Jumat, 05 Desember 2008

Jika Malam itu telah Sepi dan Tetaplah Gelisah!

Awan putih bergantung pada langit dengan kelip bintang menyala. Kuning langsat bulan menyinar. Purnama. Berhias bulan, menyala terang dari balik bayang-bayang pepohonan. Sesekali terlihat kelebatan bayangan burung hantu. Hinggap di ranting mengeluarkan suara yang membuat bulu kuduk merinding, tapi tidak menakutkan. Malam yang benderang, di sebuah kedai kopi dengan suasana remang dan berbayang. Aku duduk di sudut meja yang tak tertata rapi. Tak seperti biasa masih sepi dan kuhanya sendiri. Memang sengaja tak mengajak teman untuk sejenak melepas letih aktivitas siang hari.

Di kedai kopi, aku lagi (Ingin) sendiri. Menyeruput kopi, di sela jari tanganku terselip sebatang rokok yang menyala. Entah apa yang harus aku lakukan, bingung sendiri! Untuk menghibur diri, selalu kumainkan rokok dengan memutar-mutarkan di tengah jari tengah dan kelingking. Kuhisap-hembuskan dan lagi menyeruput kopi. Terus berulang-ulang.

Larut malam telah menjelang, suasana kian bertambah ramai. Kupandangi meja di sebelahku, kerap kali berganti pengunjung. Di sekelilingku terlihat geliat wajah-wajah penyuka kopi dengan raut muka yang berbeda. Kerumunan manusia berpakaian rapi dengan duduk melingkar dan bermimik serius dengan diskusinya. Segerombol perempuan tertawa dengan kelakarnya, ada juga seorang muda-mudi dengan tampang lusuh (sok kumel) bernyanyi riang dengan gitar bututnya. Di raut wajah Sepintas terlihat tak ada beban. Masing-masing terlalu asyik dengan dunianya! Sedang aku yang masih merasa sendiri, terus memutar-mutar batang rokok dengan jemari lantas menghisapnya. Asbak yang selalu kubawa, dalam sekejap telah sesak berjejal puntung dan abu rokok.

Dari balik pintu masuk, seorang teman menyapaku “Boy berangkat kita!”. Suara itu tak asing lagi bagiku. Dengan nada melengking, selaksa ajakan untuk menantang berkelahi. Pastilah, pemuda tambun itu pikirku. Seorang teman yang belum sempat terlupa, karena ke-tambun-annya. Ia adalah kawan yang takut dengan sindrom mati muda (terlalu nge-Pop) yang sering kali mengajakku berdiskusi tentang apapun itu. Mulai dari diskusi tentang politik hingga cinta, tentang kematian juga masalah cinta, masalah agama dan lagi pada masalah cinta, dan pada akhir perhelatan ide pun berujung pada masalah cinta. “Nggrantes”, predikat yang dinobatkan oleh teman-temannya.

Kata “berangkat” adalah ungkapan pertanda untuk memulai berpindah tempat nongkrong dan berganti menu minuman. Sebuah tempat ku terbiasa menikmati senja, aku menamakannya begitu. Sebuah tempat yang dikelilingi gedung bertingkat dan hamparan tanah lapang membentang. Jika sore tiba, sering kali kududuk ditangga sembari menikmati tenggelamnya matahari. Terkadang dengan teman, bahkan sendiri ditemani dengan berbotol-botol minuman beraroma alkohol. Tempat yang indah, menurutku. Mungkin aku telah terbiasa. Aku selalu beranjang sana di tempat itu dan memandang warna awan Jingga, biru dan gulita.

“Sebentarlah boy, aku masih terlalu asyik disini!” kataku. Sebelum selesai mengakhiri kalimat ia menampiknya “Aku ingin mengimajinasikan perempuan bersamamu” Dia berkelakar, entah apa maksud leluconnya. Mungkin ia terpengaruh dengan salah satu teman akrabnya yang berjenggot tebal, yang juga temanku. “Buatlah aku merasa jenuh disini, setelah itu mari kita berangkat” aku menimpali maksud lelucon yang tak kupahami itu. Nampaknya ia merasa tersinggung dengan kata yang terlontar dari mulutku. Saling diam sembari menyulut rokok, itupun rokok yang tanpa permisi dahulu dipungutnya. Tanpa dosa dan mengawang entah apa yang dikhayalkannya. Suatu waktu aku pernah menanyakan akan tabiat buruknya. Maka ia dengan polosnya akan menjawab “Komunal Ple!”, jika tidak “Atas nama Kolektivitas” lah dasar hukum pembenaran atas perbuatannya. Sepicik itukah mengartikan kata ke-komunal-an? Alasan yang begitu sederhana, gumamku. Ah biarlah, sudah terbiasa! Akupun memaklumi!

Seperti yang telah kuduga sebelumnya. Dia akan memulainya dengan obrolan seputar kampus. Tentang carut-marut kehidupan kampus yang tak terekspose oleh akademia. Mulailah pembicaraan itu mengalir hingga gonjang-ganjing tentang perpolitikan kampus. Tentang pergerakan kiri ke kanan, hingga keapatisan mahasiswa ia ceritakan. Dalam hati aku merasa hanya pengulangan kata-kata saja yang kerap terdengar, terlalu bertele-tele. Aku hanya mendengarkan dengan setia. Tanpa kata ataupun komentar yang terlontar dari mulutku. Aku hanya pura-pura mendengarkan sambil teranggut-anggut seolah serius dengan obrolan ini. Hanya obrolan biasa menurutku. Tak juga lelah membahas hal yang itu-itu saja. Tidak menarik!

Obrolan yang pasif, hanya satu arah -aku merasa tak memulainya- itu mengalir begitu saja. Hanya keluhan yang terdengar keluar masuk di telingaku. Rasa jenuh baru saja hinggap! Berkat perantara temanlah yang membuatku merasa tak betah lagi berdiam diri di satu tempat. Celotehannyalah membuat rasa jenuh itu datang. Mengingat telah menginjak dini hari, apalagi warung kopi sebentar lagi mulai tutup. “Mari kawan, kita berangkat” aku mulai mengajaknya. Spontan ia menjawab “OK”. Tanpa basa-basi, kami segera beranjak dan berpindah tempat untuk sekedar melanjutkan obrolan yang belum selesai ditutup dengan kata sepakat itu.

Ditempat terbiasa ku menikmati senjalah, kembali kami melanjutkan perbincangan (omong kosong) yang belum terselesaikan oleh temanku. Beralih tempat dan berganti menu minum -dari gelas berganti botol-. Semula rasa pekat kopi yang terasa, dilain tempat kini menenggak minuman dingin beraroma alkohol, tentunya memabukkan. Entah apalagi cerita darinya yang ingin diwartakan. Pun aku hanya bisa mendengar. Tidak solutif..

Kupejamkan mata diantara gelapnya malam disertai hiasan cahaya bintang dan suara desis angin. Kantuk mulai menyergap. Mendongak keatas langit-langit, memandang kerlip bintang yang redup. Samar dan sedikit terang. Mengawang, berfantasi dengan kegelisahan dari hiruk pikuknya kehidupan yang tak kunjung aku mengerti. Kembali menggambar tentang proyeksi masa depan, yang entah hingga saat inipun belum terlihat dengan jelas akan dan kapan terrealisasi? Masih dalam imajinasi! Mungkin belum ada waktu untuk mewujudkannya, atau jangan-jangan aku tak sanggup untuk melakukannya. Namun kali ini aku tak mempersalahkan garis yang telah ditentukan Tuhan. Percuma!

Malam telah menggantungku pada suatu persimpangan. Terlalu lama menggantungku dengan kebisingan duniawi yang harus dilakoni. Keterpaksaanlah aku memilih satu diantara sekian banyak pilihan. Lagi pada soal keberpihakan! Apakah aku memilih untuk tidak memilih dari pilihan-pilihan itu atau malah sebaliknya? Gelisahkah aku? Biarlah, setidaknya otakku masih (mampu) sempat untuk memikirkan hal itu. Dari pada Tidak? Biarkan otakku terus berkonflik, bergelut antara realita dan imajinasi. Hingga ku tersadar? Mungkin! Aku percaya pasti pergolakan itu akan cepat teratasi. Kapan itu? Suatu saat! Yakin. Semoga bukan kematian. Ternyata aku masih terlalu asyik bergumul dengan imajinasi yang aku ciptakan.

Tak kuhiraukan ia bercerita. Lagi, dalam kepuraan aku seolah mendengarkan ia bercerita. Terasa sangat sulit untuk menangkap perkata dan kemudian menelaahnya. Mungkin masing-masing dari kita telah mabuk, sehingga beban yang tertumpuk dalam otak menguap dengan sendirinya. Dia mengigau, berceloteh dengan kata-kata yang tersengal, tidak jelas. Tak terkecuali aku; meracau! Kubiarkan ia melakukan apa yang ia ingin lakukan. Luapkanlah, bercelotehlah, tertawalah atau marah! Tampak begitu menikmati. Semoga! Sebab aku tak mau mengganggunya. Bukan bermaksud aku enggan untuk membahas obrolan yang tidak menarik ini, sama sekali tidak. Dalam benakku mengalami hal yang serupa. Pejamkan mata! Biarkan kegelisahan itu bergejolak. Kita masih belum bisa bermimpi, Tidurlah dan kemudian bermimpi! Mari belajar (lagi) memaknai hidup, ketahuilah Tuhan tidak lagi bersama orang-orang teraniaya.

Yogyakarta (?), Oktober 2008

Tidak ada komentar: