Gema takbir bergema di
segala penjuru arah. Seluruh umat bersuka cita menyambut kemenangan dengan
melafadzkan asma-asma Allah. Tak terkecuali aku yang turut serta dalam
gempitanya. Sebulan penuh, selama Ramadhan menahan lapar dan dahaga juga
berperang melawan nafsu dari berbagai godaan setan. Banyak cara merayakan
kemenangan dimalam lebaran itu, diantaranya beritikaf sembari melafadz takbir
dan adapula melakukannya dengan oncor berkeliling desa mengumandang takbir,atau
lazim yang lebih dikenal dengan Takbir keliling.
Sedang aku dan beberapa
teman memilih merayakan kemenangan dihalaman tempatku bersekolah. Saat itu aku
masih masih duduk dibangku kelas 4 SD. Di seberang jalan sekolah adalah kantor
polsek, sedang di sebelah barat kira-kira 30 meter adalah masjid terbesar di
desaku yang konon masjid itu sebagian besar dananya disumbang oleh keluarga
Cendana beserta kendaraan politiknya, Golkar. Rumahku disebelah timur sekolahan
yang berjarak kurang lebih 20meter. Relatif strategis. Semuanya dapat ditempuh
hanya dengan berjalan kaki.
“Ora wedhi, aku ora kuat ngrungoaken suarane[2]”
jawabku beralasan.
“Alah ngomong bae wedhi![3]”
“Ora yo![4]”
jawabku dengan dialek Jogja yang masih kentara.
Di desaku, sebenarnya keluargaku
adalah pendatang, dalam penggunaan bahasa sehari-hari menggunakan bahasa Jawa.
Namun Logat bahasanya agak berbeda dibanding dialek bahasa Jawa lainnya.
Penggunaan huruf vokalnya dominan dengan huruf ‘A’ misalnya, kalau di Yogya
bilang ‘Ngopo’ di desaku menjadi ‘Ngapa’, ‘Ora ono’ jadi ‘Ora ana’. Perbedaan
yang utama yakni akhiran 'A' tetap diucapkan 'A' bukan 'O'. Jadi jika di Yogya
‘Uwong mangan sego (nasi)’, di desaku
menjadi ‘Uwong mangan sega'.
Di tempat asalku,
Yogyakarta, jika menyebut bahasa didesaku sebagai jawa ngapak, dan kebalikannya
didesaku jika menyebut bahasa tempatku berasal menyebutnya sebagai Jowo Kowek.
Begitulah jika aku saling sindir antarkebudayaan diantara teman-teman sebayaku.
“Lamun Ira ora wedhi, nyah iki suleden![5]”
tantang temanku sembari menyodorkan petasan berjenis roket dan obat nyamuk
bakar sebagai pemantiknya.
Aku
yang merasa tertantang memberanikan diri untuk menyalakan petasan yang
disodorkan oleh temanku. Sebenarnya, jujur aku takut untuk menyulut petasan
itu. Petasan yang kugenggam urung kunyalakan. Teman-temanku yang lain
mengolok-olokku “Cemen” katanya, beramai-ramai menyalakan petasan dan
melemparkannya didekat kakiku.
Merasa malu jika tidak
melakukan tantangan, akhirnya aku mencari kayu untuk mengikat obatnyamuk bakar
yang difungsikan sebagai pemantik agar lebih panjang. Petasan berjenis roket
kutancapkan di tanah lantas menyulutnya.
“Wis ta! Ora usah keakehan bacot![6]” hardikku saat teman-teman masih
mengolok-olokku.
“Masa nganggo kayu? Bocah cilik bae bisa![7]”
ledek temanku bermaksud menguji nyaliku.
Tak
kuhiraukan ledekan itu, segera kusulut petasan sambil menutup telinga.
“Soooooooos” suara petasan yang berhasil kusulut terbang dan membumbung tinggi
ke angkasa, “DOOOR” letusannya terdengar keras dan memercikkan kilatan laksana
kembang api yang menerangi langit-langit.
“Kuh kan wani![8]”
kataku membanggakan diri.
“Kaya kuwe wani?[9]”
ejek temanku. “Kih deleng kih carane seri
nyuled bledogan[10]”
lanjutnya sembari mencontohkan cara menyulut petasan tanpa alat bantu.
Diapitnya petasan disela ujung jempol dan telunjuk jari tangan lalu mengarahkan
petasan ke langit dan menyulutnya.
Petasan
yang tersulut meluncur ke angkasa, memercikkan api persis seperti roket.
Terbang tinggi, melengkung membentuk sudut 90°. Lalu tiba-tiba berbelok arah.
Menukik tajam dan turun tepat di pos jaga kantor Polsek. Petasan itu meledak
sangat keras. Keras sekali. Asapnya membumbung menyesaki ruangan. Samar, pekat
oleh asap. Terdengar beberapa orang yang sedang berjaga terbatuk-batuk.
“Hei
kalian! Sini!” bentak salah satu polisi bertubuh tambun yang keluar dan
mengejar kami, “Sini!”
“Lariiiiiiiiiiiiii”
teriak salah satu temanku yang lain, mengomandoi.
Kami
pun lari tunggang langgang mencari selamat. Loncat pagar adalah salah satu alternatif
ketimbang harus melewati pintu gerbang sekolahan yang berhadapan langsung dengan
pintu gerbang kantor Polsek. Teman-temanku begitu lincah dan cekatan meloncat
pagar yang tingginya sedada orang dewasa. Mereka lolos dari kejaran polisi
bertubuh tambun. Sedang aku yang mengenakan sarung tak bisa menaiki pagar.
“Hey
kamu mau kemana?” kata polisi gendut membentak. “Kamu berdua ikut bapak ke
kantor” polisi bertubuh tambun mencengkeram kuat-kuat lenganku dan lengan temanku,
menggelandangku ke kantor.
“Dudu kita pak sing nyuled bledogan mah!
Yakin pak, dudu kita![11]”
kata temanku memelas. “Sing nyuled mah
bocahe mlayu, pak![12]”
Lanjutnya beralasan
Yang
kulakukan saat itu hanya diam. Pikiranku sangat kacau. Saat itu yang terpikir adalah
ruang penjara dengan segala penyiksaannya, yang dihuni para maling, pencoleng
dan nara pidana lain. Ah pikiranku sangat tidak menentu. Sulit untuk
mengingatnya. Benar-benar takut dan risau kala itu.
“Udah
diam! Ikut Bapak!” kata polisi gendut, menghardik temanku yang terus merengek
dengan pembelaannya.
Setiba
di kantor, aku dan temanku langsung di interogasi. Bak maling yang baru
tertangkap. Identitas siapa kami? Dimana alamat kami? Sampai nama orang tua dan
pekerjaannya ditanyakan. Katanya aku dan temanku melanggar pasal ketertiban
umum.
“Sapa
tadi yang menyulut mercon?”
“Dudu kita pak, mau bocahe mlayu ngulon![13]”
jawab temanku sembari memberi kode kepadaku agar aku ikut mengiyakan alasannya.
“Iya pak, bocahe mlayu ngulon![14]”
jawabku tergagap sebab berbohong.
Seusai
diproses dan interogasi. Aku dan temanku dimasukkan kedalam satu sel. Disebelah
kamar sel, ada seorang lelaki kekar yang sekujur tubuhnya lebam dan membiru.
Aku tidak tahu apa musabab lelaki itu menghuni dibalik jeruji besi. Yang membuatku
muak dengan lelaki itu, ia terkekeh melihat kami berdua yang mendekam didalam
sel.
Sewaktu
aku dan temanku terpenjara, belum marak isu HAM. Saat itu kekuasaan Orde Baru
masih berkuasa. Tiran Soeharto yang bergaya militeristik masih kuat
mencengkeram kuku-kuku kekuasaannya. Andai saja kejadian yang aku alami terjadi
pascalengsernya presiden RI ke II, tentunya mengingat umur kami berdua masih
dibawah 16 tahun, mungkin polisi bertubuh tambun itu terjerat pelanggaran HAM,
karena memenjarakan anak dibawah umur.
Tidak
lebih dari satu jam, aku dan temanku dikeluarkan dari penjara. Mungkin polisi
bertubuh tambun itu tidak tega melihat kami berdua. Bisa jadi pemenjaraan yang
dilakukan olehnya semata-mata hanya memberi efek jera dan peringatan kepada
teman-temanku yang lolos, agar kami tidak mengulangi perbuatan menyulut petasan.
Sekeluar
dari penjara. Aku dan temanku tidak serta merta bebas dan diperbolehkan untuk
meninggalkan kantor polisi. Masih ada beberapa tahapan lagi untuk mengecap
kebebasan. Salah satu tahapan itu yang juga paling tidak aku suka adalah
memijit polisi gendut yang menangkapku, hingga jari jemari tanganku terasa kram
dan kaku.
Tahapan
berikutnya, kami dipaksa membuat surat pernyataan yang tak bermaterai dan
membacakannya 3 kali dengan cara bersujud. Demi kebebasan, apalagi hari hampir
shubuh. Aku dan temanku, mungkin dengan sangat terpaksa, melakukan pembebasan
bersyarat yang kutulis setelah itu bersujud dan membaca;
Ya Allah Ya
Tuhan Kami
Atas nama
Ibuku, saya berjanji untuk tidak lagi mengulangi perbuatan melanggar ketertiban
umum.
Ya Allah Ya
Tuhan kami,
Atas nama
Ibuku , saya berjanji untuk tidak membeli, membawa dan membunyikan petasan
dibulan Ramadhan dan bulan-bulan lainnya.
Ya Allah.. Ya
Tuhan kami
Atas
nama ibuku, saya berjanji dengan apa
yang saya tulis dan ikrarkan dan saya akan menepati janji.
Kubaca berulang sebanyak
tiga kali sembari bersujud menghadap kiblat di saat gema takbir masih
berkumandang.
Selepas adzan shubuh.
Kami berdua dibebaskan dan pulang kerumah masing-masing. Dirumah, Ibuku tak
tahu apa yang terjadi pada anaknya yang pulang di pagi buta. Ibuku hanya
menyuruhku segera mandi dan mempersiapkan segala perlengkapan ibadah untukku.
Mulutku kukunci rapat-rapat atas kejadian yang menimpaku semalaman. Dan hingga
kini, aku masih merahasiakannya.
Seusai mandi aku langsung
berangkat menuju masjid. Sengajaku aku memutar jalan dan tidak melewati jalan
di depan kantor polsek tempatku semalam terpenjara. Di masjid, teman-temanku
yang semalam turut serta merayakan kemenangan di halaman sekolah hanya
mesam-mesem melihat kedatanganku.
“Eh ana napi bebas[15]”
sindir temanku. Aku hanya diam dan menanggung malu,. “Ehm Kasus apa?” masih menyindirku, “Maling pithik ya?[16]”
mendengar celetukan itu, temanku yang lain tertawa cekikikan.
“Kirik Kunuh[17]”
umpatku.
“Eh kiyen masjid omongane aja sembarangan![18]”
hardik salah satu temanku yang lain yang masih menahan tawa.
“Mumpung lagi lebaran, coy. Salaman dikit![19]”
temanku menyodorkan tangan dan tak henti-hentinya menyindir, “maap ya lagi bengi ora bisa baturi ning
penjara.[20]”
Aku hanya tersenyum getir dan teman-temanku
yang lain masih cekikian pelan. Dan shalat Ied segera dimulai. Seluruh jamaah
baik itu pria dan wanita, tak pandang usia, sudah menempati garis shof segera
berdiri. Berdiri tegak, Takbiratul Ihram, “Allahuakbar” suara imam memulai
shalat, mengangkat kedua tangan sejajar telinga, lalu melipatnya di depan perut.
“Aku
menang!” ucapku lirih didalam hati, sebelum berniat untuk memulai gerakan
shalat. Tahun itu adalah Ramadhan yang kali pertama menjalankan rukun Islam ke
tiga secara penuh. Tahun itu pula disaat aku memulai belajar menjalankan rukun
Islam secara berurut. Namun sayangnya ada insiden pemenjaraan semalam. Dan aku
bebas! Walau merayakan malam takbiran di kantor polisi.
Muntilan, - Agustus 2005
disunting ulang (penambahan kata di
sana-sini) di Sleman, 11 Agustus 2010
(WFY)
NB
- Tulisan ini ditemukan disebuah CD (Compact Dist) yang tak pernah dibuka.
- Tulisan ini bermaksud untuk menjawab mengapa saya begitu teramat sangat membenci polisi. Membenci bukan berarti Subversif. Itu saja!
Catatan Kaki
[1] Pit,
kamu itu nyalakan petasan kok takut banget sich!
[2] Tidak
takut, saya tidak mendengar suaranya!
[3] Halah
bilang saja takut!
[4] Tidak
ya!
[5] Kalau
kamu tidak takut, ini nyalakan!
[6]
Sudahlah, tak usah banyak mulut!
[7] Masa
pakai kayu? Anak kecil aja bisa!
[8] Tuh kan berani!
[9] Seperti
itu berani!
[10] Nih
lihat caranya jagoan menyulut petasan.
[11] Bukan
saya yang menyalakan petasan pak. Yakin pak, bukan saya.
[12] Yang
menyulut anaknya lari, pak.
[13] Bukan
saya pak, tadi anaknya berlari kearah barat.
[14] Iya
pak, Anaknya berlari kearah barat
[15] Eh ada
napi bebas
[16] Mencuri
ayam ya?
[17] Anjing
kalian
[18] Heh ini
masjid omongannya jangan sembarangan
[19] Mumpung
ini lebaran, coy. Bermaaf-maafan dulu.
[20] Maaf ya
semalam tidak bisa menemanimu di penjara