Minggu, 14 Februari 2010

Hujan dan Secangkir Teh

Sore masih mendung. Dari kejauhan ujung barat senja jingga tak menampak. Terlihat samar, tertutup gumpalan awan hitam seperti jelaga. Dijalanan orang-orang berkendara dengan kecepatan kencang. Tak mempedulikan lagi jalan aspal yang licin. Persetan dengan nyawa! Baginya terpenting baju yang melekat tubuh tak terguyur air. Pengendara yang sibuk, panik dan kebut-kebutan. Berebut aspal tanpa memperhatikan marka pembatas jalan.

Dari balik jeruji jendela berkaca bening. Kuperhatikan tingkah laku manusia penuh ketololan yang takut dengan hujan. Padahal mereka sudah mengenakan ponco atau raincoat pelindung dari percikan air. Sembrono! Aku hanya bergeleng kepala melihat orang-orang dengan laju kendaraan yang dipacu. Peringatan Alon-alon waton kelakon -biar lambat asal selamat-, sepertinya tidak berlaku jika musim penghujan tiba. Dia lupa jika sedang bertaruh nyawa. Mungkin baginya, barang siapa yang lincah berkendara di jalanan, maka selamatlah sampai tujuan. Berhati-hatilah. Malaikat pencabut nyawa bertebaran dimana-mana.

Dari balik jendela berjeruji. Aku masih terduduk ditempat semula. Masih dengan setia melihat air yang menetes jatuh dari genteng. Hujan telah memperangkapku pada kenyataan bahwa sunyi tak pernah berhenti. Mematung seorang diri disebuah ruangan berbentuk persegi panjang yang kian lama semakin membelenggu. Seperti di dalam penjara. Di sekat batas oleh air hujan.

Cuaca tak lagi bersahabat. Mega mendung tak juga menyingkir dari kota ini. Sebentar lagi gelap, dan hujan belum juga reda. Hingga Maghrib tiba, Muadzin tak terdengar lantang menyeru adzan. Kalah suara dengan deru knalpot dan bising klakson motor saling bersahut.

***

Langit masih tertutup mendung. Malam segera menjelang, awan hitam sedari sore masih menggumpal membayang kelam. Seingatku, hitungan kalender Jawa, -malam ini tepat pergantian tanggal limabelas. Seharusnya malam ini bulan terlihat bundar, terang bulan. Nampaknya tidak untuk malam ini, hanya berbentuk sabit atau setengah lingkaran itupun tertutup mendung. Gumpalan awan membuat purnama tidak menyinar sempurna.

Dari ruang tamu, gemiricik hujan tak henti-hentinya mengucur deras. Terlihat kilatan cahaya berkelap-kelip, kemudian disusul suara gemuruh saling menyambar. Aku terpaku diam dan hanya melihat. Rasa takut menyerangku tiba-tiba. Nyaliku ciut. Semoga tidak terjadi apa-apa dengan malam ini. Mengingat kota yang sedang aku singgahi berzona merah, -kerap terjadi bencana.

Radio komunikasi yang biasa terdengar membungkam. Hening, tak terdengar suara obrolan manusia. Sepi dari cekakak-cekikik berisik penggila alat komunikasi -handy talkie. Jauh dari hingar bingar. Sama sekali tak terdengar kasak-kusuk mulut busuk mengoceh ngalor-ngidul tak berjuntrung.

Beranjak malam. jalanan mulai terlihat sepi dari lalu-lalang pengendara. Begitu senyap. Mencekam. Angin berhembus kencang, menyibakkan tirai berkain korden penutup jendela. Hawa dingin terasa memasuki pori-pori kulit. Terasa ngilu menusuk tulang, Tubuhku menggigil. Di bagian kepala, migrain yang kuidap bertahun-tahun kambuh. Cekot-cekot. Nyerinya seperti tertusuk jarum.

Lebatnya hujan merubah suasana. Malam menjadi nyenyet . Aku tak tahu apa yang sedang terjadi diluar sana. Begitu senyap, mulai sepi suara pekak knalpot dan klakson kendaraan bermotor. Gelap gulita. Kulongok melalui celah jendela tidak terlihat orang yang berani keluar rumah. Pos kamling yang biasanya ramai dengan orang-orang bermain gaple tak berpenghuni. Malam ini begitu sepi dari suara kelakar para peronda.

Bumi ini seolah tak berpenghuni. Hening sementara. Hanya terdengar gemericik air hujan dan suara angin berdesis. Kilatan cahaya dan gemuruh semakin lama semakin terdengar keras. Awalnya pelan lalu menggelegar. Kusumbat telinga dengan kedua telapak tangan. Serta merta tak henti-henti mulut merapal doa. Aku membatin. Mengharap hujan berhenti mengguyur serta kilatan petir tak lagi menyambar.

Menyendiri di kamar. Menyandar tubuh yang mulai terasa letih, mencoba memejam mata, namun kantuk belum juga menyergap. Perasaan diliputi rasa cemas yang tak berkesudahan. Semakin lama semakin menjadi-jadi. Seketika itu aku menjadi paranoid. Dihinggapi rasa takut yang tak beralasan.

Pikiran melantur tak keruan. Tiba-tiba bayang-bayang kehancuran bumi muncul dalam benakku. Bermula dari hujan kemudian banjir lalu menenggelamkan bumi. Luluh lantah seiring jeritan manusia berteriak tolong. Dan jadilah, maka jadilah bumi manusia lebur tergerus air dan semburat menjadi serpihan-serpihan setitik debu. Tak bersisa, musnah semua. Aku bergidik ngeri membayangkan berakhirnya jaman. Semoga Tuhan membatalkan rencana yang ada di dalam pikiranku. Aku memohon.

***

Aku masih sendiri.

“Menjadi bujang itu lebih merdeka. Adakalanya sendiri menyenangkan! Tapi, repotnya jika malam minggu tiba?” kala itu aku pernah sesumbar.

Namun, di malam inilah aku merasa terasing. Diasingkan oleh malam bernama malam minggu. Malam dimana kebanyakan orang menikmati penuh dengan rasa sukacita. “Perayaan malam kebebasan!” Kata temanku. Hari terbebas dari pekerjaan yang mengekang selama enam hari sebelumnya. Namun, hanya satu hari pula mereka merayakan kebebasan. Selepas hari minggu, kembali melewati hari-hari dengan peluh dan keluh kesah. Tragis dan mengenaskan. Justru bagiku, enam hari itulah hari pembebasanku.

Aku mengutuk malam. Malam yang mengantarku seorang diri luntang-lantung tak tentu arah. Bergerilya ke setiap pojok kota sekadar mencari teman senasib sial persis denganku. Kenyataannya, seperti labirin berdinding badan manusia yang membentangkan tangan, dan menyesatkanku entah kemana. Dimana pun melangkahkan kaki, pastilah kutemui sepasang muda-mudi berkeliaran hingga larut malam. Kutahu, musykil kudapatkan teman yang bernasib sama. Andaipun ada, pastinya dia tidak mengenaliku.

Dini hari tak kunjung juga kutemukan teman. Akhirnya kuputuskan untuk tetap berdiam diri dikamar. Tidak kemana-mana. Lagi hanya sendiri.

Selalu kuyakinkan bahwa pergantian hari sabtu ke minggu seperti hari-hari biasa. Kuyakinkan sekali lagi, hanya hari libur saja. Weekend! Aku mencoba menyikapi hari itu seperti hari selain sabtu dan minggu. Tidak ada yang istimewa di dua hari itu. Sama sekali tidak. Aku menghibur.

Apa rencana malam minggu? Mengapa hujan tak kunjung reda?

Sepertinya malam ini akan menjadi kelabu. Kulupakan malam minggu. Toh aku juga tidak dengan siapa-siapa. Cuma sendiri! Biarkan orang-orang yang biasa bersamaku meributkan acara akhir pekannya. Dan malam ini, aku hanya berteman secangkir teh manis dan sebungkus rokok. Seperti hari-hari biasa. Tidak berubah, namun sesekali -masih- ditemani dengan beberapa botol Anggur Merah cap Orang Tua. Minuman kelas akar rumput! Bercakap-cakap dengan mbah Jenggot memandangi langit yang tak biru. Meresolusi hari esok.

Mengingat malam ini hujan lebat. Masih adakah sepasang muda-mudi berpagut mesra? Masih bersukacitakah? Aku tak tahu, karena hujan telah melarangku berada di luar rumah. Berdiam diri melihat air yang terus menetes dengan penuh kecemasan. Aku termangu menunggu hujan berharap reda

***

Dini hari. Tepatnya, lebih dari jam duabelas malam.

Bulan masih bersembunyi dibalik awan kelabu. Rembulan enggan berbagi cahaya. Ribuan bintang tak satupun telihat mengerlip. Masih hitam pekat dan gulita. Langit tak berhias! Hujan yang sedari sore masih mengguyur deras belum juga menampakkan tanda-tanda akan mereda.

Orang yang terbiasa berkumpul, pergi entah kemana. Biarlah menjadi sunyi. Biarkanlah mereka sibuk merencana akhir pekan. Kumatikan lampu. Kurebahkan tubuh, kubenamkan kepala dengan bantal sampai terlelap tertidur. Tak bermimpi. Hingga pagi.

Secangkir teh yang kubuat setelah maghrib belum juga terminum. Sampai-sampai teh yang kuseduh berubah warna. Semula berwarna merah marun beralih warna menjadi merah kehitam-hitaman. Teh telah kusia-sia, ditiriskan berjam-jam lamanya. Jika meminumnya, rasanya agak pahit dan berasa anyep. Tidak manis, terasa getir dan sepah dilidah. Tidak seperti sediakala ketika pertama kali aku mencicipi.

Rokok yang kubeli sedianya untuk menemani juga masih utuh. Tak berkurang satu pun batang rokok. Aku lupa menyulutnya. Aku benar-benar terlupa dengan teh yang kubuat. Lupa dengan sebungkus rokok pengganti teman yang berutinitas. Hujan telah mengacaukan semuanya.

“Selamat pagi dunia” aku menyapa dari balik jendela berkaca. Masih kelabu. Awan hitam masih bergantung di langit-langit. Teh itu berasa hambar, mungkin sudah basi. Sebungkus rokok masih rapi tergeletak diatas meja. Kusulut satu batang untuk menyambut hari. Dan hujan belum juga reda!

Jalan Simpang Karimata, 06 Februari 2010

(WFY)

Tidak ada komentar: