Sabtu, 09 Februari 2013

Para Penghibur Tuhan

Suatu ketika di sebuah kota kecil di timur pulau Jawa.
Kisah ini bermula dari sebuah pertemanan yang tak di sengaja. Medio 2006, bencana gempalah yang mempertemukan kami. Awal mula kami memulai berkenalan, itupun tanpa disertai dengan berjabat tangan atau saling berucap nama. Di sebuah tenda pengungsi, tempat transit pelepas lelah. Terkadang jika malam tiba, kami kerap kali menggunakan sebagai tempat bermalam. Perkenalan itu terjadi tanpa kesan yang berarti. Bermula hanya obrolan-obralan biasa hingga pada masalah korban bencana dan evakuasi yang carut marut. Hanya omong kosong pelepas lelah menjelang tidur. Lupakan saja cerita tentang musibah 2006 silam. Aku tak mau duka itu terkuak kembali. Aku tak lagi mau mengingatnya.
Seorang lelaki bertubuh gempal, berambut ikal, berkulit legam dan tahi lalat yang bertengger didekat hidungnya. Begitulah jika aku mengingat ciri-ciri lelaki itu. Karakter manusia yang langka. Itu menurutku! Ia manusia pemisuh sekaligus penghujat. Pada suatu obrolan dalam hitungan jam, aku pernah menghitung kata makian “Jancok” ada sekitar 60 kali. Jika di hitung dalam menit, kata “Jancok” setiap satu menit pasti terlontar dari mulutnya. Kala itu, pisuhan “Jancok” adalah salah satu makian yang populer diantara teman-teman barunya.
Aku hapal betul suara dan raut wajahnya. Teman-temanku sering menyindirnya sebagai “penjajah bahasa”. Sedangkan aku, memberi julukan sebagai “manusia aneh dari timur”. Mengapa demikian? Hal ini disebabkan karena logat bicaranya seperti orang Jawa bagian timur namun terkadang bercampur aksen bahasa dari Pulau Madura, gado-gado. Beberapa kawan sepertinya tertular virus logatnya. Wajar saja jika ia di nobatkan menjadi seperti itu.
Satu hal yang tak pernah lupa dari sesosok laki-laki itu adalah ia dijadikan sebagai objek bahan ejekan dan ia tak pernah marah jika ia di garapi, di ejek oleh teman-temannya. Ekspresi wajahnya begitu tenang tak tampak tanda-tanda ia marah. Tak ada perubahan raut muka yang memerah. Tapi entahlah setelah itu, aku tak tahu jika ia menyimpan dendam. Semoga saja tidak. Percayakan saja pada Tuhan kelak perbuatan teman-temannya akan dibalas. Insya Allah, tapi Kelak?
Lama sudah tak bertemu. Hampir satu tahun setengah, aku tak berjumpa dengan manusia aneh. Banyak teman yang mempunyai rasa kangen terhadapnya. Selama itu juga komunikasi terputus. Hanya hembusan kabar yang kudengar tentang kabar baik tentang dirinya. Alhamdulillah jika kabar mengatakan begitu. Kuharap ia baik-baik saja.
Pertemanan aku dan dia sampai saat ini masih terjalin. Tak ada riak ataupun perselisihan antara aku dan dirinya, adem ayem. Jika ia menghujat aku hanya menanggapi dalam konteks guyonan semata. Pun aku harap demikian juga dengannya. Seperti sudah di takdirkan, aku dan dirinya klop dalam hal misuh-memisuh. Begitulah jika aku meminta pendapat dari temanku yang juga temannya.
***

Waktupun berlalu. Di akhir tahun 2007, pada suatu ketika!
Dalam perjalan yang tak kusengaja. Di sebuah kota kecil di daerah Tapal Kuda, akhirnya kami dipertemukan kembali. Dari situlah awal mula perkawanan mulai mengakrab. Sebuah pertemuan yang terpaksa mengingat kembali, mengingat rupa wajah seorang kawan yang belum juga terlupakan. Sebuah nama yang masih tersimpan dalam memori ingatan. Seorang laki-laki kumal, dekil yang selalu resah dengan identitasnya.
Awal mula pertemuan itu sempat kuragukan. Ciri fisik yang terekam dalam ingatanku telah memudarkan kenyataan sosok pria yang dahulu aku kenal.. Ia berubah drastis dalam bentuk raut wajah. Hampir seluruh bibirnya tertutup lebat kumis dan jenggot. Jenggotnya semakin melebat dan sepertinya dicat warna pirang. Hanya saja tubuh gempal, suara khas dan pisuhannya yang sampai saat ini belum juga berubah. Suara dan pisuhan itulah salah satu yang meyakinanku bahwa ia adalah benar temanku. Tak kuragukan lagi, seingatku ia selalu mengenakan topi pet berwarna hijau dengan logo bintang merah yang tak penah lepas dari kepalanya. Persis seperti Fidel Castro sang revolusioner dari Kuba. Kuamati dengan seksama, lama sekali. Dugaanku benar dan aku belum terlupa, sesosok pria berjenggot tebal itu adalah Apri. Berdasar KTP ia bernama lengkap Apriyadi Setiawan.
Dari pertemuaan awal tahun baru itulah, pertemanan kami semakin lama kian mengakrab. Faktor pendukung keakraban kami yakni, sekarang ia sudah bisa menggunakan telepon seluler. Aku sempat juga meragukan perubahan gaya hidup yang sedang ia lakoni. Maklum lama sekali tak bertemu! Padahal dulu, seingatku ia adalah salah satu orang yang sangat anti dengan tekhnologi. Jika aku menanyakan nomor telepon yang dapat di hubungi ia mesti selalu menjawab “untuk berkomunikasi walau jauh, tidak perlu menggunakan telepon. Cukup dengan telepati saja”. Dasar orang nyleneh! Padahal Telepon seluler atau ponsel bukan lagi barang mewah. Hidup di zaman sekarang mana ada orang tak menggunakan telepon seluler, orang miskinpun sekarang berponsel. Walau sekedar untuk aksesoris yang selalu dibawa kemana-mana. Pergi ke sawahpun orang tak lupa untuk membawa alat komunikasi yang satu ini.
Pernah kutanyakan alasan apa untuk tidak mempergunakan ponsel? Katanya, penggunaan telepon seluler adalah salah satu bentuk budaya kapitalistik. Dimana manusia selalu diperbudak dengan uang dan tekhnologi. Ia tak mau seperti itu, baginya penggunaan telepon selular adalah hal yang mudharat nan sia-sia. Baginya hidup apa adanya lebih dari cukup dan ia bahagia dengan apa yang selama ini miliki. Aku hanya manggut-manggut sembari tersenyum ngece mendengarkan penjelasannya. Menurutku itu hanya alibinya, mungkin saja ia belum membutuhkan alat percakapan jarak jauh itu. Atau mungkin ia enggan untuk membeli pulsa, mengingat di negara ini segala hal tak ada yang gratis. Pekerjaan saja harus membeli coy!
Lupakanlah tentang ponsel. Walau sekarang iapun akhirnya mengikuti arus orang-orang berponsel. Apapun alasannya kuhargai prinsip hidup yang ia idealkan. Semoga saja ponsel yang selalu ia tenteng kemana-mana bukan sekedar aksesoris semata. “Ehm, sejak kapan Apri berponsel” aku menyindir diawal perjumpaan itu. Ia hanya tersenyum tanpa alasan.
***

Aku begitu merindu dengan sahabatku itu. Lama tak bertemu, membuatku semakin sangat ingin tahu apa yang sedang terjadi dengan dirinya. Apa hidup yang kini ia sedang lakoni. Masihkah ia seperti yang dulu? Ataukah ia telah berubah? Begitulah pikiranku yang ingin segera mendengar kisahnya.
Pertemanan itupun berlanjut hingga kini. Sampai saat ini! Pernah riak kecil sempat terjadi. Itupun hanya kesalahpahaman saja. Setelah itu berjalan seperti biasanya. Begitulah tentang dia. Polos dan apa adanya. Hingga sekarang. Semoga seperti ini seterusnya. Hingga akhir zaman, bila perlu!!***

Taman Hidup, 21 Juli 2009
(WFY)

Tidak ada komentar: