Sabtu, 28 Agustus 2010

Terpenjara Semalam

Gema takbir bergema di segala penjuru arah. Seluruh umat bersuka cita menyambut kemenangan dengan melafadzkan asma-asma Allah. Tak terkecuali aku yang turut serta dalam gempitanya. Sebulan penuh, selama Ramadhan menahan lapar dan dahaga juga berperang melawan nafsu dari berbagai godaan setan. Banyak cara merayakan kemenangan dimalam lebaran itu, diantaranya beritikaf sembari melafadz takbir dan adapula melakukannya dengan oncor berkeliling desa mengumandang takbir,atau lazim yang lebih dikenal dengan Takbir keliling.
Sedang aku dan beberapa teman memilih merayakan kemenangan dihalaman tempatku bersekolah. Saat itu aku masih masih duduk dibangku kelas 4 SD. Di seberang jalan sekolah adalah kantor polsek, sedang di sebelah barat kira-kira 30 meter adalah masjid terbesar di desaku yang konon masjid itu sebagian besar dananya disumbang oleh keluarga Cendana beserta kendaraan politiknya, Golkar. Rumahku disebelah timur sekolahan yang berjarak kurang lebih 20meter. Relatif strategis. Semuanya dapat ditempuh hanya dengan berjalan kaki.
            “Pit, sira kuh nyuled bledogan bae wedhi banget sich![1]kata temanku.
            “Ora wedhi, aku ora kuat ngrungoaken suarane[2]” jawabku beralasan.
            “Alah ngomong bae wedhi![3]
            “Ora yo![4] jawabku dengan dialek Jogja yang masih kentara.
Di desaku, sebenarnya keluargaku adalah pendatang, dalam penggunaan bahasa sehari-hari menggunakan bahasa Jawa. Namun Logat bahasanya agak berbeda dibanding dialek bahasa Jawa lainnya. Penggunaan huruf vokalnya dominan dengan huruf ‘A’ misalnya, kalau di Yogya bilang ‘Ngopo’ di desaku menjadi ‘Ngapa’, ‘Ora ono’ jadi ‘Ora ana’. Perbedaan yang utama yakni akhiran 'A' tetap diucapkan 'A' bukan 'O'. Jadi jika di Yogya ‘Uwong mangan sego (nasi)’, di desaku menjadi ‘Uwong mangan sega'.
Di tempat asalku, Yogyakarta, jika menyebut bahasa didesaku sebagai jawa ngapak, dan kebalikannya didesaku jika menyebut bahasa tempatku berasal menyebutnya sebagai Jowo Kowek. Begitulah jika aku saling sindir antarkebudayaan diantara teman-teman sebayaku.
            “Lamun Ira ora wedhi, nyah iki suleden![5]” tantang temanku sembari menyodorkan petasan berjenis roket dan obat nyamuk bakar sebagai pemantiknya.
            Aku yang merasa tertantang memberanikan diri untuk menyalakan petasan yang disodorkan oleh temanku. Sebenarnya, jujur aku takut untuk menyulut petasan itu. Petasan yang kugenggam urung kunyalakan. Teman-temanku yang lain mengolok-olokku “Cemen” katanya, beramai-ramai menyalakan petasan dan melemparkannya didekat kakiku.
Merasa malu jika tidak melakukan tantangan, akhirnya aku mencari kayu untuk mengikat obatnyamuk bakar yang difungsikan sebagai pemantik agar lebih panjang. Petasan berjenis roket kutancapkan di tanah lantas menyulutnya.        
“Wis ta! Ora usah keakehan bacot![6] hardikku saat teman-teman masih mengolok-olokku.
            “Masa nganggo kayu? Bocah cilik bae bisa![7] ledek temanku bermaksud menguji nyaliku.
            Tak kuhiraukan ledekan itu, segera kusulut petasan sambil menutup telinga. “Soooooooos” suara petasan yang berhasil kusulut terbang dan membumbung tinggi ke angkasa, “DOOOR” letusannya terdengar keras dan memercikkan kilatan laksana kembang api yang menerangi langit-langit.
            “Kuh kan wani![8] kataku membanggakan diri.
            “Kaya kuwe wani?[9] ejek temanku. “Kih deleng kih carane seri nyuled bledogan[10] lanjutnya sembari mencontohkan cara menyulut petasan tanpa alat bantu. Diapitnya petasan disela ujung jempol dan telunjuk jari tangan lalu mengarahkan petasan ke langit dan menyulutnya.
            Petasan yang tersulut meluncur ke angkasa, memercikkan api persis seperti roket. Terbang tinggi, melengkung membentuk sudut 90°. Lalu tiba-tiba berbelok arah. Menukik tajam dan turun tepat di pos jaga kantor Polsek. Petasan itu meledak sangat keras. Keras sekali. Asapnya membumbung menyesaki ruangan. Samar, pekat oleh asap. Terdengar beberapa orang yang sedang berjaga terbatuk-batuk.
            “Hei kalian! Sini!” bentak salah satu polisi bertubuh tambun yang keluar dan mengejar kami, “Sini!”
            “Lariiiiiiiiiiiiii” teriak salah satu temanku yang lain, mengomandoi.
            Kami pun lari tunggang langgang mencari selamat. Loncat pagar adalah salah satu alternatif ketimbang harus melewati pintu gerbang sekolahan yang berhadapan langsung dengan pintu gerbang kantor Polsek. Teman-temanku begitu lincah dan cekatan meloncat pagar yang tingginya sedada orang dewasa. Mereka lolos dari kejaran polisi bertubuh tambun. Sedang aku yang mengenakan sarung tak bisa menaiki pagar.
            “Hey kamu mau kemana?” kata polisi gendut membentak. “Kamu berdua ikut bapak ke kantor” polisi bertubuh tambun mencengkeram kuat-kuat lenganku dan lengan temanku, menggelandangku ke kantor.
            “Dudu kita pak sing nyuled bledogan mah! Yakin pak, dudu kita![11]” kata temanku memelas. “Sing nyuled mah bocahe mlayu, pak![12]” Lanjutnya beralasan
            Yang kulakukan saat itu hanya diam. Pikiranku sangat kacau. Saat itu yang terpikir adalah ruang penjara dengan segala penyiksaannya, yang dihuni para maling, pencoleng dan nara pidana lain. Ah pikiranku sangat tidak menentu. Sulit untuk mengingatnya. Benar-benar takut dan risau kala itu.
            “Udah diam! Ikut Bapak!” kata polisi gendut, menghardik temanku yang terus merengek dengan pembelaannya.
            Setiba di kantor, aku dan temanku langsung di interogasi. Bak maling yang baru tertangkap. Identitas siapa kami? Dimana alamat kami? Sampai nama orang tua dan pekerjaannya ditanyakan. Katanya aku dan temanku melanggar pasal ketertiban umum.
            “Sapa tadi yang menyulut mercon?”
            “Dudu kita pak, mau bocahe mlayu ngulon![13]” jawab temanku sembari memberi kode kepadaku agar aku ikut mengiyakan alasannya.
            “Iya pak, bocahe mlayu ngulon![14] jawabku tergagap sebab berbohong.
            Seusai diproses dan interogasi. Aku dan temanku dimasukkan kedalam satu sel. Disebelah kamar sel, ada seorang lelaki kekar yang sekujur tubuhnya lebam dan membiru. Aku tidak tahu apa musabab lelaki itu menghuni dibalik jeruji besi. Yang membuatku muak dengan lelaki itu, ia terkekeh melihat kami berdua yang mendekam didalam sel.
            Sewaktu aku dan temanku terpenjara, belum marak isu HAM. Saat itu kekuasaan Orde Baru masih berkuasa. Tiran Soeharto yang bergaya militeristik masih kuat mencengkeram kuku-kuku kekuasaannya. Andai saja kejadian yang aku alami terjadi pascalengsernya presiden RI ke II, tentunya mengingat umur kami berdua masih dibawah 16 tahun, mungkin polisi bertubuh tambun itu terjerat pelanggaran HAM, karena memenjarakan anak dibawah umur.
            Tidak lebih dari satu jam, aku dan temanku dikeluarkan dari penjara. Mungkin polisi bertubuh tambun itu tidak tega melihat kami berdua. Bisa jadi pemenjaraan yang dilakukan olehnya semata-mata hanya memberi efek jera dan peringatan kepada teman-temanku yang lolos, agar kami tidak mengulangi perbuatan menyulut petasan.
            Sekeluar dari penjara. Aku dan temanku tidak serta merta bebas dan diperbolehkan untuk meninggalkan kantor polisi. Masih ada beberapa tahapan lagi untuk mengecap kebebasan. Salah satu tahapan itu yang juga paling tidak aku suka adalah memijit polisi gendut yang menangkapku, hingga jari jemari tanganku terasa kram dan kaku.
            Tahapan berikutnya, kami dipaksa membuat surat pernyataan yang tak bermaterai dan membacakannya 3 kali dengan cara bersujud. Demi kebebasan, apalagi hari hampir shubuh. Aku dan temanku, mungkin dengan sangat terpaksa, melakukan pembebasan bersyarat yang kutulis setelah itu bersujud dan membaca;

Ya Allah Ya Tuhan Kami
Atas nama Ibuku, saya berjanji untuk tidak lagi mengulangi perbuatan melanggar ketertiban umum.
Ya Allah Ya Tuhan kami,
Atas nama Ibuku , saya berjanji untuk tidak membeli, membawa dan membunyikan petasan dibulan Ramadhan dan bulan-bulan lainnya.
Ya Allah.. Ya Tuhan kami
Atas nama  ibuku, saya berjanji dengan apa yang saya tulis dan ikrarkan dan saya akan menepati janji.

Kubaca berulang sebanyak tiga kali sembari bersujud menghadap kiblat di saat gema takbir masih berkumandang.
Selepas adzan shubuh. Kami berdua dibebaskan dan pulang kerumah masing-masing. Dirumah, Ibuku tak tahu apa yang terjadi pada anaknya yang pulang di pagi buta. Ibuku hanya menyuruhku segera mandi dan mempersiapkan segala perlengkapan ibadah untukku. Mulutku kukunci rapat-rapat atas kejadian yang menimpaku semalaman. Dan hingga kini, aku masih merahasiakannya.
Seusai mandi aku langsung berangkat menuju masjid. Sengajaku aku memutar jalan dan tidak melewati jalan di depan kantor polsek tempatku semalam terpenjara. Di masjid, teman-temanku yang semalam turut serta merayakan kemenangan di halaman sekolah hanya mesam-mesem melihat kedatanganku.
Eh ana napi bebas[15]” sindir temanku. Aku hanya diam dan menanggung malu,. “Ehm Kasus apa?” masih menyindirku, “Maling pithik ya?[16] mendengar celetukan itu, temanku yang lain tertawa cekikikan.
Kirik Kunuh[17] umpatku.
Eh kiyen masjid omongane aja sembarangan![18]” hardik salah satu temanku yang lain yang masih menahan tawa.
Mumpung lagi lebaran, coy. Salaman dikit![19]” temanku menyodorkan tangan dan tak henti-hentinya menyindir, “maap ya lagi bengi ora bisa baturi ning penjara.[20]
 Aku hanya tersenyum getir dan teman-temanku yang lain masih cekikian pelan. Dan shalat Ied segera dimulai. Seluruh jamaah baik itu pria dan wanita, tak pandang usia, sudah menempati garis shof segera berdiri. Berdiri tegak, Takbiratul Ihram, “Allahuakbar” suara imam memulai shalat, mengangkat kedua tangan sejajar telinga, lalu melipatnya di depan perut.
“Aku menang!” ucapku lirih didalam hati, sebelum berniat untuk memulai gerakan shalat. Tahun itu adalah Ramadhan yang kali pertama menjalankan rukun Islam ke tiga secara penuh. Tahun itu pula disaat aku memulai belajar menjalankan rukun Islam secara berurut. Namun sayangnya ada insiden pemenjaraan semalam. Dan aku bebas! Walau merayakan malam takbiran di kantor polisi.


Muntilan, - Agustus 2005
disunting ulang (penambahan kata di sana-sini) di Sleman, 11 Agustus 2010
(WFY)

NB
  • Tulisan ini ditemukan disebuah CD (Compact Dist) yang tak pernah dibuka.
  • Tulisan ini bermaksud untuk menjawab mengapa saya begitu teramat sangat membenci polisi. Membenci bukan berarti Subversif. Itu saja!


Catatan Kaki

[1] Pit, kamu itu nyalakan petasan kok takut banget sich!
[2] Tidak takut, saya tidak mendengar suaranya!
[3] Halah bilang saja takut!
[4] Tidak ya!
[5] Kalau kamu tidak takut, ini nyalakan!
[6] Sudahlah, tak usah banyak mulut!
[7] Masa pakai kayu? Anak kecil aja bisa!
[8] Tuh kan berani!
[9] Seperti itu berani!
[10] Nih lihat caranya jagoan menyulut petasan.
[11] Bukan saya yang menyalakan petasan pak. Yakin pak, bukan saya.
[12] Yang menyulut anaknya lari, pak.
[13] Bukan saya pak, tadi anaknya berlari kearah barat.
[14] Iya pak, Anaknya berlari kearah barat
[15] Eh ada napi bebas
[16] Mencuri ayam ya?
[17] Anjing kalian
[18] Heh ini masjid omongannya jangan sembarangan
[19] Mumpung ini lebaran, coy. Bermaaf-maafan dulu.
[20] Maaf ya semalam tidak bisa menemanimu di penjara

Minggu, 22 Agustus 2010

Menyilang Tanggal

              Tak terasa kita terpisah oleh waktu dan jarak yang cukup jauh. Kalender yang kusilang disetiap tanggal hampir genap dua bulan dan terpenuhi oleh coretan tangan. Adakalanya benar apa yangdikatakan orang-orang, bahwa menunggu adalah suatu pekerjaan yang menjemukan.Tapi tidak bagiku menantimu sama halnya menunggu datangnya kebahagiaan. Dan bumi masih ajek berotasi. Kini yang kurasa, begitu cepat berlalu melewatkan hari-hari tanpamu.
            Risau yang semula kerap menghantui. Kini hilang seiring kau berkali-kali meyakinkanku untuk tidak lagi berprasangka buruk tentangmu. Aku telah membuktikannya. Waktu pun tidak lagi berjalan lambat. Sekalipun jarum jam terus berdetak memutar, tidak sedikitpun aku tebersit merasa lelah untuk menunggu. Mungkin kau bertanya mengapa aku bis amelewatkan hari begitu cepatnya. Sebenarnya aku selalu menghindar untuk memandang jam, sebab jika kerap kulihat, sepertinya jarum jam enggan untuk terus berdetak di detik berikutnya. Sebagai pengingat waktu hanyalah suara adzan yang sering terdengar sebagai penanda datang dan beralihnya pagi, siang, petang dan malam.
            Itulah trik yang aku terapkan.Jangan menghitung jarum jam yang terus berputar! Biarkan jam itu berdetak dengan sendirinya. Percayalah, tanpa kau menghitungnya pun secara otomatis hari akan terus berganti. Pada saatnya tiba, kita pasti bertemu dan kembali untuk bersama. Kuharap kau pun mau mengikuti cara dan resepku jikalau suatu saat nanti aku pergi entah kemana dengan waktu yang cukup lama.
            Walau kedatanganmu terhitung cukup lama. Aku masih mempunyai kesabaran berlebih. Jika dan sesuai dengan yang kau rencanakan, berarti aku menyilang sampai tanggal 25. Tak masalah menunggu sampai tanggal segitu. Tugas harianku masih tetap sama seperti hari-hari yang lalu. Menjelang pergantian hari yang kulakukan hanyalah menyilang tanggal yang juga melewatkan waktu sehari denganmu.
            Aku tahu kaupun merasakan hal yang sama dengan apa yang kurasa. Terbukti setiap kali kau mengabarkan melalui pesan singkat dan telepon, kau mengatakan arti yang sama dengan apa yang kurasakan. Entah dengan cara apa kau membahasakan, menurutku hanya beda kata namun sama makna dalam mengungkapkan rasa rindu. Dan kita sama-sama saling merindu!
            H-7. Jika kuhitung dengan jam berarti 168 jam lagi aku akan bertemu. Banyak rencana yang telah aku susun. Mulai dari rencana yang pernah kita rencanakan yang hingga kini belum terealisasi sampai rencana-rencana baru yang aku ingin jalankan denganmu. Salah satu diantaranya, aku ingin mengajakmu ditempat terbiasa kita menikmati senja. Selain itu aku ingin mengulang sore dipelataran candi dengan hamparan rumput hijau yang membentang luas bersamamu. Rencanaku kelihatannya sederhana, namun aku begitu menikmati sisa hari denganmu di tempatyang mungkin kau baru mengalaminya bersamaku.
            Yogyakarta.Sisa hari tak lebih dari hitungan jari. Dikota inilah kita akan berjumpa lagi. Dikota ini pula kita berkali-kali bertemu dan berpisah lalu kembali lagi untuk bersama. Momen-momen yang penah kita buat, yang katamu baik-buruknya kita, telah mempersatukan dalam hubungan sebentuk cinta. Dan kita telah melalui semua jalan yang berliku. Dari manis hingga pahit pernah kita rasa.
            Usaha yang kulakukan tak sia-sia.Sebentar lagi akan menuai hasil. Meskipun hanya menyilang tanggal, aku akan berjumpa denganmu. Kau tahu betapa bahagianya diriku. Dan kini kupaham arti sebuah penantian. Benar katamu, sungguh menyesakan dada menunggu orang yang kita sayang.
            Nawon Kemit. Empatpuluhlima hari lamanya tak kupanggil namamu. Selama itu pula tidak kudengar kau memanggilku dengan nama kesayanganmu. Aku rindu memanggil dan mendengar kedua nama itu.
            Impianku akan segara terwujud. Mari berbagi dan melanjutkan cerita tentang hari ini, esok atau kapan tentang kita. Untuk kita! Kikira itu lebih dari cukup untuk menjalani sisa hari yang telah kita buang. Bukankah katamu hidup itu lebih dari sekadar menunggu mati? Lain hal, mari berikhtiar.***

Rewulu, 18 Agutus 2010
(WFY)

NB;
  • Kudedikasikan untuk seorang perempuan yang bertahi lalat didekat hidung dan yang biasa kupanggil Nawon Kemit.
  • Sssssssst... Aku sedang merindu. Berkali-kali jatuh cinta dengan nama dan orang yang sama.
  • Tulisan ini sebelumnya kutulis tangan di sebuah peron stasiun Rewulu. Saat itu aku sedang menikmati senja bersama adikku, Lailla, yang terus bernyayi tatkala datang dan perginya Kereta. "Naik keleta api ... tut ... tut ... tut. Siapa hendak tulut. Ke Bandung ... Sulabaya... Bolehlah naik dengan pelcuma.. Ayo temanku lekas naik... Keletaku tak belhenti lama..." lagu yang terus diulang-ulang dan tak pernah lampung, eh rampung dinyanyikan.
  • Terima kasih kepada Ipang dan Ikang Fawzi, untuk lagu dan inspirasinya.

Sabtu, 21 Agustus 2010

Seandainya Orangutan Bisa Bicara (part VII)

Belantara dalam Berita


“Kukuruyuk… Kok-kok petok… Kukuruyuk” kokok ayam jantan saling bersambut dengan petok ayam betina. Suara ayam yang saling bersahut telah membangunkan saya yang baru saja hidup di dunia mimpi. Baru sekejap mata terpejam saya sudah kembali dihadapkan pada dunia nyata. Sebuah dunia yang mengurung saya dan kawan
satwa sesama Orangutan yang lain.

Mimpi itu belum terangkai sempurna. Adegan terakhir sebelum saya terbangun adalah membina sebuah rumah tangga yang sakinah, mawadah dan warohmah dengan istri tercinta. Membangun biduk rumah tangga dengan rumah mungil di pucuk pepohonan yang rindang, serta menimang anak kembar hasil dari perkawinan dengan sang istri tercinta. Begitu bahagianya kala itu. Sebelum mimpi indah itu dilanjutkan dengan kebahagiaan berikutnya, fajar telah menyingsing dan mimpi itu terpotong oleh kokok-petok sang ayam memecah mimpi.

Sesosok manusia berseragam cokelat berambut cepak sedang piket. Ia terlihat
sedang sibuk membersihkan ruangan kantor yang kotor berserak debu dan puntung rokok. Dengan kewibawaan yang melekat pada seragamnya, ia menjalankan tugas penuh pengabdian. Tanpa pamrih!

Setelah ruangan itu bersih, ia menghidupkan televisi berukuran 21 inch. Dan memencet-mencet tombol remote control mencari saluran stasiun televisi. Pada tayangan berita nasioanal ia menaruh remote itu diatas meja tak jauh dari tv itu berada. Lantas ia duduk menyilangkan kaki layaknya bos menonton televisi. Baru beberapa menit kemudian ia pergimeninggalkan ruang dengan tv yang masih menyala.

Televisi itu berada di pojok sebelah pintu masuk. Mungkin pemiliknya sengaja menempatkan televisi agar bisa dilihat bersama-sama, baik itu orang yang diluar kamar dan orang yang didalam kamar berjeruji. Trik jitu untuk menghilangkan stres bagi manusia yang terpenjara. Dengan menonton tv itulah salah satu wahana yang menghibur satu-satunya.
***

“Pemirsa berita selanjutnya datang dari Kepulauan di utara ibukota negeri ini” Si cantik Dewi Perssik membacakan berita. Artis yang seringkali berpenampilan seksi itu kali ini menggunakan stelan jilbab yang menutup aurat. Terlihat anggun dan menawan. “Hutan gambut terbakar. Kebakaran dikarenakan oleh faktor cuaca yang akhir-akhir ini sangat panas. Musim kemarau yang berkepanjangan membuat beberapa hutan di Negeri ini terbakar. Hingga kini belum juga padam. Dan mirisnya pemadam kebakaran datang terlambat disaat api sudah melalap hutan. Tidak ada korban jiwa. Kerugian negara ditaksir milyaran rupiah.”

“Bakar saja hutan di negeri ini. Biar ramai, biar gaduh!” saya mengomentari berita yang baru saja dirilis dimedia elektronik.

“Kalau dibakar? Lalu kita hidup dimana?” celetuk Orangutan yang berada dikotak nomor 1. Rupanya Orangutan itu juga memperlihatkan kegeramannya saat menonton berita di televisi.

“Ya di kotak ini!” seloroh saya dengan maksud bercanda.
“Hm disorientasi hidup!” Orangutan yang ada di kotak nomor 1 berseloroh juga dengan maksud membalas canda.

“Belum tentu!” menutup lempar canda yang terlontar.

Televisi yang terus menayang gambar bergerak berhenti memutar berita. Jeda! Gambar berganti dengan aneka iklan dari sponsor yang silih berganti. Jika dihitung durasi waktu penayangan berita lebih sedikit daripada penayangan iklan yang mensponsori liputan berita itu sendiri. Dari 1 jam penayangan berita, kurang dari 30 menit pembawa acara membawakan materi berita. Sisanya puluhan iklan yang tertayang.

“Hey lihat... Harimau itu akan di tembak!” jerit Orangutan dari dalam kotak nomor 4.

Sebuah iklan rokok dengan tema petualangan. Seorang manusia tengah berada dihutan dengan gagah dengan senapannya membidik Harimau yang sedang melintas. Namun tidak jadi. Mungkin atas dasar rasa kecintaan pada binatang lelaki itu mengurungkan niat menarik pelatuk senapannya. Adegan terakhir dari iklan itu seekor burung Elang terbang lalu hinggap dilengan manusia yang berperan sebagai pemburu.

“Gila! Bahkan Harimau yang diburu pun dipertontonkan ke banyak mata manusia!” celetuk Orangutan di kotak nomor 2.

“Halah itu ilusi dan fantasi manusia saja. Semua itu hanya pencitraan iklan, agar dapat memikat calon konsumen!” saya ikut bicara berharap semua Orangutan yang terkotak tidak gaduh. “Sudahlah tak usah ribut. Apa yang kalian lihat di kaca bergambar itu adalah upaya tipu daya manusia sebagai pemikat untuk calon konsumen untuk memberli produknya!” saya menjelaskan.

“Tapi kesannya nyata!” jawab Orangutan di kotak nomor 1.
“Itu dia apa yang kusebut tipu daya manusia!” saya menimpali. “Kalau lebih jelasnya lihat saja realita hutan di lapangan!”

“Iya jadi lapangan. Mana ada hutan lebat di negeri ini yang selebat seperti di Tv tadi?” Orangutan di kotak nomor 5 yang sedari tadi diam ikut bicara.

“Aha Orangutan penghuni kotak nomor 5 akhirnya terdengar juga suaranya!” celetuk Orangutan di kotak Nomor 4 menyindir kotak sebelahnya.

“Sudah-sudah jangan ribut. Nanti manusia-manusia berseragam cokelat tahu!” sambar Orangutan di kotak nomor 2.

“Rupanya kita dikondisikan oleh Tugan agar tetap sehat, walau pada awalnya stres yang tak terkira!” Orangutan di kotak nomor 4 mengeluh.

“Iya… Bulu-bulu kemerahanku rontok nich! Huft!!” Orangutan di kotak nomor 1 mengeluh.

“Alangkah baiknya kita mensyukuri semua apa yang telah Tuhan berikan kepada kita. Hingga detik ini kita masih diberi kesempatan untuk hidup dan bersuara” saya menyemangati kawan-kawan sesama Orangutan.

“Yah syukuri saja. Hemmm!” Orangutan di kotak nomor 5 berdehem. Sepertinya ingin melanjutkan kata-kata tapi tidak jadi. Karena melihat manusia berseragam cokelat dan berambut cepak datang membawa sarapan pagi dengan menu yang itu-itu saja. Setandan pisang dan air putih. Tidak ada perubahan menu dari hari ke hari.

“Hey Monyet! Kuperhatikan dari tadi kalian ribut saja!” Manusia berseragam cokelat dan berambut cepak menghardik kami. “Nih makan dan diam!” lanjutnya seraya membagi jatah makan disetiap kotak tempat kami menghuni dengan merata. Setelah itu ia pergi lagi. Entah kemana.

“Berita selanjutnya. Kembali banjir melanda di Ibukota degeri ini. Musibah ini setidaknya menenggelamkan ratusan rumah dan herannya lagi-lagi tidak ada korban jiwa. Aparat berwenang tidak bisa memprediksi apa sebab banjir yang setiap tahun datang” Dewi Perssik masih membacakan berita tentang musibah yang sedang melanda di negeri ini.

“Dia bilang kita monyet?” comel Orangutan di kotak no 4. “Orang itu Goblok kali ya?”

“Jiakakakaka... wakakakakaka... hahahahaha... hihihihihihi.. kakakakakaka... huhuhuhuhuhuh” para Orangutan tertawa serentak dan terkial-kial.

Selang beberapa saat manusia berseragam cokelat berambut cepak itu datang lagi dan mencak-mencak. “HEH monyet diam!!!” gertaknya sambil menendang jeruji besi. Terlihat ia sedikit meringis dan mengaduh. “Dasar monyet tak berakal!” imbuhnya dongkol. Manusia berseragam cokelat berambut cepak itu pergi lagi dan berjalan agak pincang menahan rasa sakit.

Kami yang terhenti tertawa akhirnya terbahak-bahak lagi melihat polah tingkah dan kedunguan manusia berseragam cokelat dan berambut cepak itu.

“Manusia berseragam cokelat itu benar-benar bodoh! Gobloknya minta ampun!” Orangutan di kotak nomor
4 mencaci dan masih terkial-kial. “Bukankah manusialah yang memberi nama untuk kita? Kok ya sampai lupa denga kita-kita ini! Hahahahahaha.”

“Ssssssst diam ada yang datang!” Ujar Orangutan di kotak nomor 1, memberi tahu ada suara langkah kaki. Semua Orangutan terdiam menahan tawa.

Manusia berseragam cokelat berambut cepak datang lagi dengan Komandan Bambang.

“Ini lho Ndan!” lapor manusia berseragam cokelat berambut cepak kepada atasannya. “Sedari pagi Monyet-monyet itu ribut melulu. Padahal sudah saya kasih makan, eh masih tetap ribut” lanjutnya mengadu.

“Hmm” komandan Bambang berdehem lalu berkacak pinggang seolah sedang memikirkan sesuatu. “Apa ya? Emmmm mungkin bosan dengan menu makannya kali ya?” jawabnya.

Mendengar jawaban dari komandan Bambang serentak para Orangutan tertawa lagi. “Hahahahahahaha.”

“Ya iyalah. Jelas bosan setiap hari makannya cuma pisang!” celoteh Orangutan di kotak nomor 5 dengan cueknya. “Coba kita hidup di hutan, pastinya tidak bosan sebab makanan kita lebih variatif benar gak coy??”

“Jiakakakakakaka” gelak tawa para Orangutan semakin riuh dan membahana.

Saya pun ikut menanggapi celotehan itu dengan nada guyonanan, “Betul... Betul...Betul” meniru film kartun Upin-Ipin buatan Malaysia yang sering di putar disalah satu televisi swasta nasional negeri ini.

“Aha betul... betul... betul..” Jawab Orangutan di kotak no 2 dengan logat dan cengkok melayu yang fasih.

“Tuh kan, Ndan! Monyet-monyet itu ribut sekali” keluh manusia berseragam cokelat berambut cepak.

“Hmm,, mungkin mereka bosan hidup di kotak itu. Lepaskan saja. Siapa tahu mereka butuh ruang gerak lebih leluasa” usul komandan Bambang berlagak bijak.

Tiba-tiba datang Imin. “Selamat pagi Ndan!” sapa Imin yang baru saja datang di kantor. “Ada
apa nich, kok pagi-pagi sudah ada di depan sel. Ada sirkus ya?” Imin berbasa-basi dan menganggap saya dan keempat kawan sesama Orangutan yang lain sebagai kawanan sirkus.

“Ah ndak, ini katanya Orangutan sedari tadi ribut melulu. Ini mau dikeluarin dari dalam kandang.” Komandan Bambang menjelaskan, “Itu Min, bantu keluarin Orangutan dari kotak!” perintahnya.

“Siap, Ndan!” Imin pun bergegas membantu manusia berseragam cokelat berambut cepak, mengeluarkan Orangutan itu satu persatu dari dalam kotak.

“Aku bebas!!” Teriak Orangutan yang semula di kotak nomor 1.

“Segarnya udara pagi ini” hela Orangutan yang semula di kotak nomor 2.

Semua Orangutan mengekpresikan kebebasannya dengan bergembira. Kebebasan sementara. Tokh saya dan keempat kawan sesama Orangutan masih terkungkung di balik jeruji besi. Memang kami terbebas dari penjara individu di dalam kotak, kami terbebas bersama, namun masih mendekam di ruangan berjeruji besi.

“Min, itu Orangutan kotak nomor 3 sudah dibawa ke dokter hewan belum?” tanya komandan Bambang.

“Yang terluka tembak, kayaknya belum Ndan!” sahut Imin.
“Kalau begitu besok panggilkan dokter hewan. Untuk urusan biaya biar saya yang ngatur!” perintah komandan Bambang. Imin hanya mengangguk dengan sikap memberi hormat.

Penghuni kotak nomor 3 yang dimaksud oleh komandan Bambang adalah saya. Meskipun sebuah proyektil masih bersarang dan tidak lagi merasakan panas seperti pertama kali tertembak Saya hampir-hampir dan bahkan tidak lagi mempedulikan luka tembak yang ada di betis kaki kanan.. Mungkin saking banyaknya beban dan penderitaan yang sama alami, tubuh ini tersugesti oleh pikiran yang kacau balau. Hingga sakit itu tak terasa dan bahkan tubuh sepertinya sudah imun oleh rasa sakit.

Para Orangutan berjingkrak sorai dengan kebebasan yang baru saja diterimanya. Bak mendapat angin segar, mereka dengan riuhnya berjoget dan beberapa ada yang berguling-guling.

“Yeah kita bebas!” kata Orangutan yang semula di kotak nomor 4.
Melihat ekpresi kebebasan yang sedang kami lakukan, mereka tertawa terbahak-bahak. Tawa mereka justru membuat kami para Orangutan terluka. Tawa malapetaka. Setelah puas dengan tawa, seiring kami terdiam, mungkin komandan Bambang, Imin dan manusia berseragam cokelat berambut cepak masih memegang perutnya yang tambun dengan mata berkaca-kaca menahan tawa. Beranggapan pertunjukan sirkus telah selesai. Mereka pun pergi, memasuki ruang kerjanya masing-masing.
***

“Pemirsa kita telah mengundang beberapa narasumber,” si cantik Dewi Perssik masih membawakan acara berita. Kali ini pada bagian bincang-bincang, “disebelah kanan saya adalah bapak Hata selaku ajudan menteri kehutanan ad interim, merangkap Aspri. Apa kabar bapak?” sapa Depe dengan ramah.

“Baik mbak Dewi. Maaf bukan Aspri tapi tepatnya Juru Bicara Presiden.” Jawab Hata ramah dan sekaligus meralat ucapan Depe yang salah menyebutkan posisi jabatannya.

“Oh maaf, bukan asisten pribadi ya pak?” Depe meminta maaf. Hata hanya mengangguk santun. “Kok pak menteri yang bersangkutan mewakilkan bapak? Apa pak menteri takut dengan mulut judes saya ya?” tanya dan gurau dari Depe.

“Oh tidak. Kebetulan bapak lagi sakit jadi saya yang mewakilinya. Kan saya ad interim.” Jawab Hata singkat.

“Sakit jiwaaaaaaaaaaaaa!” celetuk Orangutan yang semula di kotak momor 2. Mendengar celetuk itu kami para Orangutan tertawa terpingkal-pingkal.

“Oh saya kira pak meneteri takut dengan pertanyaan-pertanyaan dari saya yang seperti geledek!” Depe mencandai ajudan menteri kehutanan. Seluruh narasumber dan penonton yang ada dalam ruangan studio tertawa sesaat dan memberi aplaus. “Dan di sebelah kiri saya adalah pakar politik kehutanan. Selamat datang bapak Susno?” lanjut Depe. Susno hanya mengucap salam dan menganggukan kepala.


“Langsung saja pada bincang-bincang. Topik kali ini adalah Hutan yang (terus) terbakar. Apakah departemen yang menaungi hutan ikut kebakaran jenggot? Sebelum menjawabnya. Satu pertanyaan saya, dari tahun ke tahun mengapa banyak hutan yang terbakar? Apa sich penyebabnya? Konon tersiar kabar itu memang sengaja dibakar? Dan ada pula yang bilang itu faktor cuaca dan takdir Tuhan? Monggo dijawab pak Hata selaku ajudan Menkehut ad inetrim merangkap Juru Bicara Presiden!”

Mendengar lelucon yang diperlihatkan Dewi Perssik sebagai pembawa acara. Gemuruh tawa dari penonton membahana di ruangan studio.

“Terima kasih. Pertanyaan bagus. Sebenarnya jawaban itu dua-duanya betul. Tapi, ada tapinya nich. Jika benar hutan yang terbakar itu memang sengaja dibakar untuk perluasan lahan, maka pelakunya itu adalah oknum yang tidak bertanggung jawab. Kalau berdasar faktor cuaca ya itu sudah kehendak yang di atas. Hanya Tuhan yang tahu! Wallahu a’lam!” jawab Hata.

“Bapak bilang itu oknum? Itu manusia bukan ya pak?” pancing Depe.
“Tentunya ya manusia!”
“Jika oknum itu manusia tentunya punya nama dong, pak? Hewan saja punya satu nama dalam satu spesies kok, Pak!” Depe bertanya sarkastis.

Tepuk tangan dan elu-elu penonton meramaikan acara bincang-bincang untuk kesekian kalinya.
“Ya jelas punya nama!” jawab Hata datar. “Tidak etis untuk disebutkan!”
“Kira-kira oknum manusia yang tidak etis disebut namanya itu bekerja di institusi apa, Pak?” Depe terus memancing.

“Wah itu juga tidak etis, mbak Dewi” jawab Hata sembari mengumbar senyum.

“Baiklah itu menjadi pekerjaan rumah jurnalistik dan tentunya lembaga kepolisian untuk mengungkap tabir, siapa oknum, departemen yang menaungi seandainya ada, dan aktor intelektualnya.” Depe berkesimpulan “lalu bagaimana tanggapan Pak susno selaku pakar politik kehutanan?” sambung Depe bertanya kepada nara sumber di sebelah kirinya.

“Sebelumnya saya ucapkan Terima kasih atas kesempatan dan undangan di studio. Kalau menurut saya jika dilhat dari kacamata politik. Korelasi antara manusia dan sebab terjadinya kebakaran hutan memang benar adanya. Betul apa yang disebutkan oleh bung Hata, pelakunya itu adalah Oknum! Siapa namanya tidak salah jika tidak etis disebutkan.”

“Apa korelasinya, pak?” Depe memotong penjelasan panjang dan bertele-tele yang dipaparkan Susno.

“Mbak Dewi, tidak bisa dipungkiri angka pengangguran di negeri ini tiap tahun meningkat jumlahnya. Di negeri ini kategori Usia produktif adalah kisaran usia 15 sampai 65. sedang yang tidak produtif dibawah umur 15 dan diatas usia 65. Coba bayangkan di setiap bulan Juli pemerintah merilis atau bisa dikatakan mencetak anak bangsa dari usia yang belum produktif hingga usia produktif menjadi pengangguran. Itu baru lulusan tingkat Sekolah Dasar Hingga Sekolah Menengah. Belum lagi di tingkat universitas, kalau tidak salah 1 tahun, 3 sampai 4 kali merilis dan mencetak pemuda-pemudi penganggur. Mencari pekerjaan dinegeri ini untung-untungan, mbak! Manusia di negeri ini masih di liputi dewi Fortuna, jika beruntung yang bekerja jika tidak ya menganggur! Mengapa demikian? Sebab pemerintah belum mampu menciptakan lapangan pekerjaan. Dan perlu digarisbawahi saat ini, tahun ini angka pengangguran meningkat 10%. Itu data saya dapat media tempat anda bekerja lho, mbak!” jelas Susno

“Korelasi antara kebakaran hutan, pak?” Depe mencecar.
“Ya pemerintah mau tidak mau bahkan jika tidak mau dikatakan terang-terangan, secara tidak langsung turut serta mengamini tindakan oknum tersebut. Berharap dapat menciptakan lapangan kerja baru untuk menampung potensi pemuda-pemudi yang menganggur.”

“Apa dengan membakar hutan di negeri ini dapat menciptakan lapangan kerja baru, pak?”
“Bisa jadi. Awalnya kayu ditebang setelah kayu habis lalu semak belukar dibakar kemudian dijadikan lahan perkebunan. Itu bisa menyerap banyak tenaga kerja lho, mbak.” Terang susno.

“Stop-stop,” Hata memotong paparan yang dijelaskan susno, “Saya tidak sepakat apa yang dikatakan oleh bung Susno. Hutan kita ini dilindungi oleh undang-undang, Bung! Semoga anda tidak lupa!”

“Lho iya. Nyatanya? Apa yang terjadi di lapangan? Pemerintah dan departemen terkait begitu royal dan gampangnya menerbitkan surat HPH. Apa itu tidak menciptakan lapangan kerja bagi perusahaan?” Bantah Susno.

Hata hanya tersenyum tipis dan tidak lagi membantah. Dewi Perssik dengan sigap mengambil alih pembicaraan, “Baiklah saya mengerti apa kesimpulan dari perdebatan pak Hata dan Pak Susno. Oh iya pemirsa, bincang-bincang kali ini disiarkan secara langsung dan tidak diselingi jeda komersial. Sengaja dipersembahkan untuk rakyat di negeri ini yang mungkin barangkali ada yang bertanya seperti saya, mengapa kebakaran hutan kerap melanda di negeri ini dan apa penyebabnya?” ujar Depe dengan gayanya yang kemayu, “Lalu kesimpulan untuk tidak lagi terjadinya kebakaran hutan apa pak? Monggo pak Hata dulu yang menjawab."

“Undang-undang harus ditegakkan. Patroli hutan harus ditingkatkan!” Hata menjawab singkat.
“Cuma segitu, Pak?”
“Saya kira itu sudah cukup!”
“Kalau dari pak Susno?"
"Selain Undang-undang ditegakkan. Tangkap dan Adili pembalak, cukong-cukong, mafia kayu serta oknum birokrasi yang membekingi para mafia illegal logging. Sebab menurut saya, Illegal logging itu suatu kejahatan yang berstruktur. Artinya maling kelas teri sampai maling berdasi yang berinstistusi, baik itu sipil dan militer ada yang terlibat, walaupun mereka-mereka yang terlibat itu acap kali di cap sebagai oknum." Susno memberi kesimpulan dan bersolusi.


“Begitulah kesimpulan dari akhir Bincang-bincang kali ini. Kembali pada masyrakatlah yang menilai. Hutan terbakar masyarakatlah yang terkena imbas. Sebagai penutup, ijinkan saya untuk meneriakkan slogan; STOP ILLEGAL LOGGING!” Dewi Perssik menutup acara dan berkampanye lantang menyeru penghentian pembalakan hutan di negerinya.
***

Saya dan keempat kawan sesama Orangutan hanya melongo menonton televisi dari balik penjara menyaksikan mulut-mulut manusia mengaco-belo tentang kebenaran dengan pembenaran-pembenaran. Manusia yang menjadi penguasa dengan logikanya benar tidak benar, nalar ataupun tidak nalar, benar menurut apa yang dikatakannya. Kami melongo persis terpidana mati menunggu vonis dan meratapi ajalnya di balik jeruji besi.

Tidak ada kebenaran di negeri ini. Di negeri ini, yang ada hanyalah omong kosong dari kebenaran itu sendiri. Andai saja pohon-pohon dan binatang bisa bicara? Maka merekalah yang akan memberikan kesaksian mengapa hutan terbakar. Saksi bisu! Si bisu menjadi saksi. Bungkam!***





Di Pinggiran Selokan Mataram, 29 Juli 2010
(WFY)

NB

  • Ide cerita berawal dari kerapnya saya menonton Film "The Burning Season", yang diperankan oleh Raul Julia dan disutradaraiJohn Frankenheimer. Dan film "Tarzan" (tanpa huruf X). Dan sering mendengarkan lagu "Isi Rimba Tak Ada Tempat Berpijak Lagi", pencipta Iwan Fals. "BeritaCuaca", yang dipopulerkan Gombloh dan "Lautan Tangis dan Fabel"nya Sujiwo Tejo.
  • Sumpah Tulisan ini tidak ditujukan kepada siapa-siapa, baik itu laki-laki maupun perempuan. Jika ada kesamaan, nama, tempat, lakon, peristiwa dan atau jalannya alur cerita maka itu faktor kebetulan saja. Sekali lagi Sumpah! Tulisan tidak berdasar fakta ataupun realita dan tulisan ini murni fiktif

Sabtu, 14 Agustus 2010

Mencontreng Hari


Tak tahukah jika aku merindumu? Pertanyaan itu tiba-tiba menelisik di benakku. "Baik-baikkah kamu disana?" Aku mengirim pesan singkat dari telepon genggamku dan menunggu jawaban darimu. Rasa rindu yang tertimbun membuncah begitu hebat di dalam hati. Sampai-sampai pikiranku hanya tertuju pada dirimu yang sekarang berada di pulau seberang. Rasanya, jantung ini berdegup kencang tiada henti, merisaukan sesuatu hal yang tidak kuhendaki. Memang berlebihan menyikapi kerisauan yang kuciptakan sendiri. Tapi siapa tahu kerisauan yang terbentuk dalam bayanganku berubah wujud menjadi nyata. Dan kau memperkenalkan pria lain yang tidak kukenal, yang kau anggap sebagai kekasih barumu. Itu yang tak kumau
Rabana! Mata yang kupejam rapat-rapat merembeskan titik airmata yang tak mampu kubendung lagi. Sempurna! Kau membuat diriku menjadi manusia seutuhnya. Dengan tangisan aku merasa sempurna menjadi seorang laki-laki. Kepergianmu yang mendadak membuatku terkaget dan gusar. Padahal sebelumnya kau berkata padaku jika kau masih ragu dan bimbang mengenai jadi tidaknya berangkat ke pulau seberang. Hingga pada suatu minggu, "Aku besok berangkat. Tidakkah kau ingin berbincang denganku?" katamu mengawali perbincangan dari seberang dibalik telepon genggam. "Apa?!?" jawabku terkejut. "Iya besok malam aku pergi. Siap-siaplah menjadi duda untuk sementara waktu!" katamu sembari bergurau. "Ah kau juga. Persiapkanlah mentalmu untuk menjadi janda dua bulan lamanya" aku balas mencanda yang juga mempersiapkan mentalitas selepas kepegianmu.
Ingatanku mundur kebelakang.Terakhir kali aku berjumpa denganmu pada suatu petang di stasiun kota. Ketika itu kau mengantar kepergianku. Tak ada jabat tangan apalagi kecup mesra. Kereta malam yang akan kutumpangi sudah berulang kali membunyikan klaksonnya. Petugas stasiun melalui pengeras suara sudah berkali-kali pula mengingatkan calon dan para penumpang untuk segera menaiki kereta dan siap diberangkatkan menuju ke stasiun berikutnya. Suasana serba cepat dan tergesa-gesa.
Waktu pun memisahkan kita. Aku terburu, berlari meninggalkanmu begitu saja. Kulakukan agar aku bisa menaiki sebelum kereta berangkat. Aku sesali tak memberimu salam dan berjabat tangan. Hanyalah lambaian tangan yang bisa kulakukan sebagai isyarat aku segera pergi. Maafkanlah aku jika aku egois. Percayalah aku pergi hanyalah untuk sementara, tak lama, dan segera kembali untukmu. Seiring kereta perlahan berdecit melaju. Kulihat kau tersenyum dengan mata berkaca-kaca melepas kepergianku. Usaplah airmatamu, bisikku dalam hati.
Akhir dari sebuah pertemuan adalah perpisahan. Seberapapun intensitas yang pernah kita lakukan. Pastilah berujung pada perpisahan. Sadar atau tidak disadari, kita mesti mengulang-ulang muasal dari temu itu. Tapi untuk kali ini aku benar-benar merasa kehilangan, walau katamu hanya untuk sementara waktu.
Hari-hari pun berlalu. Kau menitipkan surat untukku. Berulang-ulang kali pula aku membacanya. Melalui media tulisan tangan dan fotomulah, seolah aku sedang bercakap dan bertatap muka denganmu. "Semoga kau baik-baik saja" bait pertama dalam pembuka suratmu. Kujawab "Kau juga". Kubaca suratmu hingga paragraf terakhir dan kujawab pula setiap tanya dari kalimat yang kau tulis untukku. Ringkas suratmu, kau dan aku dua bulan lamanya tak bertemu. Jaga diri dan jaga hati.
Yakinlah! Tak perlu ragu. Percayalah seperti aku yang mempercayaimu. Bukankah itu kalimat mujarab yang sering kita ucapkan dikala kita sedang meragu? Ya itulah kunci kita dalam menjalani sebuah hubungan yang harmonis. Walau terkadang katamu, aku tak bisa romantis. Aku selalu berkilah menutup kekuranganku dengan mengatakan, 'adakalanya romantis itu perlu, tapi jika ada momen'. Dan kau telah mengajariku untuk itu.
Ujian yang harus kulalui begitu terasa berat bagiku. Biasanya aku yang bepergian dan meninggalkanmu. Tapi kali ini akulah yang ditinggalkan dengan waktu yang lumayan lama. Kini aku paham apa yang kau rasakan ketika kau sendirian menungguku datang. Jarang yang sebenarnya tak seberapa, ternyata mampu membuat jaring-jaring rindu.
Nun jauh disana kau telah merencanakan sesuatu untukku. Entah apa itu? Semoga kerisauanku mengenai dirimu hanyalah sebuah mimpi. Hanya bunga tidur semata! Dan ketika aku membuka mata, kau sudah disini bersamaku. Aku takkan pernah lelah menunggu, yang pasti aku selalu dan menanti kedatanganmu.
Inginku, semua indah pada akhirnya. Semoga! Tahukah kau jika sepi ini terasa menyakitkan? Aku ingin bernyanyi lagu yang sering kita nyanyikan. Kuharap kau masih ingat dan menghafalnya.
Kuingin kau tahu
Kau tetap dihatiku
Ada yang harus kau mengerti
Kau takkan ada gantinya
Yang aku inginkan hanyalah
Dirimu bersamaku selamanya
Bantu aku pergi dari sepi 
Yang kurasa menyakitkan***

Di sebuah 'replika' Jembatan Ampera, 13 Agustus 2010
(WFY)
NB;
  • Terima kasih kepada Ipang untuk lagu dan inspirasinya.
  • Kudedikasikan untuk seorang perempuan yang biasa kupanggil Nawon Kemit