Rabu, 16 Januari 2008

Mimpi Si Kecil yang (tak) lagi Indah. Mari mendongengiku!

Malam itu, derasnya hujan tak juga reda. Segelas kopi dan camilan ala kadarnya turut serta menemani. Berbatang rokok memenuhi asbak yang semula kosong. Entah berapa batang rokok yang telah ku sulut, hisap lalu mematikannya di asbak itu. Tak terhingga, mungkin! Sebab aku tak sempat menghitungnya. Hitungan jaripun tampaknya lebih. Kepulan asap beterbangan, berputar di sebuah kamar kecil yang berserak buku, ku yakin tak kesemuanya buku itu telah terbaca oleh pemiliknya. Mungkin ia jadikan sebagai hiasan kamar. Maklum mahasiswa! Harus bergelut dengan buku, kata Iwan Fals.

Pekat dan memerihkan mata. Melihat pun hanya samar, putih dan abu-abu yang bisa terlihat dalam ruangan sempit itu. Antara asap beracun dan oksigen saling berebut masuk dalam paru-paruku. Sesak! Ditembok kamar terpampang aneka gambar dan poster yang tak ku tahu makna dari gambar itu. Gambar yang aneh, pikirku! Mungkin pemilik kamar memasang itu sesuai dengan kegundahan hatinya. Selalu resah. Sisi lain tembok kamar, tergantung sebuah papan tulis putih bertuliskan kata-kata penyemangat, ehm tumben terencana, aku menyindir. Keisengan mulai timbul dan aku menambahi papan itu dengan tulisan; Dusta dan dosa mu tak jauh beda dengan mulutmu! Aku harap pemilik kamar tidak tahu apa maksud dari tulisan itu. Andaipun ia tahu, syukurlah! Bukan hanya soal perempuan saja, paling tidak otaknya masih bisa berpikir.

Sementara aku asyik dengan imajinasi laku hidup yang ku jalani. Seorang kamerad, berkeluh kesah tentang lakon hidup yang tejadi pada dirinya saat ini. Sebelumnya aku tak pernah mendengar ia bercerita akan hal itu. Aku terhenyak kaget bercampur rasa tak percaya atas penuturan jujur darinya. Kewanen Kowe Ple! Bercerita itu padaku! Namun hanya empati yang kurasakan. Tak dinyana, aku ikut memikirkan tentang kehidupan dan segala pernak-perniknya, paling tidak memikirkan tentang diriku sendiri. Yang semula aku hanya diam dan enggan bercerita tentang itu. Pun akhirnya aku terpaksa (baca; dipaksa) untuk ikut mengeluarkan kata-kata yang memang telah sekian lama tak kuucapkan. Menumpuk dalam otak dan memuntahkannya dengan mulutku.

Entah siapa yang memulai. Perbincangan itu bermula disaat hanya sekedar omong kosong dan segala basa-basinya. Maklum lama tak bersua. Alasan pinjam-meminjam uang dan bukulah sebagai trik paling ampuh setiap kali hendak bertemu. Jika ditanya mengapa lama tak berjumpa? Aku dan Bajingan (ed; teman) itu sama-sama akan menjawab; aktivitas kitalah yang membuatnya demikian. Seandainya ditanya tak adakah waktu luang? Maka jawabnya: Tuhan sedang menguji pertemanan kita, kawan!

Sesekali pun tak ada tawa yang mengiring. Aku hanya serius menyimak setiap kata yang terlontar. Terlihat matanya berkaca-kaca, menerawang di langit-langit kamar penuh harap. Wajah tertunduk seakan menyesali dan meratapi tentang realita hidup. Berdoalah, semoga kita diberikan jalan olehNya. Dalam benakku terlintas pertanyaan, inikah Hidup? Itukah takdir Tuhan? Pesimiskah aku! Ah tidak ini hanya ketakutanku saja. Hanya saja belum mencobanya! Aku meyakinkan diri. Di usiaku yang hampir ¼ abad. Sudah selayaknya untuk kembali memulai menata kehidupan. Merencanakan apa yang harus ku lakukan kedepan? Lalu Menyusun strategi dan skenario dalam menghadapi realita hidup! Saat ini bukan dengan mimpi untuk membangun kehidupan. Walau bermimpi paling tidak, terencana dalam menghadapinya.

Sejenak ku teringat masa kanak-kanak. Suatu masa dimana tak pernah memikirkan tentang kedunawian. Polos! Begitu bahagianya waktu itu. Namun kini yang ku hadapi adalah realita hidup yang tak seindah waktu kecil aku bayangkan. Tentang mimpi si kecil yang tak (belum) pernah mengerti akan makna hidup, hitam-putih, manis-pahitnya kehidupan.

“Vincent” besok kalau besar mau jadi apa?” Tanya ayah pada anaknya dengan iming-iming sebatang coklat. Sambil menyahut coklat itu ia berteriak dengan bangganya “Kernet”. Semua hanya diam, suasana menjadi lengang juga terkesima dengan jawaban seperti itu. “mengapa kau pilih kernet?” Sang Ayah balik bertanya dengan muka masam. Bocah itu menjawab dengan kepolosannya “agar aku dapat berkeliling Indonesia!”. Sementara si Ibu hanya menggeleng-geleng kepala. Telihat sedih dengan keluguan anaknya yang bercita-cita sesederhana itu. Dengan kasih sayang dia membelai dan berbisik: “Vincent, jadilah anak yang berbakti bagi nusa dan bangsa serta agama. Bercita-citalah seperti itu!” Bocah itu hanya mengangguk tanpa mengerti apa yang dimaksud Oleh ibunya. Mungkin dalam benak bocah kecil akan bertanya; Apakah nusa & bangsa? Siapakah Agama? Mengapa berbakti terhadapnya?

Aku mencoba kembali mengingat masa kecil nan Indah. Masa-masa dimana aku pernah (setidaknya) mempunyai cita-cita tentang hari esok. Dengan segala keindahan dan mimpi-mimpi yang diciptakan. Tentang mimpi si kecil yang menginginkan jadi ini dan itu, tentunya yang indah-indah. Terasa indah bukan? Andaikan benar sejarah itu pasti berulang? Aku ingin menjadi kecil lagi, (Seperti sedia kala) dengan kepolosan dan keluguan layaknya yang dimiliki bocah kecil lain, selalu bahagia. Angan-angan yang tak mungkin terjadi! Gumamku. Untuk menghibur diri, jalani saja hidup ini dengan senyuman dan nikmatilah jalan hidup, bukankah ini takdir yang telah digariskan Tuhan?

Tentang cita-cita, yang nyata tidak semudah apa yang aku impikan masa kecil. Kini tak lagi indah! Mungkin akan terdengar nada-nada kekecewaan yang kerap terlontar. Hidup itu susah, kata orang putus asa. Realita hidup itu kejam, jawab orang gila. Yah kegelisahan! Manusiawi?

Sejenak lupakanlah tentang mimpi si kecil. Lamat terdengar, siluet. Iblis berselendang hitam membisikkan padaku: jika kau bermimpi, maka bangunlah! Wujudkanlah mimpi itu! Bukan proses ataupun takdir Tuhan namun “kemauan” dan “niat” kitalah yang mampu mewujudkan mimpi itu. Percayalah!” Anggukan kepala tanda setuju. Sepertinya aku harus mampu mewujudkannya, bukan masalah menunggu waktu tapi aku harus mengejar waktu, agar bisa menjadi nyata mimpi itu . Lagi-lagi pilihan…. Tentukanlah pilihan itu atau aku harus tertidur dengan buaian mimpi-mimpi.. Untuk seorang kamerad: Doktrin itu kejam!!

Tidak ada komentar: