Jumat, 05 Desember 2008

Realita Cinta & Anarki


Pagi yang tak terlalu menyenangkan. Hanya 3 jam aku terlelap dalam tidur, tanpa mimpi. Insomnia yang membuatku demikian. Suatu sebab aku terbangun dari tidur. Ternyata semalam aku telah menyetel alarm jam tepat pada pukul 09.00 pagi. Aku terlupa bahwa hari ini adalah hari Jumat, bagiku hari jumat adalah hari yang membosankan. Banyak orang bilang (mitos?) jumat adalah hari pendek, benarkah? Sepertinya akupun mengamini, hanya sugesti. Ku buka mata, ups kembali pejamkan mata sesaat sambil meraba-raba letak telepon genggam yang biasa aku taruh. Matahari menembus kamar lewat di cela-cela jendela kamar yang sedikit agak bolong. Cukup menyilaukan mata. Jarum jam terus berputar. Terasa sangat cepat berdetak. Ku buka jendela kamar. Matahari tepat menerpa wajah. Panas menyengat hingga terasa di ubun-ubun. Pening! Dan Kantuk yang masih menyergap begitu enggan untuk memulai aktivitas, apalagi panas yang menyengat.

Sengaja kembali, aku hidupkan telepon genggam. Yang memang sedari awal, jika malam kerap aku matikan. Pesan singkat kudapat dari seorang teman, sebuah pesan syarat makna dan penuh pengharapan, ku pikir seperti itu. Maklum ia sampai saat ini (sering) berkeluh kesah tentang perempuan. Suatu keniscayaan baginya jika memang ia berniat akan hal itu. Tapi kali ini aku hanya tersenyum dan tergelitik, bukan seperti biasanya ia berperilaku demikian. Curhat!

Mungkin ilmu tentang merangkai kata-kata tak lagi mempan terhadap perempuan yang didekatinya. Bisa jadi, trik merayunya yang ketinggalan jaman. Image “pendekar pemetik bunga” yang disandang padanya kini telah pudar. Menghilang tergilas atas kesombongannya sendiri.

Bagaimana rencana?

Sebuah usaha menggambar imaji Perempuan?

Begitulah tulisan pesan singkat itu. Senyum simpul yang terulas di pagi hari. Teringat beberapa hari lalu pernah berjanji bertemu dengan temanku. Adalah hal yang paling konyol pertama kali aku lakukan. Tentang janji untuk mengenalkan seorang perempuan padanya. Sebuah janji yang tak biasa aku lakukan pada seorang teman dan baru kali pertama melakukannya. Maklum bukan mak Comblang! Memang sebelumnya ia pernah melihat perempuan yang dimaksudkan, kebetulan sekilas aku sudah mengenalnya. Konon ia belum sempat berjabat tangan sambil berucap nama. Katanya, lagi hanya sebatas lirikan mata sembari melempar seutas senyum untuknya. Ehm salah satu metode klasik untuk menarik perhatian perempuan. Jadul banget bo!!

Seperti apakah perempuan yang di-imajinasi-kannya? Aku mencoba menggambarkan dan mereka-reka tipikal perempuan yang selama ini dia idamkan. Semestinya semua laki-laki pasti setuju dengan tipikal perempuan yang aku gambarkan. Perempuan yang tinggi, cantik, anggun, putih mulus juga sexy. Dengan karakter yang bijak, santun, setia dan berbakti. Tampak sempurna bukan? Niat baiklah yang memaksaku untuk mencoba menggambarkan perempuan ideal yang sesuai dengan watak temanku yang sok Jual Mahal! Hal ini dibuktikan dengan banyak perempuan yang mencoba mendekati dirinya kandas ditengah jalan, atau paling tidak banting setir (mengurungkan niatnya).

Alhasil! Bukan seperti apa yang aku reka dalam khayalan. Perempuan yang selama ini ia idamkan biasa-biasa saja. Tidak cantik juga tidak jelek. Tidak tinggi juga tidak terlalu pendek. Untuk watak dan karakter aku belum mengetahuinya. Tidak sesempurna yang aku bayangkan. Apa yang ia tertarik darinya? Apa ia sudah jenuh dengan kesendiriannya? Apa yang membuatnya ia jatuh hati pada perempuan itu! Apakah sebab ia masih muda? Atau jangan-jangan perempuan itu masih lugu dan polos?! Hingga ia dapat dengan mudah untuk memperdayanya. Oh jangan! Semoga saja ia meninggalkan kebiasaan buruknya terhadap wanita. Ah lupakanlah tentang perempuan itu. Kembali lagi pada laki-laki aneh itu (baca; temanku). Semoga saja perempuan itu apa yang diidealkannya.

Sejenak aku mengingat-ingat akan kebiasaannya. Dari sekian banyak penuturan teman-temannya pun mengakui! Jika ia memicingkan mata dengan seutas senyum maka pertanda ia sedang melirik perempuan. Tak kusadari juga, Sesekali ia tanpa sadar mengigau tentang keanggunan perempuan yang dilihatnya. “Sexy” ujarnya. Aku kerap melihat dan terus mengamati tindak-tanduk seperti itu. Pernah pada suatu hari aku bertanya kebiasaannya itu. Ia hanya mengelak dan takkan pernah mengakuinya. Usaha paling jitu untuk mengelabui, ia mesti akan berkata; Fitnah!. Aku hanya terdiam, tersenyum kecut tak percaya. Pernah pula aku meledek dirinya. Daripada aku memfitnah dirimu, lebih baik aku membunuhmu! Bukankah fitnah lebih kejam dari membunuh? Ia menggerutu: dunia terlalu kejam bagi orang sepolos diriku! ehm alibi tak terbantahkan. Semoga Tuhan (andaikan kau masih percaya) tidak mentakdirkanmu demikian.

Tidak ada komentar: