Minggu, 07 Februari 2010

Kopi Pahit Serasa Nasib

Pagi ini hanya segelas kopi dan dua batang rokok peninggalan temanku yang menemani. Pasangan kopi paling maknyus biasanya camilan berupa pisang goreng atau ketela rebus hangat. Tapi tidak untuk pagi ini. Sama sekali tidak ada makanan untuk sarapan. Perut dari semalam belum juga terisi, mulai keroncongan. Rasanya perih sekali. Melilit seperti terkena diare.

Setengah sendok makan gula pasir bercampur dengan satu sendok penuh kopi dan diseduh dengan air panas dari dispenser. Jangan tanya rasanya seperti apa? Air panas yang setengah mendidih diaduk dengan campuran kopi gula yang komposisinya tidak proporsional. Hmm rasanya ambyar! Dari warnanya tidak terlalu pekat, hitam tidak kental. Bahkan cenderung terlihat bening. Rasanya tidak manis juga tidak terlalu pahit. Sepah, sepet. Tak apalah, dari pada tidak ada pengisi perut mengawali pagi.

Masih pagi. Jarum jam menunjuk pukul 05.30 wib. Sedang arloji yang melingkar dipergelangan tangan berangka 06.00 wib. Sengaja aku lebihkan 30 menit dari waktu Indonesia bagian barat pada umumnya. Bagiku waktu adalah dilema. Hal ini kulakukan, mengingat aku masih mempunyai kebiasaan tidak tepat pada waktu.

Rasanya malas sekali beranjak dari tempat duduk untuk sekadar mencuci muka di kamar mandi. Leyeh-leyeh memoloti layar kaca gambar bergerak sembari menikmati kopi hambar dengan mata masih terkantuk-kantuk.

Tidak ada semangat melihat perkembangan berita dari media elektronik. Apa yang sedang terjadi? Ada apa dengan Indonesia? Bagaimana kasus terkini Century yang menghebohkan? Hingga berita pemakzulan presiden yang tak kupilih pada pemilu setahun yang lalu. Seratus hari lebih sudah terlewati. Janji-janji semasa kampanye tak pernah terealisasi. Omong-omong, Omong doang! Oh Indonesiaku, apakah rakyatnya salah memilih presiden?

Duh Gusti Pangeran Diponegoro lihatlah regenerasi kepemimpinan bangsa ini! Duh Gusti Ngurah Rai masih adakah solusi terbaik untuk menjadikan bangsa ini lebih baik? Lebih baik jangan terlalu memikirkan arah bangsa ini. Sepertinya sikap terbaik untuk menjawab persoalan bangsa yang semakin pelik ini adalah dengan diam.

Matikan saja kaca bergambar itu! Aku tak ingin ikut dan tahu perkembangan berita di negeri ini. Nasionalismeku luntur seketika itu juga.

***

Kopi yang perlahan mulai susut diseruput, tinggal separuh gelas. Sedang dua rokok masih tersisa satu batang yang belum juga kuhisap. Ingin sekali menyulut satu batang terakhir, tapi rasanya sangat sayang sekali. Konon kata para pecandu rokok; nikmatnya menghisap rokok sewaktu buang air besar di WC dan seusai makan. Tragisnya aku sudah empat hari ini belum juga buang air besar dan dari kemarin hari belum juga makan. Apalagi ini satu batang rokok terakhir. Jadi rokok yang tinggal sebatang itu kusimpan untuk dinikmati salah satu dari kedua rutinitas tersebut. Entah mitos atau bukan, tapi memang benar kenyataannya. Rokok bagiku bagaikan kopi tanpa gula. Jika tidak ada gula maka tak terasa manis, begitu dicampur dengan kopi maka akan terasa sedap aroma dan rasanya.

Matahari yang muncul sudah bergeser mendekati 180°. Jika menghadap ke timur cukup menyilaukan, bahkan bisa membutakan mata. Langit berwarna biru, mega-mega terlihat putih. Cuaca hari ini begitu cerah. Tumben matahari memancar dengan terik. Padahal Shubuh baru saja hujan reda.

Kopi tinggal ampasnya. Kutambah lagi dengan air panas, kali ini tanpa gula. Rokok yang tersimpan akhirnya terhisap juga sebagai teman menikmati segelas kopi pahit yang kembali terisi penuh. Hari ini sama sekali tidak ada aktivitas. Seperti biasanya kuhabiskan hari dengan duduk di depan televisi atau mendengarkan musik di kamar 3X4 meter yang biasa aku tempati. Apabila sudah merasa bosan dengan suasana kamar, maka aku akan bergegas keluar. Berkeliling mengitari pedesaan nan sepi dan melelahkan kaki. Menghibur diri.

Khusus hari ini sudah kuniatkan untuk tidak bepergian. Bukan rasa malas aku berniat itu, tapi ada faktor lain. Dompet yang biasa terselip disaku celana, tak lagi bertempat diposisi yang seharusnya. Dompet itu tak berfungsi lagi dan tergeletak di atas rak buku atau berserak diranjang, bahkan aku lupa dimana aku menaruhnya. Dompet berserak pertanda dompet tidak lagi terisi lembaran-lembaran rupiah satupun. Kosong! Hanya berisi kertas-kertas tidak bernilai dan batu-batu berwarna hitam dan ungu. Azimat warisan simbah yang hingga saat ini aku tidak tahu nama dan fungsinya.

Aku mencoba hidupkan kembali televisi. Namun berita yang tersiar beralih ke kabar selebritis. Para artis sibuk bersensasi mencari simpati ke penontonnya. Di Jakarta, Artis tak beda jauh dengan para politisi nasional yang sibuk mencari perhatian. Mencari kepopuleran dan mempertahankan eksistensi di tengah-tengah masyarakat. Bung 2014 masih lama, iya kalau memang kalian diberi umur panjang? Padahal dia –para artis dan politisi- tidak tahu jika ia sering di gunjing. Memang tidak tahu diri! Matikan televisi. Tidak penting! Hanya isu penyebar fitnah. Dan rasa patriotismeku pun sirna begitu saja.

Perut mulai keroncongan, lapar. Genap dua hari lamanya perut belum terisi nasi. Sama sekali tidak diberi asupan karbohidrat, hanya mineral hingga perut terasa kembung. Memang cukup mengenyangkan. Yah untuk melanjutkan hidup lebih dari cukup. Dari pada harus berpuasa 2 hari lamanya? Menyiksa diri, kutahu Tuhan melarang..

***

Hari berangsut siang, kalau tak salah hari ini hari rabu. Semakin siang semakin panas. Lumayan menyengat kulit. Apalagi hari ini aku memakai kaos berwarna hitam yang dapat menyerap panas menembus kulit. Salah kostum! Maklum aku sama sekali tidak mempunyai pakaian selain berwarna hitam, inilah akibat yang harus aku terima. Beruntung saja bulan ini bukan musim kemarau, aku pun tak terlalu direpotkan mencari tempat berteduh mendinginkan tubuh-tubuh yang memanas.

Kali ini matahari tak mau kompromi. Naudzubillah panasnya. Keringat sangat deras menetes, padahal aku hanya duduk-duduk saja di beranda rumah. Berulang kali aku menyeka keringat yang kerap mengucur diwajah. Sapu tangan merah yang kugunakan sebagai pembersih berubah warna menjadi kehitam-hitaman, bercampur daki pula. Terakhir kali aku mandi kalau tidak salah kemarin pagi. Ups bukan kemarin, kira-kira dua hari yang lalu, pagi hari, dan hingga siang ini tubuhku belum juga terguyur air.

Jangan bayangkan seperti apa bau badanku? Walau beberapa hari lamanya tidak mandi. Percayalah, aku termasuk kategori salah satu orang yang rajin menyemprotkan parfum di seluruh tubuh. Dari ketiak, tiap lekukan tubuh sampai selangkangan tak pernah luput dari semprotan pewangi. Harumnya parfum bercampur keringat. Sedap.

Huft panasnya seperti di Gurun saja.

***

Omong-omong aku begitu lapar. Sama sekali tidak ada makanan. Aku hanya bisa membayangkan sepotong roti berselai cokelat bercampur kacang dan segelas susu murni atau sepiring nasi-jagung sayur tempe dan berlauk ikan asin. Sayangnya aku hanya bisa berkhayal saja, memberi sugesti. Ternyata survival di kota lebih sulit jika dibandingkan di belantara hutan. Tumbuhan-tumbuhan yang dapat dimakan semuanya berpemilik. Berbeda di hutan, aku bebas memetik apa saja yang dapat dimakan. Tidak ada kepemilikan personal, kecuali dikuasai Negara. Izinnya pun hanya mengucap Bismillah.

Lapar, lapar dan lapar. Sekali lagi lapar. Aku harus bertahan, berpuasa sampai waktu yang tak terhingga. Kali ini sepertinya Tuhan memberi sebuah cobaan yang sangat berat. Tuhan telah menamparku, memberi peringatan berupa bencana kelaparan kepadaku. Maklum saja aku lalai menjalankan kewajibanku sebagai umatNya. Sembilan tahun lamanya, di setiap bulan Ramadhan, aku tak pernah menjalankan perintahNya. Selain itu juga, aku tidak ber-Amar ma’ruf nahi munkar. Ujian terberat dalam hidup adalah menahan nafsu makan beserta nafsu-nafsu lainnya, tak terkecuali birahi.

Panas, panas dan panas. Cuaca hari ini begitu panas. Lagi aku harus bertahan sampai malam tiba. Seperti di neraka, sama sekali tidak tersedia es batu yang menyegarkan kerongkongan. Lagi-lagi Tuhan telah memberi sebuah cobaan dalam hidup, tetapi kali ini tidak berlaku bagi diriku sendiri. Hawa panas itu ditujukan untuk umum. Peringatan Tuhan kepada manusia agar tetap menjaga alam. Mungkin saja! Memberi panas yang terasa menyegat sampai ke ubun-ubun.

Lupakanlah rasa lapar. Masih banyak hal yang harus dipikirkan selain lapar. Menurut ahli kesehatan, selama masih ada air untuk membasahi kerongkongan, lebih dari tujuh hari lamanya manusia masih bisa bertahan hidup tanpa harus makan, Aku betul-betul survival. Hanya sekadar mempertahankan keberlangsungan hidup. Semangat.

Ba’da Dzuhur, aku masih berdiam diri di dalam kamar.

***

Kopi sudah tinggal ampasnya. Satu batang rokok yang kusimpan, akhirnya terhisap habis tak bersisa. Asbak yang penuh dengan abu sisa semalam bertambah lagi dua puntung rokok yang telah kusulut. Jika dihitung ada sekitar enam belas puntung rokok di asbak itu. Rokok dengan aneka merk yang teronggok dalam satu wadah. Tak terasa aku sudah menghabiskan sebanyak itu.

Sepi, gerah di ruangan ini. Sama sekali tidak ada hiburan, hanya televisi 14 inchi yang bersedia menghiburku pada siang yang panas. Itupun kerap kuhidup dan matikan jika tak sesuai selera. Acaranya cuma sinetron dan kabar-kabar selebritis yang nyambi berpolitik. Negeri dagelan! Ah memuakkan, mengapa siang ini begitu membuat aku malas. Semoga bukan hanya karena lapar yang mendera. Aku masih sanggup bertahan menahan lapar untuk beberapa hari kedepan. Andaipun sudah tidak kuat lagi, pastinya aku mati.

Aku sedang menunggu malam. Semoga malam tak sepeti siang. Aku pun tertidur di siang yang menyesakkan. Masih menahan lapar.

Jl Simpang Karimata, 03 Februari 2010

(WFY)

Tidak ada komentar: