Rabu, 30 Juni 2010

Seandainya Orangutan Bisa Bicara



Sebab apa kalian (baca; Manusia) menebang pohon? Mencari nafkahkah? Atau untuk memenuhi kebutuhan hidup? Sama! Kamipun butuh makan, butuh hidup seperti kalian. Tempat kami di belantara, tidak seperti kalian yang membangun rumah dan tatanan desa yang indah-indah, yang nanti pada akhirnya menjadi sebuah kota yang semrawut. Rumah kami adalah pohon-pohon yang menjulang dan rimbun, bukan rerimbunan gedung-gedung pencakar langit. Makanan kami adalah semua sumber pangan yang ada di hutan. Lalu jika kalian tebang, jika kalian rampok seluruh kekayaan kami yang ada di hutan, lantas kami mau makan apa?


Saya menolak relokasi di kebun-kebun binatang atau di pelihara di rumah-rumah kalian. Walau kami diberi makan yanng enak, segala kebutuhan tercukupi, tetap kami menolak sebab habitat kami bukan di kebun-kebun binatang ataupun kerangkeng yang kalian buat. Tempat kami sejatinya adalah habitat aslinya yakni hutan.


Tahukah kalian siapa saya? Sayalah yang kalian usir dari tempat saya berlindung. Pohon yang kalian tebang, hutan yang kalian rambah telah mengusir saya dan teman-teman saya dari hidup, makan dan beranak pinak serta bertumbuh kembang.


Sayalah yang tersingkir dan terusir dari rumah kami. Rumah yang teduh dengan rerimbunan pohon mahoni, ulin, cemara dan aneka pepohonan yang kalian sebut sebagai hutan. Dihutanlah tempat saya mencari nafkah dan memenuhi kebutuhan hidup dasar saya dan dan rekan-rekan saya.


Saya tanya kepada kalian, jika pohon yang kalian babat lalu dimana lagi tempat saya untuk berlindung? Saya dan teman-teman saya akan makan apa? Saya sudah lelah bermigrasi dari hutan ke hutan, tapi toh pada kenyataannya di selatan, utara, barat, timur dan segala penjuru arah, pohon-pohon telah kalian rampok. Yah kalian memang perampok, sebab pohon yang kalian tebang bukanlah hak atau milik kalian yang seenaknya di tebang begitu saja.


Oh iya saya sampai terlupa mengenalkan diri saya. Baiklah saya perkenalkan siapa sesungguhnya saya. Nama saya Pongo Pygmaeus. Entah manusia bernama siapa menamakan saya seperti itu. Tetapi pada umumnya orang-orang Indonesia menamakan saya dengan sebutan Orangutan ataupun Mawas dan bahkan masih banyak lagi sebutan untuk nama saya di berbagai daerah lain. Namun saya lebih sepakat dengan nama Orangutan, disamping yang memang hidup saya di hutan, kedengarannya lebih familiar di telinga orang-orang Indonesia. Saya juga termasuk hewan mamalia dan primata.


Walau hidup di hutan, kami mempunyai kemiripan dengan orang-orang pada umumnya, pembedanya hanyalah tubuh kami ditumbuhi bulu-bulu yang lebat. Sedang orang atau manusia hanya ditumbuhi bulu atau rambut dibagian kepala dan tertentu yang tertutup oleh pakaian. Secara fisik kami pun mempunyai kemiripan sama seperti orang pada umumnya. Kami mempunyai kelamin yang sama, dua kaki, dua tangan dan struktur bentuk tubuh yang manusia hampir mirip dengan kalian. Untuk jenis kelamin kami menamakan sebagai jantan dan betina, sedang manusia laki-laki dan perempuan. Konon katanya, saya memiliki kekerabatan dekat dengan manusia pada tingkat kingdom animalia, dimana orangutan memiliki tingkat kesamaan DNA sebesar 96.4%. Begitulah manusia mengkategorikan saya.


Saya tidak bermaksud untuk menyamakan saya dengan kalian, walau kalian yang sesamanya sering menyamakannya dengan kami. Jangan marah ataupun murka dengan interprestasi saya. Jadi jangan tersinggung jika kemudian kamipun menamakan atau terkadang menyamakan kalian seperti saya dan sebangsanya dan atau teman-teman kami yang lain, yang hidup di hutan. Beruntunglah kalian diberi kelebihan dalam hal berkomunikasi sehingga kalian bisa bercakap-cakap dengan sesamanya. Syukurilah kalian diberi akal dan pikiran sehat, tidak seperti saya yang hanya menggunakan naluri dan insting saja.

***


Bukankah kalian mempunyai Hak Asasi Manusia? Jadi apa salahnya jika saya dan sebangsanya mempunyai hak yang sama seperti kalian. Hak untuk tidak di buru, hak untuk tidak dikekang atau dibunuh dan hak-hak asasi yang lain. Jika boleh kamipun mempunyai hak yang bernama Hak Asasi Binatang, atau cukup disingkat HAB.


Hey kalian makhluk yang diciptakan berakal budi. Tahukah kalian jika kami merasa tersingkir berkat ulah-ulah kalian? Sadarkah jika perilaku kalian bisa membinasakan kami secara perlahan dan pasti?

Hey kalian semua manusia yang menganggap diri kalian sebagai makhluk beradab dan berbudaya. Dengarkanlah jerit kami. Tidakkah kalian merasa berdosa dengan semua perbuatan yang membunuh kami? Berapa ratus gajah kau bunuh dan di ambil gadingnya? Berapa harimau yang telah kau bunuh dan kau kuliti? Berapa rupiah yang kau dapatkan?


Susila!! Maaf saya mengumpat dengan nama manusia, jangan marah. Saya dan teman-teman sayapun tidak pernah marah jika kalian mengumpat dengan nama binatang seperti; Anjing, Babi, Buaya dan sebagainya. Kalian memang biadab! Dasar Hitler!! Kelakuan kalian tidak ubahnya seperti binatang, seperti saya dan spesies lain, yang sering kalian tuduhkan.


Saya jelaskan realitanya. Kalian membunuh teman-teman kami seperti buaya, Biawak, babi dan bahkan ular untuk dikonsumsi oleh kalian? Bukankah di agama kalian telah mengajarkan bahwa binatang-binatang yang kalian sembelih itu haram untuk dimakan? Kalian memang rakus dan sadis.


Hey kalian tuan dan nona yang beragama? Bukankah agama kalian telah diajarkan oleh masing-masing kitab suci yang kalian anut dan percaya? Apa perlu saya ingatkan kembali? Baca, pelajari dan pahamilah kitab-kitab suci. Saya tidak akan mengingatkan kalian tentang larangan-larangan atau haramnya binatang untuk dimakan. Sepertinya bukan kapasitas saya untuk khutbah tentang agama. Maklum saya bukan ahlulkitab, lagian saya hanya makhluk yang tak mempunyai akal dan pikiran. Berkhutbah sudah menjadi tugas dan wewenang Kyai, Ustad, Biksu, Pendeta, Pastur dan para pemuka agama.


Hey kalian makhluk yang bertuhan. Tahukah kalian rasanya jika ladang-ladang dan kebun sayur di balak oleh kami? Sakit bukan? Kamipun merasakan hal yang sama seperti kalian bagaimana tempat, pohon, dan hutan kami kalian balak. Tiba saatnya kami butuh makan dan balik membalak kebun dan ladang kalian justru dengan bedil kau tembak dan usir kami.


Saya turut prihatin, turut berbela sungkawa kepada gajah di Sumatera yang tertembak mati saat ingin mempertahankan hidup. Saya ucapkan salut kepada monyet-monyet di Jawa yang mati terbantai demi mempertahankan hidup. Salam kasih alam semesta untuk kalian yang gugur di bumi manusia yang penuh kezaliman. Inilah wujud pemberontakan kecil dari kami demi mempertahankan eksistensi dan habitat kami sebagai binatang.


Ka’ban!!!! Maaf saya menghujat dengan nama manusia lagi, sebagaimana kalian juga memaki dengan nama kami; binatang. Kalian memang keji, dimana akal sehat dan hati nurani kalian yang sering kalian agung-agungkan? Ah tai Bush!! Omong kosong dengan rasionalitas.

***


Jika kalian mempunyai hukum dan perundang-undangan mengatur kehidupan berbangsa, kamipun punya. Hukum kami adalah hukum rimba. Siapa yang kuat dialah yang berkuasa. Hukum kami tidak tertulis sebagaimana hukum-hukum tertulis yang dibuat kalian. Hukum yang kami sepakati adalah mutlak dan dipatuhi oleh semua binatang yang menghuni di hutan. Dan semua spesies yang ada di hutan tunduk dengan hukum yang telah disepakati.


Jika kalian mempunyai pemimpin atau presiden dan aparaturnya. Jangan salah, kamipun punya. Berdasar seleksi alam, kamipun bersepakat untuk menjadikan Singa sebagai raja hutan. Sedang aparatur pemerintahannya dijabat oleh binatang bertubuh besar semisal Gajah, Badak, dan binatang-binatang yang tangguh.


Kamipun mempunyai angkatan bersenjata. Dalam ketentaraan kamipun mempunyai tiga angakatan, baik itu angkatan Darat, Laut (air) dan Udara. Angakatan darat di jabat oleh babi, ular serigala dan binatang darat lainnya. Angkatan laut dikomandani oleh Buaya, Hiu dan binatang air lainnya. Sedang untuk angkatan udara oleh burung Nazar, bulbul dan hewan yang bisa terbang. Kami juga mempunyai intelejen dan telik sandhi itu adalah burung elang, jerapah, dan Kutu, Lintah, semut dan binatang atau serangga kecil lainnya. Tentara-tentara kami adalah binatang-binatang yang berbisa, bercula, bertanduk, dan aneka senjata yang melekat ditubuh kami.


Itulah perangkat dan struktur pemerintahan kami. Sedang yang menjadi penasehat sekaligus merangkap sebagai juru bicara, kebetulan sang Raja Singa mempercayakan saya. Sebab populasi kami di negeri yang bernama Indonesia ini kian hari semakin berkurang bahkan cenderung menuju ke arah kepunahan.


Bukan saja undang-undang di negeri kalian saja yang menjadikan kami sebagai hewan yang dilindungi tetapi sang raja singa pun betul-betul melindungi eksistensi kami sebagai umat bianatang, walaupun sebenarnya kalian dengan berbagai daya upaya jelas-jelas mengurangi populasi kami.


Mungkin kalian heran mengapa saya banyak tahu tentang perbuatan kalian yang menjarah hutan dan merusak habitat kami,. Pembalakan hutan, pohon tempat kami tinggal. Kabar-kabar burunglah yang memberikan segala informasi perbuatan kalian yang merusak tempat kami berlindung.


Jika kalian masih ragu, saya berikan contoh. Pada suatu hari, dari Papua kami di beri kabar burung Cendrawasih, yang mengabarkan hutan yang selama ini dihuni oleh ribuan spesies binatang baik itu yang melata, mamalia dan segala spesies lainnya telah kehilangan habitat aslinya. Kalian yang mengelompokkan diri dan membentuk PT Freeport Indonesia telah mengeksploitasi sumber daya alam di tanah Papua. Berapa juta gelondong kayu yang kalian rampok? Berapa juta Ton emas dan tembaga yang kalian keruk? Dan lagi uanglah yang kalian cari.

***


Jika kalian memang makhuk rasional, mengertikah dengan pepatah Indian yang mengatakan “Jika Pohon terakhir telah ditebang, Ikan terakhir telah ditangkap. Sungai terakhir telah mengering, Manusia baru sadar kalau uang tak dapat dimakan,”


Ngomong-ngomong suku Indian saya teringat Amerika latin. Tepatnya di Hutan Amazon.. Saya kira persoalan hutan di Brazil dan di Indonesia mengalami persoalan yang sama. Sama-sama di eksploitasi, di balak dan di curi. Saya teringat sesosok manusia yang bernama Chico Mendes. Dia berjuang walau pada akhirnya kematianlah yang menjadi taruhan dari perjuangannya. Andai saja di negeri ini, Indonesia, ada satu saja manusia yang mempunyai atau paling tidak bisa mengilhami perjuangan Chico Mendes. Barangkali hutan yang masih tersisa di negeri ini, satu diantaranya bisa terselamatkan dari kalian-kalian manusia yang berprofesi sebagai pembalak ataupun perusahan pemegang HPH (Hak Pengelolaan Hutan) yang nyata-nyata meramnpok hutan ciptaan Tuhan. Hanya andai.


Dan sayangnya, mungkin negeri ini, tidak peka terhadap persoalan dan kondisi alam dan hutannya. Ada pun, hanya sekelompok orang yang mengorganisir diri dan membentuk organisasi yang bernama LSM ( Lembaga Swadaya Masyarakat) yang selalu mengatasnamakan kepentingan rakyat. Yang konon bergerak di bidang penyelamatan sekaligus pelestarian hutan dan lingkungan. Ah lagi-lagi omong kosong. Selalu saja menggembar-gembor slogan, hentikanlah, stoplah, adililah apalah tentang hutan. Tapi pada kenyataannya mereka pun hanyalah sekumpulan maling teriak maling. Ups saya tadi ngomong apa? Maklumi saja jika saya makhluk yang tak berakal, tidak seperti kalian para manusia.

***


Terkadang saya merindukan hidup di jaman purba. Jaman dimana manusia dan makhluk hidup sebangsa kami hidup secara berdampingan dan bersinergi antar makhluk hidup yang ada di bumi.


Nenek moyang kalian hidup bersahaja dan menerima apa saja yang Tuhan telah berikan. Rumah tanpa dinding kayu, tidak beratap genteng. Mereka –nenek moyang- berteduh didalam goa-goa, di ceruk bebatuan yang tersedia di bumi. Tapi itu dulu!


Namun di abad kontemporer. Semakin berkembangnya peradaban dan tekhnologi yang dibuat manusia, justru malah untuk merusak pepohonan dan hutan. Buldozer yang sejatinya meringankan beban pekerjaan, justru malah menjadi alat perusak goa-goa dan tanah-tanah yang telah dirawat berabad-abad lamanya oleh nenek moyang kalian.


Sementara kalian mengeluh mengapa di tanah kalian sering terjadi longsor, banjir yang kerap melanda? Apakah kalian tidak menyadari bahwa sebab terjadinya semua bencana di tanah dan rumah kalian adalah akibat dari perbuatan kalian sendiri. Itulah hukum alam, hukum dengan ketentuan kodrat alam.


Saya tidak sedang berandai-andai terulangnya jaman purba. Konkrit saja, semoga kalian yang mempunyai pikiran, tidak merusak habitat kami. Syukurilah apa yang telah diciptakan Tuhan kepada kita sebagai makhluk hidup.

***


Saya lelah berkeluh kesah. Toh kalian juga tak pernah mengakui kami sebagaimana makhluk hidup. Tidak pernah memberikan ruang untuk kami, bagaimana cara mempertahankan hidup di hutan yang kalian jarah. Apa perlu saya memberontak? Merampok hutan palawija yang kalian buat? Sssssssssst suatu saat nanti kami akan membalasnya.


Baiklah untuk menutup segala keresahan kami, saya akan mengutip manusia yang bernama Karl Marx. Jika Karl Marx pernah mengumandangkan “Bersatulah Kaum buruh sedunia!”, maka saya pun akan melakukan hal yang sama, siapa tahu melegenda seperti slogan Karl Marx. Bersatulah Aneka Satwa di Dunia!!!


Di kaki Gunung Ampon, 28 Mei 2010

(WFY)



NB

Ide cerita berawal dari kerapnya saya menonton Film “The Burning Season”, yang diperankan oleh Raul Julia dan disutradarai John Frankenheimer. Dan film “Tarzan” (tanpa huruf X). Dan sering mendengarkan lagu “Isi Rimba Tak Ada Tempat Berpijak Lagi”, pencipta Iwan Fals. “Berita Cuaca”, penyanyi Gombloh.

Tidak ada komentar: