Sabtu, 09 Februari 2013

Memoar Asumanto

Awalnya aku tak begitu memperhatikan dia. Seorang pemuda legam dengan tinggi badan kira-kira 173 Cm dan bertubuh agak tegap. Perkenalan itupun hanya sebatas berjabat tangan sambil berucap nama. Aku tak begitu menghiraukan saat pertama kali berkenalan dengannya. Sekilas saja dan kemudian berlalu.
Lambat laun kian mengakrab, seiring kerapnya aku bertandang di kotanya. Sebuah kota di ujung timur Surabaya. Memang aku jatuh cinta pada kota itu. Sebuah kota yang multi etnik, berbagai suku bangsa hidup saling berdampingan dan damai. Aku yang yang terlahir sebagai seorang Jawa, kini semakin mengerti pentingnya bertoleransi antar sesama. Itulah prinsip hidup yang hingga saat ini aku pegang. Semoga  saja dan selamanya. Bukan tanpa sebab aku mengatakan demikian. Kota inilah yang kembali mengingatkanku akan menyikapi kehidupan di dalam masyarakat.
Perjumpaan untuk kedua kali dengan pemuda itu, sudah barang tentu biasa-biasa saja. Hanya sekedar singgah dan bermalam, kemudian esok hari aku melanjutkan perjalanan menuju ke utara dari kotanya. Saat itu aku sedang melakukan kali kedua pendakian di gunung Raung. Kecintaanku pada gunung itulah yang mempertemukan kembali.
Sekembalinya dari pendakian. Aku sempat transit di kotanya lagi. Bertemu dengannya pun belum banyak cakap. Hanya sekedar menanya ketidak atau sukseskanku dalam pendakian pun tanpa komentar ataupun ucapan selamat darinya. Aku hanya menanggapi semua itu biasa-biasa saja. Mungkin di antara aku dan dia belum mengenal satu sama lain. Maklum perkenalan itu belum lama terjadi. Sebatas bertegur sapa saja, tidak lebih.
Sesampai di kota itu. Aku menitipkan ransel dan hendak melanjutkan perjalanan ke pulau Bali menemui sanak saudara. Kagetnya bukan kepalang. Aku tak mempercayai begitu saja tulisan yang terpampang di papan tulis sekretariatnya. Namaku dengan jelas tercantum dalam daftar nama pendakian Argopuro via Jalur Selatan, Cemara Kandang. “Tidak mungkin!” selorohku. Pikirku mungkin, orang iseng saja yang sampai hati menuliskan namaku di papan itu. Tidak lucu, hanya lelucon! Setahuku di Argopuro hanya ada dua jalur pendakian. Baderan, besuki  dan Bremi, Probolinggo.
Dari cerita yang kudengar jalur pendakian via Cemara kandang, pertama kali yang membuat jalur itu adalah orang-orang di organisasinya, senior temanku! Hanya orang-orang tertentu saja yang bisa melewati. Konon jalur Cemara kandang adalah sebuah jalur tanpa jalan setapak, seperti  pada umumnya gunung-gunung di pulau  Jawa, yang memang sengaja tidak di komersilkan, berbeda dengan jalur    Baderan atau Bremi.
Acuhkan saja namaku di papan tulis itu. Mungkin si penulis hanya iseng menuliskannya. Perjalanan pun kulanjutkan ke pulau Dewata sore hari.
****

Beberapa hari lamanya di pulau Bali, setelah kutemui sanak keluarga yang tinggal di pulau itu. Saatnya kembali lagi di kota tempat dimana ransel kutitipkan. Lalu pulang ke kotaku. Itulah niatan yang kutanam dalam benakku.
Perjalanan  itu membutuhkan waktu 6 jam untuk sampai tempat dimana ransel itu kutitipkan. Cukup lama memang. Hampir separuh hari dihabiskan berkendara. Seandainya saja aku naik bis eksekutif mungkin tidak membutuhkan waktu 6 jam lamanya. Sayangnya aku memilih bis ekonomi dan berganti kereta ekonomi pula di Banyuwangi. Pilihan kendaraan itu masalah selera. Selain irit biaya juga merakyat. Maklum, mungkin orang sepertiku belum layak menaiki kendaraan yang serba eksekutif. Sekali-kali bisnis pernah, hanya sekedar merasakan saja. “Oh begini tho rasanya menjadi orang kaya”, setelah turun dari kereta ya kembali lagi pada aku yang semula. Kere!
Aku selalu menyebutkan diriku sebagai orang yang dimiskinkan dan tidak diberdayakan oleh Negara. Tidak percaya alasanku menjadi seperti ini? Lihat saja dalam undang-undang; semua orang berhak mendapatkan penghidupan yang layak. Nyatanya masih banyak orang Indonesia sepertiku jauh dari penghidupan yang layak. Makan saja masih berlauk garam. Di negeri ini, tak perlu menuntut hak! Negara dan penguasanya pasti berdalih “Garis hidup manusia telah ditentukan oleh Tuhan! Bukankah dalam hadist nabi “Tuhan tidak akan merubah nasib suatu kaum, jika kaum itu sendiri yang merubahnya? Maka berusahalah”.  Nasib, mati, kaya, miskin, semuanya adalah kehendak Tuhan. Bukan Negara.
***

14 Februari 2008
Tepat pukul 15..00 WIB sampailah di kota dimana temanku bertempat tinggal.
Di sebuah sekretariat OPA  (Organisasi Pecinta Alam)  yang penuh dengan hiruk pikuk dan berbagai aktivitas manusia. Terlihat Ransel biruku sudah tegak berdiri. Tertata rapi dengan aneka rupa perlengkapan pendakian.
“Semua sudah siap. Apakah kau sudah siap?” kata temanku. Pertanyaan itu yang menghentak pikiranku. Baru saja kaki menginjak didepan pintu. Sudah disuguhi pertanyaan kesiapanku. Mulutku tercekat, menelan ludah berkali-kali, pikiranku tak keruan. Hampir-hampir aku pingsan seketika. Gambaran yang jelas terlihat di mataku adalah aku benar-benar akan menyusuri rimba raya, belantara hutan tanpa jalur pendakian yang tertata layaknya gunung-gunung di jawa tengah pada umumnya. Berbekal peta dan kompas, dan memetakan jalur yang akan dilalui. Bertahan hidup dilebatnya hutan pegunungan Hyang. Aku sudah menciptakan kenyataan yang belum terwujud. Membayangkan ganasnya Pegunungan Hyang.
“Kemaslah barang itu, Siapkanlah dirimu! Esok pagi kita berangkat!” ia mengulang pertanyaan disertai penegasan. Belum pertanyaan pertama kujawab ia telah memberondong pertanyaan akan kesiapanku. Pikiranku membuncah, bingung dan tak percaya. Apakah ia benar mengajakku melakukan pendakian yang tak lazim itu! Kukatakan tidak lazim, sebab jika aku turut serta, maka aku kali pertama melakukan pendakian tanpa jalur yang jelas. Memang selama ini aku melakukan pendakian jalur yang sudah jelas-jelas ada, jalur umum, boleh dibilang jalur wisata. Gunung-gunung jawa, diatas 2800 mdpl, selalu saja aku melewati di jalur umum. Bahkan temanku itu kerap kali mengejekku “Spesialis pendaki jalur umum!”. Jika aku ikut serta dalam pendakian ini, semoga saja ia tak lagi mengejekku seperti itu.
“Lho kok bengong! Itu lho barang-barangmu, kemas lalu masukkan ke ranselmu!” ia menegaskan sambil menunjuk barang-barang yang harus kubawa. Kuiyakan saja ia, iyaku sekaligus mengiyakan untuk ikut melakukan pendakian, yang menurutku itu sebuah ekspidisi yang baru pertama kali aku lakukan dalam sejarah pendakian yang pernah kulakukan di gunung-gunung pulau Jawa.
Ekspedisi pun dimulai. Hari Jumat tanggal 15 Februari 2008. Kami berempat; Herling, Nata, Sumanto dan aku sebagai orang luar dari organisasi mereka.
Pertama dalam sejarah, aku melakukan pendakian dengan orang-orang yang mendaki bersama orang-orang sekaliber mereka, yang notabene baru kukenal, walaupun secara organisasional  aku sudah cukup lama mengenal. Namun terasa begitu canggung mendaki bersama orang-orang sekaliber mereka, yang notabene  ia adalah para pendaki tangguh dari OPA (Mahapena) yeng terkenal dan cukup disegani se Jawa Timur.
Pendakian kali ini, bersama 3 orang yang masing-masing berbeda karakter. Herling seorang pendiam, Nata sosok kalem, seorang leader juga merangkap sebagai ketua umum di organisasinya. Sedangkan temanku, Sumanto adalah sosok yang agak keras kepala, tegar sekaligus ngeyel. Aku berada di antara mereka yang berbeda isi kepala dan karakter. Kucoba untuk mengikuti alur pemikiran ketiga orang itu. Pikirku sederhana saja daripada aku merepotkan, lebih baik aku sebagai orang penurut saja. Biarlah mereka yang mengambil setiap keputusan selama melakukan pendakian.
Tujuh hari berproses bersama. Ada rasa bangga yang sangat luar biasa tertanam dalam benakku. Bangga bisa mendaki bersama orang-orang yang berani. Bangga bisa mendaki di jalur yang tidak lazim (baca; bukan jalur umum). Dan konon akulah orang pertama dari Yogya yang bisa menembus puncak Cemara Kandang, Argopuro. Sebelumnya memang ada, namun  ditengah perjalanan mereka balik kanan. Akulah orang yang berhasil, walau tertatih, menapaki Argopuro via jalur selatan. Ketiga kawan sependakian dan Tuhanlah yang menjadi saksi.
Memang berjalan di tengah lebatnya hutan, begitu sangat menguras tenaga dan emosi. Riak kecil dalam pendakian kerap kali muncul, yang pada akhirnya emosilah yang berbicara. Saling terdiam, meredam emosi, menentukan arah, mengambil keputusan dan perjalanan dilanjutkan kembali, begitu seterusnya. Itu berlangsung berulang-ulang.
Tujuh hari pula aku mengenal secara dekat dan nyata dari ketiga orang yang berbeda wajah dan karakter. Semakin dekat, semakin akrab. Satu sama lain, saling mengenal. Tidak butuh waktu lama untuk saling mengenal. Jika berada di hutan, tabiat, watak dan perilaku mudah sekali untuk diketahui, seolah aura dari masing-masing kepala terbuka begitu saja seiring perjalanan dalam melintasi hutan.
Tujuh hari yang melelahkan. Mendaki perbukitan, menyusuri lebatnya hutan. Tidur hanya dengan bivak, pacet yang menghisap darah. Makan seadanya. Kehabisan air serta pergulatan emosi yang terasa mengalir begitu saja. Tanpa topeng, tanpa tameng meluap dari masing-masing kepala yang berbeda.
Begitulah cara kami berproses bersama, tujuh hari lamanya. Hingga kian mengakrabnya pertemananku dengan Sumanto beserta kedua kawannya.   
Pertemanan itu tidak berhenti sampai disini. Setelah turun gunung dan masih berlanjut.
***

Pada suatu ketika, perjumpaan itu terjadi kembali. Entah untuk ke berapa kali aku bertandang ke kotanya, berapa pula aku bertemu, dan lagi seperti pertama aku berjumpa dengannya. Ia masih terlihat cuek dan acuh denganku. Hanya sekedar tanya kapan, dan atau kabar baik dariku tak pernah terlontar dari mulutnya, seperti biasa pula aku menanggapinya dengan biasa-biasa saja, dingin. Ada rasa gengsi jika aku memulai obrolan dengannya. Maklum saja, kupernah diajak berpetualang dengannya di Argopuro. Dan aku merasa bodoh saat itu, dan kali ini aku takkan menampakkan kebodohanku untuk kesekian kalinya.
Begitulah caraku berteman dengannya. Dan Lelaki itu bernama Sumanto.

Yogyakarta, 13 Desember 2009
(WFY)

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Ahh lagi" Sumanto.. B-)
cerita yg bagus, d tunggu Post barunya Mas...