Jumat, 17 September 2010

Sumpah tidak sama dengan Janji

Kami Mahasiswa Indonesia Mengaku;
BERTANAH AIR SATU,
TANAH AIR TANPA PENINDASAN
BERBANGSA SATU,
BANGSA YANG GANDRUNG AKAN KEADILAN
BERBAHASA SATU,
BAHASA KEBENARAN

Siapa yang berani mengelak bahwa kita (baca; mahasiswa) tidak pernah mengucapkan sumpah itu? Jika berani memungkiri, mungkin tidak dibaiat oleh seniornya. Tidak bisa disama-ratakan memang. Tapi analogikan saja semua mahasiswa setidaknya pernah membaca sumpah itu. Andaikan saja, bahwa kita telah bersumpah dan di sumpah. Walau ayat-ayat itu dibaca secara terpaksa (tidak berdasar hati nurani).

Mari kita mencoba melihat realita yang sedang terjadi di Negara ini (Indonesia?). Sebagai contoh; beberapa kasus yang selama ini terjadi di tanah air. Pembangunan reaktor Nuklir di Jepara. Hingga pembangunan mall terbesar se Jawa Tengah dan DIY, Amborukmo Plaza. Sampai penambangan pasir besi di Yogyakarta yang sangat kontroversial itu. Lupakanlah Yogyakarta! Mari berkeliling Nusantara.

Pertama kita mulai berselancar ke pulau Sumatera. Tepatnya di Porsea, Sumatera Utara. PT Toba Pulp Lestari (Indorayon) telah melakukan pengrusakan hutan dan pencemaran lingkungan akibat air limbah. Dampaknya dapat mengakibatkan kematian pada tanaman, hewan dan bahkan manusia.

Nikmatilah keindahan pulau Sumatera. Jika sudah merasa bosan, berlayar lagi ke Pulau Kalimantan. Mungkin sekarang kita tidak dapat lagi menyaksikan lebatnya hutan atau bahkan monyet-monyet yang bergelantung dari ranting pohon ke pohon lainnya. Semua itu musnah akibat pembalakan liar yang di lakukan oleh perusahaan-perusahaan yang mengaku berbadan hukum dan konon mempunyai ijin yang bernama HPH[1] itu. Di sana juga terdapat pertambangan emas yang di motori oleh PT. Kelian Equatotial Mining (KEM).

Selesai bercengekerama dengan gundulnya hutan-hutan di tanah Borneo. Menyeberanglah ke Pulau Sulawesi, kasus serupa dapat kita jumpai di Buyat, PT Newmont lah sebagai pelakunya.

Setelah asyik bertamasya di Pulau Sulawesi. Melanconglah ke tanah Papua. Di sana terdapat ekspoitasi tambang (emas, tembaga dan konon Uranium juga) yang dilakukan oleh PT Freeport Indonesia. Masihkah kita dapat melihat indahnya burung Cendrawasih? Tentunya tidak bukan? (Melihatpun hanya kebetulan!). Adapun hanya sedikit dikarenakan populasi burung itu semakin berkurang. Mengapa demikian? sebab hutan-hutan sudah hilang, ditebang oleh ketamakan bergelintir orang. Kok bisa? Tanyakanlah pada rakyat Papua. Pasti dapat jawabnya.

Waktunya kembali ke pulau Jawa. Sudah menjadi rahasia umum, pulau jawa dijadikan tempat sentralisasi industri aneka produk barang dan jasa. Orang-orang yang semula hidup bermata pencaharian sebagai petani, penggarap kebun dan sebagian bergantung dari hasil hutan. Dipaksa beralih profesi menjadi buruh. Sebab desa yang ditinggalkannya tak berprospek lagi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini akibat dari ulah perusahaan-perusahaan berbadan hukum yang kerap kali memonopoli tanah-tanah.

Dari hasil berplesiran coba kita buat pertanyaan kemudian mereka-reka
jawabannya;

1. Berapa puluh, bahkan ratusan dan mungkin ribuan orang yang terkena imbasnya? Kalkulasikanlah?

2. Siapakah yang bertanggung jawab? Siapa yang salah dan siapa yang akan dipersalahkan. Masyarakatkah? Para pemodalkah? Pemerintahkah?

Semestinya semua orang pasti setuju dengan jawaban; Rakyat jelatalah yang selalu dijadikan korban.

Tak usah bingung menjawab persoalan itu.. Apakah ini akibat dari kapitalisme atau globalisasi? Berpikirlah sederhana, semua hal bisa dicari akar masalahnya. Dari sudut pandang apapun, teori, ideologi atau apalah namanya jika disangkutpautkan maka akan menemukannya semua sumber dari akal permasalahan tersebut.

Bukan bermaksud mendeskreditkan ideology atau isme tertentu. Semuanya bermula dari ulah para tuan-tuan tanah dan pengusaha-pengusaha asing yang menguasai tanah-tanah masyarakat dengan sewa jangka panjang dan kemudian hari dikuasai secara semena-mena (permanen). Masyarakat terusir dari tanahnya dan kehilangan alat produksi utama. Untuk mereguk keuntungan para pengusaha asing biasanya memperkerjakan masyarakat lokal dengan upah rendah. Dan pada akhirnya kesejahteraan masyarakat lokal tidak berubah karena pasar sepenuhnya dikuasai para pedagang asing yang menguasai teknologi, alat komunikasi dan transportasi. Ada perubahan pun hanya setitik, sama sekali tidak ada perbaikan kesejahteraan. Justru kemiskinan semakin meluas.

Ah gak usah terlalu bertele-tele menjelaskan berbagai penindasan yang sedang terjadi di negeri ini! Tak perlu pula dijelaskan ideology atau isme beserta segala tetek-bengeknya. Fakta, tidak sesuai dengan cita-cita pendiri bangsa ini.

Tak usah menulikan telinga dan membutakan mata pada realita. Semua orang pun tahu, entah itu lewat media massa cetak ataupun elektronik. Jelas-jelas merekalah (rakyat Papua, Sulawesi, Sumatera Utara dan masih banyak lagi) yang tetap dijadikan korban! Semua orang pun tahu! Dunia sepertinya mengakui bahwa di negeri ini banyak terjadi penindasan, ketidakadilan dan kebohongan yang dilakukan oleh sang pemerintah.

Bagaimana dengan kita?

Mari kita menilik sebentar. Tolehlah teman kita si A, B, C, D dan seterusnya. Apakah ia benar-benar menunaikan ucapan sumpahnya? Si A sibuk mengelarkan kuliahnya, dengan alasan biaya kuliah mahal. Sedang si B terlalu asyik dengan kehidupan hura-huranya baginya tak terlalu mempersoalkan biaya kuliah, ia termasuk kelas ekonomi atas (orang kaya!). Sedang si C, D dan seterusnya bingung mencari pekerjaan sampingan, karena untuk menutupi biaya kuliah dan kebutuhan sehari-hari. Dan berbagai alasan lainnya.

Sekarang kita kembali lagi pada masalah sumpah! Apakah para pengucap sumpah itu benar-benar menjalankan apa yang telah disumpahkannya? Apakah para pengobral janji itu melakukannya? Mengingat kondisi negeri ini banyak terjadi ketimpangan sosial dan bahkan penindasan.

Simpulkan dan renungkanlah! Benarkah ayat-ayat itu adalah sumpah? Jika kita benturkan pada realitas sebenarnya, kita akan terpaksa untuk mengamini ayat-ayat itu hanya sebatas kata yang tanpa makna.

Miris memang…

Sudah Waktunya untuk turun Gunung….Halah Nulis Opo tho yo? Tuwaek...

Yogyakarta, 05 Oktober 2007
(WFY)

Catatan Kaki

[1] HPH akronim Hak Pengusahaan Hutan. Dan kadang, dipelesetkan menjadi Hak Pembabatan Hutan.



Tidak ada komentar: