Selasa, 20 April 2010

Lelaki Lelakoning Urip*

Aku tak pernah menyangka bila kau berbuat senekat ini. Benar-benar tak mengira. Sungguh! Kupikir kau menceritakan semua itu hanya sekadar guyonan saja. Awalnya aku tidak mempercayai semua yang kau katakan, tapi setelah kau perlihatkan dokumen bergambar kepadaku. Aku kaget bukan kepalang. Benarkah dengan semua yang kau lakukan? Hingga detik ini, kulihat fotomu, aku baru menyadari jika kau senekat itu. Kau benar-benar gila!

Sudah lama aku mengenalmu. Aku mengenal ketika kau pertama kali baru belajar menghisap ganja, -disebuah gubuk tua samping rumahmu. Saat itu, kau masih terlihat malu-malu sedang menenggak Vodka atau menghisap lintingan ganja. Seperti bocah yang baru merdeka, kau meneriak histeris, “Kebebasan! Aku bebas. Aku bebas! Inilah duniaku. Liberte!”. Dasar bocah pikirku waktu itu.

Kau selalu mencoba-coba dengan apa yang kita sebut sebagai barang laknat. Dan bodohnya, kau mau saja saat aku menawari pil setan dan sabu keparat, hingga kau semakin kecanduan dengan barang pemberianku. Aku menyesali perbuatanku. Rasanya ingin sekali aku meminta maaf. Tapi entah mengapa mulutku tersumpal, seperti ada batu cadas yang mengganjal, tak mampu mengucapkannya. Aku telah memberimu dosa! Dari dari mana aku memulai kata maaf. Aku bingung dan kau limbung.

Aku hanya bergeleng kepala dengan semua yang kulihat dan kau ceritakan tentang kisahmu. Kau begitu menggebu bercerita, seolah kau telah menuliskan hidupmu dalam catatan harian dan membacakannya ulang dari awal. Aku begitu bersemangat mendengar kau bercerita. “Tidak semua orang bisa sepertimu kawan!” aku memuji. Kau hanya tersenyum datar mendengar sanjunganku. “Ck..Ck..Ck Benar-benar fantastis. Spektakuler!” aku berdecak. Sedang kau masih melanjutkan cerita dan tak memberiku jeda untuk bertanya. Aku masih menyimak ceritamu.

“Kau tidak sedang mabuk kan?!” aku menghentikan mulutmu yang terus ceracau, bercerita tanpa henti. “Tidak! Sama sekali tidak? Aku sudah berhenti hampir empat tahun yang lalu!” kau tersenyum menjawab pertanyaanku. Sejujurnya aku tidak mempercayai pengakuan itu. Setahuku untuk melepas kecanduan benar-benar sangatlah susah. Mustahil bagi pecandu sepertimu!

“Santai bung, kau tak perlu mempercayai kata-kataku. Semenjak gempa melanda kota kita, aku berhenti mengkonsumsi barang yang sama seperti pertama kali kau tawarkan padaku! Benar katamu dulu, susah melawan racun yang telah lama mengendap di tubuh!” kau menjelaskan kepadaku.

“Baguslah kalau begitu! Hmmmm kau berhenti, bukan karena harta bendamu terkuras habis untuk membeli benda laknat itukan?” tanyaku.

“Salah satunya Iya!” jawabmu. Kamipun tertawa.

Kuperhatikan kamarmu sama sekali tidak ada benda berharga. Hanya tumpukan buku yang tak tertata rapi. Berbeda dengan dahulu, jika dibandingkan dengan kamarku, kamarmu lebih mewah dengan perabotan beserta aksesorisnya. Kini yang tersisa hanya ada ratusan buku menjadi satu-satunya barang mewah yang jadi penghias kamar. Yang kutahu, sedari dulu, kau memang gemar membaca buku-buku bertemakan sosial dan budaya. Sekarang, justru novel-novel cintalah yang mendominasi deretan rak buku di kamarmu.
***

Terlihat badanmu sudah kurus kering. Tulang-tulang kelihatan menyembul di permukaan kulit. Celana yang kau kenakan kedodoran dan selalu terikat kencang dengan sabuk. Kuamati di sekujur tubuh terlihat perubahan yang sangat mencolok. Tubuhmu yang berajah kian hari semakin menjamur. Awalnya hanya bergambar kupu-kupu di betis kaki sebelah kanan, berjalannya waktu, menjalar hampir menutupi lengan dan punggungmu.

Di punggungmu terlukis tato huruf Arab gundul; Alif, Nun, Ta, Fa, Dha dan Ha. Dan masih banyak lagi tato di punggungmu. Bukan hanya itu, di atas pantatmu, ada sebuah tato mungil bergambar kompas dengan segala petunjuk arah. Sedang di lengan kanan berajah sebilah bambu dengan angka-angka yang tak pernah kutahu makna angka itu. Pernah kutanya apa makna angka-angka itu? Kau hanya menjawab, angka keberuntungan. Sembari berkelakar katamu, kau pernah memasang togel dan memenangkannya.

Rajah-rajah penuh dengan simbol, aku tak begitu tahu makna apa yang ada di tubuhnya. Jika kupu-kupu pernah kau ceritakan filosofinya. Konon katamu, kupu-kupu itu sebagai simbol perdamaian. Hanya itu yang aku tahu, sedang makna lain rajah tubuhmu aku tak tahu. Dan hingga kini obsesi yang belum juga terlaksana yaitu ingin merajah dadamu dengan gambar dirimu sendiri yang tersalib persis seperti Yesus. Tubuhmu sudah tinggal tulang dan tahi. Aku bergumam.
***

Lamanya waktu yang telah memisahkan kita begitu terasa cepat. Sampai-sampai aku tersadar bahwa usia tak lagi muda. Di antara kita telah disibukkan dengan rutinitas yang telah dijalani. Walau stagnan, tapi jaman telah menggiring pada kenyataan yang tidak kita kehendaki. Ruang dan waktulah yang telah memisah kita. Memisahkan gerak kita hingga seperti ini. Harusnya kau ceritakan semua yang indah-indah, tentang cinta, tentang rindu, tentang gunung-gemunung atau tentang apa sajalah yang menakjubkan. Bukan bercerita tentang roda nasib yang tak pernah berhenti berputar. Hingga menimbulkan amarah dendam dan kutukan.

Tidak perlu lagi mengumpat. Tapi terserah saja, lakukan semaumu, itu hakmu. Aku tak akan pernah melarangmu. Tapi tidak baik juga jika terus-terusan menyesali sesuatu yang telah dilewati. Mestinya kau jadikan pembelajaran hidup yang akan datang. Tapi terserah saja, lakukan sesukamu jika memang itu pilihan terbaik bagimu atau lebih baik lanjutkan ceritamu.

Masih ingatkah, ketika kita pertama kali menghisap ganja? Katamu laksana hidup di Surga. Banyak gunung-gemunung yang menjulang. Angin semilir membuat mata terkantuk-kantuk lalu tertidur bergumul bersama para bidadari-bidadari. Itulah imajinasi yang tak pernah ada dalam realita. Hanya ilusi. Namun pada perjalanan waktu kaupun bisa mempraksiskan apa yang ada dalam fantasimu. Kau telah melakoni semuanya. Dari ujung barat hingga timur pulau Jawa gunung-gemunung itu telah kau jelajahi.

Tapi ketahuilah, justru aku sangat bersalah ketika pertama kali aku menawari dan mengiming-imingi lintingan ganja kepadamu. Itulah dosa terbesar yang pernah aku lakukan kepadamu. Kucekoki kau dengan segala khayalan yang aku ciptakan, yang belum tentu aku bisa mewujudkannya. Sungguh aku sangat bersalah jika mengingat hal yang pernah kulakukan kepadamu. Benar katamu andai roda nasib bisa berputar mundur, aku akan membatalkan niat jahat untuk meracunimu.
***

“Bung kuberi tahu sesuatu kepadamu!”
“Apa itu?” kataku
“Apa kau bisa merahasikannya?”
“Jika maumu begitu, aku bisa!” jawabku yakin.
“Aku masih mempercayaimu, Bung”.

Kau menceritakan secara mendetail semua kisah yang pada masa lampau yang telah di lalui. Saking semangatnya bercerita, kulihat kau tak merasa mengucurkan bulir-bulir airmata. Airmata kesedihan, airmata keharuan berpadu dengan jalan hidup yang telah kau tempuh. Kau ceritakan semua tanpa ada sesal sedikitpun, begitu gamblang sesuai alur dan runtutan peristiwa pada masa itu yang telah terjadi.

Kutahu kita sudah lama terpisah. Kau sibuk berkelana entah kemana, sedang aku melakukan hal yang sama entah kemana pula. Aku selalu menyebut pekerjaanku sebagai pekerjaan membunuh waktu. Bekerja dengan cara mengukur jalan. Kuyakin kaupun masih ingat dengan apa yang kita pernah sama-sama lakukan dulu. Pasti kau pun masih marasakan dan mencari esensi diri dan sampai pada akhirnya menempuh dengan cara dan jalan masing-masing dalam mengarungi kehidupan di dunia ini.

Aku mendengarkan semua yang kau ceritakan, tanpa sedikitpun memotongnya. Aku memberi kesempatan untuk bercerita hingga titik akhir cerita yang ingin disampaikan. Aku menyimaknya hingga aku juga turut merasakan empati yang sama. Seperti biografi kau ceritakan jalan hidupmu.

Pernah kita sama-sama susah
Terperangkap di dingin malam
Terjerumus dalam lubang jalanan
Di gilas sang kaki yang sombong
Terjerat mimpi yang indah
Lelah...

Radio yang sedari tadi kustel terus mengalun. Suaranya pelan, hingga larut dengan suasana seperti lagu yang di putar.

Pernah kita sama-sama rasakan
Panasnya mentari hanguskan hati
Sampai saat kita nyaris tak percaya
Bahwa roda nasib memang berputar
Sahabat masih ingatkah kau

Sementara hari terus berganti
Engkau pergi dengan dendam membara
Di hati...

Cukup lama aku jalan sendiri
Tanpa teman yang sanggup mengerti
Hingga saat kita jumpa hari ini
Tajamnya matamu tikam jiwaku
Kau tampar bangkitkan aku sobat


Lantunan lagu Iwan Fals yang berjudul “Belum Ada Judul” menghentikan cerita yang kudengar. Terlihat kau melamun setelah menikmati senandung lagu yang telah selesai di putar. Diam dengan tatapan nanar seraya ikut mendendangkan lagu itu secara pelan, hingga bait terakhir. Kaupun mengulum senyum setelah mendengar dan menirukan lagu yang tak berjudul itu.

“Aku suka lagu itu!” kau memulai lagi pembicaraan sembari menunjuk sebuah radio. “Ya aku suka sekali!” sembari teranggut-anggut.

“Kenapa dengan lagu itu?” tanyaku.
Kau tak segera menjawab pertanyaanku. Kau hanya bergeleng kepala namun mulut mencoba menyanyikan kembali lirik-lirik lagu yang tidak kau hafal. “Bahwa roda nasib memang berputar” kau lantunkan kembali lagu itu. Nyanyianmu hampir-hampir tak terdengar, begitu lirih. “Sahabat masih ingatkah kau” Dan kaupun tampak menghayati kisah si pembuat lagu itu.

“Ehm ada apa dengan lagu itu? Nampaknya kau begitu menjiwai!” aku berdehem mengulang pertanyaan yang sama.

“Oh gak. Tidak ada apa-apa” Kau terkejut dengan dehemanku. Tampak gugup dan berusaha menyembunyikan kebingungan. Aku hanya tersenyum melihat raut wajahmu yang memerah.

“Lagu itu bagus. Bagus sekali. Aku suka!” sedikit berkomentar. Kau sepertinya ingin mengatakan sesuatu tetapi tidak jadi.

“Aku juga suka dengan lagu itu”

“Pahamilah lagu itu? Inikah makna persahabatan? Yah memang roda nasib memang terus berputar” Kau memecah keheningan.

“Begitulah roda!” aku menjawabnya dengan kelakar.

Tentang roda, aku sudah berkali-kali mendengarnya. Tapi kemudian kau menambahkan, terkadang kebingungan itu muncul tiba-tiba. Kemana kakiku melangkah? Jalanku semakin banyak, dan aku merasa bingung menentukan arah. Apakah aku harus berbelok ke kanan atau ke kiri? Ataukah aku terus malaju ke depan atau bahkan mundur ke belakang? Sebelum aku melangkahkan kaki pertamaku, sepertinya rintangan selalu menghadang. Aku rasa sepertinya untuk berdiri pun aku tak mampu. Lalu jika keadaannya seperti ini, apa yang mesti aku lakukan?

Sebilah belati yang semula tergeletak di meja kau pungut, dan kemudian di ayun-ayunkan seperti sedang bermain double stick. Ingin rasanya aku melarangmu bermain belati itu, tapi aku takut kau malah memarahiku. Aku membiarkanmu. Kupikir dengan sebilah belati yang kau mainkan akan membuatmu merasa tenang dan berkonsentrasi mengeluarkan semua isi kepala yang tertimbun dan belum bisa memuntahkan. Tapi setidaknya aku selalu waspada jika kau berlebihan atau akan melakukan sesuatu terhadap tubuhmu dengan belati itu.

Bulir-bulir air mata yang tanpa kau seka, melintasi pipimu telah mengering dengan sendirinya. Wajahmu bermuram durja. Wajah-wajah penuh amarah, dendam dan penyesalan. Pikiran-pikiran yang tak pernah kau luapkan akhirnya kau tumpahkan juga. Dan dikamar inilah, kamar yang sama seperti sepuluh tahun yang lalu, ketika kau pertama kali dengan malu-malu menghisap ganja bersamaku.

Tampaknya, kau begitu menyesali dengan segala perbuatan pernah kita perbuat. Andai saja aku tidak membujukmu, waktu itu, aku yakin kaupun tidak akan terjerumus pada penyesalan. Di sisi lain kau tampak menyimpan amarah, mungkin juga terhadapku, dan dendam yang tak pernah kau lampiaskan. Dendam yang kau tanam di dalam hati. Dendam yang kian hari kian menggumpal seiring berjalannya waktu.

“Tak kusadari juga, selama ini aku selalu di kelilingi orang-orang munafik. Bermuka dua dan penuh dengan kepuraaan. Ah sok-sokan misterius pula!” kau terhenti sesaat, menggaruk-garuk kepala. “Sepertinya aku dituntut untuk pandai bermain dua peran? Yah paling tidak harus bisa kompromi” kau terhenti lagi, menyulut rokok dan menghisapnya dalam-dalam. “Dan Aku menyerah?! Kupikir apa yang selama ini aku idealkan tidak semudah apa yang aku bayangkan. Jalan yang berkelok, dan tak ada kejelasan dimana harus berlabuh. Nampak Samar! Kau ke kanan sedang aku ke kiri. Bagaimana bisa sepaham dan sejalan? Tidak bisakah berkompromi?”.

“Begitulah hidup” aku menjawabnya dengan bercanda.

Kau hanya tersenyum mendengar jawabanku. Kembali pada keheningan dan saling terdiam. Sepertinya masing-masing, di antara kita, sedang mengevalusi diri. Inikah arti sahabat? Aku hanya menyikapinya sebagai kehendak jaman, takdir sejarah. Mari mengintropeksi diri.
***


Kulihat kau sedang asyik menikmati sebotol vodka yang kau ambil dari ransel hitammu yang lusuh. Ransel yang selalu setia menemanimu melanglang keberbagai penjuru negeri. Kau teguk dan mencecapnya, kau selipkan sebatang rokok disela bibir yang menghitam. Menyulut, menghisap, menghembuskan ke udara dan menjentikkan abu rokok ke dalam asbak. Meneguk dan menghisap lagi. Jari jemari kau ketuk-ketukan diatas meja. Sesekali bernyanyi dengan lagu sama yang baru di putar di radio.


Lalu kau pandangi aku lekat-lekat. Sorot matamu terlihat ada tanda-tanda kegelisahan. Matamu ingin mengatakan sesuatu, tapi mulut tak mau menangkap sinyal-sinyal yang terpancar dari mata yang hendak berbicara. Kau terus menatapku kosong, tanpa arti. Namun bibir sesekali terlihat menyungging senyum. Sementara aku hanya diam mencoba untuk tidak memulai pembicaraan. Sengaja aku lakukan agar kau mau memulainya. Aku memberimu kesempatan untuk melanjutkan cerita.

“Sejenak Kau menepi.. Bersandar pada asa.. kemudian bergerilya…” Kau lirih mengatakannya.

Sepertinya kau masih ingat dengan puisi-puisi yang pernah kita baca di jalanan. Puisi yang tercipta tanpa sengaja tatkala mulut-mulut meracau terpengaruh alkohol. Aku tersenyum mendengar kata-kata yang tak pernah di kumandangkan begitu lama. Lantas aku pun menjawab; Kan kuajak dirimu berkelana agar kau tak sebatang kara!

Aku terdiam. Saling pandang, dan kita pun tergelak. Kau merebahkan tubuh di ranjang dan berucap selamat tidur. Aku masih ingin melanjutkan mimpi. Aku ingin mewujudkannya dan kini aku sedang merencana, katamu sambil memejam mata.



Di kaki Gunung Ampon, 31 Maret 2010
(WFY)

Keterangan
* Tulisan ini tidak layak baca,sebelum membacanya sediakan kantong plastik apabila sewaktu-waktu ingin muntah...

Tidak ada komentar: