“Memangnya ada apa dengan rumah kita? Kok dia
tidak sudi lagi kembali di rumah ini?” katamu mengadu tentangku kepada kawan
yang juga temanku. Dan selalu bertanya tentang itu kepadaku dan juga dengan
kawan-kawan yang lain, yang masih kuanggap sebagai kawanku.
Terus terang aku enggan
untuk bercerita dan menjawab pertanyaan kenapamu itu. Kuyakin sekali bercerita,
mau tidak mau aku harus menceritakan sedari awal, runtut dan berkronologis. Iya
jika kau menerima alasan-alasaku, seandainya tidak? Kuyakin justru malah
memperumit atau malah menambah deretan alasan mengapa aku enggan dan tak mau
lagi pulang ke rumah. Semoga kau mengerti. Aku tidak memperkeruh status quo
yang sudah mapan di rumah kita.
Sekelumit aku akan
mengajakmu melacak ingatan. Yah mungkin sebatas nostalgia indah atau justru
sebaliknya. Tergantung kita memaknainya, jika ada yang lucu tertawalah,
kalaupun ada yang kurang sreg mari menginstropeksi. Tidak ada yang salah dan
dipersalahkan. Hanya sekadar pengingat dan melawan lupa. Bagaimanapun juga aku,
kau dan kita seluruh anggota keluarga adalah bagian dari sejarah dalam
perjalanan rumah itu, rumah kita!
Tentunya kau masih ingat,
kala itu dibulan November, kau dan juga pacarmu atau calon penghuni rumah kita
yang ditolak hampir seluruh anggota keluarga. Ketika itu kau mengadakan acara
perayaan ulang tahun pacarmu. Kau membuat pesta kecil dan mengundang beberapa
kerabat jauh untuk menghadiri pesta dengan jamuan minum-minuman dengan kadar
alkohol lebih dari 40%. Sungguh terlihat meriah saat itu. Mulut-mulut ceracau
dan kelakar riuh rendah. Aku turut hadir tapi tidak lama. Sekedar mengucap
selamat lantas pergi. Hanya menjadi penggembira saja. Tidak sempat mencicipi
sedikit pun hidangan yang kau sediakan bersama pacarmu. Aku terkesan munafik, menampik
gelas yang kau sodorkan kepadaku.
Kau telah mendobrak dan
merubah segala konvensi yang telah ada secara turun-temurun. Dan pada akhirnya
kau, aku dan seluruh anggota pun turut merasakan dampak dari pesta kecil itu.
Rumah kita dikucilkan oleh tetangga sebelah dan dicap sebagai bar dan berkonotasi negatif lainnya. Itulah alasanku
yang pertama mengapa aku tak lagi pulang kerumah. Tentunya kau masih ingat alasan-alasanku yang
lain bukan? Kupikir aku tak perlu lagi menceritakan ulang semua alasan mengapaku
itu. Aku tidak mau menceritakan sedari awal, runtut dan berkronologis. Anggap
saja sebagai nostalgia.
***
Patut digaris bawahi,
bila perlu dicetak biru. Ada tidaknya aku di rumah, semuanya akan baik-baik
saja dan berjalan sesuai alur visi dan misi awal terbangunnya rumah itu
sendiri. Sebagai wadah dan penyalur bakat yang ditempa dari cita-cita para
pendiri, barangkali seperti itu. Pondasi itu masih kokoh, terbukti beberapa
tahun ketidakpulanganku, ada tidaknya aku dirumah pun masih berjalan sebagaimana
mestinya. Andaipun stagnan itu hanya bagian dari proses dan seleksi
perkembangan jaman. Yakinlah, jalankan saja dan tetap mengalir untuk membuat
sejarah.
Ibarat kereta. Selagi ada
masinis yang menggerakan lokomotif, pastilah rangkaian gerbong yang tersambung
dibelakang akan mengikuti laju penggeraknya. Kemanapun perginya. Niscaya!
Sekalipun terjungkal di tubir jurang maka rangkaian gerbong pun akan ikut
terguling. Tergantung bagaimana kehendak masinis akan membawa kemana
gerbong-gerbong yang membuntutinya.
Jika kau masih ragu ada
tidaknya masinis yang mampu menggerakan kereta. Aku yakin semua anggota
keluarga yang mendiami rumah kita mampu dan berkompeten. Semua anggota keluarga
berhak untuk dipilih dan memilih untuk menjadi masinis. Asalkan sesuai dengan koridor
dan kemampuan, paling tidak bisa menjadi stabilisator apa yang dimaui seluruh anggota keluarga.
Saranku, kalau aku masih
diperbolehkan memberi saran, fasilitasilah seluruh anggota yang berpotensi dan
jangan menggebyah uyah kehendak masinis
yang notabene sebagai penggerak gerbong. Itu hanya semacam analogi saja. Tidak
lantas kemudian menjadikan rumah kita sebagai kereta sungguhan, yang
berpindah-pindah antar kota. Kupikir itu saja.
***
Kau boleh menyebutku
‘Kacang lupa kulitnya’ atau ‘keong lupa cangkangnya’ atau 'Kura lupa pada
tempurung' dan atau apa sajalah. Bebas! Sebebas mulutmu mengatakan. Sekalipun
Fitnah! Yang pasti aku asyik-asyik saja dengan apa yang semua kau sebut dan
tuduhkan mengenaiku. Tapi jangan marah jika kemudian aku menertawaimu.
Sekalipun, Selamat
tinggal.” Jawabku dengan entengnya.
Jalan Simpang Karimata, 03 Oktober 2010
(WFY)
NB:
- Jan-jane aku iki nulis opo tho? Meracau... Ehmm mungkin gumpalan beratus kata yang tak terkatakan. Jadi Ambyaaaaaaaaaaar...
3 komentar:
tentang sebuah rumah tinggal, tentang hidup bersama, tentang kontradiksi2. absurd sak absurd2 e. *deleg2* nyahahah. nice post.
mas gun.... betul, mas... betul banget... absurd pisan... *mantuk-mantuk..
hmmmmmmmmmmmmm sedeeeeeeeeeeeeeeep kang. teruskan tak nunggu novelmu.
Posting Komentar