yang tidak makan babi haram, makan belibis saja” Tawar manusia keempat.

“Wah lapar nich. Ayo makan. Sikat habis” manusia-manusia yang lain ribut mengerubut babi dan belibis guling.

“Astaghfirullah, tadi aku menyembelih babi haram mengucap asma allah” manusia pertama mengucap dalam hati. Namun ia tetap melahapnya. “Hmmmmmm. Sedaaaaaaaap. Maknyus” Kata manusia pertama, sambil menyantap paha babi dengan lahapnya.“Andai saja setiap hari makan ginian”.

“Makanya setiap hari kita berburu, Bang!” manusia keempat bersolusi.
“Kalau setiap hari berburu, kantor mencurigai kita, dodol!” tukas manusia pertama.
“”Ya gak setiap hari, bang! Minimal ya satu minggu sekalilah…” manusia kedua menyahut.

“Betul! Satu minggu sekali alangkah baik!” timpal manusia ketiga menyetujui usulan manusia kedua.

“Ya kita atur saja” jawab manusia pertama singkat.

“Aku sepakat teman-teman saja kalau begitu.” Ujar manusia keempat diplomatis.

“Satu minggu sekali? Deal?” tanya manusia ketiga.

“DEALLL!” jawab manusia kedua dan keempat serempak.

“Saya sepakat” manusia kedua melanjutkan.

“Diatur sajalah” jawab manusia pertama.

Setelah tawar menawar acara perburuan, komplotan itu berkelakar, ngobrol ngalor-ngidul dan sesekali bergosip tentang artis dan atasan mereka dikantornya. Sebagian manusia-manusia yang lain sudah tertidur pulas, kekenyangan.

Tinggallah kedua manusia yang masih terjaga. Saya yang berpura-pura tidur terus menguping dan mengamati tindak-tanduk kedua manusia itu. Sambil menyantap sisa daging yang masih menyempil di belulang. Dan rokok yang terus mengepul keduanya mengobrol.

“Ndan, kira-kira laku berapa kelima Orangutan itu?” manusia keempat bertanya kepada manusia pertama.

“Kalau satu ekornya dihargai 2juta. Berarti 10juta, Min!” Jawab manusia pertama sembari mengepul-ngepulkan asap rokok melalui mulutnya.

“Wah lumayan ya, Ndan!”

“Ya lumayan. Kalau bisa itu hewan di ekspor saja, Min. pasti harganya lebih mahal!” manusia pertama memberi saran.

“Di ekspor kemana, ndan?”

“Ya di ekspor keluar negerilah, Min-Imin. Kamu itu gimana tho?”

“Maksud saya dinegara mana, Ndan?” manusia pertama cengengesan.

“Ya di Cina kek, atau di manaalah. Denger-denger di Malaysia prospeknya cerah!”

“Tapi sekarang beacukai lagi ketat, Ndan! Sering banyak razia”.

“Gunakan akalmulah! Gimana caranya. Percuma dong kita sebagai polisi tidak tahu cara melihat celah! Dr. Azhari si teroris yang pandai saja kita bisa tangkap kok. Masa ekspor gituan aja kok ya gak bisa!”

“Itu dia, Ndan. Saya bingung?!”

“Saya kasih tahu ya. Polisi di negeri ini lebih pintar dan jeli ketimbang polisi Diraja Malaysia, atau polisi-polisi China dan Iran. Tuh lihat buktinya, di bandara banyak selundupan yag kita tangkap. Itu tandanya beacukai dan kepolisian di negara pengirim tidak teliti. Tidak cermat!” manusia pertama menjelaskan.

“Lho, kalau beacukai dan bandara di negara kita ketat. Bagaimana cara menyelundupkannya Orangutan itu, Ndan?” tanya manusia keempat sembari menunjuk saya di kerangkeng.

“Hush Mengeskpor!”

“Eh iya, Ndan. Maksud saya mengekspor!”

“Nah gitu dong. Meng-eks-por! Halah ketat jika ada momen saja, paling jika sudah di Sidak (Inspeksi Mendadak) normal kembali. Santai saja nanti dokumen pengesporannya kita fiktifkan. Tidak usah dari bandara, lebih amannya lewat jalur laut saja. Kita menyewa petikemas”. Jelas menusia pertama.

“Ide cerdas,” sanjung manusia keempat. “Ternyata komandan Bambang cerdik juga!”
“Jelas dong. Sayakan 4 tahun belajar kontraintelejen di Amrik” mendengar sanjungan itu manusia pertama menjadi besar kepala.

Dari dalam kerangkeng saya masih melihat gelagat picik kedua manusia yang belum juga tertidur. Saya paksakan untuk tetap terjaga, mendengarkan dan memantau semua kasak-kusuk percakapan. Ternyata kedua manusia berseragam cokelat itu adalah pekerja penegak hukum. Seorang komandan dan bawahannya.

“Ndan, masing-masing dapat berapa bagian?” tanya Imin.

“Ya sesuai tingkat kepangakatan!”.

“Lho kitakan kerjasama, Ndan!?”.

“Lho siapa yang mengomandani? Jika saya tidak ikut, kalian tidak bisa berburu! Yang mendatangani ijin perburuan kan saya!”

“Iya sich, Ndan!” apa kata komandan sajalah” Ujar Imin pasrah.

“Nah gitu. Saya 25%, kamu dan Polhut 20%. Sisanya dibagi rata untuk 6 orang cecunguk-cecunguk itu” kata bambang menunjuk 7 orang yang masih belum saya ketahui nama dan profesinya.

“Oklah, Ndan. Sepakat!”

“Eh sekarang jam berapa, Min?”

“Hampir jam 12, ndan!”

“Ayo lekas bergegas. Sebelum shubuh kita harus keluar dari hutan. Biasanya jam 6 pagi ada patroli polhut. Bangunkan teman-temanmu, Min!”.

“Siap, Ndan! Perintah laksanakan”

Imin pun tanpa tegap berhormat mematuhi perintah komandannya. Ia membangunkan teman-teman komplotannya yang masih tertidur lelap. Setelah terbangun, kesepuluh manusia sudah bersiap dan melanjutkan perjalanan keluar hutan. Saya dan keempat rekan sesama Orangutan serta satu babi yang masih tersisa dan hidup, di usung oleh empat orang secara bergilir. Seorang manusia berseragam hitam dan komandan Bambang berjalan didepan memandu menuju jalan keluar hutan.

Saya tidak tahu hendak dibawa kemana. Temaram bulan masih enggan memacar. tertutup mega-mega hitam serta pepohonan dan semak belukar. Malam begitu gelap gulita apalagi hujan masih memercik. Sepertinya komplotan itu melewati jalan yang bukan jalan setapak atau jalur yang biasa dilintasi manusia pada umumnya. Jalannya berkelok dan penuh liku. Saya pastikan, Komandan Bambang beserta jajaran komplotannya sudah hafal seluk beluk hutan yang lama saya tinggali.

***

“Jalannya dipercepat” Ujar komandan Bambang.

“Iya lebih cepat. Lebih baik” sambung manusia ketiga yang belum saya ketahui namanya.

“Siap, Ndan!” jawab Imin. “Ayo teman-teman, percepat langkah kita. Jangan sampai matahari mendahului terbit sebelum kaki kita menjejak di desa terakhir” Imin menyemangati teman-teman yang mengusung saya dan teman satwa lainnya.

Dua jam lamanya perjalanan belum juga keluar dari belantara hutan. Meski kaki-kaki berjalan cepat komplotan itu masih belum menemukan tanda-tanda adanya desa terakhir.

“Zulkifli!” Komandan Bambang memanggil manusia ketiga.

“Iya, Pak!”

“Ini kok jalan tidak sampai-sampai?”

“Masih Jauh, Pak!”

“Berapa Jam lagi? Berapa kilo lagi!”

“Susah pak kalau di hitung jam” jawab Zulkifli.

“Kamu ini Polisi hutan! Masa tidak tahu wilayahnya sich!” komandan Bambang berang.

“Ya mungkin 2 samapi 3 jam lagi, pak”

“Ya sudah. Saya capek. Istirahat dulu” komandan Bambang menghentikan langkah dan terduduk untuk beristirahat.

Imin dengan sigap mengambilkan air minum dari botolnya. Disamping itu ia memerintahkan komplotannya untuk beristirahat. Dan manusia ketiga itu, saya baru tahu kalau ia bernama Zulkifli yang bekerja sebagai Polisi Hutan di hutan tempat saya tinggal.

“Yudho, nanti teman-temanmu perintahkan untuk berjalan lebih cepat lagi ya?” bisik Zulkifli kepada manusia kedua. “Biar cepat selesai pekerjaan kita. Ndak enak sama pak Bambang”.

“Iya, bang! Saya usahakan. Lebih cepat lebih baik” jawab manusia kedua yang bernama Yudho.

Dan saya baru mengetahui bahwa Yudho dan kelima rekannya berprofesi sebagai penebang kayu di salah satu perusahaan ber-HPH. Dia tahu betul rute jalan masuk-keluar di hutan yang biasa Yudho dan rekan-rekan seprofesinya menebang pohon.
Setelah masing-masing menghabiskan satu gelas kopi dan sebatang rokok. Manusia yang berkomplot itu melanjutkan perjalanan. Zulkifli berjalan paling depan, sedang Yudho serta kelima rekannya berjalan ditengah dan menggotong kerangkeng tempat saya dan satwa lain terkurung. Sementara Komandan Bambang dan Imin berjalan membuntutinya dari belakang.

***

“Ndan, kira-kira sukses gak ya mengekspor Orangutan itu?”, tanya Imin ragu.

“Insya Allah, Min. Berdoa saja!” jawab Komandan Bambang datar.

“Takutnya saya!” Imin menggaruk-garuk kepala, meragu dan mulai bimbang.

“Takut apa, Min?” Hardik Komandan Bambang penasaran.

“Mmmm Saya takut” Imin gugup. “Takutnya saya, polisi di tingkat kabupaten mengetahui rencana kita, Ndan!”

“Halah ketakutanku berlebihan, Min! santai saja!”

“Gak begitu, Ndan! Seandainya tahu, kita bisa dipecat! Apa kata media? Mereka pasti melebih-lebihkan pemberitaannya!”

“Paling atasan kita mencap Oknum, Min! Makanya aku mengajak polhut dan para buruh kayu. Itu buat jaga-jaga jika sewaktu-waktu kita tertangkap”

“Maksudnya, Ndan!”.

“Ah kamu kayak tidak tahu aja. Pura-pura bodoh ya?”.

“Serius, Ndan! Saya benar-benar tidak tahu”.

“Ssssssssssssssst mereka yang kita jadikan korban!” Komandan bambang berbisik.

“Ahaay, benar juga, Ndan!”

“Sssssssssssssssssssssssst makanya jadi orang jangan kalah cerdik dengan kancil. Kancil aja bisa mengelabui buaya yang ganas. Masa kita tidak bisa mengelabui sesama manusia? Hehehehe”. Komandan Bambang masih berbisik terkekeh menyidir kedunguan anak buahnya.

“Iya.. ya.. Kancil aja cerdik, masa kita tidak” Imin cengengesan sambil teranggut-anggut.
“Itu dia!” jawab Komandan Bambang singkat sembari mengerlingkan mata. “Nanti saya yang atur strateginya. Posisi kamu saya pastikan aman. Kita tahu sama tahulah”.

“Siap, Ndan!” ujar Imin lirih seraya memberi hormat.

***

Tak terasa berjalan, adzan shubuhpun berkumandang. Komplotan manusia itu sudah menapaki perkebunan dan keluar dari hutan. Sebentar lagi pastinya akan sampai di desa terakhir pinggiran hutan.

“Pak, hampir sampai!” lapor Zulkifli. “Paling 15 menit lagi sampai di perkampungan pak”. Komandan Bambang hanya mengangguk mendengar laporan itu.

Komandan Bambang hanya diam. Mungkin ia sudah letih berjalan menyusur hutan yang masih lumayan lebat. Atau bisa jadi baru pertama kali ia melakukan perjalanan panjang menyusuri hutan. Saya yang sedari malam belum tertidur masih mengamati gerak-gerik para komplotan manusia. Dan limabelas menit kemudian.

“Pak, sudah sampai pak! Mau ditaruh dimana binatangnya, Pak? Zulkifli kembali melapor.

“Untuk sementara dititipkan atau disembunyikan saja dulu. Amankan dulu” pinta komandan Bambang.

“Disembunyikan di rumah penduduk aja, pak. Itu lebih aman”.

“Stop. Kalau ada yang melaporkan gimana?” Yudho memotong untuk bertanya.

“Bilang saja ini titipan dari polisi. Barang sitaan!” jawab Zulkifli.

“Sudah atur saja. Tidak usah diperdebatkan, nanti semua orang tahu” potong komandan Bambang menengahi.

Zulkifli pun berjalan ke salah satu rumah warga di kawasan pinggiran hutan. Rumah yang ditujunya, sebuah rumah reot berdinding bilik bambu.

“Tok…Tok…Tok…” Zulkifli mengetuk pintu rumah. “Ada orang tidak? Assalamualaikum. Selamat pagi.” Zulkifli memberi salam.

Selang beberapa saat dari dalam rumah terdengar suara laki-laki setengah renta menjawab salam. “walaikum salam” si empunya rumah membukakan pintu rumahnya. “Ada apa ya?” lelaki setengah renta itu gemetaran melihat banyak orang yang bertamu memakai seragam lengkap dengan senapan tertenteng dibahunya.

“Ssssssst”

“Apa salah saya, pak?” lelaki tua pemilik rumah tergagap dan ketakutan.

“Sssssssssst…. Jangan banyak cakap. Kamu tidak bersalah. Saya ingin titip di rumahmu” kata Zulkifli menerangkan tujuannya sembari menunjuk kerangkeng yang berisi saya dan satwa lain. “Jangan bilang siapa-siapa apa yang saya titipkan kepadamu” Zulkifli membuka dompet dan menyodorkan beberapa lembar uang berwarna hijau kepada si empunya rumah.

“Ba… ba… baik, pak!” kata si empunya rumah sambil menerima uang itu dengan tangan tergetar.

“Nanti malam. Kira-kira jam 9 malam saya ambil lagi.

“I…i…iya, pak”

Kerangkeng tempat saya berada dimasukkan kedalam rumah dan ditutupi dengan karung goni agar tidak dicurigai oleh penduduk setempat.

Komandan Bambang dan komplotannya pun pergi entah kemana. Mungkin mereka bersembunyi dan akan kembali kerumah itu sesuai janjinya menjelang malam nanti. Kini tinggallah saya dan teman-teman satwa yang lain beserta si empunya rumah.

***

Lelaki setengah renta itu masih terlihat gemetaran. Wajahnya pucat kecemasan menyiksa hatinya. Ia menutup pintu rapat-rapat dan memandang saya lekat-lekat. “Ya Tuhan…. Semoga ini tidak menjadi malapetaka yang menimpa rumah dan keluargaku” Lelaki tua itu mengepal tangan dan merapal doa dengan bibir yang tergetar.

Sedari tadi lelaki setengah renta tak terlihat sedikitpun menghitung beberapa lembar uang yang masih dalam genggamannya.

Saya yang letih, semalam tidak tertidur. Terasa lemas menjalar sekujur tubuh. Luka tembak di betis kaki kanan masih bersarang peluru. Lukanya tersumbat dengan sendirinya oleh gumpalan darah yang mengering.

Melihat saya dan satwa lain yang gelisah. Sang empunya rumah mencoba menghibur dengan memberikan setandan pisang yang diambil dari kebun belakang rumahnya. Ia baru menyadari luka yang saya derita, setelah melihat darah kering yang bercecer di lantai kerangkeng. Serta merta ia mengobati dengan cairan berbau menyengat hidung (alkohol) dan membalutkan kain yang dirobeknya dari sarung miliknya.

“Kasihan sekali kamu” kata lelaki setengah renta sambil mengelus-elus betis saya. “pasti kamu menahan perih yang luar biasa” ia berdecak prihatin.

Saya hanya pasrah saat lelaki itu mengobati dan membalurkan ramuan obat-obatan dikaki. “Terima kasih, pak. Semoga Tuhan membalas budi bapak” saya mengucap didalam hati dan berharap ia mendengarkan ucapan saya.

“Pasti kalian, ditangkap dan dijual atau diselundupkan. Andai saja aku punya kekuasaan, pasti kalian aku bebas lepaskan dan akan menangkap komplotan penyelundup itu” ia bicara sendiri, geram. “sayangnya aku hanya orang biasa yang tak bias berbuat apa-apa” keluhnya pasrah. “semoga kalian diberi keselamatan, amin” sekali lagi ia mengucap doa.

Saya yang merasa kesakitan karena efek pengobatan. Semakin lemas dan tak sadarkan diri.

***

Saya terbangun dan siuman ketika hidung saya mencium aroma daging yang terbakar. Saya tidak tahu, tepatnya jam berapa. Seingat saya, matahari sudah bergulir condong ke arah barat. Sudah petang. Bau daging yang terbakar itu membuat saya siuman. Setelah saya melirik ke kanan dan kiri, orang utan masih genap berjumlah lima ekor, termasuk saya. Ternyata, babilah yang sudah tidak ada. Saya berkesimpulan mungkin babilah yang dibakar guling.

Saya yang masih setengah sadar mencoba untuk tetap mengingat dan mengamati apa yang sedang terjadi.

Di luar rumah lamat-lamat terdengar perbincangan manusia.

“Mmmmm, itu dibalik babinya”

“Siap, Ndan!”

“Dikasih sedikit garam, Bang! Kurang asin nich!”

Mendengar percakapan itu tak asing lagi kedengarannya jika suara itu tak lain adalah manusia yang bernama Bambang, Imin dan Zulkifli. Tidak salah duga. Saya masih ingat suara-suara manusia itu.

“Selesai makan kita lanjutkan perjalanan” Seru komandan Bambang memerintah.

“Siap,Ndan!” Jawab Imin.

“Pak, kalau boleh saya usul. Jalannya agak malaman saja” Zulkifli memberi saran.

“Kayaknya kondisi belum aman, Pak!”

“Ya sudah atur bagaimana baiknya, Pli!” sahut Komandan Bambang.

Malam kembali menjelang. Tenang dalam gamang. Kicau burung hantu menambah suasa malam menjadi semakin syahdu bercampur duka. Saya dan keempat rekan sesama orangutan kembali dirundung kebimbangan. Seperti malam yang lalu, malam dimana kepanikan itu muncul serta merta dan hap kami pun tersergap. Di usung sampai di rumah lelaki setengah renta yang mengobati luka.

Saya bimbang, kawan yang lain bungkam. Mau diapakan kami? Mau dibawa kemana kami? Pertanyaan demi pertanyaan terus menghujam dan datang bertubi sehingga saya tak mampu menjawab persoalan pelik ini. Hanyalah ke-sepuluh orang itu yang tahu. Kami tetap terbungkam! Menatap nanar diam tanpa kata.


Di Pinggiran Selokan Mataram, 04 Juli 2010
(WFY)

NB
• Ide cerita berawal dari kerapnya saya menonton Film “The Burning Season”, yang diperankan oleh Raul Julia dan disutradarai John Frankenheimer. Dan film “Tarzan” (tanpa huruf X). Dan sering mendengarkan lagu “Isi Rimba Tak Ada Tempat Berpijak Lagi”, pencipta Iwan Fals. “Berita Cuaca”, yang dipopulerkan Gombloh dan "Lautan Tangis"nya Sujiwo Tejo.

•Sumpah Tulisan ini tidak ditujukan kepada siapa-siapa, baik itu laki-laki maupun perempuan. Jika ada kesamaan, nama, tempat, lakon, peristiwa dan atau jalannya alur cerita maka itu faktor kebetulan saja. Sekali lagi Sumpah! Tulisan ini murni fiktif.

Tidak ada komentar: