Rabu, 30 Juni 2010

Sandal Berkado (Sebuah Firasat)



Sore yang lengang. Saat itu, kebetulan tidak sedang berutinitas. Kau meneleponku untuk segera menemui. Ada yang ingin kau bicarakan, penting katamu. Tanpa bertanya, sebab apa kau tiba-tiba mendadak ingin bertemu denganku, aku langsung mengiyakan dan segera melucur ke rumahmu.
Dalam perjalanan, diatas kendaraan yang kukemudi. Sebenarnya berbagai tanya melintas didalam kepalaku. Ada apa? Kenapa? Mengapa tiba-tiba kau menyuruhku untuk menemuimu? Gentingkah? Apa sebab kau merinduku, setelah berhari-hari lamanya kita tak bertemu? Atau sebab lain, semisal aku mempunyai salah hingga harus terselesaikan. Tapi mengapa kau tidak meminta mawar sebagai syarat maafku, seperti yang terjadi sebelumnya. Pikiranku terus berkecamuk, bergantung beragam tanya.
Kupacu laju motor lebih cepat lagi, berharap cepat pula sampai dirumahmu. Tapi di setiap traffic light. Ketika lampu merah menyala, disaat motor terhenti aku masih bertanya-tanya tentang teka-teki yang belum terjawab. Saling-silang mencoba untuk berinterprestasi menjawab semua soal yang ada. Lampu hijau menyala kupacu laju motor lebih dan lebih cepat dari sebelumnya. Tapi ketika didepan lampu merah menyala, di setiap perempatan jalan, maka kembali lagi aku dipaksa untuk menjawab teka-teki yang belum terpecahkan. Begitulah seterusnya pada setiap kesempatan dipersimpangan berlampu merah, kuning dan hijau menyala.
Duapuluhribu meter perjalanan dengan kecepatan rata-rata 60km/jam dan waktu tempuh 40 menit untuk sampai kerumahmu. Waktu yang tidak lazim kutempuh, agak melambat, mungkin terlalu banyak lalu lalang para pengendara yang memacetkan jalanan menuju rumahmu. Biasanya jarak tempuh hanya membutuhkan kurang dari 30 menit. Mungkin sore itu tepat berakhirnya rutinitas orang-orang yang hendak pulang kerumah atau bisa jadi selama diperjalanan aku sibuk memikirkan tanya yang tak pernah terjawab.
***

Setiba dirumahmu. Kulihat kau sedang duduk dan membaca sebuah buku di depan beranda rumah. Saking asyiknya membaca sampai-sampai kau tak melihat kedatanganku. Selintas seraut senyum yang menampak disela kedua bibirmu. Aku tersipu malu dibuatnya. Namun setelah kuamati, kau masih menunduk, memandang buku yang kau baca. Aku salah duga. Senyum yang terkembang itu bukanlah kau tujukan untukku.
Assalamualaikum…”
Walaikum salam, lho sudah sampai tho? Kok cepat? Mari masuk, Mas.” Jawabmu seraya mempersilahkanku masuk.
“Baru sampai kok. Lagi baca buku apa? Kok sepertinya sibuk banget?” aku berbasa-basi.
“Oh ini cuma novel teenlit kok”
“Sepertinya kok serius membacanya”
“Ah gak kok biasa aja, silahkan duduk”
Akupun menempatkan diri dibangku panjang dan duduk persis disampingmu. Didepan beranda itulah kami mengobrol hingga terlupa pangkal persoalan mengapa aku datang menemuimu. Sebab rindulah yang melupakan segalanya.
“Bagaimana kakimu? Aku membuka kembali percakapan.
Alhamdulillah agak mendingan” sembari mengurut-urut kaki.
“Syukurlah kalau begitu. Semoga cepat sembuh ya”
“Maturnuwun” kau tersenyum.
Kamipun kemudian saling terdiam untuk beberapa saat. Aku sibuk dengan game di handphone, sedang kau menyibak lembaran buku yang kau baca. Diantara kita saling menyibukkan diri. Tiba-tiba “Ouw” kau merintih. Rupa-rupanya kakimu terbentur sesuatu. “Ouw” kau masih mengaduh kesakitan. Pelan-pelan kau menunduk dan mengelus-elus kaki yang terasa sakit. Kau mengangkat kaki diatas meja dan membenahi mitela yang kendur. Akupun membantunya, pelan-pelan kubalutkan dan kau masih menahan rintih. Terasa ngilu, katamu. Setelah selesai membidai, kita masih duduk dikursi depan beranda rumah.
“Oh iya aku terlupa” katamu. “Sebentar ya, aku tinggal dulu”.
Kau beranjak dari kursi dan berjalan tertatih menggunakan kruk menuju ke dalam rumah. Sepertinya kau ingin mengambil sesuatu, mungkin segelas teh atau semacamnya untuk menyuguhiku sebagai tamu.
Selang beberapa menit kemudian, kau datang kembali dan membawa sesuatu yang kau sembunyikan dibalik tubuh. Kau berjalan pelan menghampiri lalu terduduk disampingku. Kau hanya tersenyum, aku bingung dengan isyarat senyum yang kau berikan. Adakah sesuatu yang kau sembunyikan dariku? Pikirku. Kau masih memasang wajah ceria, senyum misterius. Ada apa denganmu, Dik? Aku membatin.
“Bukankah hari ini kau berulang tahun?” Kau memulai percakapan yang sempat terhenti.
“Oh iya!!! Iya hari ini…” menyembunyikan kelupaanku. “Iya saya berulang tahun” kataku gugup.
“Selamat ya mas, semoga panjang umur” kau mengucap selamat sembari menyerahkan sebuah bingkisan warna biru bermotif kotak. “Semoga tercapai semua cita dan cintamu” kau menambahkan. Didalam hati, aku mengamini ucapan dan doa yang kau sampaikan. Aku menerima bingkisan itu dengan tangan gemetar.
“Jangan dibuka sekarang” serumu, ketika aku sedang membolak-balikan bingkisan pemberianmu. “Nanti saja kalau sampai rumah”
“Oh iya, terima kasih kadonya”
“Iya sama-sama” jawabmu singkat.
Di beranda rumah. Kau dan aku melanjutkan obrolan. Entah apa yang diperbincangkan, ngalor-ngidul tak tentu arah. Maklum lama tidak bertemu. Padahal aku tak sabar untuk lekas berpamit pulang dan membuka bingkisan berwarna biru itu. Tapi rasanya tidak enak hati untuk segera berpamit pulang.
“Kamu kenapa? Kok tampaknya gelisah?”
“Tidak apa-apa”
“Tidak sabar ingin segera membuka kado ya?” kau menggoda.
“Akh, kamu tahu aja” jawabku cengar-cengir.
“Ya iyalah, masa ya iya dong” kau masih mencandaiku. “Ya sudah pulanglah tidak apa-apa. Eits tapi ingat jangan kamu buka dijalan lho kadonya!”
“Iya-iya. Yakin nih aku pulang?” aku balas mencandai. Kau hanya mengangguk. “Baiklah, memang aku tidak sabar untuk segera membuka kado istimewa ini. Aku pamit pulang ya?” kau menjawab hanya dengan senyum dan anggukan.
Setelah berjabat tangan dan berucap salam. Akupun bergegas pulang. Dalam perjalanan, masih persis seperti perjalanan menuju ke rumahmu. Banyak mengandung tanya yang berkecamuk didalam benakku. Apa isi kado itu? Dan aku tak berani menerka isinya.
***

Sesampai di rumah, aku segera memasuki kamar dan membuka kertas kado berwarna biru pemberianmu. Dan isinya sepasang sandal gunung berwarna hitam. Aku terkejut, untuk orang sepertiku membeli sandal yang sama, tidak mungkin mampu. Mampu pun dengan menyisihkan uang jajan untuk beberapa bulan. Di wadah sandal terselip sebuah kertas folio ukuran A-4 dan bertulis tangan

Happy B-day
Semoga setiap langkahmu
Adalah…
Perjuangan &
Jangan pernah berhenti hingga kau
Mencapai yang kau perjuangankan
13 Juli 2005
With love
Lunas
(Namamu)
(Semoga disetiap langkahmu
{dengan sandal ini} selalu
mengingatkanmu denganku….)

Di pengulangan tanggal dan bulan kelahiran, aku sungguh berbahagia. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, aku bergumam. Sebab, untuk pertama kali aku mendapat kado istimewa dari orang tercinta.
Aku mengirim pesan, mengucap terima kasih. Kau membalasnya dengan cepat “Lho sudah dibuka tho? Iya sama-sama”
Aku masih dalam suasana bahagia. Kuputar lagu-lagu kita, lagu yang dulu pernah kita tukar dan jadikan permainan tebak lagu. Aku Tak Bisa-nya Slank mengalun, dan lagu itu membuatku merindumu, ingin rasanya bertemu kembali dan mengenakan sandal hitam pemberianmu. Tapi urung kulakukan sebab malam telah menahanku.
Untuk mengobati rasa kangen itu, aku hanya melihat potret kita berdua. Beberapa potret yang pernah kita foto di fotobox. Selain itu aku juga kembali membuka dan membaca puisi-puisi yang kau cipta untukku. Salah satu puisi paling kusuka buatku adalah puisi yang kau beri judul “Wanita” dan ditulis tak bertanggal, mungkin kau buat ditahun 2005 awal.
Wanita diciptakan dari tulang rusuk pria
Bukan dari kepala untuk menjadi atasannya
Bukan pula dari kaki untuk jadi alasnya
Ia menjadi pendamping hidupmu dikala senang dan susah
Ia berada dihati untuk dicintai
Ia berada dijiwa untuk dihormati
Ia berada dimata untuk pelipur lara
Maka cintai dan hormati Ibu dan Istrimu

Puisi itulah salah satu puisi yang begitu sangat berkesan. Sebuah puisi yang mengingatkan kepada kaum pria, mungkin juga mengingatkanku, bahwa wanita pada hakekatnya sama seperti pria. Bukan hanya sekadar kanca wingking, kalau boleh aku menafsir dari puisi itu.
Lagu yang kustel di winamp terus mengalun dan berganti dari lagu-lagu yang kupilih sesuai urutan. Dan lagu yang dipopulerkan Ada Band; Karena Wanita Ingin Dimengerti kali ini yang mengalun. Dan aku masih bahagia, masih dengan rindu yang tertahan.
***

Duapuluhtujuh Hari Kemudian
Menjelang Maghrib, sebuah pesan singkat masuk di handphoneku. Kubuka dan ternyata kau dan lagi dengan tiba-tiba menyuruhku untuk segera menemuimu. Ada yang harus dibicarakan, isi pesanmu.
Dengan sandalmu, aku segera bergegas menuju rumahmu. Lagi dan lagi dengan berbagai tanya?
Tak terasa begitu cepat tiba dirumahmu. Kuketuk pintu rumah dan mengucap salam, namun tak kunjung terjawab dan hendak kuketuk untuk yang kedua kalinya, keburu kau telah membukakan pintu. Silahkan masuk, katamu. Aku pun langsung memasuki rumah membuntutimu, lalu menempatkan diri duduk di sofa berbentuk L. Sementara kau masih menggunakan Kruk berjalan tertatih menuju dapur mengambilkan segelas air dan meletakkannya di meja.
“Maaf, hanya segelas air putih. Silahkan diminum” tawarmu datar.
Aku hanya mengangguk dan tersenyum mendengar tawaran yang kau tujukan kepadaku. Dan gelas itu masih tergeletak dimeja belum tersentuh sedikitpun. Rasanya aku ingin segera bertanya sebab apa kau menyuruhku datang menemuimu.
“Ada apa? Apa yang hendak kita bicarakan?” aku memulai pembicaraan.
Kau diam, tak segera menjawab pertanyaanku. Aku semakin cemas dengan sikap yang kau tunjukan. Tidak seperti biasanya kau memasang muka yang tak biasa. Dimana keceriaan yang selalu kau tampilkan? Sangat lama kau tak bersuara. Kau semakin membuatku gusar.
“Mas, aku ingin mengakhiri hubungan kita!”
“Apa?!” aku setengah menjerit.
“Iya, aku ingin mengakhiri hubungan kita! Aku sudah memikirkannya matang-matang, bahwa hubungan kita harus berakhir sampai disini” katamu mengulang dan menjelaskan.
“Apa salahku? Kok kau tiba-tiba dengan sepihak memutus hubungan kita?”
“Tidak ada yang salah. Kurasa kesalahanmu hanya pengulangan saja”
“Maksudnya? Sungguh aku tidak mengerti..”
“Iya kau hanya mengulang-ulang pada kesalahan yang sama. Padahal dulu, kau telah berjanji untuk tidak mengulanginya. Bukankah kau tahu jika aku tidak suka dibohongi, mas?” kau mulai terisak.
“Terus?”
“Aku merasa dibohongi” kau terhenti menahan isak “Aku ingin mengakhiri hubungan kita!” kau membenamkan wajah di kedua telapak tangan.
Mendengar semua itu. Sekejap, mataku menjadi gelap gulita. Pikiranku kosong, lalu tiba-tiba seperti kehampaan langit yang terhantam Guntur, mendadak menjadi kacau balau. Aku menenangkan diri sejenak, mencoba untuk tegar melewati kenyatan yang akan segera aku hadapi. Sementara kau masih menitikkan airmata yang kebenamkan di kedua telapak tangan. Dan kita saling terdiam untuk waktu yang lama. Aku belum memutuskan tawaran yang kau berikan.
“Tidakkah kau memberikan satu kali lagi kesempatan untukku? Kesempatan untuk memperbaiki hubungan kita?” aku mulai berani berbicara.
“Tidak mas, keputusanku sudah bulat. Kuharap kau menerima kenyataan ini,” ujarmu dengan suara sengau. “Dan terima kasih telah memberi warna dalam hidupku”
Aku masih berusaha untuk tegar, meski sejujurnya aku menolak untuk mengiyakan keputusan yang kau tawarkan.
“Baiklah jika maumu seperti itu. Aku terima kenyataan ini,” aku mengatakan sambil menggengam tanganmu. “Dan maaf atas segala kesalahan yang pernah aku perbuat kepadamu” aku mengakhiri kalimat seraya mencium keningmu.
“Iya mas. Terima kasih telah mengisi hari-hariku” kau terhenti seiring isak dan derasnya airmata.
Diruang tamu, pukul 18.20wib. Dua puluh tujuh hari setelah kau berikan kado istimewa. Walau tanpa kesepakatan bersama dan dengan terpaksa aku menyepakati berakhirnya hubungan kita. Dan mungkin ini untuk terakhir kali pula aku melihat senyum dan keceriaan dirimu, saat bersamaku.
***

Dan sandal berwarna hitam itu telah menjejak tanah seiring kakiku melangkah. Kemana pun pergi, tak luput kubawa serta. Dan kini aku masih mengingatmu…

Mranggen, 19 Oktober 2005
Di edit ulang, banyak penambahan dan pengurangan kata di sana-sini (baca; di”lebay”kan) hingga seperti ini Di sebuah rumah dekat Bantaran Kali Beji, 10 Mei 2010
(WFY)

NB;
  • Tulisan ini tidak ditujukan kepada siapa-siapa, baik itu laki-laki maupun perempuan. Jika ada kesamaan, nama tempat, lakon, peristiwa dan atau jalannya alur cerita maka itu faktor kebetulan saja. 
  • Sekali lagi cerita ini murni fiktif! Anggap saja ini sebagai khayalan si Pandir atau sedang berharap, barangkali, ada yang ingin memberikan kado ultahku kelak. Tentunya berupa sandal. Hehehehe

Tidak ada komentar: