Kamis, 14 Oktober 2010

Seperti Air

 “Memangnya ada apa dengan rumah kita? Kok dia tidak sudi lagi kembali di rumah ini?” katamu mengadu tentangku kepada kawan yang juga temanku. Dan selalu bertanya tentang itu kepadaku dan juga dengan kawan-kawan yang lain, yang masih kuanggap sebagai kawanku.
Terus terang aku enggan untuk bercerita dan menjawab pertanyaan kenapamu itu. Kuyakin sekali bercerita, mau tidak mau aku harus menceritakan sedari awal, runtut dan berkronologis. Iya jika kau menerima alasan-alasaku, seandainya tidak? Kuyakin justru malah memperumit atau malah menambah deretan alasan mengapa aku enggan dan tak mau lagi pulang ke rumah. Semoga kau mengerti. Aku tidak memperkeruh status quo yang sudah mapan di rumah kita.
Sekelumit aku akan mengajakmu melacak ingatan. Yah mungkin sebatas nostalgia indah atau justru sebaliknya. Tergantung kita memaknainya, jika ada yang lucu tertawalah, kalaupun ada yang kurang sreg mari menginstropeksi. Tidak ada yang salah dan dipersalahkan. Hanya sekadar pengingat dan melawan lupa. Bagaimanapun juga aku, kau dan kita seluruh anggota keluarga adalah bagian dari sejarah dalam perjalanan rumah itu, rumah kita!
Tentunya kau masih ingat, kala itu dibulan November, kau dan juga pacarmu atau calon penghuni rumah kita yang ditolak hampir seluruh anggota keluarga. Ketika itu kau mengadakan acara perayaan ulang tahun pacarmu. Kau membuat pesta kecil dan mengundang beberapa kerabat jauh untuk menghadiri pesta dengan jamuan minum-minuman dengan kadar alkohol lebih dari 40%. Sungguh terlihat meriah saat itu. Mulut-mulut ceracau dan kelakar riuh rendah. Aku turut hadir tapi tidak lama. Sekedar mengucap selamat lantas pergi. Hanya menjadi penggembira saja. Tidak sempat mencicipi sedikit pun hidangan yang kau sediakan bersama pacarmu. Aku terkesan munafik, menampik gelas yang kau sodorkan kepadaku.
Kau telah mendobrak dan merubah segala konvensi yang telah ada secara turun-temurun. Dan pada akhirnya kau, aku dan seluruh anggota pun turut merasakan dampak dari pesta kecil itu. Rumah kita dikucilkan oleh tetangga sebelah dan dicap sebagai bar dan  berkonotasi negatif lainnya. Itulah alasanku yang pertama mengapa aku tak lagi pulang kerumah.  Tentunya kau masih ingat alasan-alasanku yang lain bukan? Kupikir aku tak perlu lagi menceritakan ulang semua alasan mengapaku itu. Aku tidak mau menceritakan sedari awal, runtut dan berkronologis. Anggap saja sebagai nostalgia.
***

Patut digaris bawahi, bila perlu dicetak biru. Ada tidaknya aku di rumah, semuanya akan baik-baik saja dan berjalan sesuai alur visi dan misi awal terbangunnya rumah itu sendiri. Sebagai wadah dan penyalur bakat yang ditempa dari cita-cita para pendiri, barangkali seperti itu. Pondasi itu masih kokoh, terbukti beberapa tahun ketidakpulanganku, ada tidaknya aku dirumah pun masih berjalan sebagaimana mestinya. Andaipun stagnan itu hanya bagian dari proses dan seleksi perkembangan jaman. Yakinlah, jalankan saja dan tetap mengalir untuk membuat sejarah.
Ibarat kereta. Selagi ada masinis yang menggerakan lokomotif, pastilah rangkaian gerbong yang tersambung dibelakang akan mengikuti laju penggeraknya. Kemanapun perginya. Niscaya! Sekalipun terjungkal di tubir jurang maka rangkaian gerbong pun akan ikut terguling. Tergantung bagaimana kehendak masinis akan membawa kemana gerbong-gerbong yang membuntutinya.
Jika kau masih ragu ada tidaknya masinis yang mampu menggerakan kereta. Aku yakin semua anggota keluarga yang mendiami rumah kita mampu dan berkompeten. Semua anggota keluarga berhak untuk dipilih dan memilih untuk menjadi masinis. Asalkan sesuai dengan koridor dan kemampuan, paling tidak bisa menjadi stabilisator  apa yang dimaui seluruh anggota keluarga.
Saranku, kalau aku masih diperbolehkan memberi saran, fasilitasilah seluruh anggota yang berpotensi dan jangan menggebyah uyah kehendak masinis yang notabene sebagai penggerak gerbong. Itu hanya semacam analogi saja. Tidak lantas kemudian menjadikan rumah kita sebagai kereta sungguhan, yang berpindah-pindah antar kota. Kupikir itu saja.

***

Kau boleh menyebutku ‘Kacang lupa kulitnya’ atau ‘keong lupa cangkangnya’ atau 'Kura lupa pada tempurung' dan atau apa sajalah. Bebas! Sebebas mulutmu mengatakan. Sekalipun Fitnah! Yang pasti aku asyik-asyik saja dengan apa yang semua kau sebut dan tuduhkan mengenaiku. Tapi jangan marah jika kemudian aku menertawaimu. Mulanya hanya diam, lalu menjadi senjata mematikan!!
            Akhir kata aku teringat guyonan dengan sahabat lama; "Ada Musang dimakan Macan.. Punah!!!" kata temanku. "Apaan sich?" jawabku. "Lho masa kamu gak tahu? Kemana aja?? Wah jadi PR nich" katanya lagi. "Ah gak urusan!" jawabku ketus. "Oh iya kamukan sekarang jadi Elang!" jawabnya. “Sekalipun, seperti elang yang patah sayapnya. Tetap. Selamat tinggal.” Jawabku dengan entengnya. Kami pun tergelak bersama. "HAHAHAHA XIXIXIXI..."
Walaupun aku begitu enggan meninggallkan tempat dimana aku belajar memaknai hidup. Begitu berat meninggalkan semua kenangan yang telah kubuat. Dan kini semuanya cepat berlalu dan biarlah semoga tetap menjadi cerita. Sejenak saja inginku menjadi gila. Melupa dan bebas merdeka agar aku bisa menggapai mimpiku. Kan kuseka airmata ketika kereta hendak melaju. Tabik. Adios. Selamat tinggal.


Jalan Simpang Karimata, 03 Oktober 2010
(WFY)



NB:
  • Jan-jane aku iki nulis opo tho? Meracau... Ehmm mungkin gumpalan beratus kata yang tak terkatakan. Jadi Ambyaaaaaaaaaaar...


3 komentar:

Only Digital Binary mengatakan...

tentang sebuah rumah tinggal, tentang hidup bersama, tentang kontradiksi2. absurd sak absurd2 e. *deleg2* nyahahah. nice post.

Unknown mengatakan...

mas gun.... betul, mas... betul banget... absurd pisan... *mantuk-mantuk..

Anonim mengatakan...

hmmmmmmmmmmmmm sedeeeeeeeeeeeeeeep kang. teruskan tak nunggu novelmu.