Senin, 23 November 2009

Suka Duka Di Taman Hidup -Kisah pak Tua “ngGacor”- part II

Kala itu, di suatu siang yang panas. Pada sebuah obrolan yang ringan. Obrolan santai pelepas penat. Obrolan yang tak pernah serius, basa-basi. Hanya omong kosong dan sekedar bergosip. Mencoba bersolusi dan pada akhir kesimpulan yang tak pernah terealisasi. Suara kegelisahan dari kami rakyat jelata. Suara-suara yang berani berbicara lantang. Suara-suara yang berani mengungkap fakta. Berani bergumam! Apa yang terjadi dengan hutan kami? “Bakar saja hutan di negeri ini, Biar ramai!” Itulah awal mula perbincangan dimulai.

“Begitulah kondisi di negeri ini! Mereka (baca; pemerintah) hanya menutup mata!” kataku pasrah. Menunduk lesu, menghela nafas panjang dan membiarkan otakku terus bekerja memecah persoalan. Begitu pelik memang! “Lalu apa yang harus kita lakukan?” temanku lirih bergumam. Begitulah jika kami di ruangan sempit berukuran 4 X 6 meter berdiskusi. Hanya sebatas gumaman. Kegelisahan mencoba untuk berbicara fakta tentang hutan di negeri ini. Negeri yang konon pernah dinobatkan sebagai paru-paru dunia. Namun fakta yang terjadi, justru jauh dari realita. Kita telah ditipu oleh media dan mediapun ditipu oleh lembaga Internasional yang menobatkan negeri ini. Jika tak percaya berkelilinglah nusantara! Lihatlah apa yang terjadi?

“Kita harus melakukan Revolusi! merevolusi sistem! Di negeri ini semua harus di revolusi! Apapun itu” suara paman memecah kebuntuan disebuah siang yang panas. Kami hanya saling tatap. Saling pandang penuh tanya? Apalagi yang ia hendak ceritakan. Memberi solusi? Mungkin saja! Semoga ia tak lagi sekedar bercerita. “Realisasikanlah paman” lagi hanya bisa bergumam. Kupikir jika ada yang mempelopori sebuah gerakan yang konsisten dan berani, kuyakin seluruh pemuda Indonesia akan mendukung. “Jadilah martir! Paman sudah terlalu renta. Sekali berarti setelah itu mati” aku bergunjing pada temanku. Akupun tersenyum tertutup tangan.

Paman Step pun mulai berkonsep “Indonesia itu bisa maju jika di revolusi total. Revolusi sistem di seluruh lembaga negara” berhenti sejenak mengambil nafas dalam-dalam. “Negeri ini sudah bobrok! Hukumnya bobrok, undang-undangnya saling tumpang tindih! Harus di rombak tatanan negeri ini” ia melanjutkan, tanpa menjelaskan konsep yang jelas. Kedua teman saling bertoleh. Apa maksudnya? Terheran dengan rencana besarnya. “Revolusi tidak semudah mengupas kacang paman!” gurauku. “Betul. Memang tidak mudah! Butuh pengorbanan dan perjuangan yang panjang!” tandasnya. “Lalu apa yang harus kita lakukan?” tanyaku berpura-pura serius. Ia menjawab “Kita harus demonstrasi! Menuntut perubahan! Revolusilah jalan keluarnya!” dengan nada semangat dan berapi-api, layaknya para aktivis yang berteriak menuntut perubahan dijalanan.

“Ah ngapain berkoar-koar di gedung dewan rakyat itu? Hanya ditertawakan para bajingan-bajingan berdasi” sindirku terus memancing konsep revolusinya. “Lho kamu itu tahu apa? Saya itu ya, pernah mengalami 6 zaman” memotong ucapanku. “Saya itu ya Le, pernah menjadi aktivis GMNI, saya itu dulu seorang demonstran. Pada zaman PKI bergolak era Orde Lama, saya pernah menjadi target orang-orang yang pro pada Soeharto. Orde Baru! Beruntung hingga kini saya masih hidup! Saya juga hanya mencoblos cuma satu kali di tahun 1977. Setelah zaman berganti Orde Baru hingga sekarang saya tak pernah berperan serta pada pemilu. Kemarin saja saya golput kok!” lanjutnya. Aku hanya mengernyitkan dahi. Bingung dengan penjelasan yang ia paparkan panjang lebar. Kok gak nyambung ya? Biarlah, mungkin ia sedang menceritakan sejarah masa lalunya. Kelam, suram dan heroik. Seperti api ia terus membara. Berkobar tanpa jeda.

Semua hanya menyungging senyum. Kebingungan! “Kok gak nyambung ya?” teman sebelahku berbisik. “Entahlah?!” aku berbalas bisik. Aku hanya tersenyum sembari memicingkan mata sebagai kode untuk memancing cerita-cerita yang terus menggebu. “Konkrit aja paman. Dengan cara apa merevolusi Indonesia?” tanyaku nyinyir. “Ya itu tadi Le dengan di revolusi sistem aparatur di negara ini” jawabnya. “Revolusi itu bukan hanya kata-kata paman! Praksisnya gimana?” aku mulai terpancing dengan pembelaannya. “Demonstrasi le..Aksi Massa!” kata paman step. “Ah tai kucing dengan demontrasi!” aku memotong jawaban yang selalu diulang-ulang. “Aku lebih sepakat jika revolusi menggunakan senjata! Revolusi dengan aksi massa adalah tai kucing paman! Seperti manusia kelaparan meneriak “lapar“ Berkoar-koar dengan slogan-slogan kosong di gedung dewan? percuma! Toh para wakil rakyat yang dipilihpun semua tuli!” cetusku. Aku terus memancing emosinya. “Ya itu salah satu bagian dari revolusi Le. Saya juga sepakat” tegasnya. Tanpa tapi dan solusi ia menyeloroh. Aku hanya terdiam. Bingung tak berkata. Apa maksud ia mengamini perkataanku. Apa ia juga sependapat dengan kata-kataku. Entahlah aku tahu pola pikirnya. Selalu njlimet. Membingungkan!

“Lho bukannya paman berani bersuara? Mengapa tidak berani bertindak?” kataku menyindir. “Ah saya lebih suka bermain dibalik layar! Secara konsep saya pandai! Tugasku dari dulu hingga sekarang mendidik anak muda seperti kalian untuk lebih berani bersikap, progresif, dan revolusioner” ia memberi alasan. Lagi aku hanya bergeleng kepala tak mengerti apa maksud dari kata-katanya. Jika aku terus mendesak jawaban, ia mesti menurunkan tensi nada suara dan tak menggebu-gebu. Jika mulai tersudut dari berbagai pertanyaan ia selalu berusaha merendah dan mengalihkan pembicaraan. Semua orang pun bisa jika hanya sebatas mengkonsep dengan kata-kata. “Aku pun bisa” teriakku dalam hati.
***

Siang semakin panas. Matahari rupa-rupanya tak mau kompromi. Keringat perlahan mulai menetes. Panasnya mulai terasa sampai ke ubun-ubun. Emosipun semakin meluap seiring diskusi yang penuh kekonyolan. Berulangkali keringat kuseka dengan sapu tangan. Sedang kami berempat masih diposisi duduk yang sama, masih dengan kepuraan yang kami buat. Seolah mendengarkan cerita mekanisme revolusi dan segala tetek bengek sejarah masa lalu.

Diskusi pun ditutup dengan acara makan siang. Sembari makan ia masih mengajak berdiskusi. Mengobral cerita dan menyumpah serapah. Sedang kami bertiga hanya sebagai pendengar setia. Diam tanpa komentar. Termanggut-manggut seolah menyimak apa yang diceritakan. Dalam tradisi Jawa, makan sambil berbicara itu tidak lazim. “Pamali” orang Jawa bilang. Tapi tidak bagi paman Step, baginya itu tradisi feodal para raja-raja Jawa. Memang ia berada diluar tradisi, mendobrak kultur dan adat istiadat! Maklum ia bukan terlahir sebagai suku Jawa.

Diskusi yang takkan pernah berujung dan takkan pernah terealisasi. Percuma saja mengkonsep hingga mulut berbusa.
***

Bicara tentang sejarah, paman Steplah jagonya. Ia begitu fasih menceritakan runtutan peristiwa-peristiwa bersejarah di masa lampau. Ia adalah seorang kutu buku. Ia begitu mahir menghafal buku-buku sejarah yang dibacanya. Bahkan program Tv mengenai sejarah Indonesia dan duniapun ia tahu betul bagaimana jalannya peristiwa itu berlangsung. Ia memang seperti mesin pengingat sejarah. Kagum aku dibuatnya, Menilik latar belakangnya ia memang bukan berpendidikan dari fakultas sejarah.

Aneh bin ajaib! Hingga kuheran. Banyak cerita dan karangan dari berbagai media ia klaim. “Mau tau siapa dia? akulah orangnya” diakuinya dengan bangga. Sama sekali tanpa memberi kesempatan untuk menjawab dari pertanyaan yang ia sendiri lontarkan. Aku hanya menunduk kepala. Apa maksudnya? Apa yang ia baca lalu diceritakan dengan lugas, persis sama apa yang ada didalam buku. Hanya saja nama pelaku ia ganti dengan namanya sendiri. Ah tai, aku sudah tahu jika ia akan menceritakan bahwa ia adalah sang pelaku sejarah itu. Padahal rentetan sejarah yang ia ceritakan bersumber dari berita di tv dan buku yang baru saja dibaca. Yang pasti daya ingat paman Step luar biasa luar tajam. Memang benar, setajam-tajamnya pedang lebih kalah tajam dengan tajamnya lidah.

Bicara tentang andil dalam sejarah. Aku tak begitu mempercayai begitu saja. Pernah temanku menggerutu sekaligus kecewa. Pada suatu ketika di peringatan hari bumi. Temanku membuat diskusi dan Hearing dengan DPRD (Dewan Perwakilan Rakyar Daerah) yang bertema tentang Hutan di kotanya. Paman Step dihadapan teman-temanya selalu saja mengklaim bahwa ialah yang memfasilitasi acara tersebut. Mendengar klaim itu temanku marah hebat. Setahuku paman Step tanpa undangan datang diacara tersebut. Itupun hanya sebentar, setelah itu pulang. Dihadapanku dengan bangga ia berceloteh. “Itu lho teman-teman OPA (akronim; Organisasi Pecinta Alam) jika tidak ada saya acara itu tidak bakalan sukses. Sayalah yang melobi para anggota dewan untuk Hearing dengan para OPA!”. Sedang temanku yang membuat acara tersebut hanya dongkol dan misuh “JANCOK!! ”. “Sabar boy... sabar.. Maklumi, ia sudah terlalu tua, ia sedang butuh eksistensi” kumeredam emosi temanku yang memuncak. Itupun kulakukan sembari bergurau.

Satu cerita yang membuatku terpingkal. Masih dengan heroik ia bercerita jika ia adalah salah satu sanak famili dari kakek buyutnya yang pernah melakukan percobaan pembunuhan presiden Soekarno. Ia menembaki sang presiden dari pesawat tempur Mikoyan-Gurevich MiG-17F Fresco nomor 1112. Daniel Alexander Maukar-lah yang diakui paman Step sebagai kakek buyutnya.

Kutanya mengapa kakek buyutnya berani menembaki presiden? Konon kata paman Step, pacar kakek buyutnya direbut Soekarno dan hingga hingga akhir hayat si penembak itu tetap membujang. Aku terpingkal mendengarkan ceritanya. Hanya karena cinta ia berani melakukan usaha percobaan pembunuh sang presiden kala itu. Apakah benar alasan cinta? Tak adakah sebab lain? Aku mulai meragu! Paman Step tak henti-henti meyakinkan kebenaran ceritanya. Menyedihkan sekali nasib si penembak itu. Berakhir tragis! Masa sich, akhir hayatnya dihabiskan di kamar mandi, onani. Mari buka kembali lembaran-lembaran buku sejarah. Luruskan sejarah!!

Paman Step memang berasal dari keluarga militan. Aku masih terkekeh mendengar ceritanya. Bukankah paman Step pernah aktif di organisasi pergerakan GMNI (akronim; Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia)? Kok ya tidak membalaskan dendam kakek buyutnya itu. Bukankah GMNI itu underbownya PNI (Partai Nasional Indonesia)? Ada-ada aja nich paman Step ini, kok malah ikut aktif di organisasi yang Notabene kendaraan politik Soekarno. Kok ya tidak ikut PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) saja. Lalu bersekongkol dengan musuh-musuh Soekarno dan membalaskan dendam kakek buyutnya?

Kembali pada konsep revolusi. Paman masih bercerita tentang revolusi senjata. Konon ia pernah membunuh puluhan orang sewaktu mengikuti operasi Seroja di Timor-Timur (sekarang Timor Leste). Dia hafal betul cara merakit senapan. Dari M 16, AK 47, Steyr AUG, Galil dengan mata terutup ia bisa merakit. Seluk beluk isi dari senapan itu ia telah hafal luar dalam. Konon katanya ia bisa membuat senapan laras panjang setara buatan pabrik. Akurasi, letupan dan ketahanan dari senapan yang ia buat kualitasnya hampir tak jauh beda dengan produksi pabrikan Pindad atau Rusia IZhMASh. “Baiklah paman. Saya siap jadi martir. Separuh nyawa kupersembahkan untuk revolusi Indonesia. Tolong saya buatkan senapan api 10 pucuk saja! Dengan sepuluh pemuda, saya siap bergerilya” ejekku. Paman Step mengiyakan permintaanku, dan ia berjanji akan membuatkan 10 pucuk pesananku. Kutahu ia takkan pernah menepati janji. Revolusi takkan berhasil tanpa senjata. Takkan mungkin terwujud revolusi di Indonesia.

Diakhir perbincangan tentang revolusi. Ia memamerkan sebuah magazin berikut 36 butir peluru berkaliber 5.56 x 45 mm. Katanya magazin dan peluru itu adalah kenang-kenangan dari operasi Seroja yang pernah ia ikuti. Kupegang magazin itu, kuamati satu persatu selongsong peluru. Tertera ke-36 butir peluru itu diproduksi tahun 1983. ehm, bukankah semua orang Indonesia tahu kalau Operasi Seroja itu dimulai pada akhir desember 1975 hingga 1978. Ada-ada aja nih paman yang jenius ini, masa mau membodohi saya. Memangnya saya buta huruf? Gumamku. Usut punya usut, berdasar informasi dari teman-teman magazin beserta 36 butir peluru yang dimiliki paman Step itu adalah hasil pemberian dari temannya yang kini sedang bertugas di Koramil (Komando Rayon Militer) setempat. Aku dikibuli. Tak apa ia mengibuli, yang penting aku bisa tertawa. Stres hilang coy. Tertawalah sebelum tertawa itu dilarang kata Dono, Kasino, Indro dalam film-filmnya. Anggap saja pelepas penat yang menghimpit, Leluconing Urip.
***

Sejarah telah membuktikan. Dari tempat lahir di Ambon ia berkeliling Nusantara hingga duniapun telah jajaki. Celah dunia bagian mana kaki yang belum di injak paman Step? Kuyakin, pengakuannya dari ujung utara hingga selatan ia telah tapaki. Dari ujung timur sampai barat ia telah jelajahi. Benarkah? Mari terus bertanya?


Taman Hidup, 10 November 2009

Tidak ada komentar: