Rabu, 15 September 2010

Relawan, Wisata Bencana atau dari pada TIDAK?

Sohibul hikayat, pada zaman lampau ada suatu negeri yang makmur. Padi menghampar luas. Pepohonan yang nampak rindang. Serta disuguhkan hamparan pantai-pantai yang indah membentang. Di negeri inilah terdapat para pembuat (pelestari budaya) berbagai kerajinan, mulai dari pengrajin tanah liat hingga anyam-anyaman. Masyarakat setempat bermatapencaharian sebagai petani dan nelayan. Hanya sebagian kecil saja yang bekerja sebagai buruh. Negeri yang penuh daya tarik bagi wisatawan. Negeri dengan sejuta pesona, negeri Antah Berantah namanya.


Pada suatu ketika di pagi, tanggal 27 Mei 06 Masehi. Manusia-manusia sudah bersiap dan bergegas. Bersiap untuk menjalankan rutinitas seperti biasanya. Namun masih ada yang terlelap di pembaringan dengan buaian mimpi indah, tak terkecuali anak-anak -balita-. Hiruk pikuk mulai kentara. Masyarakat mulai menjalankan aktivitasnya masing-masing yang kebetulan bermatapencaharian sebagai petani, nelayan dan juga buruh. Mereka nampaknya sudah siap menjalankan aktivitas seperti hari-hari yang menjadi rutinitasnya.


Terlihat riang wajah pak tani karena padinya mulai menguning, nampak sedih para buruh karena gajinya tak kunjung belum terbayar. Maklum tanggal tua. Di sekolah anak-anak nampak ceria, sebentar lagi bertemu dengan teman sebayanya. Belajar dan bermain.


Seusai Subuh. Dibalik keriangan pak tani, kesedihan buruh dan keceriaan anak-anak, kini kandas. Sirna jua mimpi-mimpi mereka. Sebab pagi buta jam 05.57, masih di tanggal 27 Mei 06 M. Suatu waktu belum dimulainya roda ekonomi masyarakat. Terjadilah guncangan yang hebat. Hanya dengan 3 menit guncangan itu bisa memporak-porandakan rumah dan juga mematikan nyawa manusia. Luluh lantah dan mematikan. Masyarakat setempat menyebutnya sebagai Lindu. Namun dalam bahasa Indonesia guncangan tersebut dinamakan Gempa. Konon katanya menurut para ahli nujum guncangan itu berkekuatan 5,9 Skala Richter. Hanya perkiraan!


Orang-orang semua panik. Berhamburan seperti dalam keadaan perang. Bersembunyi, berteriak minta tolong, mengungsi. Apalagi isu yang merebak yakni akan ada tsunami. Banjir bandang! Entah siapa yang mengisukannya. Orang yang tak bertanggung jawab mestinya. Mengungsi atau mati, pikiran yang ada dalam pikiran orang-orang. Tidak bisa membayangkan seperti apa kota di pagi itu. Kota mati.


Yah setidaknya guncangan tersebut begitu dahsyat. Hampir seperempat penduduk di negeri Antah Berantah itu tewas. Innalilahi waina ilahi roji’un. Bencana yang maha dahsyat! Mungkin ini semacam kiamat kecil, kata pemuka agama. Ahli bumi tak kalah memberi pernyataan, selain takdir Tuhan, guncangan ini terjadi akibat pergeseran lempeng di bawah samudera. Berita itu simpang siur. Hanya perkiraan tanpa hukum sebab akibat. Belum tentu kebenarannya!


Ucapan bela sungkawa datang dan silih berganti dari tetangga negeri. Bantuan datang tak henti-hentinya mengalir deras dari berbagai penjuru negeri. Berlomba mencari pahala? Semua orang berbondong-bondong menuju tempat bencana. Ada yang ingin membantu, dan ada juga yang ingin sekedar melihat-lihat situasi serta berfoto-foto ria. Piknik Bencana. Sepertinya di negeri yang terkena bencana itu dijadikan sebuah bisnis yang menggiurkan, ladang basah bagi para investor. Yah lagi-lagi “mungkin” atas nama pembangunan. Tak heran menjelang pintu masuk di lokasi bencana terpampang tulisan “WISATA BENCANA, HTM SeIkhlasnya!”.


Decak kagum menyeruak ludah. Para pelancong, nampaknya sangat begitu menikmati pemandangan yang hanya tinggal puing-puing berserakan. Berfoto, bercengkerama sambil sesekali tertawa senang. Mungkin jarang terjadi peristiwa yang begitu unik atau mungkin ini sebuah kenangan indah yang tak terlupakan bagi para pelancong? Tak heran ada juga, sebagian masyarakat yang terusik oleh para pelancong. Masyarakat sepertinya terganggu dengan kedatangan para pelancong dadakan itu. Menurutnya, kedatangan pelancong itu bukannya menghibur tapi malah membuat resah masyarakat. “KAMI BUKAN BARANG TONTONAN!” Protesnya! Siapa yang akan mendengar? Toh mereka (pelancong) mentulikan telinganya. Rasa simpati tak ada, apalagi empati. Begitu menikmati! Kejadian seperti ini belum tentu satu tahun sekali, butuh proses atau jika tidak tunggulah Tuhan murka.

***


Di negeri itu terdapatlah sebuah pondokan. Ada ribuan santri yang belajar di pondok itu. Namanya Sekolah Kebijaksanaan. Tempat dimana para santrinya belajar tentang ilmu-ilmu yang di impor dari negeri Barat. Sekolah Kebijaksanaan adalah tempat tercetaknya santri yang handal dari berbagai disiplin ilmu. Mulailah santri itu menerapkan ilmunya. Di lokasi terjadinya bencana inilah para santri menerapkan teori yang telah dipelajarinya dan kemudian mempraktekkannya.


Segerombol santri sedang mendiskusikan apa yang seharusnya diperbuat setelah negeri Antah-berantah itu luluh lantah akibat gempa. Ketiga santri itu adalah Asu, Kirik, dan Anjing begitu serius dengan diskusinya. Perdebatan demi bantahan saling kukuh dengan idenya masing-masing. Satu sama lain tak mau mengalah! Berjam-jam lamanya mereka duduk di selasar pondokan. Duduk bersila, memeras otak dan mencoba untuk mencari solusi atas ketidaksepahaman ide dari ketiga santri itu. Saling diam. Tak satupun, satu dari mereka berani mengungkapkan gagasannya.


Ketiga santri berimajinasi dengan ide dan buku yang digeluti. Dengan latar belakang yang berbedalah otak mereka disatukan. Asu adalah seorang pembaca buku tentang keidealismean manusia, siapapun tokohnya, habis ia lahap. Perawakannya yang kecil membuat teman-temannya merasa gemes, apalagi dengan tingkah lakunya yang sering melucu. Dibalik keunikan yang dimiliki ia juga seorang yang idealis. Untuk Kirik, ia selalu bergumul dengan dunia mesin, teknik. Dari tampang culunnya tak menandakan ia seorang santri yang pemikir. Apatis dan pandai bermain spekulasi. Sementara Anjing selalu bergelut dengan buku-buku sosial kemasyarakatan, ia juga gemar membaca buku tentang lingkungan. Ia adalah seorang yang pendiam, bersifat otoriter. Bukan tipikal seorang pekerja tapi suka memimpin dan tidak mau dipimpin.


“Aku punya ide!” Teriak Asu. Mencoba memecah kebuntuan. Kedua temannya kaget. Antara Kirik dan Anjing saling menatap. “Ceritakanlah ide itu?” Jawab Anjing dengan gayanya yang sok bijak. Sementara Kirik hanya diam tampak acuh dan tak peduli. “Bagaimana kalau kita membuat Posko bantuan di tempat bencana? Disana kita bisa membantu. saudara-saudara kita yang tertimpa musibah. Misalnya kita mencari dan kemudian mendistribusikan barang-barang bantuan itu pada mereka.” Asu menjelaskan idenya. “Apakah itu efektif? Hanya sia-sia! Buang-buang waktu, Su!” timpal Kirik dengan gaya pragmatisnya. Anjing mencoba menengahi. “Hei Rik, apa kamu punya solusi?” Kirik hanya menggeleng sembari menghisap lintingan tembakau. Dengan posisi tangan menyangga kepala, seolah berpikir. Sementara rokok dihisapnya terus berulang-ulang, hampir mati. Juga tak mendapatkan ide. Ketiga santri itu saling terdiam. Saling memikirkan tentang apa yang seharusnya diperbuat.


Siang itu, masih belum juga mendapatkan solusi. Panas matahari mendidihkan
darah, emosi yang gampang meletup. Dari ketiga santri itu mempunyai pandangan yang berbeda. Saling berlawanan. Ditengah perdebatan yang tak berujung. Akhirnya, dari ketiganya memutuskan untuk break sejenak. Dan tentunya dengan kesepakatan bersama pula, masing-masing harus dapat mempunyai ide yang dapat dikolaborasikan. “Baiklah sementara kita belum mendapatkan apa yang seharusnya kita lakukan, alangkah baiknya kita istirahat sejenak. Namun perlu di ingat saudara-saudara kita membutuhkan kita! Jangan sampai terlena.” nada bijak nan tegas itu terlontar dari mulut Anjing.


Sementara orang-orang sibuk menyiarkan berita tentang musibah yang baru saja terjadi. Masih di selasar pondokan. Banyak para santri yang kemudian memutuskan menjadi relawan. Hilir-mudik dan kesibukan mulai terasa. Di sekeliling pondokan itu banyak bertumpuk bantuan. Obat-obatan, makanan dan minuman tertumpuk menjadi satu disebuah sudut selasar itu.


Ketiga santri kembali berkumpul. Tentunya dengan gambaran ide masing-masing. “Baiklah kita, kita sudah berkumpul disini. Kuharap masing-masing dari kita sudah mendapatkan ide dari apa yang seharus kita perbuat. Bukan semestinya!” Anjing memulai kembali rapat yang tidak formal itu. Asu masih dengan idenya yang ingin mendirikan posko bantuan, harapannya sederhana ingin membantu dan memudahkan penyaluran pasokan barang. Sedang Anjing disamping mendirikan posko bantuan, ia juga mengusulkan untuk terjun langsung ke lapangan membantu dan mengevakuasi korban. Sedang si kirik masih malu untuk mengeluarkan pendapatnya. Dia hanya berbisik pada pemimpin forum. Bahwa ia sepakat dengan pemikiran kedua temannya. Ia juga mengusulkan untuk dijadikan praktek kerja lapangan. Maklum dari ketiga santri tua itu belum mendapatkan mata pelajaran praktek kerja lapangan. Salah satu syarat kelulusan belajarnya.


Kirik hanya tersenyum simpul atas ide cemerlangnya. Nampak keoportunisan yang ada pada si Kirik. Namun Asu tidak sepaham apa yang diidealkan kirik. Dengan nada sewot serta reaksioner, “Aku sepakat dengan ide yang kalian paparkan. Namun ketahuilah DIMANA ADA MOMENT, DISITULAH ADA KANS DAN KEPENTINGANLAH PADA AKHIRNYA. Aku tidak munafik.” Ia mempertahankan idenya.


Dengan penjelasan selogis mungkin Kirik pun menguraikan gagasannya panjang lebar. Sedang Anjing dan Asu hanya teranggut-anggut mendengarkan apa yang dipaparkan olehnya. Dari teman yang semula tidak diakui pemikirannya, kedua rekannya terkesima dengan gagasan yang baru saja ia dengarkan. Seharian belum juga mengetok palu kesepakatan. Dan akhirnya, untuk sementara mereka sepakat untuk mendirikan posko bantuan di daerah tempat bencana. Dari ketiga santri tersebut masing-masing mempunyai tugas. Ada yang mendirikan posko, mencari logistik dan melobi pada guru pengampu mata kuliah praktek kerja lapangan. Untuk dipercaya melobi ialah sang Anjing, karena ia tidak terbiasa untuk bekerja di lapangan. Mulut sumirlah yang menghendaki demikian. Untuk merangkai kata-kata dan kemudian meyakinkan, ia pandai beretorika. Pialang ulung. Kedua rekan mempercayakannya.

***


Pascagempa, telah satu tahun lamanya telah terlewati. Pendirian posko lambat laun beralih fungsi menjadi pondokan para santri. Yang semula dijadikan posko para relawan, kini bertebar posko untuk santri yang sedang kuliah lapangan. Status ganda relawan dan kuliah lapangan juga para pencari uang. Setelah adanya musibah para santri diberi keuntungan untuk kuliah di luar ruangan. Kadang terdengar nada sumbang dari orang-orang moralis; pengungsi bukannya orang yang tertimpa bencana, namun para santri juga relawanlah yang mengungsi di tempat bencana. Sambil berenang minum air, jika di umpamakan dengan pepatah.


Satu tahun telah terlewati. keadaan negeri Antah Berantah itu berangsur pulih. seperti sedia kala. tentunya dengan kondisi yang berbeda. Jalan-jalan, hingga rumah. Semuanya nampak baru, walau sederhana. Keceriaan anak-anak, keriangan pak tani kini nampak lagi terulas. Geliat masyarakat mulai menandakan bahwa kota itu tak lagi mati seperti awal terjadinya bencana gempa.


Sebagian kegiatan harian mulai nampak, pasar banyak yang sudah melakukan kegiatan ekonominya, begitu juga toko-toko. Adapun kegiatan harian di daerah gempa lebih terlihat kepada evakuasi barang-barang, mengumpulkan genting dan kayu yang masih bisa digunakan. Aparat membantu merobohkan bangunan yang membahayakan, terutama untuk fasilitas umum seperti tempat ibadah dan lainnya.


Sedang banyak para relawan domestik dan asing yang berada di lokasi tempat bencana. Masyarakat juga nampak begitu apatis dengan mereka para dermawan itu. Beruntung semangat gotong royong masyarakat masih ada. Hingga tak terlalu mengharapkan bantuan dari para pengumpul pahala. Menurut masyarakat, tidak hanya uang yang diberikan untuk membantu mengatasi bencana itu, namun juga bantuan fisik secara nyata diberikan langsung ke tempat kejadian. Masyarakat tampak acuh dengan para donatur yang mengiming-imingi bantuan. Hanya omong kosong katanya.


Hingga saat ini di tahun 07 M, puluhan bahkan ratusan organisasi bantuan, telah lewat satu tahun setelah bencana itu masih aktif memberikan bantuan. Mereka tinggal di tenda-tenda yang didirikan di lokasi bencana. Begitu juga ketiga santri itu. Yah, paling tidak merasakan empati. Atau pilihannya adalah menjadi Relawan, Wisata Bencana atau dari pada TIDAK?






Yogyakarta, 28 Mei 2007

(WFY)

Tidak ada komentar: