Minggu, 24 Januari 2010

Suka Duka Di Taman Hidup -Kisah pak Tua “ngGacor”- part III

“Ah Antasari Azhar itu cuma dijadikan korban oleh para penguasa” komentarnya Ketika itu kami bertiga sedang menonton berita yang menyiarkan secara langsung sidang pembunuhan Nasrudin di sebuah televisi swasta nasional. Kami hanya mengangguk saja. Memang sudah menjadi kesepakatan bersama, jika ia berkomentar tentang apapun itu, kami hanya mengiyakan atau mengangguk tanpa berbalas komentar.


“Memang untuk menjadi orang bersih dan pembela kebenaran di negeri ini susah!” ia menggerutu sambil terus memantau perkembangan kasus Antasari di televisi. Berita yang selama ini berkembang simpang siur dan semakin runyam tentang kasus pembunuhan yang melibatkan elit politik nasional. “Konspirasi jahat” katanya.


“Kok bisa paman?” sahut temanku dengan entengnya. Aku hanya memberi kode berupa kedipan mata. “wah ngawur, bukankah kita sudah bersepakat dilarang mengomentari paman?” protesku dalam hati.


“Lho iya,Antasari Azhar itu orangnya bersih. Semenjak ia menjadi pimpinan KPK (akronim; Komisi Pemberantasan Korupsi) sudah berapa koruptor yang ia jebloskan ke dalam penjara? Dia itu orang hebat! Besan presiden kita aja ia masukkan ke penjara! Itu Lho siapa namanya? Itu lho yang pernah menjabat Gubernur Bank Indonesia? Haduh saya lupa! Oh iya Aulia Pohan! Dia itu Koruptor!! Lihat saja kasus bank Century ia juga terlibat!” jelasnya secara mendetail.


“Paman, maksudku kok bisa dijadikan korban?” temanku menyela penjelasan yang dipaparkan panjang lebar oleh paman Step. Sedang aku bergeleng kepala tak tahu maksud dari pertanyaan temanku. Apakah dia benar-benar tidak tahu atau dia sebenarnya tahu tapi pura-pura tidak tahu.


“Ya itu tadi Le, kamu lupa ya presiden kita itu siapa? Dia kan besannya si maling bernama Aulia Pohan! Mungkin saja ada motif balas dendam. Bisa jadi ia sakit hati dengan perlakuan Antasari menjebloskan besannya ke dalam bui” paman Step menjelaskan ketidaktahuan temanku penuh dengan semangat, suaranya kalem dan nampak berwibawa. “Seharusnya Antasari dibebaskan! Negeri kita butuh orang-orang seperti Antasari Azhar” ia sudah memvonis bebas sebelum hakim yang bersidang memvonis dan mengetukkan palu.


Aku hanya menjadi pendengar setia bila ia mulai berkomentar. Acuh dan sesekali mengumbar senyum sembari terus menonton televisi yang volume suaranya kalah keras dengan suara paman Step. Aku enggan berkomentar tentang kasus yang sedang disiarkan. Siapa yang bersalah dalam kasus pembunuhan bos PT Putra Rajawali Banjaran? Biarlah pengadilan yang memutuskan dan biarkan semua orang bebas beropini. Tak salah juga berdebat di luar gedung pengadilan.


Pada saat yang sama, aku bersama rekanku sedang mengobrol, membicarakan sebuah proyek. Maklum sudah lama sedang mengalami kevakuman beraktivitas. Jikalau proyek ini berhasil maka bisa dikatakan sebagai proyek iseng-iseng berhadiah. Tapi lihat saja realisasinya. Berhasil syukur, tidak berhasil ya cuma sekedar iseng saja. Lha wong membuatnya juga tidak terkonsep dengan jelas. Hanya sambil bercanda membahasnya. Proyek dagelan.


Tiba-tiba saja paman Step menyela obrolan kami tentang proyek iseng yang sedang kami bicarakan “Gini yo Le, Saya itu lebih berpengalaman. Cara menghitung kalian itu salah! Saya selalu tidak disertai titik koma sebelum semua hasil dijumlahkan. Saya itu kalau menghitung dengan runtut dan sistematik. Sini saya ajarkan?” ia memulai menghitung semua rincian dan segala penjelasannya. Bla..bla..bla.. ditambah bla…bla..bla..dikurangi bla..bla..bla.. di kalikan bla..bla..bla..sama dengan bla..bla..bla.. dipotong bla..bla..bla.. dan seterusnya sampai selesai dan hasilnya bla..bla..bla.. Panjang lebar ia memaparkan jumlah mata uang yang menjadi rencana dalam pembiayaan proyek dagelan itu.


Kami hanya bergeleng kepala saling pandang satu sama lain. Ia nyelonong begitu saja dan menyela apa yang kami sedang perdebatkan. Kami masih berpandang. Aneh dan bingung mendengar mulutnya yang nyerocos tanpa kami mintai pendapatnya.


Wis ta percaya sama saya[1]. Kalau masalah hitung-hitungan rencana anggaran. Saya betul-betul hafal di luar kepala! Sampai mati” kata paman Step, mengulang perkataannya. “Lho iya paman, sik tho iki lho tak jelaske sik kabeh kebutuhane![2]aku mencoba memberikan pengertian disaat mulutnya yang terus meracau. “Gak usah ngeyel[3], percaya sama saya! Saya itu lebih berpengalaman daripada kalian” paman Step meyakinkan hasil hitung-hitungannya. Wah ribet juga berdiskusi apalagi memintai pendapat dengan orang yang lebih tua. Kata-katanya selalu saja dianggapnya benar. Sekarepe dewe![4] bergumam dalam hati.


Wis ta Boy, ogak usah engkel-engkelan karo paman Step. Daripada mengko uyuhmu di ombe karo paman Step?[5]” Bisik temanku. Aku berkerut dahi tak mengerti apa yang dibisikkan. “Lho kok bisa?” aku berbalas bisik. “Lho iyo nek kowe luwih pinter karo dekne, Paman Step bakalan ngombe uyuhmu. Iku sesumbare paman Step dewe lho[6]!” terangnya sembari memberi isyarat untuk menghentikan perdebatan yang tak jelas pangkal ujungnya. Aku hanya bergidik ngeri mendengar penjelasan temanku. “Kalau ada yang lebih pinter dari saya, saya minum kencingnya” lagi berbisik sembari meniru suara paman Step.


Tanpa kesimpulan dari jawaban yang mengambang. Sing waras ngalah! Kami pun mengakhiri perdebatan masalah proyek iseng itu. Memang ia menjelaskan selalu runtut dan sistematik, itu menurut versinya. Tapi bagi kami itu hitung-hitungan yang njlimet dan rumit.


Akhir dari perbincangan kamipun bersepakat, lain waktu jika sedang membicarakan sesuatu hal tentang apapun itu. Jangan sampai terdengar oleh telinga Paman Step. Selalu saja dengan kepintarannya berbicara ia akan ikut nimbrung. Menyela! Bercerita dengan kesoktahuannya! Bahkan cenderung membual! Saya itu lebih tahu dari kamulah, lebih berpengalamanlah, kau itu tahu apalah? Tai kucing!

***


Waktu menjelang maghrib, paman Step sepertinya sudah mulai mengantuk. Biasanya ia akan mengonggokkan diri di pojok kamar kantor yang memang di desain sebagai tempat untuk beristirahat. Menata bantal, dan membersihkan karpet menggunakan sapu lidi lalu menyelimutkan tubuh dengan kain korden berwarna cokelat kesayangannya. Tidur mendengkur, walau ia tak mau mengakui dengkurannya. Katanya ia selalu meditasi ketika hendak tidur, walau tak pernah terlihat ia bermeditasi.


Sebagai penghantar lelap dalam tidurnya, ia tak pernah lupa menonton televisi. Mungkin inilah yang dimaksud dengan meditasi ala paman Step. Selain film, tontonan wajib yang di lihat adalah National Geographic, Discovery Channel, dan tontonan mengenai sejarah peradaban manusia. Ia juga terus memantau perkembangan berita dalam negeri maupun luar negeri baik itu politik, sosial dan budaya.


Baginya satu hari tak menonton televisi, maka ia akan tertinggal jauh mengikuti ilmu yang semakin terus berkembang. Televisilah yang menambah dan menjejali otaknya dengan segala ilmu pengetahuan dan tekhnologi/Iptek. Hingga tertidur lelap dan terlupa mematikan tv yang ia sendiri stel. Teman-temannya sudah memaklumi tabiat dan kebiasaan yang ada dalam diri paman Step.


Jika sudah tertidur lelap, tak ingat lagi beban yang sedang ia pikul. Semua terlupa begitu saja. Tertidur berjam-jam dan terbuai dalam mimpi-mimpi indah. Kami dan beberapa teman hafal betul jika ia sudah tertidur pulas. Ada yang pernah menghitung berapa jam ia tertidur. Hasil dari pengamatan secara seksama. Dalam satu minggu, ia tidur kurang lebih hampir 11 jam setiap harinya. Misalnya ia tidur pukul 21.00 WIB, maka ia akan terbangun pukul 08.00 pagi. Pernah ia menyindirku dan beberapa teman, kita kalau tidur tak punya aturan. Seperti kerbau! Tidur lama dan bangunnya siang. Padahal jika kuhitung tidak melebihi dari tidurnya yang 11 jam.


Paginya segelas kopi dibuat untuk menemani menonton berita perkembangan dunia dan tanah air. Hari beranjak siang baru ia bersosialisasi dengan manusia lain. Nge-break via radio komunikasi, itulah aktivitas pertama kali yang dilakukan sedari bangun dari tidurnya. Mengobral cerita dengan para breaker yang entah ia kenal atau tidak.


“Break, Tes…Tes… Alfa, Beta, Charlie, Delta, Echo! Roger, Ganti” ia mulai memutar channel frekuensi mencari lawan bicara atau teman obrolan lewat udara.


“Selamat pagi semuanya, berjumpa lagi dengan Rudi alias rusak dikit” begitulah cara ia memulai bercuap-cuap dan memperkenalkan diri. Semua lawan bicara di radio pasti tahu, yang tak lain dan tak bukan adalah suara paman Step. Rudi nama samaran yang selalu di pakai paman Step untuk mengudara lewat radio komunikasi.


Nge-break adalah aktivitas di siang hari. Setelah capek bercuap-cuap ia kembali memantau perkembangan dunia lewat televisi. Duduk manis bersandar di tembok menatap layar tv dan tak lupa secangkir kopi turut serta menemani. Baru setelah sore hari ia bepergian menggunakan skuter hitam yang selalu dibanggakan, -skuter yang konon diakui, kecepatannya bisa melebihi dari motor sport pabrikan Jepang keluaran terbaru-. Jika kutanya akan pergi kemana? Dia pasti menjawab akan pulang kerumah. Tumben ia masih ingat anak dan mertuanya. Menjelang maghrib, ia kembali lagi ke kantor dan melakukan rutinitas seperti biasa. Duduk manis di depan layar tv sembari mengomentari apa yang ia lihat dan dengar. Hingga ia tak kuat menahan kantuk dan lalu tertidur. Bukan paman Step jika tak berkomentar akan sesuatu hal.

***


Paman Step adalah komentator handal di segala bidang. Bicaranya ceplas-ceplos. Salah atau tidak komentarnya selalu dianggap benar. Tak mempedulikan lagi apakah komentarnya menyinggung perasaan yang ia komentari atau tidak. Jika ada yang membetulkan -bukan bermaksud menyalahkan- ia akan diam lalu mengalihkan pada pembicaraan lain. Tanpa maaf, tanpa peduli lagi apa yang telah dikatakannya. Untuk meralat ataupun membenarkan apa yang telah diucapkan gengsinya setengah mati. Ia tak mau menjilat ludahnya sendiri. Seolah-olah apa yang telah dikatakannya adalah ayat-ayat suci yang tak perlu lagi di uji kebenarannya. Mutlak dan absolut!


Keserba-tahuannyalah yang menyebabkan ia pandai dengan segala hal. Bagaimana tidak pintar? Lha wong setiap hari ia berguru dengan Televisi, Koran, radio. Pantas saja perkembangan dunia dan ilmu pengetahuan selalu up to date! Serba bisa! Bisa jadi salah atau mungkin bisa jadi benar dengan semua apa yang ia cerap dari hasil belajarnya di media cetak dan elektronik. Namun hingga kini ia tak pernah mengaplikasikan pengetahuan yang ia dapat. Nyata-nyata semua teori yang ia dalilkan dalam praktek tak pernah terlihat hasilnya! Andai pun ada, hanya sebentuk gambar dalam imajinasinya.


Sudah menjadi rahasia umum. Semua rekan-rekan yang dekat dengannya tak lagi menanggapi paman Step berkhutbah, berteori dan bercerita. Mendengar pun hanya pura-pura atau dengan istilah yang lebih sopan “Ngajeni uwong sing luwih tuwek[7]!”. Ada rasa sungkan kalau terlalu blak-blakan mengacuhkan dirinya. Kami hanya bisa memaklumi walau terkadang merasa tidak suka pada kesoktahuannya! Suara yang terlontar dari mulutnya melebihi dari kecepatan cahaya. Seakan-akan jika mulai berbicara tak dipikirkan lagi sebab-akibat dari perkataannya. Bisa jadi benar jika ia bicara memang tidak dipikirkan terlebih dahulu. Sepertinya begitu, kami hanya menduga.


“Saya itu lebih berpengalaman dari pada kamu! Saya ini pelaku sejarah! Kamu itu tahu apa?” adalah kata-kata paling ampuh mematikan lawan bicaranya bila tidak sependapat dengan dalil dan perkataan paman Step. Setiap kali kata-kata pamungkas itu keluar dari mulutnya, lawan bicaranya pun akan terkesima, tersihir diam seribu bahasa. Membungkam mulut tanpa kata-kata menahan tawa! Mungkin ia menganggap kata-kata itu mempunyai daya linuwih melebihi mukjizat para nabi. Paman Step pun berada di atas angin. Rupa-rupanya paman Step lupa dengan diktum “kata-kata adalah senjata”. Kata-kata bisa setajam silet, tapi bila tidak panda-pandai mengoperasikan malah akan menjadi senjata makan tuan. Sungguh dia terlupa jika kata-kata adalah sumber malapetaka.


Hingga detik ini, semangat mudanya masih menyala-nyala. Masih dengan celotehan-celotehan. Meracau! Entah sampai kapan ia akan merubah sifat, sikap beserta tingkah lakunya. Biarlah, biar Tuhannya yang akan mengubah. Atau malah inilah takdir yang dikehendak Tuhan pada dirinya! Tapi jika ia berubah bukan lagi paman Step namanya. Dunia akan terasa sepi. Tanpa ia, dunia selaksa tanpa penghibur.


Taman Hidup, 19 Januari 2010

(WFY)



[1] Sudahlah percaya sama saya!

[2] Lho iya paman, Sebentar tho ini lho saya jelaskan dulu semua kebutuhannya!

[3] Tidak usah membantah

[4] Seenaknya sendiri

[5] Sudahlah Boy, Tidak usah berdebat kusir dengan paman Step. Daripada nanti air senimu diminum paman Step?

[6] Lho iya, kalau kamu lebih pintar daripada dia, paman Step akan meminum air senimu. Itu janjinya Paman Step sendiri lho.

[7] Menghormati yang lebih tua

Tidak ada komentar: