Sore
yang lengang. Saat itu, kebetulan tidak sedang berutinitas. Kau meneleponku
untuk segera menemui. Ada yang ingin kau bicarakan, penting katamu. Tanpa
bertanya, sebab apa kau tiba-tiba mendadak ingin bertemu denganku, aku langsung
mengiyakan dan segera melucur ke rumahmu.
Dalam perjalanan, diatas kendaraan
yang kukemudi. Sebenarnya berbagai tanya melintas didalam kepalaku. Ada apa?
Kenapa? Mengapa tiba-tiba kau menyuruhku untuk menemuimu? Gentingkah? Apa sebab
kau merinduku, setelah berhari-hari lamanya kita tak bertemu? Atau sebab lain,
semisal aku mempunyai salah hingga harus terselesaikan. Tapi mengapa kau tidak
meminta mawar sebagai syarat maafku, seperti yang terjadi sebelumnya. Pikiranku
terus berkecamuk, bergantung beragam tanya.
Kupacu laju motor lebih cepat lagi,
berharap cepat pula sampai dirumahmu. Tapi di setiap traffic light.
Ketika lampu merah menyala, disaat motor terhenti aku masih bertanya-tanya
tentang teka-teki yang belum terjawab. Saling-silang mencoba untuk
berinterprestasi menjawab semua soal yang ada. Lampu hijau menyala kupacu laju
motor lebih dan lebih cepat dari sebelumnya. Tapi ketika didepan lampu merah
menyala, di setiap perempatan jalan, maka kembali lagi aku dipaksa untuk
menjawab teka-teki yang belum terpecahkan. Begitulah seterusnya pada setiap
kesempatan dipersimpangan berlampu merah, kuning dan hijau menyala.
Duapuluhribu meter perjalanan dengan
kecepatan rata-rata 60km/jam dan waktu tempuh 40 menit untuk sampai kerumahmu.
Waktu yang tidak lazim kutempuh, agak melambat, mungkin terlalu banyak lalu
lalang para pengendara yang memacetkan jalanan menuju rumahmu. Biasanya jarak
tempuh hanya membutuhkan kurang dari 30 menit. Mungkin sore itu tepat
berakhirnya rutinitas orang-orang yang hendak pulang kerumah atau bisa jadi
selama diperjalanan aku sibuk memikirkan tanya yang tak pernah terjawab.
***
Setiba dirumahmu. Kulihat kau sedang
duduk dan membaca sebuah buku di depan beranda rumah. Saking asyiknya membaca
sampai-sampai kau tak melihat kedatanganku. Selintas seraut senyum yang
menampak disela kedua bibirmu. Aku tersipu malu dibuatnya. Namun setelah
kuamati, kau masih menunduk, memandang buku yang kau baca. Aku salah duga.
Senyum yang terkembang itu bukanlah kau tujukan untukku.
“Assalamualaikum…”
“Walaikum salam, lho sudah
sampai tho? Kok cepat? Mari masuk, Mas.” Jawabmu seraya mempersilahkanku masuk.
“Baru sampai kok. Lagi baca buku
apa? Kok sepertinya sibuk banget?” aku berbasa-basi.
“Oh
ini cuma novel teenlit kok”
“Sepertinya
kok serius membacanya”
“Ah gak kok biasa aja, silahkan
duduk”
Akupun menempatkan diri dibangku
panjang dan duduk persis disampingmu. Didepan beranda itulah kami mengobrol
hingga terlupa pangkal persoalan mengapa aku datang menemuimu. Sebab rindulah
yang melupakan segalanya.
“Bagaimana kakimu? Aku membuka
kembali percakapan.
“Alhamdulillah agak
mendingan” sembari mengurut-urut kaki.
“Syukurlah kalau begitu. Semoga
cepat sembuh ya”
“Maturnuwun” kau tersenyum.
Kamipun kemudian saling terdiam
untuk beberapa saat. Aku sibuk dengan game di handphone, sedang
kau menyibak lembaran buku yang kau baca. Diantara kita saling menyibukkan
diri. Tiba-tiba “Ouw” kau merintih. Rupa-rupanya kakimu terbentur sesuatu.
“Ouw” kau masih mengaduh kesakitan. Pelan-pelan kau menunduk dan mengelus-elus
kaki yang terasa sakit. Kau mengangkat kaki diatas meja dan membenahi mitela
yang kendur. Akupun membantunya, pelan-pelan kubalutkan dan kau masih menahan
rintih. Terasa ngilu, katamu. Setelah selesai membidai, kita masih duduk
dikursi depan beranda rumah.
“Oh iya aku terlupa” katamu.
“Sebentar ya, aku tinggal dulu”.
Kau beranjak dari kursi dan berjalan
tertatih menggunakan kruk menuju ke dalam rumah. Sepertinya kau ingin mengambil
sesuatu, mungkin segelas teh atau semacamnya untuk menyuguhiku sebagai tamu.
Selang beberapa menit kemudian, kau
datang kembali dan membawa sesuatu yang kau sembunyikan dibalik tubuh. Kau
berjalan pelan menghampiri lalu terduduk disampingku. Kau hanya tersenyum, aku
bingung dengan isyarat senyum yang kau berikan. Adakah sesuatu yang kau
sembunyikan dariku? Pikirku. Kau masih memasang wajah ceria, senyum misterius.
Ada apa denganmu, Dik? Aku membatin.
“Bukankah hari ini kau berulang
tahun?” Kau memulai percakapan yang sempat terhenti.
“Oh iya!!! Iya hari ini…”
menyembunyikan kelupaanku. “Iya saya berulang tahun” kataku gugup.
“Selamat ya mas, semoga panjang
umur” kau mengucap selamat sembari menyerahkan sebuah bingkisan warna biru
bermotif kotak. “Semoga tercapai semua cita dan cintamu” kau menambahkan.
Didalam hati, aku mengamini ucapan dan doa yang kau sampaikan. Aku menerima
bingkisan itu dengan tangan gemetar.
“Jangan dibuka sekarang” serumu,
ketika aku sedang membolak-balikan bingkisan pemberianmu. “Nanti saja kalau
sampai rumah”
“Oh iya, terima kasih kadonya”
“Iya sama-sama” jawabmu singkat.
Di beranda rumah. Kau dan aku
melanjutkan obrolan. Entah apa yang diperbincangkan, ngalor-ngidul tak
tentu arah. Maklum lama tidak bertemu. Padahal aku tak sabar untuk lekas
berpamit pulang dan membuka bingkisan berwarna biru itu. Tapi rasanya tidak
enak hati untuk segera berpamit pulang.
“Kamu kenapa? Kok tampaknya
gelisah?”
“Tidak apa-apa”
“Tidak sabar ingin segera membuka
kado ya?” kau menggoda.
“Akh, kamu tahu aja” jawabku
cengar-cengir.
“Ya iyalah, masa ya iya dong” kau
masih mencandaiku. “Ya sudah pulanglah tidak apa-apa. Eits tapi ingat jangan
kamu buka dijalan lho kadonya!”
“Iya-iya. Yakin nih aku pulang?” aku
balas mencandai. Kau hanya mengangguk. “Baiklah, memang aku tidak sabar untuk
segera membuka kado istimewa ini. Aku pamit pulang ya?” kau menjawab hanya
dengan senyum dan anggukan.
Setelah berjabat tangan dan berucap
salam. Akupun bergegas pulang. Dalam perjalanan, masih persis seperti perjalanan
menuju ke rumahmu. Banyak mengandung tanya yang berkecamuk didalam benakku. Apa
isi kado itu? Dan aku tak berani menerka isinya.
***
Sesampai di rumah, aku segera
memasuki kamar dan membuka kertas kado berwarna biru pemberianmu. Dan isinya
sepasang sandal gunung berwarna hitam. Aku terkejut, untuk orang sepertiku
membeli sandal yang sama, tidak mungkin mampu. Mampu pun dengan menyisihkan
uang jajan untuk beberapa bulan. Di wadah sandal terselip sebuah kertas folio
ukuran A-4 dan bertulis tangan
Happy B-day
Semoga setiap langkahmu
Adalah…
Perjuangan &
Jangan pernah berhenti hingga kau
Mencapai yang kau perjuangankan
13 Juli 2005
With love
Lunas
(Namamu)
(Semoga disetiap langkahmu
{dengan sandal ini} selalu
mengingatkanmu denganku….)
Di pengulangan tanggal dan bulan
kelahiran, aku sungguh berbahagia. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, aku
bergumam. Sebab, untuk pertama kali aku mendapat kado istimewa dari orang
tercinta.
Aku mengirim pesan, mengucap terima
kasih. Kau membalasnya dengan cepat “Lho sudah dibuka tho? Iya sama-sama”
Aku masih dalam suasana bahagia.
Kuputar lagu-lagu kita, lagu yang dulu pernah kita tukar dan jadikan permainan
tebak lagu. Aku Tak Bisa-nya Slank mengalun, dan lagu itu membuatku merindumu,
ingin rasanya bertemu kembali dan mengenakan sandal hitam pemberianmu. Tapi
urung kulakukan sebab malam telah menahanku.
Untuk mengobati rasa kangen itu, aku
hanya melihat potret kita berdua. Beberapa potret yang pernah kita foto di fotobox.
Selain itu aku juga kembali membuka dan membaca puisi-puisi yang kau cipta
untukku. Salah satu puisi paling kusuka buatku adalah puisi yang kau beri judul
“Wanita” dan ditulis tak bertanggal, mungkin kau buat ditahun 2005 awal.
Wanita diciptakan dari tulang rusuk
pria
Bukan dari kepala untuk menjadi
atasannya
Bukan pula dari kaki untuk jadi
alasnya
Ia menjadi pendamping hidupmu dikala
senang dan susah
Ia berada dihati untuk dicintai
Ia berada dijiwa untuk dihormati
Ia berada dimata untuk pelipur lara
Maka cintai dan hormati Ibu dan
Istrimu
Puisi itulah salah satu puisi yang
begitu sangat berkesan. Sebuah puisi yang mengingatkan kepada kaum pria,
mungkin juga mengingatkanku, bahwa wanita pada hakekatnya sama seperti pria.
Bukan hanya sekadar kanca wingking, kalau boleh aku menafsir dari puisi
itu.
Lagu yang kustel di winamp
terus mengalun dan berganti dari lagu-lagu yang kupilih sesuai urutan. Dan lagu
yang dipopulerkan Ada Band; Karena Wanita Ingin Dimengerti kali ini yang
mengalun. Dan aku masih bahagia, masih dengan rindu yang tertahan.
***
Duapuluhtujuh Hari Kemudian
Menjelang Maghrib, sebuah pesan
singkat masuk di handphoneku. Kubuka dan ternyata kau dan lagi dengan tiba-tiba
menyuruhku untuk segera menemuimu. Ada yang harus dibicarakan, isi pesanmu.
Dengan sandalmu, aku segera bergegas
menuju rumahmu. Lagi dan lagi dengan berbagai tanya?
Tak terasa begitu cepat tiba
dirumahmu. Kuketuk pintu rumah dan mengucap salam, namun tak kunjung terjawab
dan hendak kuketuk untuk yang kedua kalinya, keburu kau telah membukakan pintu.
Silahkan masuk, katamu. Aku pun langsung memasuki rumah membuntutimu, lalu
menempatkan diri duduk di sofa berbentuk L. Sementara kau masih menggunakan
Kruk berjalan tertatih menuju dapur mengambilkan segelas air dan meletakkannya
di meja.
“Maaf, hanya segelas air putih.
Silahkan diminum” tawarmu datar.
Aku hanya mengangguk dan tersenyum
mendengar tawaran yang kau tujukan kepadaku. Dan gelas itu masih tergeletak
dimeja belum tersentuh sedikitpun. Rasanya aku ingin segera bertanya sebab apa
kau menyuruhku datang menemuimu.
“Ada apa? Apa yang hendak kita
bicarakan?” aku memulai pembicaraan.
Kau diam, tak segera menjawab
pertanyaanku. Aku semakin cemas dengan sikap yang kau tunjukan. Tidak seperti
biasanya kau memasang muka yang tak biasa. Dimana keceriaan yang selalu kau
tampilkan? Sangat lama kau tak bersuara. Kau semakin membuatku gusar.
“Mas, aku ingin mengakhiri hubungan
kita!”
“Apa?!” aku setengah menjerit.
“Iya, aku ingin mengakhiri hubungan
kita! Aku sudah memikirkannya matang-matang, bahwa hubungan kita harus berakhir
sampai disini” katamu mengulang dan menjelaskan.
“Apa salahku? Kok kau tiba-tiba
dengan sepihak memutus hubungan kita?”
“Tidak ada yang salah. Kurasa
kesalahanmu hanya pengulangan saja”
“Maksudnya? Sungguh aku tidak
mengerti..”
“Iya kau hanya mengulang-ulang pada
kesalahan yang sama. Padahal dulu, kau telah berjanji untuk tidak
mengulanginya. Bukankah kau tahu jika aku tidak suka dibohongi, mas?” kau mulai
terisak.
“Terus?”
“Aku merasa dibohongi” kau terhenti
menahan isak “Aku ingin mengakhiri hubungan kita!” kau membenamkan wajah di
kedua telapak tangan.
Mendengar semua itu. Sekejap, mataku
menjadi gelap gulita. Pikiranku kosong, lalu tiba-tiba seperti kehampaan langit
yang terhantam Guntur, mendadak menjadi kacau balau. Aku menenangkan diri
sejenak, mencoba untuk tegar melewati kenyatan yang akan segera aku hadapi.
Sementara kau masih menitikkan airmata yang kebenamkan di kedua telapak tangan.
Dan kita saling terdiam untuk waktu yang lama. Aku belum memutuskan tawaran
yang kau berikan.
“Tidakkah kau memberikan satu kali
lagi kesempatan untukku? Kesempatan untuk memperbaiki hubungan kita?” aku mulai
berani berbicara.
“Tidak mas, keputusanku sudah bulat.
Kuharap kau menerima kenyataan ini,” ujarmu dengan suara sengau. “Dan terima
kasih telah memberi warna dalam hidupku”
Aku masih berusaha untuk tegar,
meski sejujurnya aku menolak untuk mengiyakan keputusan yang kau tawarkan.
“Baiklah jika maumu seperti itu. Aku
terima kenyataan ini,” aku mengatakan sambil menggengam tanganmu. “Dan maaf
atas segala kesalahan yang pernah aku perbuat kepadamu” aku mengakhiri kalimat
seraya mencium keningmu.
“Iya mas. Terima kasih telah mengisi
hari-hariku” kau terhenti seiring isak dan derasnya airmata.
Diruang tamu, pukul 18.20wib. Dua
puluh tujuh hari setelah kau berikan kado istimewa. Walau tanpa kesepakatan
bersama dan dengan terpaksa aku menyepakati berakhirnya hubungan kita. Dan
mungkin ini untuk terakhir kali pula aku melihat senyum dan keceriaan dirimu,
saat bersamaku.
***
Dan sandal berwarna hitam itu telah
menjejak tanah seiring kakiku melangkah. Kemana pun pergi, tak luput kubawa
serta. Dan kini aku masih mengingatmu…
Mranggen,
19 Oktober 2005
Di edit
ulang, banyak penambahan dan pengurangan kata di sana-sini (baca; di”lebay”kan)
hingga seperti ini Di sebuah rumah dekat Bantaran Kali Beji, 10 Mei 2010
(WFY)
NB;
- Tulisan ini tidak ditujukan kepada siapa-siapa, baik itu laki-laki maupun perempuan. Jika ada kesamaan, nama tempat, lakon, peristiwa dan atau jalannya alur cerita maka itu faktor kebetulan saja.
- Sekali lagi cerita ini murni fiktif! Anggap saja ini sebagai khayalan si Pandir atau sedang berharap, barangkali, ada yang ingin memberikan kado ultahku kelak. Tentunya berupa sandal. Hehehehe
Tidak ada komentar:
Posting Komentar